Harimau Sumatera. Foto: Rhett A. Butler
Setelah lima hari terjebak di atas pohon untuk menghindari induk harimau Sumatera yang mengamuk, kelima pria yang memasang jerat dan membunuh seekor anak harimau Sumatera ini berhasil dievakuasi oleh tim penyelamat. Tim yang berjumlah kurang lebih 30 orang ini terdiri dari aparat kepolisian, TNI, pihak taman nasional, LSM, BKSDA setempat dan tim SAR. Sebelum tim ini menyelamatkan kelima pria ini, sejumlah penduduk desa sempat berupaya menyelamatkan mereka, namun akhirnya terpaksa berbalik karena kelima harimau masih menunggui di bawah pohon.
Tim penyelamat berhasil menemukan kelima pria yang masih ditunggui
oleh lima ekor harimau Sumatera dewasa saat diselamatkan dari sebuah
pohon di Taman Nasional Leuser di Aceh Tamiang. “Saya menerima kabar
dari tim evakuasi bahwa mereka sudah berhasil diselamatkan setelah tiga
orang pawang berhasil menjauhkan harimau dari sekitar lokasi
penyelamatan,” ungkap Letnan Satu Surya Purba, Juru Bicara pihak
kepolisian setempat. Kelima pria yang selamat ini adalah Adi Susilo,
Mujiono, Budi Setiawan, Suriadi, dan Awaludin.
Seperti dilansir oleh BBC.co.uk, Kepala Taman Nasional Leuser,
Andi Basrul menyatakan bahwa para pencari kayu gaharu tersebut dibawa
ke desa terdekat, yang berjarak enam jam berjalan kaki. Sementara Jamal
Gayu dari Leuser International Foundation mengatakan bahwa kelima pria
ini berada dalam kondisi sangat lemah setelah mereka tidak makan
samasekali selama tiga hari, setelah lima hari terjebak di pohon. Salah
satu rekan mereka bernama David, sudah lebih dulu tewas setelah dicabik
oleh harimau Sumatera yang mengamuk setelah anaknya mati terjerat
jebakan besi yang dipasang para pencari gaharu ini.
Gaharu adalah sejenis kayu yang mengandung resin khas yang sangat
wangi dan umumnya digunakan dalam industri parfum dan berharga sangat
mahal. Harga setiap kilogram gaharu biasanya berkisar Rp 5 juta.
Keenam pria ini yang merupakan warga dari Desa Simpang Kiri di
Kabupaten Aceh Tamiang ini memasuki kawasan taman nasional untuk mencari
gaharu pada hari Selasa, 2 Juli 2013 silam, dan dalam perjalanan mereka
terpaksa berurusan dengan harimau Sumatera pada Kamis 4 Juli 2013
silam.
Dalam perjalanan, biasanya para pencari gaharu ini biasanya mencari
satwa di hutan untuk dijadikan bahan makanan. Hal yang sama dilakukani
dengan keenam pria yang mulai masuk ke hutan sejak pekan lalu ini.
Mereka memasang jerat dari tali besi untuk menangkap rusa. Sayang, bukan
rusa yang didapat, namun justru anak harimau yang masuk perangkap. Anak
harimau ini pun mati dan sontak membuat induknya mengamuk dan membunuh
David yang saat itu masih dalam jangkauannya. Sementara kelima rekan
David yang lain, berhasil menyelamatkan diri dengan naik ke pohon untuk
menyelamatkan diri.
Sejak itu, kelima pria ini tertahan di atas pohon, karena induk
harimau tersebut belakangan ditemani oleh empat individu harimau
Sumatera lainnya, dan mengepung mereka hingga saat mereka dievakuasi
lima hari kemudian.
Harimau Masuk Kampung, Atau Manusia Membongkar Hutan?
Taman Nasional Leuser sendiri adalah salah satu habitat utama harimau
Sumatera yang masih tersisa. Namun ekspansi pembangunan hingga ke dalam
kawasan hutan, terus menekan habitat satwa-satwa yang masih tersisa di
alam liar ini. Akibat tekanan ini, sejumlah satwa besar seringkali
dinilai memasuki wilayah manusia, dan bukan sebaliknya.
Pembangunan jalan tembus antarkabupaten dalam 10 tahun terakhir di
Aceh sendiri telah memutuskan sedikitnya enam koridor satwa di kawasan
hutan ekosistem Leuser dan ekosistem Ulu Masen. Ini merupakan dua
kawasan hutan penting di Sumatera, seluas 3,3 juta hektare. Ia juga
menjadi satu-satunya tempat masih ditemukan empat spesies satwa Sumatera
yang terancam punah: gajah Sumatera, harimau Sumatera, badak Sumatera
dan orangutan Sumatera. Kawasan ini juga menyimpan 4.500 spesies flora
dan fauna Indo Malaya, sebagian sangat langka.
Tak hanya di Aceh, peristiwa serupa juga terjadi di beberapa kawasan
lain di Sumatera. Akibat hilangnya habitat ini, satwa-satwa besar,
termasuk harimau Sumatera seringkali mejelajah wilayah yang dulu
merupakan wilayahnya. Pada bulan Mei 2012 silam seekor harimau Sumatera
masuk ke kawasan penduduk di desa Tanjung Petai, Kecamatan V Kuto,
Kabupaten Mukomuko, Bengkulu awal Mei 2012 silam. Peristiwa ini terjadi
setelah beberapa hari sebelumnya seorang penduduk desa juga dikejar
harimau, namun berhasil melarikan diri dan tidak mengalami luka fisik.
Sementara di akhir Mei 2012, seekor harimau Sumatra betina terjebak
jerat rusa di Desa Muara Hemat, Kecamatan Batang Merangin, Kabupaten
Kerinci, Jambi. Harimau dengan panjang 147 cm dan tinggi 58 cm ini
terjerat sling baja di sebuah semak belukar, di ladang desa tersebut.
Kondisi lokasi yang sangat padat semak belukar membuat tim evakuasi yang
bertugas mengalami kesulitan untuk segera melepaskan harimau tersebut
dari jerat.
Peristiwa lainnya terjadi pada akhir Februari 2013 silam, saat warga
desa Muaro Sebo dan Pemayung, Kabupaten Batanghari, Jambi tengah
diresahkan dengan munculnya harimau di desa mereka. Bahkan 28 Februari
2013 silam, seorang warga desa Muaro Sebo mengaku telah diserang
harimau.
Berbagai kasus ini terus bertambah seiring dengan semakin maraknya
laju hilangnya hutan yang menjadi habitat satwa-satwa besar di Sumatera.
Harimau Mahluk Yang Sensitif
Seorang Peneliti Indonesia di kampus Virginia Tech, Virginia, Amerika
Serikat bernama Sunarto bersama dengan mitranya merilis hasil
penelitian terkait harimau Sumatera. Penelitian yang berjudul “Threatened predator on the equator: Multi-point abundance estimates of the tiger Panthera tigris in central Sumatra” ini telah dimuat di jurnal ilmiah Oryx – The International Journal of Conservation
bulan April 2013 silam. Penelitian ini mengungkapkan tentang gangguan
yang dialami oleh Harimau Sumatera akibat kehadiran manusia yang
mengakibatkan rendahnya kepadatan populasi Harimau Sumatera di habitat
mereka.
“Harimau tak hanya terancam dengan hilangnya habitat akibat
deforestasi dan perburuan, namun mereka juga sangat sensitif terhadap
kehadiran manusia,” ungkap Sunarto. “Mereka bukan hanya tidak bisa
bertahan di wilayah-wilayah dengan daya dukung yang memadai, namun
mereka bahkan tidak bisa hidup di hutan yang memang sudah pas untuk
mereka, jika di dalamnya terlalu banyak terjadi aktivitas yang dilakukan
oleh manusia.”
Fenomena ini, tidak hanya terjadi di Indonesia. Sejumlah negara Asia
lainnya, juga menjadi arena konflik kepentingan antara harimau dan
manusia, yang umumnya dimenangkan oleh manusia.
Lebih dari 1400 Harimau Tewas di Asia
Sementara sebuah kompilasi laporan terkini yang dirilis oleh lembaga
yang melakukan monitoring dan pencegahan perdagangan satwa liar dunia,
TRAFFIC menyatakan setidaknya 1425 ekor harimau sudah ditangkap di Asia
dalam 13 tahun terakhir. Namun dari data di dalam laporan berjudul Reduced to Skin and Bones Revisited
yang meliputi 13 negara, Kamboja adalah yang terparah, tak ada data
jumlah penangkapan harimau yang tercatat selama periode tersebut.
Dalam anĂ¡lisis laporan ini terlihat jelas bahwa kendati
upaya perlawanan dan pencegahan terus dilakukan dalam perdagangan
bagian-bagian tubuh harimau, namun kondisi di lapangan membuktikan bahwa
hal ini tetap menjadi perhatian utama karena masih terus terjadi,
ungkap TRAFFIC. Sekitar 654 ekor harimau dibunuh dan bagian tubuhnya
diperjualbelikan, mulai dari kulit hingga tulang, lalu gigi, telapak
kaki dan tengkoraknya selama periode ini, atau sekitar 110 ekor harimau
mati diburu setiap tahun, dengan angka rata-rata dua ekor atau lebih
setiap minggunya.
Peristiwa yang terjadi di Aceh Tamiang, kembali mengingatkan, bahwa
manusia masih menjadi momok menakutkan bagi satwa-satwa besar yang
dilindungi. Serangan harimau Sumatera terhadap pencari gaharu, tak perlu
terjadi seandainya kita bijaksana dalam berperilaku di dalam hutan. Dan
jangan pernah lupa, manusia bukan mahluk tunggal penghuni Bumi ini.
Source : link
Source : link
0 komentar:
Posting Komentar