Empat hari yang lalu, tepatnya tanggal 7 Desember 2013, PT. Asiatic Persada (anak perusahaan Wilmar Group asal Malaysia) menggusur paksa ratusan rumah warga Suku Anak Dalam (SAD) di dusun Padang Salak, Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Batanghari, Jambi.
Ironisnya, proses penggusuran paksa itu menyertakan sekitar 1500-an pasukan gabungan TNI, Polri, security PT. Asiatic Persada, dan preman bayaran perusahaan. Lebih ironis lagi, proses penggusuran itu disertai pemukulan, penganiayaan, intimidasi, teror, upaya pembacokan terhadap sejumlah warga SAD dan aktivis yang berusaha mempertahankan tanahnya.
Kemudian, pada tanggal 8 Desember 2013, terjadi penangkapan terhadap 3 (orang) warga Suku Anak Dalam. Proses penangkapan terhadap ketiga warga ini disertai dengan tembakan dan kekerasan. Akibatnya, banyak warga yang ketakutan dan mengalami trauma mendalam.
Pasca penggusuran tanggal 7 Desember lalu, proses intimidasi dan teror terhadap warga berlangsung massif. Warga dilarang kembali ke daerah pemukiman (dusun) mereka. Bahkan, beberapa warga yang mencoba kembali diancam akan dibunuh.
Kemudian hari (11/12/2013), 500-an pasukan gabungan TNI, Brimob/Polri, Security PT. Asiatic Persada kembali melakukan penggusuran dan pengusiran paksa terhadap warga SAD yang bermukim di dusun Pinang Tinggi, desa Bungku, kecamatan Bajubang, Batanghari. Para penggusur menghancurkan rumahr-rumah warga, termasuk rumah permanen. Selain itu, para penggusur mengintimidasi warga yang mencoba melawan.
Ibu Hanimah (60 tahun), seorang warga SAD di Pinang Tinggi yang menyaksikan proses penggusuran itu, rumah-rumah warga dibongkar dengan jonder. Beberapa warga yang tidak menyelamatkan barang-barangnya karena dihalang-halangi dan diintimidasi oleh para penggusur. Bahkan, ada beberapa warga yang diancam dibunuh jika berani mendekat ke lokasi penggusuran.
Proses penggusuran yang dilakukan oleh PT. Asiatic Persada, yang didukung oleh aparat keamanan (TNI/Polri), sebetulnya penuh kejanggalan dan ileggal. Berikut beberapa faktanya:
Pertama, para penggusur itu mengaku mendapat perintah dari Tim Terpadu Penyelesaian Konflik Kabupaten Batanghari. Namun, ketika diminta menunjukkan surat perintah dari pihak dimaksud, para penggusur tidak sanggup memperlihatkannya.
Kedua, penggusuran ini juga sebetulnya sangat melecehkan wibawa dan otoritas pemerintah Republik Indonesia, seperti DPR-RI, Menteri Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional (BPN), DPD-RI, Komnas HAM, Pemerintah Daerah Jambi, dan Pemerintah Daerah Batanghari. Pasalnya, semua lembaga yang disebutkan di atas sudah menyepakati perihal pengembalian tanah ulayat suku Anak Dalam seluas 3550 ha sesuai peta mikro.
Ketiga, terkait keputusan lembaga di atas, Gubernur Jambi sudah tiga (3) melayangkan Surat Peringatan kepada PT. Asiatic Persada untuk menjalankan kesepakatan dan mengembalikan hak ulayat warga SAD. Tetapi semua Surat Peringatan itu diabaikan oleh PT. Asiatic Persada.
Keempat, Gubernur Jambi sudah mengeluarkan Surat tertanggal 25 Oktober 2013 tentang Rekomendasi Peninjauan Ulang Hak Guna Usaha (HGU) PT. Asiatic Persada. Dan surat itu sudah dalam tahap proses di BPN-RI.
Kelima, tindakan PT. Asiatic Persada dan aparat keamanan jelas melanggar Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan nomor putusan: 55/PUU-VIII/2010 yang melarang penggunaan pasal kriminalisasi terhadap perjuangan petani yang ingin merebut hak-haknya yang dirampas oleh perusahaan perkebunan.
Keenam, tindakan PT. Asiatic Persada melecehkan putusan MK nomor 35/PUU-XII/2012 sudah menegaskan wewenang masyarakat adat terhadap hutan adat. Artinya, terkait konflik antara warga SAD versus PT. Asiatic Persada, wewenang sepenuhnya berada di tangan masyarakat adat SAD. Bukan lagi di tangan Kementerian Kehutanan.
Ketujuh, praktek perampasan lahan milik warga SAD merupakan pelecehan terhadap mandat konstitusi, yakni pasal 33 UUD 1945. Seharusnya, jika mengacu pada pasal 33 UUD 1945, hak penguasaan, pengelolaan, dan penerimaan manfaat dari kekayaan agraria seharusnya diprioritaskan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
source : link