Tim tengah mengebor untuk mengambil sampel tanah gambut pada daerah hutan mangrove. Kabupaten Asmat yang berawa potensi menyimpan banyak karbon. Sisi lain, penggunaan kayu besi sangat besar untuk membuat jalan sampai jembatan. Ia bisa berbahaya jika pemanfaatan kayu tidak dikelola dengan baik dan lestari. Foto: Taryono
Tak ada jalan aspal di Kabupaten Asmat. Kota Agats, ibukota kabupaten ini, dibangun di atas jembatan kayu besi panjang. Begitu juga kampung-kampung.
Setelah 11 tahun pemekaran wilayah Kabupaten Asmat, Papua, para
pengukir Asmat mulai merasakan kesulitan mencari kayu besi (merbau).
Penyebabnya, penggunaan kayu besi besar-besar untuk beragam aktivitas
pembangunan di daerah ini. “Ini sangat mengkawatirkan kami, pengukir
Asmat. Kini, kami harus jauh masuk ke hutan untuk mendapatkan kayu besi
yang baik,” kata Ketua Asosiasi pengukir Asmat, Paskalis Wakat, awal
Agustus 2013.
Kesulitan kayu besi terjadi setelah program rencana strategis
pembangunan kampung (respek) berjalan lima tahun. Kini, program berganti
nama menjadi program strategi pembangunan kampung (prospek). Tiap desa
mendapatkan dana Rp100 juta.
Penggunaan kayu besi di mana-mana. Tak ada jalan aspal di kabupaten
ini. Kota Agats, ibukota kabupaten ini, dibangun di atas jembatan kayu
besi panjang. Begitu juga kampung-kampung.
Kabupaten Asmat, memiliki ekosistem lahan basah, berawa. Dulu, pergi
dari rumah satu ke rumah lain, warga harus menggunakan perahu. Kini,
bisa berjalan kaki. “Ada banyak jembatan kayu besi dibangun di tiap
kampung. Warga menjual kayu besi dengan harga murah untuk pembangunan,”
kata Paskalis.
Untuk jembatan kampung, warga menjual kayu besi seharga Rp70 ribu per
pohon. Dengan ukuran kayu sama, warga bisa membuat 10–15 ukiran Asmat
seharga Rp500 ribu-Rp1 juta per buah. Sedang, harga kayu besi per pohon
ke sawmill Rp100 ribu.
“Untuk mengukir perlu tenaga dan pikiran dan menjual ukiran perlu
waktu. Warga tergiur uang cepat memilih menjual kayu log kepada program
respek atau ke perusahaan sawmill milik pengusaha dibanding mengukir,”
katanya.
Paskalis mengatakan, para pengukir pun membentuk asosiasi untuk
mengatur mekanisme penggunaan kayu. Sebagai salah satu kabupaten yang
memiliki hutan terluas di Papua, sekitar 2,43 juta hektar, dia berharap
belum terlambat untuk mengelola hutan dengan lebih bijaksana.
Asosiasi ini dibentuk Februari 2013 di Agats. Di fasilitasi WWF,
asosiasi ini dibentuk membawa misi mempertahankan pengukir Asmat sejati.
“Kami menyadari, kami membutuhkan pembangunan. Di dalam asosiasi
pengukir ini bisa belajar bersama mengelola hutan dengan baik agar
pembangunan jalan, hutan tetap terjaga.”
Dengan dampingan WWF, masyarakat kampung di Kabupaten Asmat ini
belajar mengelola hutan, menjadi fasilitator kampanye perilaku,
memetakan lahan, membuat peta tanah adat, menghitung karbon hutan
hingga merestorasi pantai dan lahan kritis.
Benja Mambay, WWF Regional Papua mengatakan, Kabupaten Asmat adalah
pesisir pantai. Ia merupakan muara sungai-sungai besar di Papua. Jika
terjadi salah urus, seperti di Sungai Baliem (Kabupaten Jayawijaya dan
Yahukimo), Asmat pasti menjadi sasaran. “Buang sampah di Wamena, keluar
di Agats. Perlu komitmen bersama mengelola lingkungan dengan baik,” ujar
dia.
Asmat memiliki keragaman hayati sangat tinggi, salah satu, habitat
kura-kura moncong babi. Menurut Benja, keterancaman kawasan ini datang
dari alih fungsi hutan karena status hutan produksi (HP), hutan produksi
konversi (HPK) dan hutan produksi terbatas (HPT).
Dengan ekosistem basah, Asmat menyimpan cadangan karbon cukup
terbesar jika dibandingkan jenis hutan lain. “Untuk itu, kami mendorong
isu lingkungan masuk dalam kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah di
sini. Ketika tumbuh, anak-anak aware dengan isu-isu lingkungan.”
Source : link
Source : link
0 komentar:
Posting Komentar