Hutan Senggan, terletak di lereng Gunung Lompobattang, tepatnya Dusun Borong Rappoa, Kecamatan Kindang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan (Sulsel), mengalami kerusakan cukup parah.
Sebuah ekspedisi singkat oleh Komunitas Peta Buta (Kompat), terdiri
dari alumni dan mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin
Makassar, menemukan ada indikasi pembalakan liar massif di kawasan hutan
lindung ini.
Mereka melihat banyak sisa-sisa penebangan dan titik-titik longsor.
Keragaman hayati juga terganggu dengan hilangnya sejumlah tanaman dan
satwa yang dilaporkan menjadi spesies endemik di kawasan seluas 127
kilometer atau 11 persen dari Kabupaten Bulukumba ini.
Kepada Mongabay, Muhammad Fadil Koordinator Kompat,
menceritakan temuan mereka di lapangan. Ekspedisi pada 28 Juli – 1
Agustus 2013 ini berawal dari keingintahuan mereka akan informasi
tentang kawasan hutan Lenggan. Hutan ini kaya keragaman hayati dan masih
banyak didiami satwa dan tanaman langka khas Sulawesi, seperti anoa,
babi rusa, monyet menggonggng, berbagai jenis burung sampai anggrek dan
lain-lain.
Di kawasan Senggan ini diyakini dulu menjadi tempat para bangsawan
Bugis-Makassar mencari kayu hitam (tambara le’leng), kayu bambang, tubi
dan berbagai tanaman lain. Selain untuk keperluan pembangunan rumah juga
bahan obat-obatan.
Tim Kompat berangkat dari Makassar ke Bulukumba, di Kecamatan
Kondang, berjarak sekitar 180 km dari Makassar. Setelah sampai di
Kampung Katimbang–tepian hutan, karena jalan rusak dan berlubang, mereka
melanjutkan perjalanan berjalan kaki sejauh lima km.
Setelah dua hari tim menjelajah hutan, tak banyak informasi
didapatkan. Di dalam hutan ini, bukan menemukan rerimbunan pohon lebat
dan tertutup dari cahaya matahari, justru banyak lahan tandus. Baik itu
padang belukar terbuka lebar, juga lahan-lahan bekas kebun kopi tak
terurus. Banyak pohon tumbang dan tercerabut. Di beberapa titik bahkan
banyak kawasan rusak parah akibat longsor.
“Berdasarkan pengamatan bisa diperkirakan daerah yang longsor itu
hampir gundul dan tidak memiliki penyangga hingga rentan terhadap
bencana alam.”
Lebih sedih lagi, dalam ekspedisi ini mereka tak menemukan satu
satwapun. Bahkan suara burung pun tak terdengar. Satu-satunya hal
penting yang didapatkan adalah anggrek tanah, berwarna coklat pada
kelopak dan putih bercampur ungu pada mahkota setinggi 175 cm. Cukup
besar untuk ukuran anggrek tanah. Anggrek ini, kata Fadil, cukup langka
dan sulit ditemukan di tempat lain.
Daeng Ra’ali, warga desa di dekat hutan, ditemui tim. Dia
menceritakan, satwa seperti anoa, monyet menggonggong, babi rusa, dulu
bisa ditemui di hutan itu. Namun sekarang jumlahnya sangat berkurang,
bahkan hampir tak pernah terlihat lagi dalam beberapa tahun terakhir.
Dari Daeng Ra’ali ini pula diketahui sejarah kampung dan penamaan. Diceritakan pada zaman Belanda, ada seorang awalli
(orang hebat) bernama Tu Baduhe bersembunyi di hutan menghindari
kejaran tentara Belanda. Tu Buduhe memerintahkan salah seorang
kepercayaan, bernama Turumpe, membuka lahan di hutan itu, sebagai
tempat pemukiman dan bercocok tanaman.
Turumpe sebagai pelopor pembukaan pemukiman suatu hari hari harus
pindah ke tempat lain. Warga bertanya, dengan nama apa mereka harus
menyebut kampung itu. Turumpe menjawab ringkas ‘Senggan’, dalam bahasa Indonesia tempat persinggahan.
Di hutan ini pula pernah menjadi tempat persembunyian DI/TII Kahar
Muzakkar dan pasukan. Tak mengherankan di kawasan itu banyak ditemukan
situs-situs dan kuburan-kuburan tua tak terurus. Daeng Ra’ali, mengaku
salah seorang pengikut Kahar Muzakkar yang memutuskan menetap di kawasan
itu.
Sayangnya keberadaan sejumlah situs dan kuburan tua di daerah itu
terganggu penjarahan makam, oleh orang-orang pencari kesaktian. Para
penjarah ini biasa mengincar badik dan keris yang biasa dikubur bersama
pemilik. “Beberapa kuburan tua yang sebenarnya sudah disembunyikan rapat
tetap bisa ditemukan. Mereka tidak hanya mengambil benda pusaka, juga
merusak kuburan-kuburan itu,” ucap Fadil menirukan penjelasan Daeng
Ra’ali.
Menurut Fadil, dari hasil ekpedisi ini bisa terlihat ancaman bagi
hutan Senggan. Keadaan ini terjadi karena pengawasan pemerintah minim.
“Pembalak liar bebas beraktivitas.”
0 komentar:
Posting Komentar