Keragaman hayati di kawasan tropis sangat luar biasa. Namun kemunculan sub-spesies ternyata lebih tinggi di kawasan yang lebih dingin. Foto: Rhett Butler
Sebuah studi yang dilakukan terhadap 2300 spesies mamalia dan nyaris 6700 spesies burung dari seluruh penjuru dunia kini mampu menjelaskan fenomena mengapa lebih banyak spesies vegetasi dan satwa di kawasan tropis dibandingkan di kawasan yang lebih tinggi. Dalam penelitian yang didukung oleh National Evolutionary Synthesis Center di North Carolina, Amerika Serikat para peneliti menemukan bahwa pada saat kawasan tropis memberikan keragaman spesies, namun sejumlah sub-spesies lebih banyak jumlahnya di wilayah yang lebih ‘keras’ yang menjadi tipikal wilayah di kawasan tinggi.
Hasil yang mengejutkan ini menyatakan bahwa keragaman hayati di ketinggian kemungkinan terkait dengan turnover
(pergantian) spesies yang lebih tinggi di kawasan kutub dibandingkan
wilayah-wilayah di dekat khatulistiwa, ungkap para peneliti.
Mungkin para pakar sudah lama memahami bahwa keragaman hayati semakin
meningkat di wilayah yang semakin mendekati garis khatulistiwa.
Misalnya hutan hujan tropis, yang menjadi rumah bagi duapertiga spesies
di seluruh dunia, dan sangat kaya akan berbagai jenis serangga, burung
dan primata. Dibandingkan dengan wilayah tundra, dimana hanya beberapa
jenis vegetasi yang mampu bertahan hidup, serta segelintir mamalia yang
bisa tinggal di dalamnya.
Sejumlah hipotesa sudah dikembangkan untuk menjelaskan hal ini. Salah
satu penjelasan mengapa kawasan tropis memiliki keragaman hayati lebih
tinggi karena mereka memiliki tanah yang subur untuk pembentukan spesies
baru, atau terkenal dengan sebutan “cradle of diversity”. Penjelasan
lainnya adalah titik-titik keragaman hayati kecil kemungkinan untuk
kehilangan spesies yang sudah tinggal di dalamnya.
“Masih banyak kontroversi terkait penjelasan pola keragaman hayati
global hingga kini,” ungkap penulis utama penelitian ini, Carlos Botero
dari North Carolina University.
Dalam penelitian yang diterbitkan 22 November 2013 silam di jurnal ilmiah Molecular Ecology,
Botero dan rekan-rekannya mengumpulkan dan mempelajari sejumlah data
ikim dan cuaca di seluruh dunia, dan menggabungkannya dengan data-data
genetika dari sekitar 50% mamalia dan 70% spesies burung yang hidup saat
ini.
Hasil kajian tim ini mengejutkan, karena mereka menemukan bahwa
kendati jumlah spesies burung dan mamalia semakin banyak di kawasan yang
semakin dekat khatulistiwa, namun jumlah kelompok-kelompok khusus yang
berbeda secara genetika di tiap spesies -atau dikenal dengan
sub-spesies- jumlahnya lebih besar di lingkungan yang lebih tidak ramah
seperti di wilayah-wilayah yang lebih dingin.
“Ini adalah kawasan yang lebih dingin dan lebih kering, dan perbedaan
suhu antara musim dingin dan musim panas sangat ekstrem,” jelas Botero.
Satwa di lingkungan seperti ini memiliki kecenderungan untuk membeku
di musim dingin atau mati saat musim panas. “Jika cuaca ekstrem
menghilangkan sejumlah spesies sejak dulu, namun kenyataannya tidak,
populasi yang mampu bertahan akan terpisah secara geografis dan mampu
hidup terpisah dari satu sama lain,” jelas Botero lebih lanjut.
Hasil penelitian ini konsisten dengan kajian tahun 2007 silam yang
dilakukan oleh sejumlah pakar dari University of British Columbia,
dimana spesies lebih cepat muncul di kawasan yang bersuhu dingin
dibandingkan di kawasan tropis. “Mungkin karena spesies lebih sering
berpindah di kawasan yang bersuhu dingin,” pungkas Botero.
CITATION: Botero, C., et al. (2013). “Environmental harshness
is positively correlated with intraspecific divergence in mammals and
birds.” Molecular Ecology.
Source : link
Source : link
0 komentar:
Posting Komentar