Rumah-rumah warga SAD di Pinang Tinggi yang digusur. Foto: Feri Irawan
Sebuah pagi pada 11 Desember 2013 sekira jam 10.00. Basron, 41 tahun sedang menyeduh kopi hitam buatannya. Baru hendak menyeruput, tiba-tiba rumahnya terasa bergoyang. Basron bergegas menengok ke luar. Ternyata, rumahnya sudah dikepung puluhan orang. Ada berpakaian preman, karyawan PT Asiatic Persada berkaos hijau-hijau, dan masing-masing dua orang anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) serta anggota Brigade Mobil (Brimob).
“Ada apa?” tanya Basron. Mereka menjawab, ”Kami dari Tim Terpadu.
Segera bereskan barang-barangmu. Semua rumah hari ini akan digusur”.
Basron buru-buru mengeluarkan barang-barangnya. Setelah beres. Dalam
tempo dua menit, rumah Basron dihancurkan dengan satu unit excavator.
Hujan mengguyur deras, Basron hanya termangu menyaksikan rumahnya yang
telah hancur.
“Cepat bersihkan puing-puing rumah ini. Jika tak dibersihkan, kami
datang lagi besok. Kami bakar semuanya,” kata Basron menirukan ancaman
mereka. Ternak kesayangan Basron juga dijarah. Dua ekor burung jalak,
dua ekor burung ketitiran, dan seekor ayam kate Australia seharga Rp 600
ribu dibawa pergi. “Mereka benar-benar tak manusiawi,” kata Basron
kepada Mongabay Indonesia mengeluh.
Menurut Basron, jumlah “tim terpadu” yang datang diperkirakan 700-an
orang. Mereka datang menggunakan puluhan mobil jenis Mitsubishi Strada
dan Strada Triton. Sambil membawa satu unit excavator, satu unit grader,
dan enam unit sonder.
Basron adalah salah satu dari Suku Anak Dalam (SAD) atau Suku Bathin
Sembilan yang lebih dikenal dengan nama Kelompok SAD 113. Rumah Basron
berada di Desa Pinang Tinggi, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari.
Hari itu, penggusuran dilakukan sejak jam 10.00 pagi sampai 16.30.
Menurut Basron, ada sekitar 109 rumah yang dihancurkan oleh “Tim
Terpadu”. Pada 7 dan 8 Desember 2013, ada 31 rumah di Desa Padang Salak
yang digusur. Sementara di Terawang sekitar 6 rumah hancur. Total selama
tiga hari, sekitar 146 rumah yang sudah digusur. Kabarnya pada 12 dan
13 Desember ini dijadwalkan 600 rumah di Tanah Menang juga hendak
digusur habis.
Aksi penggusuran dilakukan secara serentak dengan memecah menjadi
beberapa kelompok. Satu kelompok terdiri dari puluhan preman bayaran,
sekuriti, dan karyawan PT Asiatic Persada. Setiap orang dipersenjatai
kapak, parang, golok, clurit, samurai, dan gancu. Setiap kelompok
dikawal masing-masing dua orang anggota TNI dan Brimob yang lengkap
bersenjata api.
Leher Meldi, 25 tahun, bahkan sempat dikalungkan clurit. Gara-garanya
Meldi ketahuan memotret kejadian penggusuran itu. Telepon genggamnya
langsung dihancurkan. Begitu pula beberapa handphone milik warga lain.
“Jangan potret tindakan kami ini,” kata Meldi menirukan ucapan mereka.
Bahkan beberapa warga dilarang mengangkat telepon genggam ketika
berbunyi. Motor-motor milik warga juga jadi amukan mereka. Ada yang
dibelah dua bannya.
Nyaris tak ada dokumentasi kejadian penggusuran tersebut. Untungnya
Meldi masih sempat memotret kejadian itu menggunakan telepon genggamnya
satu lagi. Tampak dalam salah satu foto, seseorang sedang membawa barang
jarahan. Di belakangnya karyawan PT Asiatic Persada berkaos hijau-hijau
turun dari mobil.
Sebelum digusur, warung milik Simin, 75 tahun juga dijarah. Makanan,
minuman, dan rokok diambil sesuka hati tanpa membayar. “Celengan saya
berisi duit Rp 600 ribu juga dirampas mereka,” katanya kepada Mongabay Indonesia.
Barang-barang milik tetangga Simin yakni Jasmi, 55 tahun juga disapu
bersih. Helm, parang, sepatu, kampak, golong, pisau dapur, dodos, egrek,
senapan burung lenyap. “Burung kacer satu ekor, burung jalak dua ekor,
butung perkutut tiga ekor, termasuk seekor ayam kampung yang tengah
mengeram juga ikut dijarah,” kata Jasmi.
Rumah terakhir yang digusur adalah rumah Daim, 49 tahun. “Celengan
saya berisi Rp 6 juta mereka bongkar dan isinya diambil,” kata Daim
kepada Mongabay Indonesia sambil menunjukkan celengan yang sudah
rusak. “Solar dan minyak, mereka tumpahkan. Genset saja kalau sanggup
mereka angkat mungkin mereka ambil juga,” kata Daim.
Kelompok SAD 113 sejak tahun 1986 silam bersengketa lahan dengan PT
Asiatic Persada yang selalu berganti-ganti kepemilikan. Pada tahun 2006,
perusahaan ini dikuasai PT Wilmar International. Bahkan sudah nyaris
berujung pada kesepakatan dengan pola kemitraan.
Mediasi melalui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada
Juli 2012 menyatakan semua pihak yang terlibat, termasuk Badan
Pertanahan Nasional (BPN) RI setuju dilakukan pengukuran lahan seluas
3.550 hektare. Namun rekomendasi itu diabaikan PT Asiatic Persada. Kini,
persisnya sejak 9 Desember 2013, sekitar 150-an orang dari Kelompok SAD
113 kembali akan melakukan pertemuan dengan BPN RI.
Pada Mei 2013, Pemerintah Provinsi Jambi mengeluarkan surat kepada PT
Asiatic Persada untuk mengembalikan lahan tersebut namun juga
diacuhkan. Pada 25 Oktober 2013, pemerintah daerah pun menerbitkan surat
rekomendasi pembatalan izin atas Hak Guna Usaha karena mengabaikan
instruksi Gubernur Jambi, setelah adanya peringatan berkali-kali.
Hingga akhirnya April 2013 dikabarkan PT Asiatic Persada kembali
dijual kepada PT Agro Mandiri Semesta (AMS) di bawah kendali Ganda
Group. Kelompok bisnis itu dimiliki oleh Ganda Sitorus – masih saudara
dekat Martua Sitorus, salah satu pemilik Wilmar International.
Penyelesaian Konflik Mendadak Lewat Lembaga Adat
Karena bingung dan tak punya tempat tinggal lagi, sekitar 60 orang
perwakilan warga Kelompok SAD 113 pada 12 Desember 2013 sekitar jam
12.00 siang sempat membikin tenda di depan Rumah Dinas Gubernur Provinsi
Jambi. Massa berniat mengadukan tindakan penggusuran tersebut.
Sayangnya tak satupun perwakilan Pemerintah Provinsi Jambi yang menerima
mereka.
Sorenya, massa bergerak menuju Pendopo Kantor Gubernur. Mereka
berdialog dengan Kapolres Batanghari, AKBP Robert A. Sormin dan
Sekretaris Lembaga Adat Batanghari, Khuswaini. Sormin meminta agar
penyelesaian itu diselesaikan di Lembaga Adat Batanghari pada 13
Desember 2013. “Datuk-datuk percayolah dengan kami. Kami akan berjuang
semaksimal mungkin,” katanya merayu.
Sormin maupun Khuswaini sama sekali mengalihkan pembicaraan setiap
kali massa menyinggung soal penggusuran. Bahkan Sormin sampai datang
kembali dan membujuk massa agar meninggalkan pendopo. Sebagian bersedia
pulang namun sebagian lagi masih menginap di pendopo tersebut.
Tim Terpadu Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Wilayah Kabupaten
Batanghari dibentuk pada 26 April 2013 lewat Keputusan Bupati Batanghari
Nomor 404 Tahun 2013. Bupati Batanghari duduk sebagai ketua tim dan
Kapolres Batanghari sebagai Wakil Ketua I. Anehnya Lembaga Adat berada
pada posisi nomor 40 sebagai anggota tim mendadak menjadi penentu
penyelesaian konflik ini.
Sekretaris Lembaga Adat Batanghari Khuswaini mengatakan, konflik itu
hanya bisa diselesaikan secara adat. Perusahaan baru saja menyerahkan
lahan seluas 2.000 hektare kepada Pemerintah Kabupaten Batanghari. Dalam
sepekan ini Lembaga Adat akan memverifikasi siapa saja yang berhak
menerima lahan tersebut. Namun Khuswaini tak merinci apa saja indikator
verifikasi. Soal tindakan penggusuran, Khuswaini mengaku tak tahu sama
sekali. “Kami baru dapat laporan soal itu hari ini. Soal benar-tidaknya
saya belum tahu,” katanya kepada Mongabay Indonesia.
Sormin membantah bahwa pihaknya ikut melakukan penggusuran tersebut.
“Kalau pada 7 Desember 2013 betul kita melakukan penertiban yang
berujung pada aksi balasan pembakaran. Kalau aksi penggusuran di Pinang
Tinggi, wah kami tidak tahu itu. Kita juga kaget dapat kabar ini,”
katanya kepada Mongabay-Indonesia.
Menurut Sormin, Tim Terpadu itu tujuannya mencari solusi. “Apalagi
kalau kami disebut menjarah. Tidak ada itu. Mohon jangan dibilang
menjarah. Tindakan penggusuran itu murni dilakukan perusahaan. Kami
tidak ikut serta. Sambil menunggu penyelesaian, kami akan meminta
perusahaan untuk sementara menghentikan tindakannya,” ujarnya.
Juru bicara Kelompok SAD 113, Idris, mengatakan bahwa pertemuan itu
terkesan mendorong mereka pada satu opsi yaitu penyelesaian konflik di
Lembaga Adat. “Kami akan ikuti itu tapi soal solusi entah itu kemitraan
atau apapun polanya, nanti dulu. Sekarang kami minta ganti rugi
rumah-rumah kami yang digusur. Mana tanggung jawab mereka,” katanya
kepada Mongabay Indonesia.
Dua anak Basron tengah berada di Jakarta. “Begitu mereka pulang,
mereka pasti bingung, rumah kami tak ada lagi. Saya juga bingung
bagaimana memberi tahu mereka bahwa ayam kesayangan mereka dijarah,”
kata Basron dengan pandangan berkaca-kaca.
Source : link
Source : link
0 komentar:
Posting Komentar