skip to main | skip to sidebar

Silva Dream

Konsep Bumi Kita

  • Home
  • Gallery
  • Contact me
  • About Me

Kamis, 19 Desember 2013

Tujuh Alasan Penggusuran PT. Asiatic Persada Terhadap SAD Dianggap Ilegal

Diposting oleh Maysatria Label: News
PRD.jpg

Empat hari yang lalu, tepatnya tanggal 7 Desember 2013, PT. Asiatic Persada (anak perusahaan Wilmar Group asal Malaysia) menggusur paksa ratusan rumah warga Suku Anak Dalam (SAD) di dusun Padang Salak, Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Batanghari, Jambi.

Ironisnya, proses penggusuran paksa itu menyertakan sekitar 1500-an pasukan gabungan TNI, Polri, security PT. Asiatic Persada, dan preman bayaran perusahaan. Lebih ironis lagi, proses penggusuran itu disertai pemukulan, penganiayaan, intimidasi, teror, upaya pembacokan terhadap sejumlah warga SAD dan aktivis yang berusaha mempertahankan tanahnya.
Kemudian, pada tanggal 8 Desember 2013, terjadi penangkapan terhadap 3 (orang) warga Suku Anak Dalam. Proses penangkapan terhadap ketiga warga ini disertai dengan tembakan dan kekerasan. Akibatnya, banyak warga yang ketakutan dan mengalami trauma mendalam.
Pasca penggusuran tanggal 7 Desember lalu, proses intimidasi dan teror terhadap warga berlangsung massif. Warga dilarang kembali ke daerah pemukiman (dusun) mereka. Bahkan, beberapa warga yang mencoba kembali diancam akan dibunuh.
Kemudian hari (11/12/2013), 500-an pasukan gabungan TNI, Brimob/Polri, Security PT. Asiatic Persada kembali melakukan penggusuran dan pengusiran paksa terhadap warga SAD yang bermukim di dusun Pinang Tinggi, desa Bungku, kecamatan Bajubang, Batanghari. Para penggusur menghancurkan rumahr-rumah warga, termasuk rumah permanen. Selain itu, para penggusur mengintimidasi warga yang mencoba melawan.
Ibu Hanimah (60 tahun), seorang warga SAD di Pinang Tinggi yang menyaksikan proses penggusuran itu, rumah-rumah warga dibongkar dengan jonder. Beberapa warga yang tidak menyelamatkan barang-barangnya karena dihalang-halangi dan diintimidasi oleh para penggusur. Bahkan, ada beberapa warga yang diancam dibunuh jika berani mendekat ke lokasi penggusuran.
Proses penggusuran yang dilakukan oleh PT. Asiatic Persada, yang didukung oleh aparat keamanan (TNI/Polri), sebetulnya penuh kejanggalan dan ileggal. Berikut beberapa faktanya:
Pertama, para penggusur itu mengaku mendapat perintah dari Tim Terpadu Penyelesaian Konflik Kabupaten Batanghari. Namun, ketika diminta menunjukkan surat perintah dari pihak dimaksud, para penggusur tidak sanggup memperlihatkannya.
Kedua, penggusuran ini juga sebetulnya sangat melecehkan wibawa dan otoritas pemerintah Republik Indonesia, seperti DPR-RI, Menteri Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional (BPN), DPD-RI, Komnas HAM, Pemerintah Daerah Jambi, dan Pemerintah Daerah Batanghari. Pasalnya, semua lembaga yang disebutkan di atas sudah menyepakati perihal pengembalian tanah ulayat suku Anak Dalam seluas 3550 ha sesuai peta mikro.
Ketiga, terkait keputusan lembaga di atas, Gubernur Jambi sudah tiga (3) melayangkan Surat Peringatan kepada PT. Asiatic Persada untuk menjalankan kesepakatan dan mengembalikan hak ulayat warga SAD. Tetapi semua Surat Peringatan itu diabaikan oleh PT. Asiatic Persada.
Keempat, Gubernur Jambi sudah mengeluarkan Surat tertanggal 25 Oktober 2013 tentang Rekomendasi Peninjauan Ulang Hak Guna Usaha (HGU) PT. Asiatic Persada. Dan surat itu sudah dalam tahap proses di BPN-RI.
Kelima, tindakan PT. Asiatic Persada dan aparat keamanan jelas melanggar Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan nomor putusan: 55/PUU-VIII/2010 yang melarang penggunaan pasal kriminalisasi terhadap perjuangan petani yang ingin merebut hak-haknya yang dirampas oleh perusahaan perkebunan.
Keenam, tindakan PT. Asiatic Persada melecehkan putusan MK nomor 35/PUU-XII/2012 sudah menegaskan wewenang masyarakat adat terhadap hutan adat. Artinya, terkait konflik antara warga SAD versus PT. Asiatic Persada, wewenang sepenuhnya berada di tangan masyarakat adat SAD. Bukan lagi di tangan Kementerian Kehutanan.
Ketujuh, praktek perampasan lahan milik warga SAD merupakan pelecehan terhadap mandat konstitusi, yakni pasal 33 UUD 1945. Seharusnya, jika mengacu pada pasal 33 UUD 1945, hak penguasaan, pengelolaan, dan penerimaan manfaat dari kekayaan agraria seharusnya diprioritaskan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

source : link
0 komentar

Selasa, 17 Desember 2013

Puluhan Tahun Berlanjut, Asiatic Persada Terus Memakan Korban Suku Anak Dalam

Diposting oleh Maysatria Label: News
Rumah-rumah warga SAD di Pinang Tinggi yang digusur. Foto: Feri Irawan

Rumah-rumah warga SAD di Pinang Tinggi yang digusur. Foto: Feri Irawan

Sebuah pagi pada 11 Desember 2013 sekira jam 10.00. Basron, 41 tahun sedang menyeduh kopi hitam buatannya. Baru hendak menyeruput, tiba-tiba rumahnya terasa bergoyang. Basron bergegas menengok ke luar. Ternyata, rumahnya sudah dikepung puluhan orang. Ada berpakaian preman, karyawan PT Asiatic Persada berkaos hijau-hijau, dan masing-masing dua orang anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) serta anggota Brigade Mobil (Brimob).
“Ada apa?” tanya Basron. Mereka menjawab, ”Kami dari Tim Terpadu. Segera bereskan barang-barangmu. Semua rumah hari ini akan digusur”. Basron buru-buru mengeluarkan barang-barangnya. Setelah beres. Dalam tempo dua menit, rumah Basron dihancurkan dengan satu unit excavator. Hujan mengguyur deras, Basron hanya termangu menyaksikan rumahnya yang telah hancur.
Salah satu rumah warga Suku Anak Dalam yang rata dengan tanah. Foto: Feri Irawan
Salah satu rumah warga Suku Anak Dalam yang rata dengan tanah. Foto: Feri Irawan
“Cepat bersihkan puing-puing rumah ini. Jika tak dibersihkan, kami datang lagi besok. Kami bakar semuanya,” kata Basron menirukan ancaman mereka. Ternak kesayangan Basron juga dijarah. Dua ekor burung jalak, dua ekor burung ketitiran, dan seekor ayam kate Australia seharga Rp 600 ribu dibawa pergi. “Mereka benar-benar tak manusiawi,” kata Basron kepada Mongabay Indonesia mengeluh.
Menurut Basron, jumlah “tim terpadu” yang datang diperkirakan 700-an orang. Mereka datang menggunakan puluhan mobil jenis Mitsubishi Strada dan Strada Triton. Sambil membawa satu unit excavator, satu unit grader, dan enam unit sonder.
Basron adalah salah satu dari Suku Anak Dalam (SAD) atau Suku Bathin Sembilan yang lebih dikenal dengan nama Kelompok SAD 113. Rumah Basron berada di Desa Pinang Tinggi, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari. Hari itu, penggusuran dilakukan sejak jam 10.00 pagi sampai 16.30.
Tak hanya diusir, namun rumah mereka pun dijungkirbalikkan petugas. Foto: Feri Irawan
Tak hanya diusir, namun rumah mereka pun dijungkirbalikkan petugas. Foto: Feri Irawan
Menurut Basron, ada sekitar 109 rumah yang dihancurkan oleh “Tim Terpadu”. Pada 7 dan 8 Desember 2013, ada 31 rumah di Desa Padang Salak yang digusur. Sementara di Terawang sekitar 6 rumah hancur. Total selama tiga hari, sekitar 146 rumah yang sudah digusur. Kabarnya pada 12 dan 13 Desember ini dijadwalkan 600 rumah di Tanah Menang juga hendak digusur habis.
Aksi penggusuran dilakukan secara serentak dengan memecah menjadi beberapa kelompok. Satu kelompok terdiri dari puluhan preman bayaran, sekuriti, dan karyawan PT Asiatic Persada. Setiap orang dipersenjatai kapak, parang, golok, clurit, samurai, dan gancu. Setiap kelompok dikawal masing-masing dua orang anggota TNI dan Brimob yang lengkap bersenjata api.
Leher Meldi, 25 tahun, bahkan sempat dikalungkan clurit. Gara-garanya Meldi ketahuan memotret kejadian penggusuran itu. Telepon genggamnya langsung dihancurkan. Begitu pula beberapa handphone milik warga lain. “Jangan potret tindakan kami ini,” kata Meldi menirukan ucapan mereka. Bahkan beberapa warga dilarang mengangkat telepon genggam ketika berbunyi. Motor-motor milik warga juga jadi amukan mereka. Ada yang dibelah dua bannya.
Basron di depan sisa-sisa rumahnya yang digusur. Foto Feri Irawan
Basron di depan sisa-sisa rumahnya yang digusur. Foto Feri Irawan
Nyaris tak ada dokumentasi kejadian penggusuran tersebut. Untungnya Meldi masih sempat memotret kejadian itu menggunakan telepon genggamnya satu lagi. Tampak dalam salah satu foto, seseorang sedang membawa barang jarahan. Di belakangnya karyawan PT Asiatic Persada berkaos hijau-hijau turun dari mobil.
Sebelum digusur, warung milik Simin, 75 tahun juga dijarah. Makanan, minuman, dan rokok diambil sesuka hati tanpa membayar. “Celengan saya berisi duit Rp 600 ribu juga dirampas mereka,” katanya kepada Mongabay Indonesia.
Barang-barang milik tetangga Simin yakni Jasmi, 55 tahun juga disapu bersih. Helm, parang, sepatu, kampak, golong, pisau dapur, dodos, egrek, senapan burung lenyap. “Burung kacer satu ekor, burung jalak dua ekor, butung perkutut tiga ekor, termasuk seekor ayam kampung yang tengah mengeram juga ikut dijarah,” kata Jasmi.
Sebagian barang-barang yang tersisa sedang dilansir ke tempat pengungsian. Foto: Feri Irawan
Sebagian barang-barang yang tersisa sedang dilansir ke tempat pengungsian. Foto: Feri Irawan
Rumah terakhir yang digusur adalah rumah Daim, 49 tahun. “Celengan saya berisi Rp 6 juta mereka bongkar dan isinya diambil,” kata Daim kepada Mongabay Indonesia sambil menunjukkan celengan yang sudah rusak. “Solar dan minyak, mereka tumpahkan. Genset saja kalau sanggup mereka angkat mungkin mereka ambil juga,” kata Daim.
Kelompok SAD 113 sejak tahun 1986 silam bersengketa lahan dengan PT Asiatic Persada yang selalu berganti-ganti kepemilikan. Pada tahun 2006, perusahaan ini dikuasai PT Wilmar International. Bahkan sudah nyaris berujung pada kesepakatan dengan pola kemitraan.
Mediasi melalui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada Juli 2012 menyatakan semua pihak yang terlibat, termasuk Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI setuju dilakukan pengukuran lahan seluas 3.550 hektare. Namun rekomendasi itu diabaikan PT Asiatic Persada. Kini, persisnya sejak 9 Desember 2013, sekitar 150-an orang dari Kelompok SAD 113 kembali akan melakukan pertemuan dengan BPN RI.
Pada Mei 2013, Pemerintah Provinsi Jambi mengeluarkan surat kepada PT Asiatic Persada untuk mengembalikan lahan tersebut namun juga diacuhkan. Pada 25 Oktober 2013, pemerintah daerah pun menerbitkan surat rekomendasi pembatalan izin atas Hak Guna Usaha karena mengabaikan instruksi Gubernur Jambi, setelah adanya peringatan berkali-kali.
Hingga akhirnya April 2013 dikabarkan PT Asiatic Persada kembali dijual kepada PT Agro Mandiri Semesta (AMS) di bawah kendali Ganda Group. Kelompok bisnis itu dimiliki oleh Ganda Sitorus – masih saudara dekat Martua Sitorus, salah satu pemilik Wilmar International.
Rumah Suku Anak Dalam yang terjepit perkebunan kelapa sawit kini tinggal tersisa puing-puing belaka. Foto: Feri Irawan
Rumah Suku Anak Dalam yang terjepit perkebunan kelapa sawit kini tinggal tersisa puing-puing belaka. Foto: Feri Irawan
Penyelesaian Konflik Mendadak Lewat Lembaga Adat
Karena bingung dan tak punya tempat tinggal lagi, sekitar 60 orang perwakilan warga Kelompok SAD 113 pada 12 Desember 2013 sekitar jam 12.00 siang sempat membikin tenda di depan Rumah Dinas Gubernur Provinsi Jambi. Massa berniat mengadukan tindakan penggusuran tersebut. Sayangnya tak satupun perwakilan Pemerintah Provinsi Jambi yang menerima mereka.
Sorenya, massa bergerak menuju Pendopo Kantor Gubernur. Mereka berdialog dengan Kapolres Batanghari, AKBP Robert A. Sormin dan Sekretaris Lembaga Adat Batanghari, Khuswaini. Sormin meminta agar penyelesaian itu diselesaikan di Lembaga Adat Batanghari pada 13 Desember 2013. “Datuk-datuk percayolah dengan kami. Kami akan berjuang semaksimal mungkin,” katanya merayu.
Sormin maupun Khuswaini sama sekali mengalihkan pembicaraan setiap kali massa menyinggung soal penggusuran. Bahkan Sormin sampai datang kembali dan membujuk massa agar meninggalkan pendopo. Sebagian bersedia pulang namun sebagian lagi masih menginap di pendopo tersebut.
Semua hancur tanpa sisa, hanya puing belaka. Foto: Feri Irawan
Semua hancur tanpa sisa, hanya puing belaka. Foto: Feri Irawan
Tim Terpadu Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Wilayah Kabupaten Batanghari dibentuk pada 26 April 2013 lewat Keputusan Bupati Batanghari Nomor 404 Tahun 2013. Bupati Batanghari duduk sebagai ketua tim dan Kapolres Batanghari sebagai Wakil Ketua I. Anehnya Lembaga Adat berada pada posisi nomor 40 sebagai anggota tim mendadak menjadi penentu penyelesaian konflik ini.
Sekretaris Lembaga Adat Batanghari Khuswaini mengatakan, konflik itu hanya bisa diselesaikan secara adat. Perusahaan baru saja menyerahkan lahan seluas 2.000 hektare kepada Pemerintah Kabupaten Batanghari. Dalam sepekan ini Lembaga Adat akan memverifikasi siapa saja yang berhak menerima lahan tersebut. Namun Khuswaini tak merinci apa saja indikator verifikasi. Soal tindakan penggusuran, Khuswaini mengaku tak tahu sama sekali. “Kami baru dapat laporan soal itu hari ini. Soal benar-tidaknya saya belum tahu,” katanya kepada Mongabay Indonesia.
Sormin membantah bahwa pihaknya ikut melakukan penggusuran tersebut. “Kalau pada 7 Desember 2013 betul kita melakukan penertiban yang berujung pada aksi balasan pembakaran. Kalau aksi penggusuran di Pinang Tinggi, wah kami tidak tahu itu. Kita juga kaget dapat kabar ini,” katanya kepada Mongabay-Indonesia.
Menurut Sormin, Tim Terpadu itu tujuannya mencari solusi. “Apalagi kalau kami disebut menjarah. Tidak ada itu. Mohon jangan dibilang menjarah. Tindakan penggusuran itu murni dilakukan perusahaan. Kami tidak ikut serta. Sambil menunggu penyelesaian, kami akan meminta perusahaan untuk sementara menghentikan tindakannya,” ujarnya.
Juru bicara Kelompok SAD 113, Idris, mengatakan bahwa pertemuan itu terkesan mendorong mereka pada satu opsi yaitu penyelesaian konflik di Lembaga Adat. “Kami akan ikuti itu tapi soal solusi entah itu kemitraan atau apapun polanya, nanti dulu. Sekarang kami minta ganti rugi rumah-rumah kami yang digusur. Mana tanggung jawab mereka,” katanya kepada Mongabay Indonesia.
Dua anak Basron tengah berada di Jakarta. “Begitu mereka pulang, mereka pasti bingung, rumah kami tak ada lagi. Saya juga bingung bagaimana memberi tahu mereka bahwa ayam kesayangan mereka dijarah,” kata Basron dengan pandangan berkaca-kaca.

Source : link
0 komentar

Perusahaan Kelapa Sawit Asiatic Persada Usir Paksa Suku Anak Dalam

Diposting oleh Maysatria Label: News
Parit gajah sedalam 4 hingga 6 meter yang dibuat PT Asiatic Persada untuk menutup akses warga Bathin Sembilan. Foto dok. Yayasan CAPPA

Parit gajah sedalam 4 hingga 6 meter yang dibuat PT Asiatic Persada untuk menutup akses warga Bathin Sembilan. Foto dok. Yayasan CAPPA

Ratusan personil Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Brigade Mobil (Brimob) Polri mengawal penggusuran yang dilakukan PT Asiatic Persada, anak perusahaan dari Wilmar Group terhadap warga Suku Bathin Sembilan atau yang dikenal dengan Kelompok Suku Anak Dalam (SAD) 113 di Padang Salak, Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Batanghari, pada 7 Desember 2013 lalu.
Norman, 55 tahun, warga Desa Pinang Tinggi berdasarkan keterangan saksi mata, Muktar menceritakan bahwa aparat keamanan itu mengawal di barisan belakang. Di barisan depan adalah para preman bayaran perusahaan, anggota sekuriti, dan pengawas kebun.
Proses penggusuran dimulai sekitar pukul 16.00 WIB. Saat itu sebagian besar warga sedang beraktivitas di ladang. Namun, tiba-tiba datang 1.500-an pasukan gabungan menyerang dan merusak rumah petani menggunakan eskavator dan senjata tajam seperti parang. “Hari itu merusak rumah Budi dan Peheng. Esok harinya (8 Desember 2013), mereka kembali datang dan merusak sekitar 50 rumah warga,” ujar Norman kepada Mongabay-Indonesia lewat telepon seluler pada 9 Desember 2013 lalu.
Sekitar 70-an warga yang mencoba melakukan perlawanan berlarian ketakutan. TNI dan Brimob melepaskan tembakan berkali-kali. Sejumlah sekuriti dan preman bayaran PT Asiatic Persada mengumbar senjata tajam serta membacok warga. Akibatnya salah seorang warga bernama Angga mengalami luka serius di bagian tangan.
Para perempuan juga sempat diseret paksa meninggalkan lokasi. Beberapa kendaraan roda dua milik warga juga dirusak. Bahkan, celengan berisi sejumlah uang serta perhiasan dirampas paksa pasukan gabungan tersebut.Pada 8 Desember 2013 sekira jam 16.00, warga Bathin Sembilan melakukan aksi balasan dengan membakar pos penjagaan serta gudang perusahaan di Padang Salak. Akibatnya dua orang warga bernama Budi dan Angga sejak 8 Desember 2013 itu ditangkap Polres Batanghari. “Sementara tokoh-tokoh masyarakat seperti Mawardy Pusten dan Abbas sedang diincar pihak kepolisian untuk ditangkap,” kata Norman.

Pada tahun 2003- lokasi yang akan diserahkan PT Asiatic kepada warga Bathin Sembilan berada di dua lokasi (diarsir warna hijau) Dokumen SETARA
HGU PT Asiatic Direkomendasikan Pemprov Dicabut
Belum lama ini, Pemerintah Provinsi Jambi sudah merekomendasikan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mencabut izin Hak Guna Usaha (HGU) Asiatic Persada. Toh, PT Asiatic tak bergeming.
Pada 10 Desember 2013 ini sebenarnya sudah dijadwalkan gelar perkara di BPN Pusat. Sejak kemarin, sudah 150 orang suku Bathin Sembilan yang berangkat ke Jakarta. “Praktis gara-gara penggusuran ini warga dari Padang Salak tak ada yang berangkat. Sampai sekarang mereka kocar-kacir dan tak tahu ke mana bersembunyi karena ketakutan,” ujar Norman.
Konflik lahan HGU PT Asiatic Persada ini sudah berlarut-larut sejak tahun 1986 silam. HGU PT Asiatic Persada sebenarnya hanya 20.000 hektare. Namun dengan hanya bermodal izin lokasi dengan Legalitas gabungan/2272/2000 tanggal 16 Desember 2000 mendapat izin tambahan seluas 7.252 hektar yang masing-masing dikelola anak perusahaannya: PT Jammer Tulen seluas 3.871 hektare dan PT Maju Perkasa Sawit seluas 3.381 hektare.
Izin lokasi ini mestinya sudah berakhir pada tahun 2005, namun baru 3.000 hektare yang ditanami PT Asiatic sejak tahun 2006. Nah, rekomendasi Pemerintah Provinsi berbunyi bahwa perusahaan harus melepas 1.000 hektare dari 7.000 hektare itu baru izinnya bisa diperbaharui.
Berdasarkan kesepakatan pada 2003 seperti yang dituangkan dalam peta kelas lereng dan lokasi sampel analisis amdal PT Asiatic sebenarnya sudah disepakati bahwa areal 1.000 hektare yang akan diserahkan kepada warga Bathin Sembilan itu berada di dua lokasi: 400 hektare untuk masyarakat Pompa Air, dan Bungku. Kemudian 600 hektar untuk warga Markanding, Tanjung Lebar, Sei Beruang, Panerokan, dan Pinang Tinggi.
Belakangan kesepakatan itu berubah dan dituangkan dalam Perjanjian Kerjasama yang dituangkan pada 24 Juni 2010 lalu menyatakan bahwa PT Asiatic siap menyerahkan lahan seluas 1.000 hektare kepada warga Bathin Sembilan dengan pola kemitraan. Yang meneken perjanjian ini adalah Presiden Direktur PT Asiatic Persada, Goh Ing Sing serta Ketua Koperasi Sanak Mandiri, Hendriyanto beserta Sekretaris Koperasi, Muhammad Adam.Perjanjian Kerjasama ini justru menyebutkan bahwa lokasi 1.000 hektare itu berada dalam satu lokasi, yaitu di areal PT Jammer Tulen dan PT Maju Perkasa Sawit itu. “Dugaan kami lokasi penyerahan ini disengaja dipindah agar izin kedua perusahaan itu diperbaharui sehingga menjadi permanen. Tidak lagi sebatas izin lokasi,” kata Menurut Direktur SETARA, Rukaiyah Rofiq kepada Mongabay Indonesia, pada 9 Desember 2013. SETARA adalah salah satu lembaga yang ikut mendampingi suku Bathin Sembilan selama lima tahun terakhir.
Peta lahan milik masyarakat. Silakan klik untuk memperbesar peta.
Pendekatan Konvensional
Menurut Direktur SETARA, Rukaiyah Rofiq bahwa aksi penggusuran dan pembakaran ini adalah antiklimaks dari berlarut-larutnya penyelesaian konflik ini selama puluhan tahun. Pendekatan yang dilakukan pemerintah masih dengan cara-cara konvensional, yaitu dengan hanya memberikan satu opsi penyelesaian yaitu pola kemitraan.
“Masyarakat itu mau menerima proses penyelesaian dengan skema apapun. Yang penting masyarakat masih bisa mendiami lahan mereka. Kalau lahan mereka dikelola habis oleh pihak perusahaan, lantas mereka mau tinggal di mana?” kata Rukaiyah.
Deputi Direktur SETARA, Rian Hidayat mengatakan penyelesaian konflik itu bukan dengan cara-cara kekerasan, pengancaman, atau opsi tunggal. Pemerintah tak bisa menyelesaikan konflik dengan opsi tunggal yang menurut mereka benar, tanpa memberikan opsi alternatif lain. “Memang ada masyarakat yang menerima opsi itu tapi juga jangan mengabaikan masyarakat yang menolak opsi tersebut,” kata Rian.
Lagipula, kata Rukaiyah, dirinya tak habis pikir kenapa Pemerintah Provinsi Jambi maupun Pemerintah Kabupaten Batanghari masih memberi angin kepada PT Asiatic yang jelas-jelas melanggar hukum. “Izin mereka itu kan sudah habis pada tahun 2005, tapi kenapa pemerintah masih berupaya bernegoisasi dan menawarkan pola kemitraan kepada perusahaan bermasalah macam begitu,” ujar Rukaiyah.

Source : link
0 komentar

Kamis, 12 Desember 2013

Kepudang Kuduk Hitam, Si Pesolek Simbol Keselarasan

Diposting oleh Maysatria Label: Flora dan Fauna, Konservasi
Kepudang kuduk hitam. Foto: Dwi Retno Rahayuni/Burung Indonesia

Kepudang kuduk hitam. Foto: Dwi Retno Rahayuni/Burung Indonesia

Burung berukuran 26 cm ini dijuluki burung pesolek karena penampilannya yang selalu bersih dan apik. Kebiasaannya adalah hidup berpasangan di atas pohon. Namun begitu, sewaktu-waktu ia turun ke bawah untuk mencari serangga.
Burung bernama latin Oriolus chinensis ini mudah dikenali dari warna hitam dan kuning yang mendominasi tubuhnya. Juga dari setrim hitam yang melewati mata dan tengkuknya. Untuk membedakan antara jantan dan betina cukup dilihat dari warna saja. Jantan berwarna kuning terang sementara betina lebih buram dengan punggung zaitun.
Dalam filosofi masyarakat Jawa, kepudang merupakan perlambang keselarasan, keindahan budi pekerti, dan kekompakan. Sementara, bagi masyarakat Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, kepudang digambarkan sebagai gadis nan rupawan. Julukannya “Leros” karena bulunya yang cantik dan suaranya yang khas.
Sano Nggoang, danau vulkanik di kawasan wisata Indonesia Timur, merupakan salah satu tempat favoritnya. Danau hijau jernih seluas 513 hektar ini berada di Kecamatan Sano Nggoang, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Di pohon beringin yang tepat berada di tepi Sano Nggoang, ia asik bernyanyi sembari melompat dari satu ranting ke ranting lain. Warna kuningnya yang dominan, tidaklah sulit untuk menandainya meski ia berada di balik dedaunan.
Silakan unduh  wallpaper kepodang kuduk hitam untuk bulan Desember dari Burung Indonesia di link ini.
des_1280_800_cal-small

Source : link
0 komentar

Kearifan Lokal: Wanatani Masyarakat Selamatkan Gambut Tanjung Jabung Timur

Diposting oleh Maysatria Label: News
Kakao atau coklat, salah satu komoditi yang ditanam oleh masyarakat melalui wanatani mereka. Foto: KKI Warsi

Kakao atau coklat, salah satu komoditi yang ditanam oleh masyarakat melalui wanatani mereka. Foto: KKI Warsi

Kabupaten Tanjung Jabar Timur adalah sebuah kabupaten yang terletak di timur provinsi Jambi. Sebagai Kabupaten yang mayoritas kawasannya adalah lahan gambut, masyarakat Tanjung Jabung Timur memiliki model pemanfaatan lahan yang tetap menjaga kelestarian gambut. Sejak dulu masyarakat di Kabupaten ini menerapkan model pertanian agroforestry (wanatani), atau suatu bentuk pengelolaan sumberdaya yang memadukan kegiatan pengelolaan hutan atau pohon kayu-kayuan dengan penanaman komoditas atau tanaman jangka pendek seperti tanaman pertanian.
“Masyarakat Tanjabtim memiliki pengetahuan dan teknologi lokal dalam mengelola hutan gambut sehingga kelestariannya tetap terjaga” ujar Rakhmat Hidayat, direktur KKI Warsi. Ia mencontohkan dua desa yang berada di kabupaten Tanjabtim yaitu Desa Sinar Wajo dan Sungai Beras yang menerapkan model agroforestry yang memadukan tanaman kelapa dalam sebagai ajir tanaman lada. Disamping kelapa dan lada, kopi jenis Excelsa juga dapat dibudidayakan di lahan gambut dan memiliki nilai ekonomi tinggi.
Perkebunan kelapa dan pinang masyarakat. Foto: KKI Warsi
Perkebunan kelapa dan pinang masyarakat. Foto: KKI Warsi
Kopi Excelsa adalah jenis tanaman kopi yang memiliki karakteristik sedikit berbeda dengan kerabatnya, kopi Robusta dan Arabica yang lebih cocok ditanam di dataran tinggi. Kopi Excelsa adalah tanaman kopi yang dapat hidup di ketinggian 1 hingga 200 meter diatas permukaan laut. Kopi ini pertama kali ditemukan oleh seorang ahli botani Perancis bernama Auguste Jean Baptiste Chavalier di Afrika Tengah pada tahun 1903.
Kopi ini mulai dibudidayakan di pulau Jawa pada tahun 1905. Pada usia 3,5 tahun, kopi yang lebih tahan terhadap penyakit karat daun ini telah dapat dipanen. Buahnya lebih besar dari buah yang dihasilkan oleh kopi Arabica. Dalam satu hektar tanaman kopi Excelsa dapat menghasilkan biji kopi sebanyak 800 hingga 1.200 kilogram.
Daerah Tanjung Jabung adalah salah satu daerah dari sedikit daerah di Indonesia yang membudidayakan kopi Excelsa. Kopi jenis ini telah dibudidayakan di daerah Tanjung Jabung sejak 50 tahun lalu. Beberapa perusahaan kopi terkemuka di Indonesia telah menggunakan kopi ini sebagai bahan baku. Bahkan sejak beberapa tahun terakhir permintaan akan kopi Excelsa mengalami peningkatan terutama dari Malaysia dan Singapura. Harga jual kopi Excelsa dapat mencapai Rp 26.000 per kilogram. Daerah Tanjung Jabung khususnya kabupaten Tanjabtim 65% diantaranya adalah lahan gambut yang cocok untuk membudidayakan kopi jenis ini.
Kopi Excelsa, salah satu hasil wanatani masyarakat di Tanjung Jabung Timur. Foto: KKI Warsi
Kopi Excelsa, salah satu hasil wanatani masyarakat di Tanjung Jabung Timur. Foto: KKI Warsi
Selain kopi Excelsa lebih lanjut Rahmat menambahkan bahwa tanaman pinang dan kakao juga cocok ditanam di lahan gambut sehingga model pengelolaan agroforestry di lahan ini dapat memberikan multi manfaat. Selain tetap menjaga kelestarian gambut, upaya ini juga memberikan keuntungan ekonomis bagi masyarakat.
Namun resiko beralihfungsinya lahan pertanian masyarakat di lahan gambut menjadi perkebunan monokultur berskala besar tetap menjadi ancaman besar bagi lahan gambut. Pengelolaan lahan gambut yang masih berorientasi pada aspek ekonomi dan kebakaran lahan gambut mengakibatkan rusaknya ekosistem lahan gambut yang berdampak pada bekurangnya sumber pangan dan mata pencarian masyarakat serta meningkatkan konflik masyarakat dengan satwa, perusahaan atau dengan pemerintah.
Ketidakseimbangan pengelolaan lahan gambut juga telah menghilangkan hak-hak masyarakat adat/lokal terhadap sumber hidup dan penghidupannya dan juga meningkatkan resiko terjadinya bencana. Jika gambut Jambi terus dikelola tanpa memperhatikan aspek konservasi maka kemampuan gambut menyerap karbon dioksida lebih banyak jika dibandingkan dengan tanah mineral biasa akan hilang dan sebaliknya gambut justru melepas karbon dioksida dalam jumlah yang sangat besar ke atmosfir dan akan berdampak besar terhadap perubahan iklim. “Saat ini kita sudah merasakan dampak perubahan iklim, jangan sampai gambut kita salah kelola sehingga Jambi menjadi penyumbang emisi yang akan mengancam kehidupan di masa mendatang” jelas Rakhmat.
Lokasi agroforestry di Tanjung Jabung Timur, Jambi. Foto: KKI Warsi
Lokasi agroforestry di Tanjung Jabung Timur, Jambi. Foto: KKI Warsi
Untuk mengurangi resiko alih fungsi, lahan gambut yang telah dikelola masyarakat didorong untuk dijadikan kawasan agroforestry gambut melalui skema hutan desa. “Masyarakat memiliki motivasi kuat untuk melindungi sumber daya hutannya karena terkait langsung dengan penghidupan mereka sehingga jika pengelolaan hutan diberikan pada masyarakat maka orientasi pengelolaannya tidak terfokus pada aspek ekonomi saja tapi juga memperhatikan aspek sosial, ekologi dan religi” ungkap Rakhmat. Ia juga menambahkan bahwa dengan pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini potensi konflik juga akan berkurang dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Hingga saat ini telah ada tiga usulan hutan desa yang telah diverifikasi untuk penetapan permohonan areal kerja hutan desa oleh kementrian kehutanan. Tiga hutan desa yang telah diusulkan adalah hutan desa Sungai Beras seluas 2.096 hektar, desa Sinar Wajo seluas 5.089 hektar dan desa Kota Kandis Dendang seluas 6.374 hektar dan masih ada dua hutan desa lain yang masih dalam proses pengusulan.
Diperlukan komitmen nyata dari para pihak untuk melestarikan lahan gambut yaitu dengan menyelamatkan lahan gambut yang tersisa dan menghentikan pemberian izin pemanfaatan di lahan gambut. “Dan yang juga penting dilakukan sekarang adalah peninjauan ulang atas izin-izin yang sudah terlanjur dikeluarkan dan jika izin tersebut tidak sesuai peruntukannya maka pemerintah harus melakukan pemulihan kawasan gambut tersebut” pungkas Rakhmat.

Source : link
0 komentar

Udang Mantis, Si Petinju Bungkuk Bermata Pelik

Diposting oleh Maysatria Label: Flora dan Fauna, Konservasi
Peacock mantis shrimp. Foto: Wisuda

Mantis yang ini, bukanlah sejenis belalang yang banyak kita jumpai di kebun-kebun, hutan-hutan, persawahan, ataupun halaman rumah kita, tetapi ini adalah udang mantis yang tinggal di dalam lautan.
Disebut mantis, karena bentuk dan sifatnya yang sangat mirip dengan belalang mantis atau lebih kenal dengan belalang sembah. Udang mantis adalah krustacea laut, yang merupakan anggota dari ordo Stomatopoda. Ukuran panjang tubuh mereka dapat mencapai 30 sentimeter, dengan pengecualian suatu spesimen sepanjang 38 cm yang tercatat. Udang yang satu ini pun, mempunyai beberapa keistimewaan yang membedakannya dengan krustacea yang lainnya.
                                                  Little mantis. Foto: Wisuda

Keistimewaannya yang paling menonjol terletak pada matanya. Seorang ahli biologi, dari Bristol, Inggris, Dr. Nicholas Roberts mengatakan bahwa, ”Mata udang itu jauh mengungguli apa pun yang mampu diciptakan manusia hingga saat ini. Udang mantis dapat melihat cahaya yang terpolarisasi dan memprosesnya dengan cara yang tidak dapat dilakukan manusia. Gelombang cahaya yang terpolarisasi dapat merambat lurus atau berputar seperti spiral. Tidak seperti makhluk-makhluk lain, udang mantis ini tidak hanya melihat cahaya yang terpolarisasi dalam bentuk lurus maupun memutar, tetapi juga bisa mengubah cahaya tersebut dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Karena itu, udang ini memiliki penglihatan yang lebih baik. Sehingga dikatakan juga, udang mantis dapat melihat mahluk dari dimensi lain, karena kemampuan melihatnya yang unik.Pemutar DVD bekerja dengan cara serupa. Guna memproses informasi, pemutar DVD harus mengubah cahaya terpolarisasi yang dibidikkan lurus ke cakram menjadi gerak memutar lalu mengubahnya kembali menjadi bentuk garis lurus. Namun, mata udang mantis selangkah lebih maju. Pemutar DVD standar hanya mengubah cahaya merah atau di pemutar yang beresolusi lebih tinggi, tetapi mata udang mantis ini dapat mengubah semua warna cahaya yang terlihat.
                                                    Golden mantis. Foto: Wisuda
Para peneliti juga berpendapat bahwa dengan menggunakan mata udang mantis sebagai model, para insinyur bisa mengembangkan pemutar DVD yang memutar cakram dengan informasi yang jauh lebih banyak ketimbang DVD sekarang. “Yang paling menarik adalah mata itu luar biasa sederhana,” kata Roberts. ”Cara kerjanya jauh lebih baik ketimbang upaya apa pun yang pernah kita buat untuk merancang sebuah alat.”
Keistimewaan yang lainnya ada pada senjata yang melekat pada tubuhnya. Udang mantis memiliki dua senjata yang cukup berbahaya, yaitu cakar dan tinju. cakar digunakannya seperti tombak untuk  menusuk mangsanya. Dan ini sangat tajam. Untuk udang mantis ukuran yang besar, cakar udang mantis, bisa memotong jari manusia.  Senjatanya yang lain adalah tinjunya. kecepatannya bisa menyerupai kecepatan peluru kaliber 22 serta populer dikenal sebagai jempol splitter.
Udang mantis meninju dengan kecepatan melebihi 80 km/jam. Bagian luar alat pemukul udang mantis terdiri dari kristalisasi mineral hidroksiapatit dengan konsentrasi yang sangat tinggi. hidroksiapit merupakan material utama penyusun tulang dan gigi manusia. Di bawahnya juga terdiri dari beberapa lapisan hidroksiapatit yang tidak mengkristal. Pada lapisan paling dalam mengandung kitin (senyawa yang sering ditemukan pada eksoskeleton krutasea) dalam bentuk heliks, diantara lapisan-lapisan kitin tersebut juga terdapat hidroksiapatit.
Mata istimewa udang mantis yang bisa mempolarisasi cahaya. Foto: Wisuda
Pada saat udang mantis memukul dan terjadi retakan pada bagian pemukulnya, ketiga lapisan tersebut dapat mencegah retakan tersebut menyebar, sehingga organ pemukul tetap utuh. Temuan ini dilaporkan para peneliti dalam Science. Di habitatnya, tinju mantis digunakan mencari makan juga, seperti memecahkan cangkang kerang, kepiting ataupan cangkang moluska yang lainnya.
Udang mantis membawa telur-telurnya. Foto: Wisuda
Udang mantis membawa telur-telurnya. Foto: Wisuda
Sekali bertelur, jumlahnya bisa mencapai ribuan. Udang mantis juga terkenal sebagai binatang yang sangat posesif terhadap teritorinya. Setiap ada mahluk lain yang mendekat lubangnya, akan diserangnya tanpa ampun.
Ada sekitar 400 jenis mantis yang keberadaannya tersebar di seluruh dunia. Salah satu yang mempunyai warna menarik, dan sering menjadi obyek foto para fotografer underwater, adalah peacock mantis shrimp (Odontodactylus scyllarus ). Warna tubuhnyalah yang membuatnya disamakan dengan burung merak.

Source : link
0 komentar

Kamis, 05 Desember 2013

Lovebird, si Kicauan Merdu Penghuni Sangkar Emas

Diposting oleh Maysatria Label: Flora dan Fauna
Loverbird, burung dengan kicau merdu dan warna yang indah ini,  di dalam sangkar mewah. Foto: (Ayat S Karokaro

Loverbird, burung dengan kicau merdu dan warna yang indah ini, di dalam sangkar mewah. Foto: (Ayat S Karokaro

Kicauan nyaring dan merdu. Kala bersuara, ia mampu mengeluarkan alunan nada cukup panjang, hingga menarik hasrat pendengar untuk memiliki. Kini, burung ini tak lagi mudah ditemukan. Di Sumatera Utara (Sumut), sebagian besar ada di sangkar-sangkar milik para pengoleksi.  Ia adalah fischer’s lovebird (Agapornis fischeri). Dalam daftar International Union for Conservation of Nature (IUCN), burung ini masuk kategori mendekati terancam.
Burung asli Afrika ini pertama kali diimpor ke Eropa 1800-an. Karena banyak permintaan, lovebird pun ditangkarkan penduduk lokal di penjuru dunia, termasuk Indonesia. Di Papua, paling banyak ditemukan. Beberapa tahun lalu, jenis ini banyak dijual di Sumatera Utara (Sumut). Di pasaran, harga burung ini bisa sampai Rp3 juta lebih.
Namun dua tahun terakhir, jumlah makin sedikit. Ia hanya ditemukan di lokasi tertentu, misal, di rumah para pengkoleksi burung. Kampanye penyelamatan lovebird, terus dilakukan pegiat lingkungan dan kelompok mahasiswa pecinta satwa liar. “Hasil pendataan kami, di Sumut tak sampai 113 ekor lagi. Kebanyakan di rumah penduduk. Kalau di pasar burung, jumlah lima hingga 14 ekor,” kata Oi Barita, Mahasiswa Pecinta Alam, yang tergabung dalam komunitas penyelamat hewan liar, belum lama ini.
Menurut Oi, jika terus dibiarkan, dalam 10 tahun mendatang, lovebird, bisa terancam punah. Dia mendesak, pemerintah membuat aturan baku melarang penjualan lovebird dan satwa lain agar mampu menekan penurunan spesies.
Lantas apa alasan memelihara dan menyekap lovebird ini di dalam sangkar? Menurut sejumlah pemilik burung indah itu, kicauan begitu merdu dan riuh, serta bentuk dan warna bulu nan indah. Lovebird juga bisa hidup hingga 12 tahun.
Eno Siburian, warga Medan memelihara burung ini, mengatakan, merawat lovebird lebih gampang ketimbang memelihara satwa peliharaan lain. “Tinggal semprotkan air pagi hari, dan sore, lalu dijemur, dan dikasih makanan. Buah, minuman segar dan jagung menu utama. Suara itu buat aku suka, ” kata Eno. Dia membeli burung ini dari Aceh, seharga Rp2,8 juta.
Lovebird atau burung cinta ini satu dari sembilan spesies genus Agapornis, dari bahasa Yunani agape berarti cinta dan ornis, berarti burung. Mereka burung berukuran kecil, antara 13-17 cm dengan berat 40-60 gram, dan bersifat sosial. Delapan spesies ini dari Afrika, sedang spesies burung cinta kepala abu-abu dari Madagaskar. Nama mereka berawal dari perilaku, bahwa sepasang burung cinta akan duduk berdekatan dan saling menyayangi satu sama lain.
Lovebird, burung dengan kicau merdu dan warna yang indah dipercaya sebagai simbol cinta. Foto: Ayat S Karokaro
Lovebird, burung dengan kicau merdu dan warna yang indah dipercaya sebagai simbol cinta. Foto: Ayat S Karokaro

Source : link
0 komentar

Penelitian: Keragaman Hayati Tropis Kaya, Namun Kawasan Dingin Lebih Banyak Sub-Spesies

Diposting oleh Maysatria Label: Flora dan Fauna, Sains dan Teknologi
Keragaman hayati di kawasan tropis sangat luar biasa. Namun kemunculan sub-spesies ternyata lebih tinggi di kawasan yang lebih dingin. Foto: Rhett Butler

Keragaman hayati di kawasan tropis sangat luar biasa. Namun kemunculan sub-spesies ternyata lebih tinggi di kawasan yang lebih dingin. Foto: Rhett Butler

Sebuah studi yang dilakukan terhadap 2300 spesies mamalia dan nyaris 6700 spesies burung dari seluruh penjuru dunia kini mampu menjelaskan fenomena mengapa lebih banyak spesies vegetasi dan satwa di kawasan tropis dibandingkan di kawasan yang lebih tinggi. Dalam penelitian yang didukung oleh National Evolutionary Synthesis Center di North Carolina, Amerika Serikat para peneliti menemukan bahwa pada saat kawasan tropis memberikan keragaman spesies, namun sejumlah sub-spesies lebih banyak jumlahnya di wilayah yang lebih ‘keras’ yang menjadi tipikal wilayah di kawasan tinggi.
Hasil yang mengejutkan ini menyatakan bahwa keragaman hayati di ketinggian kemungkinan terkait dengan turnover (pergantian) spesies yang lebih tinggi di kawasan kutub dibandingkan wilayah-wilayah di dekat khatulistiwa, ungkap para peneliti.
Mungkin para pakar sudah lama memahami bahwa keragaman hayati semakin meningkat di wilayah yang semakin mendekati garis khatulistiwa. Misalnya hutan hujan tropis, yang menjadi rumah bagi duapertiga spesies di seluruh dunia, dan sangat kaya akan berbagai jenis serangga, burung dan primata. Dibandingkan dengan wilayah tundra, dimana hanya beberapa jenis vegetasi yang mampu bertahan hidup, serta segelintir mamalia yang bisa tinggal di dalamnya.
Beruang muda di Alaska, Amerika Serikat. Foto: Rhett Butler
Beruang muda di Alaska, Amerika Serikat. Foto: Rhett Butler
Sejumlah hipotesa sudah dikembangkan untuk menjelaskan hal ini. Salah satu penjelasan mengapa kawasan tropis memiliki keragaman hayati lebih tinggi karena mereka memiliki tanah yang subur untuk pembentukan spesies baru, atau terkenal dengan sebutan “cradle of diversity”. Penjelasan lainnya adalah titik-titik keragaman hayati kecil kemungkinan untuk kehilangan spesies yang sudah tinggal di dalamnya.
“Masih banyak kontroversi terkait penjelasan pola keragaman hayati global hingga kini,” ungkap penulis utama penelitian ini, Carlos Botero dari North Carolina University.
Dalam penelitian yang diterbitkan 22 November 2013 silam di jurnal ilmiah Molecular Ecology, Botero dan rekan-rekannya mengumpulkan dan mempelajari sejumlah data ikim dan cuaca di seluruh dunia, dan menggabungkannya dengan data-data genetika dari sekitar 50% mamalia dan 70% spesies burung yang hidup saat ini.
Hasil kajian tim ini mengejutkan, karena mereka menemukan bahwa kendati jumlah spesies burung dan mamalia semakin banyak di kawasan yang semakin dekat khatulistiwa, namun jumlah kelompok-kelompok khusus yang berbeda secara genetika di tiap spesies -atau dikenal dengan sub-spesies- jumlahnya lebih besar di lingkungan yang lebih tidak ramah seperti di wilayah-wilayah yang lebih dingin.
Singa laut di Alaska. Foto: Rhett Butler
Singa laut di Alaska. Foto: Rhett Butler
“Ini adalah kawasan yang lebih dingin dan lebih kering, dan perbedaan suhu antara musim dingin dan musim panas sangat ekstrem,” jelas Botero.
Satwa di lingkungan seperti ini memiliki kecenderungan untuk membeku di musim dingin atau mati saat musim panas. “Jika cuaca ekstrem menghilangkan sejumlah spesies sejak dulu, namun kenyataannya tidak, populasi yang mampu bertahan akan terpisah secara geografis dan mampu hidup terpisah dari satu sama lain,” jelas Botero lebih lanjut.
Burung Cabai Bunga Api (Diaceum trigonostigma) salah satu penghuni mangrove di Indonesia bagian Barat. Foto: Aji Wihardandi
Burung Cabai Bunga Api (Diaceum trigonostigma) salah satu penghuni hutan mangrove di dataran rendah Indonesia bagian Barat. Foto: Aji Wihardandi
Hasil penelitian ini konsisten dengan kajian tahun 2007 silam yang dilakukan oleh sejumlah pakar dari University of British Columbia, dimana spesies lebih cepat muncul di kawasan yang bersuhu dingin dibandingkan di kawasan tropis. “Mungkin karena spesies lebih sering berpindah di kawasan yang bersuhu dingin,” pungkas Botero.

CITATION: Botero, C., et al. (2013). “Environmental harshness is positively correlated with intraspecific divergence in mammals and birds.” Molecular Ecology.

Source : link
0 komentar

Penyu Belimbing Kini Tak Lagi Satwa Terancam Punah

Diposting oleh Maysatria Label: Flora dan Fauna, Konservasi
Penyu belimbing atau leatherback sea turtle. Foto: Guy Marcovaldi

Penyu belimbing atau leatherback sea turtle. Foto: Guy Marcovaldi

Leatherback sea turtle atau penyu belimbing, yang merupakan penyu terbesar di dunia kini tak lagi masuk dalam satwa yang dikategorikan terancam punah (Critically endangered) dalam Daftar Merah IUCN terbaru. Daftar yang terkini, penyu belimbing kini masuk dalam kategori rentan (Vulnerable). Kendati demikian para ahli konservasi memperingatkan bahwa spesies ini masih belum sepenuhnya aman dan jumlahnya masih terus berkurang.
Dalam penelitian terbaru ditemukan bahwa populasi penyu belimbing di barat laut Samudera Atantik (di sepanjang Amerika Serikat dan Karibia) kini mulai mulai bertambah jumlahnya terkait upaya-upaya konservasi yang dilakukan. Sementara itu para pakar masih belum tahu pasti bagaimana populasi penyu belimbing di tenggara Samudera Atlantik (terutama di Gabon) yang masih merupakan populasi terbesar penyu belimbing.
Namun, situasi di Samudera Pasifik jauh lebih rentan. Populasi penyu belimbing di bagian timur Samudera Pasifik turun hingga 97% dalam tiga generasi penyu belimbing, sementara di sisi barat Samudera Pasifik populasinya menurun hingga 80% di periode yang sama.
Salah satunya di Indonesia, yang menjadi habitat penyu belimbing. Populasinya hanya tersisa sedikit saja dari sebelumnya (2.983 sarang pada 1999 dari 13.000 sarang pada tahun 1984). Untuk mengatasi hal tersebut, tiga Negara yaitu Indonesia, PNG dan Kepulauan Solomon telah sepakat untuk melindungi habitat penyu belimbing melalui Mou Tri National Partnership Agreement.
Darah keluar dari bagian mulut penyu. Foto: Tommy Apriando
Salah satu penyu belimbing yang sempat terdampar di Pantai Srandakan Bantul, DIY, beberapa waktu lalu. Darah keluar dari bagian mulut penyu. Foto: Tommy Apriando
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh WWF-Indonesia, migrasi penyu belimbing yang bertelur di Pantai Utara Papua Barat (Abun) menunjukkan bahwa sebagian satwa langka itu juga bermigrasi ke perairan Kei Kecil untuk mengejar mangsanya (ubur-ubur raksasa).
Namun ketika bermigrasi ke Kei Kecil untuk mencari makan, Penyu Belimbing tidak begitu saja bebas dari ancaman. Praktik pembukaan hutan di sekitar kawasan pantai peneluran serta tangkapan sampingan oleh aktivitas perikanan yang sering kali lokasi tangkapnya timpang tindih dengan habitat pakannya adalah sejumlah faktor yang mengancam kepunahan reptil terbesar itu. Beberapa dekade yang lalu perburuan daging penyu untuk upacara adat juga turut menambah deret panjang ancaman terhadap Penyu Belimbing. Namun kini, praktik tersebut sudah jauh lebih berkurang.
Penyu belimbing atau Dermochelys coriacea adalah satu dari tujuh jenis penyu yang ada di dunia, enam diantaranya bisa dijumpai di Indonesia. Penyu belimbing (Dermochelys coriacea) umumnya mempunyai panjang karapas 1-1,75 meter. Sedangkan panjang total umumnya 1,83-2,2 meter. Berat rata-rata penyu belimbing adalah 250-700 kilogram. Meskipun spesies terbesar yang pernah ditemukan (di pantai barat Wales tahun 1988) mempunyai panjang 3 meter (9,8 kaki) dari kepala sampai ekor dengan berat 916 kg.
Selain ukurannya yang besar, penyu belimbing, sebagaimana jenis penyu lainnya pun sebagai penjelajah lautan yang handal. WWF Indonesia bekerjasama dengan NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) pada Juli 2003 memasang transmitter di punggung sepuluh ekor penyu belimbing yang dilepas dari pantai Jamursba Medi, Papua. Pada Mei 2005, berdasarkan pengamatan satelit, penyu tersebut diketahui berada di Monteray Bay, sekitar 25 km dari Golden Bridge, San Fransisco, Amerika Serikat.

Source : link
0 komentar

Sponsored

  • banners
  • banners
  • banners
  • banners

Kategori

  • Flora dan Fauna (128)
  • Forestry (312)
  • Mangrove (82)

Archive

  • ►  2015 (20)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (17)
  • ►  2014 (43)
    • ►  Agustus (13)
    • ►  Mei (9)
    • ►  April (8)
    • ►  Februari (6)
    • ►  Januari (7)
  • ▼  2013 (309)
    • ▼  Desember (14)
      • Tujuh Alasan Penggusuran PT. Asiatic Persada Terha...
      • Puluhan Tahun Berlanjut, Asiatic Persada Terus Mem...
      • Perusahaan Kelapa Sawit Asiatic Persada Usir Paksa...
      • Kepudang Kuduk Hitam, Si Pesolek Simbol Keselarasan
      • Kearifan Lokal: Wanatani Masyarakat Selamatkan Gam...
      • Udang Mantis, Si Petinju Bungkuk Bermata Pelik
      • Lovebird, si Kicauan Merdu Penghuni Sangkar Emas
      • Penelitian: Keragaman Hayati Tropis Kaya, Namun Ka...
      • Penyu Belimbing Kini Tak Lagi Satwa Terancam Punah
      • Konservasi Satwa Liar: Mengapa Kukang Harus Dilind...
      • Anggota Keluarga Baru Orangutan Taman Nasional Kutai
      • Ikan Pari Manta, Sang Raksasa Tak Berbahaya
      • “Madu Alam” dari Hutan Desa di Bantaeng
      • Inilah Delapan Tempat di Indonesia yang Penting un...
    • ►  November (97)
    • ►  Oktober (28)
    • ►  September (36)
    • ►  Agustus (11)
    • ►  Juli (20)
    • ►  Juni (19)
    • ►  April (20)
    • ►  Maret (20)
    • ►  Februari (19)
    • ►  Januari (25)
  • ►  2012 (97)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (25)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (15)
    • ►  April (9)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (19)
    • ►  Januari (16)
  • ►  2011 (323)
    • ►  Desember (52)
    • ►  November (27)
    • ►  Oktober (12)
    • ►  Agustus (12)
    • ►  Juli (5)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (16)
    • ►  Maret (24)
    • ►  Februari (122)
    • ►  Januari (44)
  • ►  2010 (105)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (22)
    • ►  Agustus (79)

_______________

_______________

 

© My Private Blog
designed by Website Templates | Bloggerized by Yamato Maysatria |