Tiga kawasan Taman Nasional di Sumatera yang termasuk Tropical Rainforest Heritage of Sumatra (TRHS) UNESCO, digolongkan dalam kriteria Warisan Dunia dalam Bahaya (List of World Heritage in Danger).
Ketiga kawasan konservasi tersebut adalah Taman Nasional Gunung Leuser
(TNGL), Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan (TNBBS).
Kawasan yang mencakup area seluas 2,5 juta hektar ini, menjadi sorotan dunia karena berbagai aktivitas ilegal seperti perambahan, illegal logging, perburuan satwa liar, dan rencana pembangunan jalan dalam kawasan yang terus berlangsung.
Sebagai contoh, salah satu kerusakan terparah kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) adalah yang berada di Provinsi Aceh. Kawasan TNGL yang berada di Kabupaten Aceh Tenggara dan Gayo Lues rusak
karena pembukaan lahan pertanian dan perkebunan yang tidak terkendali.
Padahal keberadaan kawasan TN penting dari sisi jasa lingkungan dan
perlindungan ekosistem.
Dari total luas kawasan TNGL di Kabupaten Aceh Tenggara seluas
376.104 hektar kerusakan telah mencapai 10.000 hektar. Sedangkan di
Kabupaten Gayo Lues dari total luas kawasan 240.304 hektar kerusakan
mencapai 2.500 hektar.
Kerusakan Taman Nasional Gunung Leuser Tak Terkendali
Mencermati kerusakan yang terjadi, Kamis (17/9) puluhan Mahasiswa
Pecinta Alam (Mapala) dari sejumlah perguruan tinggi di Aceh, melakukan
unjukrasa di Kantor Gubernur Aceh dan di gedung Dewan Perwakilan Rakyat
Aceh (DPRA).
Dalam unjukrasa tersebut mereka menilai kerusakan Taman Nasional
Gunung Leuser (TNGL) di wilayah Aceh semakin tak terkendali. Bahkan,
bentang hutan hujan tropis tersebut semakin sulit di pertahankan karena
kegiatan pelanggaran hukum yang terus terjadi berlangsung tanpa upaya
serius untuk menghentikannya.
“Secara kasat mata dapat dilihat, laju kerusakan Taman Nasional
Gunung Leuser saat ini terus meningkat, baik karena kegiatan illegal
logging maupun pembukaan lahan oleh masyarakat untuk lahan pertanian,”
sebut M Ikbal salah pengunjuk rasa dari unsur Mapala menjelaskan.
“Bisa dipastikan, sebagian besar satwa yang diperdagangkan secara
illegal baik itu di Aceh maupun di Sumut berasal dari TNGL. Jika ini
terus dibiarkan dapat dipastikan TNGL, kawasan bentang hutan tropis
dunia, hanya akan tinggal nama.”
Rencana pembukaan jalan yang melewati kawasan TN pun dikuatirkan akan
semakin menurunkan kualitas lingkungan. Sebagai dampak yang muncul
bencana alam yaitu banjir dan tanah longsor akan semakin sering terjadi
di wilayah rawan seperti Provinsi Aceh.
“Kami mendesak Gubernur Aceh tidak mengeluarkan izin Hak Guna Usaha
(HGU) di wilayah ekosistem Gunung Leuser, termasuk segera mencabut izin
perusahaan yang merusak TNGL,” ungkap Nabay, perwakilan Mapala
Universitas Teuku Umar Aceh Barat menambahkan.
Menurut Nabay, pihaknya mendukung segala upaya penegakan hukum
terhadap para cukong kayu dan pelaku perambahan di TNGL, termasuk cukong
kayu, pelaku perambahan dan para pejabat yang membuka perkebunan di
dalam kawasan TN.
Secara terpisah, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh
menyoroti peran dari Pemda Aceh yang minim dalam menyetop kerusakan yang
terus terjadi saat ini. Walhi Aceh mengkritik cara kerja Pemda yang
hanya pandai melahirkan kebijakan menjaga hutan, namun lemah dalam
implementasi kebijakan yang telah di keluarkan di tingkat lapangan.
“Sebagian besar hutan Aceh, termasuk TNGL telah beralih fungsi
menjadi kebun. Kebijakan untuk penyelamatan hutan cukup banyak di buat,
tapi tidak satupun kebijakan tersebut di jalankan,” jelas M. Nur,
Direktur Eksekutif Walhi Aceh menyebutkan.
Source : link
0 komentar:
Posting Komentar