Parit gajah sedalam 4 hingga 6 meter yang dibuat PT Asiatic Persada untuk menutup akses warga Bathin Sembilan. Foto dok. Yayasan CAPPA
Ratusan personil Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Brigade Mobil (Brimob) Polri mengawal penggusuran yang dilakukan PT Asiatic Persada, anak perusahaan dari Wilmar Group terhadap warga Suku Bathin Sembilan atau yang dikenal dengan Kelompok Suku Anak Dalam (SAD) 113 di Padang Salak, Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Batanghari, pada 7 Desember 2013 lalu.
Norman, 55 tahun, warga Desa Pinang Tinggi berdasarkan keterangan
saksi mata, Muktar menceritakan bahwa aparat keamanan itu mengawal di
barisan belakang. Di barisan depan adalah para preman bayaran
perusahaan, anggota sekuriti, dan pengawas kebun.
Proses penggusuran dimulai sekitar pukul 16.00 WIB. Saat itu sebagian
besar warga sedang beraktivitas di ladang. Namun, tiba-tiba datang
1.500-an pasukan gabungan menyerang dan merusak rumah petani menggunakan
eskavator dan senjata tajam seperti parang. “Hari itu merusak rumah
Budi dan Peheng. Esok harinya (8 Desember 2013), mereka kembali datang
dan merusak sekitar 50 rumah warga,” ujar Norman kepada Mongabay-Indonesia lewat telepon seluler pada 9 Desember 2013 lalu.
Sekitar 70-an warga yang mencoba melakukan perlawanan berlarian
ketakutan. TNI dan Brimob melepaskan tembakan berkali-kali. Sejumlah
sekuriti dan preman bayaran PT Asiatic Persada mengumbar senjata tajam
serta membacok warga. Akibatnya salah seorang warga bernama Angga
mengalami luka serius di bagian tangan.
Para perempuan juga sempat diseret paksa meninggalkan lokasi.
Beberapa kendaraan roda dua milik warga juga dirusak. Bahkan, celengan
berisi sejumlah uang serta perhiasan dirampas paksa pasukan gabungan
tersebut.Pada 8 Desember 2013 sekira jam 16.00, warga Bathin Sembilan
melakukan aksi balasan dengan membakar pos penjagaan serta gudang
perusahaan di Padang Salak. Akibatnya dua orang warga bernama Budi dan
Angga sejak 8 Desember 2013 itu ditangkap Polres Batanghari. “Sementara
tokoh-tokoh masyarakat seperti Mawardy Pusten dan Abbas sedang diincar
pihak kepolisian untuk ditangkap,” kata Norman.
HGU PT Asiatic Direkomendasikan Pemprov Dicabut
Belum lama ini, Pemerintah Provinsi Jambi sudah merekomendasikan
kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mencabut izin Hak Guna
Usaha (HGU) Asiatic Persada. Toh, PT Asiatic tak bergeming.
Pada 10 Desember 2013 ini sebenarnya sudah dijadwalkan gelar perkara
di BPN Pusat. Sejak kemarin, sudah 150 orang suku Bathin Sembilan yang
berangkat ke Jakarta. “Praktis gara-gara penggusuran ini warga dari
Padang Salak tak ada yang berangkat. Sampai sekarang mereka kocar-kacir
dan tak tahu ke mana bersembunyi karena ketakutan,” ujar Norman.
Konflik lahan HGU PT Asiatic Persada ini sudah berlarut-larut sejak
tahun 1986 silam. HGU PT Asiatic Persada sebenarnya hanya 20.000
hektare. Namun dengan hanya bermodal izin lokasi dengan Legalitas
gabungan/2272/2000 tanggal 16 Desember 2000 mendapat izin tambahan
seluas 7.252 hektar yang masing-masing dikelola anak perusahaannya: PT
Jammer Tulen seluas 3.871 hektare dan PT Maju Perkasa Sawit seluas 3.381
hektare.
Izin lokasi ini mestinya sudah berakhir pada tahun 2005, namun baru
3.000 hektare yang ditanami PT Asiatic sejak tahun 2006. Nah,
rekomendasi Pemerintah Provinsi berbunyi bahwa perusahaan harus melepas
1.000 hektare dari 7.000 hektare itu baru izinnya bisa diperbaharui.
Berdasarkan kesepakatan pada 2003 seperti yang dituangkan dalam peta
kelas lereng dan lokasi sampel analisis amdal PT Asiatic sebenarnya
sudah disepakati bahwa areal 1.000 hektare yang akan diserahkan kepada
warga Bathin Sembilan itu berada di dua lokasi: 400 hektare untuk
masyarakat Pompa Air, dan Bungku. Kemudian 600 hektar untuk warga
Markanding, Tanjung Lebar, Sei Beruang, Panerokan, dan Pinang Tinggi.
Belakangan kesepakatan itu berubah dan dituangkan dalam Perjanjian
Kerjasama yang dituangkan pada 24 Juni 2010 lalu menyatakan bahwa PT
Asiatic siap menyerahkan lahan seluas 1.000 hektare kepada warga Bathin
Sembilan dengan pola kemitraan. Yang meneken perjanjian ini adalah
Presiden Direktur PT Asiatic Persada, Goh Ing Sing serta Ketua Koperasi
Sanak Mandiri, Hendriyanto beserta Sekretaris Koperasi, Muhammad Adam.Perjanjian Kerjasama ini justru menyebutkan bahwa lokasi 1.000
hektare itu berada dalam satu lokasi, yaitu di areal PT Jammer Tulen dan
PT Maju Perkasa Sawit itu. “Dugaan kami lokasi penyerahan ini disengaja
dipindah agar izin kedua perusahaan itu diperbaharui sehingga menjadi
permanen. Tidak lagi sebatas izin lokasi,” kata Menurut Direktur SETARA,
Rukaiyah Rofiq kepada Mongabay Indonesia, pada 9 Desember 2013. SETARA
adalah salah satu lembaga yang ikut mendampingi suku Bathin Sembilan
selama lima tahun terakhir.
Pendekatan Konvensional
Menurut Direktur SETARA, Rukaiyah Rofiq bahwa aksi penggusuran dan
pembakaran ini adalah antiklimaks dari berlarut-larutnya penyelesaian
konflik ini selama puluhan tahun. Pendekatan yang dilakukan pemerintah
masih dengan cara-cara konvensional, yaitu dengan hanya memberikan satu
opsi penyelesaian yaitu pola kemitraan.
“Masyarakat itu mau menerima proses penyelesaian dengan skema apapun.
Yang penting masyarakat masih bisa mendiami lahan mereka. Kalau lahan
mereka dikelola habis oleh pihak perusahaan, lantas mereka mau tinggal
di mana?” kata Rukaiyah.
Deputi Direktur SETARA, Rian Hidayat mengatakan penyelesaian konflik
itu bukan dengan cara-cara kekerasan, pengancaman, atau opsi tunggal.
Pemerintah tak bisa menyelesaikan konflik dengan opsi tunggal yang
menurut mereka benar, tanpa memberikan opsi alternatif lain. “Memang ada
masyarakat yang menerima opsi itu tapi juga jangan mengabaikan
masyarakat yang menolak opsi tersebut,” kata Rian.
Lagipula, kata Rukaiyah, dirinya tak habis pikir kenapa Pemerintah
Provinsi Jambi maupun Pemerintah Kabupaten Batanghari masih memberi
angin kepada PT Asiatic yang jelas-jelas melanggar hukum. “Izin mereka
itu kan sudah habis pada tahun 2005, tapi kenapa pemerintah masih
berupaya bernegoisasi dan menawarkan pola kemitraan kepada perusahaan
bermasalah macam begitu,” ujar Rukaiyah.
Source : link
Source : link
0 komentar:
Posting Komentar