Konversi lahan gambut ditengarai menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan di sejumlah wilayah di Indonesia. Di Provinsi Riau, terdapat 1.419 hot spot (titik panas) selama Juli 2006. Sebagian besar titik panas itu berada di kawasan gambut. Di saat yang bersamaan, hampir 30 persen titik panas di Kalimantan Barat juga berada pada kawasan gambut.
Pembukaan lahan gambut dengan cara membakar mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan secara meluas. Dari sifatnya, tanah gambut lebih mudah terbakar dan menghasilkan lebih banyak asap. Sekali terbakar, maka akan sangat sulit untuk memadamkan api di lahan gambut.
Dunia gambut
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia telah menjadi salah satu sumber penyebab terjadinya perubahan iklim global. Data hot spot dari Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (Modis), dalam 5 tahun terakhir memperlihatkan sumber kebakaran hutan dan lahan di Riau sudah bergeser dari lahan mineral ke lahan gambut. Riau memiliki sebaran gambut cukup luas di sebelah timur wilayahnya hingga ke bagian pesisir.
Di wilayah Asia Tenggara, luas areal gambut mencapai lebih dari 25 juta hektare (ha) atau 69 persen dari lahan gambut tropis di dunia. Luas lahan gambut di Indonesia lebih dari 20 juta ha. Sebesar 6,29 juta ha terdapat di Sumatera, sementara 4,044 juta ha di antaranya terdapat di Provinsi Riau (sekitar 45 persen dari luas total Provinsi Riau).
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup, diperkirakan gambut di Riau menyimpan karbon sebesar 14.605 juta ton. Besarnya cadangan karbon ini, jika tidak dikelola dengan baik akan berdampak pada pelepasan karbon ke udara sehingga meningkatkan efek rumah kaca. Besarnya cadangan karbon akan sangat bergantung pada kedalaman gambut itu sendiri. Semakin dalam, cadangan karbon akan semakin banyak.
Riau mempunyai kedalaman gambut terdalam di dunia, yakni mencapai 16 meter di wilayah Kuala Kampar. Selama 10 tahun terakhir, 3 juta ha lahan gambut yang terbakar di Asia Tenggara telah mengeluarkan 3 miliar hingga 5 miliar ton karbon. Oleh karena itu emisi karbon dari lahan gambut di Asia Tenggara merupakan salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia --sama dengan 10 persen emisi bahan bakar fosil di seluruh dunia, untuk jangka waktu yang sama (Riau Declaration on Peatland and Climate Change, Januari 2006).
Selama itu pula, berbagai konversi lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit dan kayu kertas (pulp wood), penebangan yang tidak berkelanjutan dan pertanian, diperkirakan telah merusak sekitar 6 juta ha lahan gambut. Bercermin pada praktik-praktik pemanfaatan lahan gambut sejuta hektare yang gagal di Kalimantan, maka risiko pelepasan karbon ke udara akan memperluas kerawanan kebakaran lahan gambut dan banjir akan semakin luas membentang ke depan di Riau.
Proses kebakaran
Kebakaran lahan gambut mempunyai ciri tersendiri yang berbeda dengan kebakaran di areal mineral. Kebakaran lahan gambut tidak berada di atas permukaan yang pemadamannya relatif lebih mudah. Meskipun sumber pertama api tetap dari permukaan melalui sistem pembukaan lahan dengan cara membakar, namun penyebaran api pada lahan gambut berada di bawah permukaan (ground fire).
Api membakar bahan organik pembentuk gambut melalui pori-pori gambut secara tidak menyala (smoldering) sehingga yang terlihat ke permukaan hanya kepulan asap putih. Dengan karekteristik ini maka pemadaman api akan sangat sulit karena harus dilakukan dari dalam gambut itu sendiri dan dari atas karena penyebaran api di lahan gambut bisa secara horizontal dan vertikal ke atas.
Apabila api di lahan gambut tidak dapat dipadamkan, api tersebut dapat tetap menyala di bawah permukaan dalam waktu yang lama (bahkan tahunan) dan menyebabkan kebakaran baru apabila cuaca menjadi lebih kering lagi. Api yang menyala di bawah permukaan akan merusak sistem perakaran pohon. Pohon-pohon tersebut akan menjadi tidak stabil dan kemudian tumbang atau mati. Hal ini akan menghasilkan sejumlah besar pohon mati atau sisa tanaman, yang akan menjadi bahan bakar yang potensil bagi kebakaran berikutnya.
Secara ekologi, pembakaran lahan gambut mempercepat rusaknya lingkungan yang unik dan jasa-jasa ekologi yang dihasilkannya (misalnya pengaturan air dan pencegahan banjir). Pemadaman kebakaran di areal gambut sangat sulit, mahal dan dapat menyebabkan kerusakan ekologi dalam jangka-panjang. Meski pemerintah melalui Keppres No 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung memberikan perlindungan terhadap lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter, namun hal ini tak otomatis menyelesaikan persoalan gambut. Kian menyempitnya ketersediaan lahan mineral rupanya telah mendorong berbagai praktik pemanfaatan lahan gambut dengan ketebalan di bawah 3 meter oleh para pengusaha (tentu dengan izin pemda).
Jarang para pengusaha itu memikirkan pengaruh praktik-praktik tersebut terhadap lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter yang nota bene dilindungi. Padahal keduanya tak bisa berdiri sendiri-sendiri. Pada kenyataannya lahan gambut dengan perbedaan kedalaman tersebut bisa jadi merupakan satu ekosistem atau dalam satu landscape. Kebijakan pemerintah dalam membolehkan pemanfaatan lahan gambut kurang dari 3 meter akan mempengaruhi lahan gambut yang dilindungi (3 meter lebih itu). Cara terbaik untuk mencegah kebakaran di lahan-lahan gambut adalah dengan mengkonservasi mereka dalam keadaan alaminya. Yakni dengan memberikan perhatian khusus terhadap aspek-aspek pengelolaan air yang baik, pemanfaatan lahan yang sesuai, dan pengelolaan hutan yang lestari. Artinya, drainase/pengeringan dan konversi kawasan lahan gambut harus dicegah.
Perlindungan terhadap kawasan gambut dengan sendirinya akan mengendalikan hidrologi wilayah yang berfungsi sebagai penambat air dan pencegah banjir. Dalam kondisi alami yang tidak terganggu, lahan-lahan gambut mempunyai fungsi-fungsi ekologi yang penting: mengatur air di dalam dan di permukaan tanah.
Dengan sifatnya yang seperti spon, gambut dapat menyerap air yang berlebihan, yang kemudian secara kontinye dilepas perlahan-lahan. Hal ini menyebabkan air akan tetap mengalir secara konsisten dan karena itu menghindari terjadinya banjir juga kekeringan. Tak hanya itu, perlindungan kawasan gambut akan menjaga keanekaragaman hayati dengan banyak jenis yang unik dan hanya dijumpai di daerah lahan gambut.
* Alumnus Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB
source : link
0 komentar:
Posting Komentar