skip to main | skip to sidebar

Silva Dream

Konsep Bumi Kita

  • Home
  • Gallery
  • Contact me
  • About Me

Minggu, 25 Agustus 2013

Temuan Jerat Harimau di Kerinci Seblat Naik 600%

Diposting oleh Maysatria Label: Konservasi, News
Pondok-pondok para pemburu yang dibakar sebelum tim masuk. Foto: Lili Rambe

Pondok-pondok para pemburu yang dibakar sebelum tim masuk. Foto: Lili Rambe

Operasi sapu jerat oleh Tiger protection & Conservation Unit (TPCU) Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) berhasil menemukan dan membongkar 40 jerat harimau aktif,  sebanyak 23 di dalam dan 17 jerat di luar kawasan. Jika dibandingkan tahun lalu, sampai Juli 2013, terjadi kenaikan hingga 600 persen!
“Tahun 2012, operasi hanya menemukan enam jerat harimau aktif. Pada operasi Juni-Juli 2013 ini juga menemukan 29 titik jerat harimau tidak aktif, semua di luar TNKS,” kata Dian Risdianto, Kepala Seksi Pengelolaan TNKS wilayah II di Jambi, Agustus 2013.
Dian mengatakan, peningkatan jerat ini erat dengan tingginya permintaan harimau Sumatera, dan bagian-bagian tubuh di pasar gelap dalam negeri ataupun internasional. Perburuan satwa pun meningkat.
Tim operasi telah menemukan dan membongkar 564 jerat satwa mangsa. Pada 2012,  tim operasi sapu jagat menemukan 102 jerat, dan tahun 2011 sebanyak 119 jerat. Hasil operasi sapu jerat ini menunjukkan terjadi peningkatan temuan jerat satwa mangsa harimau (rusa, kijang, kambing hutan, dan babi hutan) sekitar 50 persen.
Peningkatan jerat ini,  juga menunjukkan pola perburuan harimau berubah. “Biasa pemburu hanya memasang jerat satu sampai lima dalam satu areal perburuan, saat ini memasang 5-10 jerat,” ucap Dian.
Keadaan ini, mengindikasikan para pemasang jerat ini profesional dan memiliki modal untuk mendanai perburuan dengan menyediakan tali kawat baja sekaligus menampung hasil buruan. Rata-rata harga tali kawat baja untuk membuat satu jerat sekitar Rp300 ribu. Jadi, untuk membuat 10 jerat harimau memerlukan sekitar Rp3 juta di luar kebutuhan logistik pemburu selama memasang dan memonitor jerat di dalam hutan.
Jerat harimau birun. Foto: Lili Rambe
Jerat harimau birun. Foto: Lili Rambe
Sampai saat ini, TPCU TNKS masih memproses penyelidikan para pelaku perburuan. Ketika tim sapu jerat memasuki areal pemasangan jerat hanya menemukan pondok–pondok kosong. Pemburu segera memusnahkan pondok–pondok itu.
Tim memperkirakan, mereka mengetahui kedatangan tim operasi sapu jerat karena selalu memonitor berkala. Hingga mereka bisa menghindar atau melarikan diri saat tim masuk areal perburuan.
Sebelum operasi sapu jerat, tim TPCU TNKS telah mengadakan patroli rimba pencegahan perburuan harimau rutin. Pada periode Januari hingga Mei 2013,  tim patroli berhasil menemukan dan membongkar 37 jerat harimau. Tujuh jerat di dalam kawasan, sisanya di luar TNKS).
Harimau Sumatera, satu – satunya sub spesies di Indonesia yang masih tersisa. Pada 1992, populasi harimau Sumatera,  diperkirakan tersisa 400 di lima taman nasional Gunung Leuser, Kerinci Seblat, Way Kambas, Berbak dan Bukit Barisan Selatan dan dua suaka Margasatwa Kerumutan dan Rimbang. Sekitar 100 harimau berada di luar tujuh kawasan konservasi. Di kawasan TNKS, populasi harimau saat ini diperkirakan sekitar 160-an individu.
 Tim menemukan jerat harimau kala operasi di TN Kerinci Seblat. Foto: Lili Rambe

Tim menemukan jerat harimau kala operasi di TN Kerinci Seblat. Foto: Lili Rambe
Tim mengidentifikasi lokasi jerat harimau. Foto: Lili Rambe
Tim mengidentifikasi lokasi jerat harimau. Foto: Lili Rambe

Source : link
0 komentar

Selasa, 20 Agustus 2013

Potret Keterancaman Si Pongo di Hari Orangutan Sedunia

Diposting oleh Maysatria Label: Konservasi, News
Salah satu aksi memperingati Hari Orangutan Sedunia, pada 19 Agustus 2013 di berbagai penjuru dunia. Foto dari Facebook World Orangutan Day


Salah satu aksi memperingati Hari Orangutan Sedunia, pada 19 Agustus 2013 di berbagai penjuru dunia. Foto dari Facebook World Orangutan Day

“
Love orangutan. Save orangutan. Lets do it together.” Begitu tulis Lucinda Aprilia, dari Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar), kala memposting foto di akun Facebook World Orangutan Day. Kalbar, adalah salah satu ‘rumah’ orangutan Kalimantan.
Tak hanya Lucinda. Orang-orang dari berbagai penjuru dunia mengirimkan kreasi mereka sebagai wujud kecintaan pada orangutan.  “We Love Orangutan.” “I Love Orangutan.” Begitu kata-kata dalam foto-foto yang mereka posting. Ada juga yang membuat puisi, melukis, sampai menulis surat tentang orangutan. Bermacam ragam ekspresi ada di sana.  Ekspresi cinta dan kekhawatiran akan keterancaman satwa langka ini.
Penelitian terbaru dipimpin Brent Loken dari Simon Fraser University dan Dr. Stephanie Spehar dari University of Wisconsin Oshkosh ke hutan Wehea di Muara Wahau, Kutai Timur, Kalimantan Timur, menemukan perilaku baru orangutan. Spesies yang dikenal jago bergelantungan di dahan ini kini makin banyak menghabiskan waktu di tanah.
Mengapa? Penyebab perubahan masih misteri. Namun, dugaan kuat karena penyesuaian terhadap perubahan habitat. Hutan, sebagai rumah mereka makin habis terbabat.
Menurut Shepar, kendati melihat orangutan bisa fleksibel dalam perilaku mereka dibanding yang diperkirakan, tetapi mereka masih membutuhkan hutan untuk bertahan hidup. “Di hutan tanaman industri sekalipun, mereka masih bergantung pada hutan alami untuk sumber pangan mereka dan bersarang.”
Penelitian ini menunjukkan, bagaimanapun orangutan bergantung pada hutan. Sayangnya, ekspansi besar-besaran hutan untuk perkebunan, baik kebun sawit, sampai kayu hingga pertambangan, menyebabkan satwa dilindungi ini makin terdesak. Aksi nyata penyelamatan orangutan harus terus digerakkan. Tak berlebihan, diawali 2013 ini, setiap 19 Agustus digagas menjadi Hari Orangutan Sedunia.
Robert Hii, salah satu penggagas Hari Orangutan Sedunia mengatakan, kegiatan ini untuk memperingati orangutan yang bertahan di alam bebas di tengah ancaman kerusakan lingkungan. “Acara ini juga sebagai wujud apresiasi  kepada orang-orang yang bekerja melindungi orangutan,”katanya. Indonesia, ujar dia, harus berbangga, sebagai salah satu dari dua negara di dunia yang memiliki orangutan.
Pada hari ini, Mongabay, mengetengahkan beberapa kasus miris orangutan di berbagai daerah, terutama Kalimantan dan Sumatera. Mereka ada yang dievakuasi dari perkebunan sawit, sampai ditangkap dan dipelihara warga.
Kondisi orangutan yang diselamatkan dalam keadaan sekarang, ketika masih hidup. Tak lama ia tewas. Foto: OIC
Pada Kamis, 27 Juni 2013, orangutan betina dewasa baru dijemput tim kerjasama BKSDA Aceh, SOCP, YOSL-OIC tewas dalam perjalanan ke pusat karantina orangutan SOCP di Sibolangit, Sumatra Utara. Ia tewas saat hendak dirawat pasca mengalami pukulan dan luka saat ditangkap masyarakat di Desa Panton Luas, Kecamatan Sawang, Aceh Selatan.
Taman wisata yang memajang satwa langka pun ancaman bagi orangutan. Jack, orangutan jantan yang tewas karena pemeliharaan tak layak, salah satu contoh.  Jack, tak tertolong. Meskipun para dokter hewan di Pusat Karantina Orangutan Sibolangit Sumatera Utara (Sumut) berupaya intensif, Jack tak kuat melawan penyakit setelah 10 hari dirawat.
Pada pagi buta di 6 Mei 2013, Jack pergi selamanya. Orangutan Sumatera (Pongo abelii) jantan berumur empat tahun ini disita dari Taman Rusa, tempat  rekreasi di pinggiran Kota Banda Aceh 24 April 2013. Saat itu, kondisi Jack sudah parah.
Pada April 2013, video dirilis Environmental Investigation Agency di situs Vimeo memperlihatkan sekawanan orangutan kelaparan berhasil diselamatkan dari perkebunan sawit oleh tim International Animal Rescue (IAR) di Kalimantan Barat. Habitat mereka habis akibat dibuldoser salah satu anggota Rooundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) bernama Bumitama Gunajaya Agro.
Pemusnahan hutan ini sekaligus membuktikan perusahaan melanggar kesepakatan yang tertera dalam aturan RSPO untuk tidak membuka perkebunan sawit di hutan alami, . habitat orangutan.
Masih dalam April 2013, orangutan jantan berusia sekitar dua tahun, diselamatkan tim penyelamat Orangutan Information Centre (OIC) dari ‘pemilik’ yang mengaku menemukan di lahan pertanian di kaki Taman Nasional Gunung Leuser, sebulan silam.
Orangutan jantan bernama Kedaung ini disimpan di sebuah karung sebelum diselamatkan tim OIC bersama BKSDA setempat dan staf Taman Nasional Gunung Leuser. Ia mengalami luka karena serangan anjing, sebelum disimpan penduduk setempat, lalu ditaruh di dapur rumah sang pemilik.
Pada Februari 2013, Tim Program Konservasi Orangutan Sumatera(Orangutan Conservation Programme/SOCP) menyita satu bayi orangutan. Ia ditangkap di kebun sawit Rawa Tripa, dari seorang mantri di Afdeling II, perkebunan PT. Socfindo, Desa Sidojadi, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Aceh, Selasa(19/2/13).
Si bayi orangutan diberi nama Gokong Puntung ini ditangkap 26 Januari 2013 di Suak Puntung, dekat pinggiran hutan rawa gambut Tripa di dalam areal hak guna usaha (HGU) perkebunan sawit milik PT Surya Panen Subur 2 (PT SPS-2).
Tribun, tampak bersahabat sesaat setelah penyelamatan. Foto: Alejo Sabugo
Pada bulan sama, bayi orangutan baru diselamatkan di sekitar perkebunan sawit, PT Kayong Agro Lestari, oleh warga Desa Kuala Satong, Kecamatan Matan Hilir Utara, Ketapang. 
Berdasarkan informasi dari warga, tim gabungan dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat (Kalbar) dan YIARI turun menyelamatkan bayi ini pada Jumat(16/2/13) pagi. Bayi orangutan ini dibawa ke fasilitas YIARI guna mendapatkan perawatan medis.
Tindakan lambat dari aparat berwenang juga melanggengkan perdagangan orangutan.  Februari 2013, di Desa Kuala Labai, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalbar, satu dari dua orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii) peliharaan warga, dilaporkan dijual pemilik lantaran telat dievakuasi pihak berwenang.
Padahal, kasus ini sudah dilaporkan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalbar dan BKSDA Ketapang akhir Oktober 2012. Ali Barata, pemilik orangutan jantan bernama Amin. Si pongo ditebus dengan uang Rp1,5 juta dari pedagang di Desa Kuala Labai bernama Asep pada 2010.
Kasus hampir sama terjadi pada Desember 2012.  Seorang guru dari  Dusun Senibung, Desa Suak Medang, Kecamatan Ketungau Tengah, Kabupaten Sintang,  berniat menyerahkan bayi orangutan yang diperoleh dari warga ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalbar. Kini, , orangutan (Pongo pygmeaus-pygmeaus) ini masih dipelihara warga.
Berbagai peristiwa terjadi antara Februari hingga September 2012, mitra Sumatran Orangutan Society (SOS) bernama Orangutan Information Center melakukan penyelamatan terhadap tujuh orangutan dari buldoser perusahaan perkebunan sawit, PT Sisirau. 
Organisasi Sumatran Orangutan Society mengirimkan protes resmi kepada RSPO atas pelanggaran ketentuan yang disepakati dalam RSPO. Yaitu menebang hutan yang masuk kategori High Conservation Value Forest di Aceh Tamiang, Aceh.
Orangutan sesaat setelah evakuasi. Saat dalam perjalanan ke IAR Ketapang, orangutan ini mati. Foto: WWF-Indonesia
Kasus mengenaskan terjadi pada Agustus 2012. Orangutan yang terdesak dan terpaksa masuk perkampungan, terbakar dan berakhir tewas dalam proses evakuasi di Desa Wajok, Kabupaten Kubu Raya, Kalbar.
Orangutan ini tewas dalam perjalanan ke Pusat Rehabilitasi & Konservasi International Animal Rescue (IAR) Ketapang untuk mendapatkan fasilitas perawatan lebih baik. Sebelum itu,  BKSDA menyatakan, kondisi orangutan yang dievakuasi selama dua hari, (26-27/8/12) dari Dusun Parit Wa’dongka, Desa Wajok Hilir, berangsur membaik.  Berdasarkan hasil observasi tim medis selama tiga hari terakhir, perkiraan waktu untuk pemulihan sekitar dua sampai tiga minggu.
Pada, Rabu(16/5/12), tim respon penanggulangan konflik manusia dan orangutan dari Pusat Informasi Orangutan (the Orangutan Information Centre/OIC) membantu penyelamatan orangutan betina yang diperkirakan berusia 16 tahun dan bayinya sekitar lima tahun.
Orangutan ini terisolasi di hutan kecil di antara perkebunan sawit yang dimiliki Sisirau di Desa Rimba Sawang, Aceh Tamiang. HOCRU dibantu SOCP dan Badan Pengelola Kawasan Ekositem Lauser(BPKEL) serta Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Tim juga menyelamatkan orangutan di area yang sama 10- hari lalu. HOCRU dan BPKEL kembali. Mereka menyadari masih ada orangutan yang memerlukan bantuan. Ibu dan anak orangutan pun terlihat di hutan pada 14 Mei.
Orangutan diselamatkan oleh tim gabungan yang terdiri dari OIC, Sumatran Orangutan Conservation Programme, BKDSDA dan BP Konservasi Ekosistem Leuser. Foto: OIC
Aksi peringatan Hari Orangutan Sedunia di Indonesia. Foto dari Facebook World Orangutan Day
Aksi peringatan Hari Orangutan Sedunia di Indonesia. Foto dari Facebook World Orangutan Day

Source : link
0 komentar

Pemanfaatan Besar-besaran, Pengukir Asmat Mulai Kesulitan Kayu Besi

Diposting oleh Maysatria Label: Forestry
Tim tengah mengebor untuk mengambil sampel tanah gambut pada daerah hutan mangrove. Kabupaten Asmat yang berawa potensi menyimpan banyak karbon. Sisi lain, penggunaan kayu besi sangat besar untuk membuat jalan sampai jembatan. Ia bisa berbahaya jika pemanfaatan kayu tidak dikelola dengan baik dan lestari. Foto: Taryono


Tim tengah mengebor untuk mengambil sampel tanah gambut pada daerah hutan mangrove. Kabupaten Asmat yang berawa potensi menyimpan banyak karbon. Sisi lain, penggunaan kayu besi sangat besar untuk membuat jalan sampai jembatan. Ia bisa berbahaya jika pemanfaatan kayu tidak dikelola dengan baik dan lestari. Foto: Taryono

Tak ada jalan aspal di Kabupaten Asmat. Kota Agats, ibukota kabupaten ini, dibangun di atas jembatan kayu besi panjang. Begitu juga kampung-kampung.
Setelah 11 tahun pemekaran wilayah Kabupaten Asmat,  Papua, para pengukir Asmat mulai merasakan kesulitan mencari kayu besi (merbau). Penyebabnya, penggunaan kayu besi besar-besar untuk beragam aktivitas pembangunan di daerah ini. “Ini sangat mengkawatirkan kami, pengukir Asmat. Kini, kami harus jauh masuk ke hutan untuk mendapatkan kayu besi yang baik,” kata Ketua Asosiasi pengukir Asmat, Paskalis Wakat, awal Agustus 2013.
Kesulitan kayu besi terjadi setelah program rencana strategis pembangunan kampung (respek) berjalan lima tahun. Kini, program berganti nama menjadi program strategi pembangunan kampung (prospek).  Tiap desa mendapatkan dana Rp100 juta.
Penggunaan kayu besi di mana-mana. Tak ada jalan aspal di kabupaten ini. Kota Agats, ibukota kabupaten ini, dibangun di atas jembatan kayu besi panjang. Begitu juga kampung-kampung.
Kabupaten Asmat, memiliki ekosistem lahan basah, berawa. Dulu, pergi dari rumah satu ke rumah lain,  warga harus menggunakan perahu.  Kini, bisa berjalan kaki. “Ada banyak jembatan kayu besi dibangun di tiap kampung. Warga menjual kayu besi dengan harga murah untuk pembangunan,” kata Paskalis.
Untuk jembatan kampung, warga menjual kayu besi seharga Rp70 ribu per pohon. Dengan ukuran kayu sama, warga bisa membuat 10–15 ukiran Asmat seharga Rp500 ribu-Rp1 juta per buah. Sedang, harga kayu besi per pohon ke sawmill Rp100 ribu.
“Untuk mengukir perlu tenaga dan pikiran dan menjual ukiran perlu waktu. Warga tergiur uang cepat memilih menjual kayu log kepada program respek atau ke perusahaan sawmill milik pengusaha dibanding mengukir,” katanya.
Paskalis mengatakan, para pengukir pun membentuk asosiasi untuk mengatur mekanisme penggunaan kayu. Sebagai salah satu kabupaten yang memiliki hutan terluas di Papua, sekitar 2,43 juta hektar, dia berharap belum terlambat untuk mengelola hutan dengan lebih bijaksana.
Asosiasi ini dibentuk Februari 2013 di Agats. Di fasilitasi WWF, asosiasi ini dibentuk membawa misi mempertahankan pengukir Asmat sejati. “Kami menyadari, kami membutuhkan pembangunan. Di dalam asosiasi pengukir ini bisa belajar bersama mengelola hutan dengan baik agar pembangunan jalan, hutan tetap terjaga.”
Dengan dampingan WWF, masyarakat kampung di Kabupaten Asmat ini belajar mengelola hutan, menjadi fasilitator kampanye perilaku, memetakan lahan,  membuat peta tanah adat, menghitung karbon hutan hingga merestorasi pantai dan lahan kritis.
Benja Mambay, WWF Regional Papua mengatakan, Kabupaten Asmat adalah pesisir pantai. Ia merupakan muara sungai-sungai besar di Papua. Jika terjadi salah urus, seperti di Sungai Baliem (Kabupaten Jayawijaya dan Yahukimo), Asmat pasti menjadi sasaran. “Buang sampah di Wamena, keluar di Agats. Perlu komitmen bersama mengelola lingkungan dengan baik,” ujar dia.
Asmat memiliki keragaman hayati sangat tinggi, salah satu, habitat kura-kura moncong babi. Menurut Benja, keterancaman kawasan ini datang dari alih fungsi hutan karena status hutan produksi (HP), hutan produksi konversi (HPK) dan hutan produksi terbatas (HPT).
Dengan ekosistem basah, Asmat menyimpan cadangan karbon cukup terbesar jika dibandingkan jenis hutan lain. “Untuk itu, kami mendorong isu lingkungan masuk dalam kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah di sini. Ketika tumbuh, anak-anak aware dengan isu-isu lingkungan.”

Source : link
0 komentar

Tujuh Fakta Unik Tentang Orangutan

Diposting oleh Maysatria Label: Konservasi, Sains dan Teknologi
Orangutan Kalimantan. Foto: Rhett A. Butler

Orangutan Kalimantan. Foto: Rhett A. Butler

1. Orangutan sangat suka tidur
Orangutan memiliki kecenderungan untuk banyak tidur di atas pohon. Mereka tidak hanya tidur panjang di waktu malam mulai dari matahari tenggelam hingga terbit keesokan harinya, namun juga bahkan mengatur waktu untuk tidur siang mereka disela waktu aktivitas siang mereka. Saat tidur, mereka tidak khawatir digigit nyamuk, karena mereka biasanya menggunakan daun tarutung sebagai alas tidur mereka. Daun ini adalah sejenis daun yang tidak disukai oleh nyamuk.
2. Orangutan membuat sendiri kasur mereka
Di alam liar, orangutan menata dedaunan dan ranting-ranting pohon utuk membuat tidur mereka nyaman. Kita menyebutnya dengan sarang. Namun, berbeda dengan jenis burung yang bersarang di satu tempat dalam jangka waktu lama untuk perkembangbiakan, orangutan biasanya hanya menempati sarang mereka untuk sesaat saja. Dari keterangan yang didapat dari Orangutan Information Center, orangutan membuat sarang sekitar 2 atau 3 kali dalam sehari dengan lebar kira-kira satu meter. Mereka membuat sarang di pagi hari untuk beristirahat dan bermain. Orangutan betina juga membuat sarang untuk melahirkan.
Orangutan Sumatera. Foto: Rhett A. Butler
Orangutan Sumatera. Foto: Rhett A. Butler
3. Orangutan suka sekali menjalajah
Orangutan liar jarang sekali bermain di atas tanah, hal yang sama juga terjadi dengan orangutan yang sudah tinggal di kebun binatang. Menurut data penelitian berjudul Identifikasi Daerah Jelajah Orangutan Sumatera Menggunakan Aplikasi Sistem Informasi Geografis yang dilakukan oleh Pindi Patana, Bejo Slamet dan Desli Triman Zendrato tahun 2010 silam, orangutan dewasa betina memiliki daerah jelajah sejauh 916 meter per hari di dalam area seluas 12,5 hektar. Sedangkan seekor orangutan jantan dewasa menjelajah sejauh 651 meter per haru di area seluas 46 hektar. Dua hal yang mempengaruhi variasi jarak jelajah dan daerah jelajah mereka adalah ketersediaan makanan dan interaksi sosial.
4. Orangutan juga Memakai payung lho…
Saat hujan tiba, orangutan biasanya memetik daun yang sangat lebar untuk digunakan sebagai payung yang melindungi mereka dari air hujan.
Orangutan Sumatera, tak hanya terancam akibat deforestasi, namun juga pertumbuhan jenis penyakit baru di sekitar mereka. Foto: Rhett A. Butler
Orangutan Sumatera, tak hanya terancam akibat deforestasi, namun juga pertumbuhan jenis penyakit baru di sekitar mereka. Foto: Rhett A. Butler
5. Orangutan bukan monyet
Orangutan bukan masuk dalam kategori monyet, salah satu cirinya adalah karena mereka tidak memiliki ekor yang panjang. Orangutan masuk dalam keluarga kera, secara spesifik kera besar seperti gorilla, simpanse dan lutung. Dalam bahasa Inggris, keluarga primata yang masuk ke jenis monyet disebut dengan monkey, dan keluarga primata yang masuk ke jenis kera, disebut dengan ape. Nah orangutan ini masuk ke jenis yang kedua.
6. Sekuat apakah orangutan?
Menurut informasi dari Orangutan Information Center, orangutan memiliki kekuatan enam kali lipat manusia dewasa, memiliki 4 tangan dan juga gigitan yang sangat kuat. Namun, umumnya orangutan sifatnya tenang dan tidak berbahaya jika tidak diganggu. Jika berpapasan dengan jantan lainnya, mereka biasanya mencoba menghindari perkelahian dengan gaya saling mengancam.
Orangutan Kalimantan, semakin terjepit akibat lajunya angka kehilangan hutan yang menjadi habitat mereka menjadi perkebunan. Foto: Rhett A. Butler
Orangutan Kalimantan, semakin terjepit akibat lajunya angka kehilangan hutan yang menjadi habitat mereka menjadi perkebunan. Foto: Rhett A. Butler
7. Apa makanan kesukaan orangutan?
Makanan utama orangutan adalah buah, yaitu sekitar 60%. Mereka juga suka dedaunan yang masih muda. Sekitar 25% pakan mereka adalah daun yang masih muda. Selebihnya adalah bunga dan kulit pohon sekitar 10% dan serangga kecil seperti semut, jangkrik dan rayap sekitar 5%.

Source : link
0 komentar

Penelitian: Suhu Bumi Akan Meningkat di Level Tercepat Dalam 65 Juta Tahun Terakhir

Diposting oleh Maysatria Label: Sains dan Teknologi
Penggundulan hutan dengan membakar untuk membuka perkebunan di Sabah, Malaysia. Foto: Rhett A. Butler

Penggundulan hutan dengan membakar untuk membuka perkebunan akan mempercepat kenaikan suhu di Bumi. Foto: Rhett A. Butler

Menurut sebuah kajian berbasis 27 model iklim dunia, para pakar berkesimpulan bahwa perubahan iklim secara global akan mencapai yang paling ‘hangat’ dalam 65 juta tahun terakhir, dalam waktu yang jauh lebih cepat. Hasil kajian ini sudah dimuat dalam jurnal ilmiah Science awal Agustus ini, dan menyatakan bahwa temperatur daratan di bumi akan meningkat 4 derajat Celcius pada tahun 2100 mendatang, jika dihitung sejak masa pra-industri, jika kita tidak melakukan langkah pencegahan untuk mencegah pemanasan global.
“Hal terpenting yang harus diingat adalah level perubahannya,” ungkap salah satu penulis dari Stanford University bernama Noah Suresh Diffenbaugh. “Masalahnya, pemanasan global yang cepat dan terjadi dalam kurun waktu 55 juta tahun ini, sama dengan kecepatan kenaikan suhu udara dalam satu abad terakhir.”
Jika ini terjadi, suhu akan meningkat 10 kali lebih cepat dibanding sebelumnya sejak masa kepunahan dinosaurus, dan akan menciptakan dampak yang sangat signifikan bagi banyak spesies di Bumi dan ekosistem di planet ini.
Sumber: Noah Diffenbaugh

Atas: Perubahan tahunan global di abad 21 menggunakan 27 model perubahan iklim global. Perubahan ini dikalkulasikan dari titik tengah antara tahun 2081 hingga 2100, dikurangi titik tengah antara tahun 1986 hingga 2005. Bawah: Kecepatan perubahan iklim yang diperlukan untuk mempertahankan suhu tahunan saat ini, dan perubahan iklim yang seharusnya terjadi di abad-21. Kecepatan dihitung untuk setiap lokasi dengan mengidentifikasi lokasi terdekat dalam iklim di masa depan yang memiliki suhu tahunan sama dengan lokasi awal memiliki dalam iklim sekarang. Sumber: Noah Diffenbaugh
“Tidak mudah untuk menentukan dampak pasti dari kenaikan suhu yang meningkat hingga 6 derajat Celcius,” ungkap Diffenbaugh. “Namun hal ini akan membawa perubahan besar bagi sebagian besar daratan. Melihat kondisi perubahan musim saat ini terhadap hutan di daratan, pertanian dan kesahatan manusia, kami tertarik untuk melihat lebih jauh perubahan yang terjadi dalam kondisi yang sangat panas.”
Semakin panas, menurut para pakar, akan mengintensifkan cuaca yang mengerikan dan akan membuat musim panas menjadi lebih panas dari kondisi normal. Para peneliti juga mengingatkan bahwa kenaikan suhu udara dalam jangka pendek bisa membuat berbagai spesies sulit untuk beradaptasi.
“Spesies dan ekosistem akan melawan tidak hanya dalam rentang kondisi iklim yang berpotensi menjadi sangat berbeda dibanding masa lalu namun juga dalam kondisi yang lebih luas, dimana aktivitas manusia mendominasi atau mempengaruhi berbagaiproses dan sistem yang ada di Bumi,”  tulis laporan ini.
Bahkan jika spesies-spesies ini mampu bertahan dalam perubahan iklim, mereka tidak akan mampu untuk menghadapi kerusakan habitat, polusi spesies invasif dan ekspolitasi berlebihan. Para peneliti mencatat bahwa kombinasi pemanasan global yang cepat dan dampak ekologis manusia akan memberikan ekosistem daratan lingkungan yang tidak terduga dalam sejarah evolusi manusia.
Emisi gas rumah kaca dari pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan industri pertanian sudah menghangatkan suhu Bumi sekitar 0,8 derajat Celcius dalam seratus tahun terakhir. Perubahan ini sudah membuat kenaikan permukaan air laut, memperburuk gelombang panas, melelehkan es di laut Arktik dan menghilangkan gletser dan masih banyak dampak lain bagi planet ini.
Para ahli mencatat bahwa banyak ketidakpastian akan mempengaruhi pemanasan global di masa mendatang, termasuk berbagai proses siklus karbon dan awan. Namun ketidakpastian terbesar adalah berapa banyak lagi tambahan bahan bakar fosil akan dibakar oleh peradaban manusia? meski kondisi pemanasan global di masa lalu sudah tidak bisa dihindari akibat emisi yang terjadi di masa lalu, hal terburuk masih bisa dicegah di masa mendatang.
“Masa depan planet ini terletak di tangan kita,” ungkap penulis lain dalam penelitian ini yang juga dari Stanford University, Chris Field.

CITATION: N.S. Diffenbaugh and C.B. Field. Changes in Ecologically Critical Terrestrial Climate Conditions. Science. 2013.

Source : link
0 komentar

Panorama di Kepulauan Padaido

Diposting oleh Maysatria Label: Lain lain
Pulau Urep.Jika air surut, Pulau Urep, Mansorbabo dan Undi menjadi satu, menjadi hamparan pasir indah yang menarik. Foto: Musa Abubar

Pulau Urep.Jika air surut, Pulau Urep, Mansorbabo dan Undi menjadi satu, menjadi hamparan pasir indah yang menarik. Foto: Musa Abubar

Ada gua di laut. Ada kapal katalita dan pesawat terbang perang dunia II–kini menjadi penghuni dasar laut. Belum lagi keindahan bawah laut menakjubkan. Itu semua ada perairan sekitar Kepulauan Padaido, Biak Timur Papua. Potensi wisata cukup menarik.
Kala saya bersama tim Yayasan Saireri Paradise, akhir Juli 2013, mengunjungi tempat ini,  pemandangan laut tak kalah banding Raja Ampat, Sorong, Papua Barat. Air laut jernih. Tampak rumput laut, karang dan ikan-ikan kecil bak kaca tembus pandang di dalam laut di sekitar karang.
Perjalanan ke Padaido, menggunakan speedboad dari Kota Biak, memerlukan waktu sekitar satu jam. Bisa juga memakai perahu, perlu waktu sekitar tiga jam.
Kala memasuki kepulauan distrik Padaido, disambut tiga gugusan pulau. Ia masing-masing Pulau Undi, Urep, dan Mansarbabo. Letaknya berdekatan. Tiga gugusan pulau ini dinamakan Kepulauan Padaido.
Ketika hendak memasuki pulau-pulau itu, kecepatan perahu harus dikurangi karena air laut dangkal,  kurang lebih sepinggang orang dewasa. Akman, pengemudi motor laut mengatakan,  jika air surut, Urip, Mansarbabo dan Undi menyambung satu sama lain. Hamparan pasir putih dan karang-karang kecil menyatukan tiga pulau ini.
Suratman, peneliti Institut Pertanian Bogor yang sedang penelitian di sana mengatakan, bukan hanya panorama alam yang memikat, di Mansarbabo juga ada penyu. “Dalam satu tahun penyu bertelur tiga kali,” katanya.
Yorrys Raweyai, pendiri Yayasan Saireri Paradise mengungkapkan, keindahan alam di kepulauan itu hingga kini tak dilirik pemerintah setempat.  Dia pernah menyampaikan itu ke Pemerintah Biak, tapi tak mendapat respon baik. Akhirnya, dengan inisiatif sendiri, dia membentuk kelompok pecinta lingkungan yang diberi nama Yayasan Saireri Paradise.
Yayasan ini,  beranggotakan tiga orang masing-masing Akman, Heri dan Suratman. Mereka membina warga pemilik hak ulayat Padaido agar bisa menjaga dan melindungi kekayaan alam ini.
Yorrys mengatakan, mereka berencana bersama masyarakat mengembangkan  ecotourism di Padaidao. “Kita hanya memenej mereka, tetapi pemilik mereka sendiri. Kita memberikan edukasi, membangun sarana dan fasilitas untuk menjaga kekayaan alam jangan sampai hilang.”
Pada 2011, Yayasan Saireri Paradise bersama warga Padaido melepas 300-an penyu. Rata-rata jenis penyu belimbing. Penyu ini dua tahun sekali naik  dan bertelur di Pantai. Tidak hanya penyu belimpibing, penyu sisik dan hijau juga ada. “Pada 2011, penyu belimbing dan penyu sisik ada 4.000 telur. Ribuan telur itu baru saja menetas.”
Yayasan Saireri Paradise berkomitmen menjaga telur penyu itu hingga menetas. Setelah 59 hari barulah dilepas. Penjagaan itu dipantau di sekitar lokasi penangkaran.  Saat ini, mereka menangkar 2.000 an telur. Dari jumlah itu, sekitar 400 sudah menjadi tukik. “Setelah bertelur, teman-teman jaga  dan ambil lalu membuat penangkaran dan dipelihara selama 60 hari lalu dilepas.”
Bagi Yorrys, menjaga hak ulayat penting. Mayoritas masyarakat di sini trauma dengan masa lalu karena hak ulayat diambil. “Saya mencoba pendekatan dengan pola berbeda. Saya bukan pemilik. Saya hanya datang kepada mereka sebagai pawang, merekalah yang menjaga, melestarikan dan melindungi semua yang ada.” Rencananya, tahun depan,  kawasan ini dikembangkan menjadi tempat wisata dan pusat penelitian.
Pulau Mandorbabo, dipanadang dari jauh. Keindahan di pulau dan di bawah laut, bisa jadi obyek wisata menarik. Tentu, wisata dengan tetap menjaga jangan sampai alam terganggu. Foto: Musa Abubar
Pulau Mandorbabo, dipanadang dari jauh. Keindahan di pulau dan di bawah laut, bisa jadi obyek wisata menarik. Tentu, wisata dengan tetap menjaga jangan sampai alam terganggu. Foto: Musa Abubar

Source : link
0 komentar

Penelitian: Perubahan Iklim Menggeser Berbagai Spesies di Lautan

Diposting oleh Maysatria Label: News, Sains dan Teknologi
Sektor perikanan akan terpengaruh perpindahan spesies di lautan yang terus bergeser ke wilayah yang lebih dingin. Foto: Rhett A. Butler

Sektor perikanan akan terpengaruh perpindahan spesies di lautan yang terus bergeser ke wilayah yang lebih dingin. Foto: Rhett A. Butler

Meningkatnya suhu di lautan ternyata mampu mengubah wajah biologis di perairan, dan memaksa spesies-spesies bergerak menuju kutub sekitar 7 kilometer setiap tahun demi mengejar iklim yang sesuai untuk tempat mereka hidup dan bertahan. Hal ini terungkap dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh sekelompok pakar dari 17 institusi yang berbeda, dengan menggunakan data dari tujuh negara. Singkatnya, kenaikan suhu di lautan bisa mengubah pola perkembangbiakan, pencarian makan dan pola migrasi.
Hal yang mengejutkan, spesies di daratan hanya berubah sekitar 1 kilometer atau kurang setiap tahunnya sebagai perbandingan, kendati permukaan daratan mengalami kenaikan suhu udara jauh lebih cepat dibandingkan di lautan.
“Secara umum, udara mengalami kenaikan suhu lebih cepat dibandingkan lautan karena udara memiliki kapasitas lebih besar untuk menyerap suhu. Jadi kami mengira bahwa perubahan akan terjadi lebih cepat di daratan dibanding di lautan. Namun kami justru menemukan hal sebaliknya,” ungkap salah satu peneliti, Dr. Christopher Brown dari Institut Perubahan Global di Universitas Queensland.
Dr. Brown mengatakan, hal ini mungkin disebabkan satwa di lautan bisa bergerak dalam rentang jarak yang jauh, atau mudahnya satwa di daratan untuk melepaskan diri dari temperatur yang berubah dengan adanya lembah atau pegunungan, dibanding di perairan yang datar. Tim peneliti mempelajari berbagai jenis spesies, mulai dari plankton dan vegetasi lautan hingga sejumlah predator di perairan seperti singa laut, burung-burung laut dan ikan-ikan besar.
“Salah satu hal yang paling unik tentang penelitian ini adalah kami melihat ke banyak hal,” tambah Dr. Brown. “Kami meneliti setiap tautan di rantai makanan dan kami menemukan banyak perubahan di kehidupan di lautan yang selaras dengan perubahan iklim di berbagai wilayah lautan di penjuru dunia dan berbagai tautan yang berbeda dala rantai makanan.”
Kenaikan suhu lautan telah memperpendek musim dingin dan menghadirkan musim semi lebih cepat dan semua perubahan yang hadir akibat adanya perubahan musim ini -misalnya musim perkembangbiakan dan pertumbuhan plankton- menjadi lebih cepat dibanding jangka waktu yang semestinya.
Bagi sejumlah spesies yang tidak mampu untuk bergerak ke perairan yang lebih dingin, hal ini akan membahayakan kehidupan spesies tersebut.
“Beberapa spesies seperti teritip dan sejumlah kerang-kerangan tertahan di pesisir, jadi untuk beberapa tempat seperti di Tasmania, jika mereka sudah berada di batas jarak maksimal pergerakan, maka mereka tak bisa lagi berpindah kemana-mana. Maka kita bisa kehilangan spesies-spesies tersebut,” ungkap Dr. Brown.
Para ahli menemukan bahwa sekitar 81% dari observasi penelitian ini mendukung hipotesa bahwa perubahan iklim memang menjadi penyebab perubahan ini.
Untuk mengatasi hal ini, Dr. Brown mengatakan bahwa manusia harus melakukan perubahan aktivitas untuk beradaptasi. “Misalnya di sektor perikanan, dimana manusia harus memeindahkan pelabuhan mereka untuk bisa tetap mendapatkan ikan sesuai yang mereka inginkan,” tambahnya.
“Hal yang sangat penting adalah menekan emisi gas rumah kaca yang akan memperlambat atau mengurangi angka kenaikan suhu udara di lautan, namun butuh waktu lama untuk melihat hasil dari upaya ini. Bahkan jika kita melakukan reduksi emisi gas rumah kaca saat ini maka dampaknya belum akan terlihat dalam 20 tahun mendatang atau lebih.”

CITATION: Poloczanska, Elvira S., Brown, Christopher J., Sydeman, William J., Kiessling, Wolfgang, Schoeman, David S., Moore, Pippa J., Brander, Keith, Bruno, John F., Buckley, Lauren B., Burrows, Michael T., Duarte, Carlos M., Halpern, Benjamin S., Holding, Johnna, Kappel, Carrie V., O/’Connor, Mary I., Pandolfi, John M., Parmesan, Camille, Schwing, Franklin, Thompson, Sarah Ann, Richardson, Anthony J., Global imprint of climate change on marine life, Nature Clim. Change, 2013/08/04/online

Source : link
0 komentar

Populasi Makin Terancam, Ayo Selamatkan Orangutan

Diposting oleh Maysatria Label: Konservasi
Orangutan dalam proses evakuasi karena berada di satu-satunya pohon yang ada di tengah kawasan bekas hutan yang berubah menjadi kebun sawit di Kalimantan Barat. Foto: YIARI


Orangutan dalam proses evakuasi karena berada di satu-satunya pohon yang ada di tengah kawasan bekas hutan yang berubah menjadi kebun sawit di Kalimantan Barat. Foto: YIARI

Pada 19 Agustus digagas menjadi Hari Orangutan Dunia. Setiap orang bisa ikut bergabung dan menyatakan kepedulian kepada orangutan lewat berbagai aksi.
“Di lahan saya ada sarang orangutan. Saya biasa lihat, saudara saya bilang nampaknya orangutan lagi hamil,” kata Nariyah, warga Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat (Kalbar), pada April 2013. Nariyah merujuk pada ratusan hektar lahan milik dia yang masih berhutan. Saat ini, penebangan berlangsung di kawasan berhutan itu. Kayu-kayu dijual, lahan bakal menjadi kebun sawit.
Entah bagaimana nasib orangutan yang bersarang di ‘kebun’ Nariyah maupun di sekitar wilayah itu, kini. Kawasan sekitar lahan itu telah dikelilingi perkebunan sawit skala besar, populasi orangutan pun makin terdesak.  Kehidupan mereka makin terjepit kala pohon-pohon di hutan yang tersisa terus ditebangi.
Orangutan di lahan Nariyah, hanya satu dari sekian kasus keterancaman hidup satwa langka ini. Di sekitar kawasan inipun dilaporkan beberapa kali penemuan orangutan. Paling dramatis hampir setahun lalu, 26-27 Agustus 2012,  orangutan di Wajok Hilir, tewas dalam proses evakuasi.
Data Walhi Kalbar menyebutkan, daerah di sekitar lokasi evakuasi orangutan di Desa Wajok Hilir itu sudah dikepung perkebunan sawit. Sedikitnya, ada tiga perusahaan menguasai kawasan, yakni PT Mitra Andalan Sejahtera  (PT MAS), PT Peniti Sungai Purun (PT PSP), dan PT Bumi Pratama Khatulistiwa (PT BPK).
Dari data itu PT MAS memiliki luas 13.000 hektar berlokasi di Siantan – Segedong. Izin lokasi sejak 2008 tapi belum memiliki hak guna usaha (HGU). PT PSP menguasai areal 13.500 hektar di Anjungan, Sungai Pinyuh, dan Segedong. Pada 2009, perusahaan ini sudah menanam. PT BPK memiliki 15.000 hektar di Sungai Ambawang dan beroperasi sejak 1995.
Orangutan setelah berhasil dievakuasi dari kebun sawit di Kalimantan Barat. Foto: YIARI
Orangutan setelah berhasil dievakuasi dari kebun sawit di Kalimantan Barat. Foto: YIARI
Sudahlah habitat terdesak, penangkapan orangutan untuk dipelihara atau diperjualbelikan juga mengkhawatirkan. Di Kalbar,  dari data monitoring Yayasan Palung, Januari-November 2012 terutama di wilayah pesisir, teridentifikasi 10 kasus pemeliharaan orangutan oleh masyarakat. Beberapa di antaranya, pemeliharaan orangutan oleh masyarakat yang berbatasan langsung dengan perkebunan sawit, bahkan ada beberapa dari perkebunan.
Hasil pemantauan Yayasan Palung dan YIAR pada 2012, di Kabupaten Ketapang, ada sekitar 17 orangutan diselamatkan baik dari masyarakat maupun dari kawasan perusahaan.
Nasib miris orangutan terjadi di mana-mana. Tak hanya di Kalimantan juga Sumatera. Satu contoh, Kamis 27 Juni 2013, orangutan betina dewasa yang baru dijemput tim BKSDA Aceh, SOCP, dan YOSL-OIC tewas dalam perjalanan ke pusat karantina orangutan SOCP di Sibolangit, Sumatra Utara. Ia mengalami pukulan dan luka saat ditangkap masyarakat di Desa Panton Luas, Kecamatan Sawang, Aceh Selatan.
Dari 1992-2000, populasi orangutan Sumatera, menurun sekitar 50 persen dan diperkirakan tersisa 7.000 an individu di alam bebas. Data SOCP, sampai 2012, diperkirakan tinggal 6.000 an orangutan Sumatera. Begitu juga orangutan Kalimantan, yang diprediksi berkurang 43 persen dari 45.000 an. 
Guna mengajak dan membangkitkan kepedulian terhadap keberlangsungan hidup orangutan, tiap 19 Agustus digagas menjadi Hari Orangutan Dunia. Pada event perdana ini, pada hari itu masyarakat diajak memberikan donasi kepada lembaga-lembaga yang selama ini sudah berjuang menyelamatkan orangutan. Tak hanya itu, setiap orang bisa ikut berbagai aksi, seperti gerakan RAN, sampai menandatangani petisi agar pemerintah dan parlemen melindungi orangutan.
Dalam gawe ini, lima kelompok penyelamat orangutan akan bertemu. Mereka adalah Borneo Orangutan Survival, International Animal Rescue (Yayasan IAR), Sumatran Orangutan Conservation Programme Orangutan Information Centre dan Centre for Orangutan Protection.
Orangutan yang tewas akibat luka bakar setelah dirawat beberapa hari pasca evakuasi di Wajok Hilir, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Foto: WWF

Source : link
0 komentar

Belajar Mencintai Alam dari Rumah Hijau Denassa

Diposting oleh Maysatria Label: Forestry
Sejak  2011, Denassa mengembangkan outing class, atau belajar di luar sekolah, dengan mengajak para murid keliling kampung untuk mengenali berbagai jenis tanaman di alam. Para murid biasa sangat antusias mengikuti kegiatan ini karena metode pembelajaran  lebih banyak menerapkan permainan.  Foto: Denassa

Sejak 2011, Denassa mengembangkan outing class, atau belajar di luar sekolah, dengan mengajak para murid keliling kampung untuk mengenali berbagai jenis tanaman di alam. Para murid biasa sangat antusias mengikuti kegiatan ini karena metode pembelajaran lebih banyak menerapkan permainan. Foto: Denassa

Kala orang berlomba-lomba membabat hutan untuk menguras hasil dari dalamnya, Dermawan Denassa, berlaku sebaliknya. Denassa, begitu biasa dia dipanggil,  menyulap halaman belakang rumah seluas satu hektar menjadi hutan mini. Di sana, dia membiakkan ratusan spesies tanaman unik dan langka, dari berbagai daerah.
Saking cinta kepada alam, Denassa melakukan konservasi swadaya. Dalam enam tahun ini, dia mengoleksi 300 spesies tanaman, mayoritas dari daerah berbeda. Sebagian besar benih ditanam, ada juga dikoleksi dalam wadah khusus, terutama biji-bijian.
Saya mengunjungi rumah yang dinamai Rumah Hijau Denassa di Jalan Borongtala, Kelurahan Tamalayyang, Kecamatan Bontonompo, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan (Sulsel). Denassa mengajak saya berkeliling memperlihatkan koleksi tenamannya.“Ini disebut paria belut, berbeda dengan paria biasa dari ukuran. Paria belut bentuk memanjang seperti belut, rasa manis. Paria biasa pahit,” katanya.
Dia memperlihatkan puluhan mahoni dan jati yang ditanam sejak enam tahun lalu. Beberapa puluh jenis tanaman obat-obatan. Beberapa jenis tanaman hanya dikenali dengan bahasa lokal, misal, buah coppeng– mirip anggur biasa juga disebut jamblang (Syzygium cumini). Ada juga buah bunne atau buni (Antidesma bunius (L.) Spreng.). Tanaman lain lobe-lobe, sappang, biraeng atau Ara, gonrong-gonrong (Chromolaena odorata), kalumpang, baji (Markisa besar), gamasi (Sukun berbiji), bambu kolasa. “Khusus bambu kami mengoleksi lima jenis dari berbagai daerah.”
Kepedulian Denassa pada alam dan hutan sejak mahasiswa, tahun 1999. “Dulu, di belakang rumah ada dua pohon asam. Karena dianggap menganggu, pohon ini ditebang bapak saya. Saya protes tapi tetap saja dipotong.” Pohon asam itu ditebang karena berada di sekitar tungku pembakaran bata milik keluarga.
Denassa merasa kehilangan. Kedua pohon itu menjadi tempat bermain sejak kecil. Keadaan sama ditemui di sepanjang jalan, dimana banyak pohon-pohon ditebang. Kenyataan ini berbeda dengan konsep yang dia pahami. Menurut dia, pohon memiliki arti tersendiri bagi kehidupan. “Ketika pohon ditebang, suara-suara burung pun takkan lagi terdengar. Belum lagi sejumlah hewan-hewan kecil yang hidup dan terkait di dalamnya,” ucap Denassa.
Pelahan, dia menanami halaman pekarangan rumah. Tak hanya itu, Denassa menjadikan hutan mini sebagai tepat hidup satwa kecil tergolong langka, seperti cicak terbang, katak coklat, kutilang, dan belasan jenis burung dan satwa lain. Beberapa jenis pohon sengaja ditanam untuk tempat hidup satwa-satwa ini. “Cicak terbang dulu sangat banyak di kampung sini, namun mulai berkurang.”
Cekibar adalah sejenis reptil termasuk keluarga Agamidae, dikenal dengan nama ilmiah Draco volans linnaeus. Untuk mempertahankan spesies ini, Denassa awalnya menangkar empat pasang. Dia memperkiraan, kini sudah mencapai ratusan.
Dia mulai total terjun ke bidang lingkungan tahun 2006. Asisten dosen di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin pun ditinggalkan. Dia mulai membersihkan pekarangan belakang rumah. Pohon pertama yang ditanam jati, sebagai investasi masa depan. “Sejak 2007, saya rajin keliling kampung mencari jenis tanaman langka atau mulai berkurang. Saya masuk hutan di daerah lain. Semua jenis tanaman yang dinilai unik atau jarang ditemui saya kumpulkan.”
Hutan mini inipun sekaligus apotik hidup, dengan menanam berbagai tanaman obat, khusus yang tidak tersedia lagi di sekitar situ. “Kalau ada tetangga sakit dan perlu obat herbal, biasa kesini. Ada banyak tanaman obat sengaja saya tanam untuk warga sekitar.”
Sebagai mantan aktivis kampus, dia membentuk komunitas Rumah Hijau Denassa (RHD) tahun 2007. Dia mulai mengajak rekan dan sejumlah warga terlibat. Melalui RHD ini, Denassa menyelenggarakan berbagai kegiatan.
Sebuah rumah panggung dibangun sebagai tempat belajar dan diskusi. Di bagian belakang rumah, tempat hutan mini, sebagian lahan dibiarkan ditumbuhi rumput. Ini sebagai tempat berkemah, diskusi dan belajar bagi pengunjung.
Melalui RHD ini, Denassa  menyelenggarakan berbagai kegiatan. Di bagian belakang rumah, tempat hutan mini berada, sebagian lahan dibiarkan ditumbuhi rumput,  sebagai tempat berkemah, diskusi dan belajar bagi pengunjung. Foto: Denassa
Melalui RHD ini, Denassa menyelenggarakan berbagai kegiatan. Di bagian belakang rumah, tempat hutan mini berada, sebagian lahan dibiarkan ditumbuhi rumput, sebagai tempat berkemah, diskusi dan belajar bagi pengunjung. Foto: Denassa
Sejak 2008, dia rutin diskusi, tidak hanya isu lingkungan, tapi juga isu pelayanan publik. RHD dalam waktu singkat mulai dikenal warga sekitar maupun daerah lain. RHD bahkan mengembangkan komunitas belajar, khusus murid SD dan SMP.“Sudah banyak anak-anak kemari untuk belajar. Kami biasa mengajari mereka bagaimana mencintai alam, mengenali berbagai tanaman dan hewan, serta pendidikan moral, seperti nilai kejujuran dan berbuat baik pada sesama.”
Melalui kelas komunitas, Denassa mengajak murid sekolah dari berbagai desa sekitar. Ada lima sekolah rutin datang ke sana, yakni, SD Kulase’rena, SD Rappokelleng, SD Bontorikong, SD Bontonompo dan SMP Bontonompo.
Sejak 2011, Denassa mengembangkan outing class, atau belajar di luar sekolah. Dia mengajak para murid keliling kampung mengenali berbagai jenis tanaman di alam. Para murid antusias mengikuti karena metode pembelajaran banyak permainan.“Metode pembelajaran banyak permainan dan interaksi disenangi anak-anak. Mereka bisa lebih mudah mencerna. Kami juga mencoba membangun interaksi dan saling mengenal antara mereka, terutama ketika dari sekolah berbeda,” katanya.
Untuk menjaga hutan mini dari tangan-tangan jahil, Denassa menerapkan aturan ketat kepada pengunjung dengan tak mencabut tanaman ataupun membunuh satwa yang mereka temui. “Tanaman boleh dicabut atau diambil karena dua hal, sebagai obat atau mau ditanam kembali dan penelitian.”
Denassa berencana menambah luasan hutan mini menjadi dua atau tiga hektar dengan memanfaatkan lahan saudara yang berada di sekitar. Dia berupaya lebih menghidupkan kelas komunitas, dengan menyediakan wifi di sekitar halaman rumah, dan ruang baca lebih luas.
Dalam membiayai semua aktivitas ini, sebagian besar dari dana pribadi. “Semua dari kantong sendiri. Kadang ada dari sisa kegiatan Gowa Center yang saya pimpin.” Denassa juga berencana membangun green school. Dia terinspirasi dari green school di Bali yang pernah dikunjungi.
Cicak terbang atau cekibar, sejenis reptil  termasuk ke dalam suku Agamidae, dikenal dengan nama ilmiah Draco volans Linnaeus. Untuk mempertahankan  spesies ini, Denassa  menangkar empat pasang. Kini jumlah satwa ini diperkirakan mencapai ratusan ekor.Foto: Denassa.
Cicak terbang atau cekibar, sejenis reptil termasuk ke dalam suku Agamidae, dikenal dengan nama ilmiah Draco volans Linnaeus. Untuk mempertahankan spesies ini, Denassa menangkar empat pasang. Kini jumlah satwa ini diperkirakan mencapai ratusan ekor.Foto: Denassa.
Koleksi benih Denassa dari bermacam-macam tanaman, khusus yang sudah jarang  ditemui di daerahnya. Terdapat 300 koleksi tanaman yang  dimiliki Denassa, baik  ditanam langsung maupun benih yang disimpan di wadah khusus. Foto: Wahyu Chandra
Koleksi benih Denassa dari bermacam-macam tanaman, khusus yang sudah jarang ditemui di daerahnya. Terdapat 300 koleksi tanaman yang dimiliki Denassa, baik ditanam langsung maupun benih yang disimpan di wadah khusus. Foto: Wahyu Chandra

Source : link
0 komentar

Sponsored

  • banners
  • banners
  • banners
  • banners

Kategori

  • Flora dan Fauna (128)
  • Forestry (312)
  • Mangrove (82)

Archive

  • ►  2015 (20)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (17)
  • ►  2014 (43)
    • ►  Agustus (13)
    • ►  Mei (9)
    • ►  April (8)
    • ►  Februari (6)
    • ►  Januari (7)
  • ▼  2013 (309)
    • ►  Desember (14)
    • ►  November (97)
    • ►  Oktober (28)
    • ►  September (36)
    • ▼  Agustus (11)
      • Temuan Jerat Harimau di Kerinci Seblat Naik 600%
      • Potret Keterancaman Si Pongo di Hari Orangutan Sed...
      • Pemanfaatan Besar-besaran, Pengukir Asmat Mulai Ke...
      • Tujuh Fakta Unik Tentang Orangutan
      • Penelitian: Suhu Bumi Akan Meningkat di Level Terc...
      • Panorama di Kepulauan Padaido
      • Penelitian: Perubahan Iklim Menggeser Berbagai Spe...
      • Populasi Makin Terancam, Ayo Selamatkan Orangutan
      • Belajar Mencintai Alam dari Rumah Hijau Denassa
      • Hutan Harapan Jambi, Ancaman Jalan Tambang Belum U...
      • Pembalakan Liar Gerogoti Hutan Lindung Senggan
    • ►  Juli (20)
    • ►  Juni (19)
    • ►  April (20)
    • ►  Maret (20)
    • ►  Februari (19)
    • ►  Januari (25)
  • ►  2012 (97)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (25)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (15)
    • ►  April (9)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (19)
    • ►  Januari (16)
  • ►  2011 (323)
    • ►  Desember (52)
    • ►  November (27)
    • ►  Oktober (12)
    • ►  Agustus (12)
    • ►  Juli (5)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (16)
    • ►  Maret (24)
    • ►  Februari (122)
    • ►  Januari (44)
  • ►  2010 (105)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (22)
    • ►  Agustus (79)

_______________

_______________

 

© My Private Blog
designed by Website Templates | Bloggerized by Yamato Maysatria |