Udang-merah sangihe (Ceyx sangirensis) merupakan salah satu
jenis burung baru yang ditetapkan di 2014 ini. Burung endemik Sangihe,
Sulawesi Utara, ini awalnya dimasukkan dalam jenis udang-merah sulawesi (Ceyx fallax). Terakhir kali terlihat tahun 1997 dan sampai sekarang belum ditemukan lagi.
Jihad, Bird Conservation Officer Burung Indonesia, menuturkan
bahwa jenis raja-udang berukuran kecil ini resmi ditetapkan sebagai
jenis burung baru melalui kajian Daftar Merah 2014. Kajian yang
dilakukan oleh BirdLife International -organisasi konservasi alam yang
memiliki 120 mitra di seluruh dunia- ini juga menambah kekayaan jenis
burung di dunia menjadi 10.425 jenis atau sepuluh persen lebih banyak.
Ini dikarenakan adanya penambahan 361 jenis burung bukan-petengger (non-passerine)
yang kini diakui sebagai jenis baru. Beberapa jenis tersebut berasal
dari Asia Tenggara termasuk Indonesia. “Berdasar kajian ini di Indonesia
terdapat penambahan setidaknya 48 jenis yang merupakan hasil pemisahan
dari jenis yang sudah ada sebelumnya, serta satu penambahan dari temuan
jenis baru,” tutur Jihad dalam rilisnya kepada Mongabay Indonesia.
Meski udang-merah sangihe berstatus pendatang baru, namun nasibnya
justru masuk dalam kategori terancam punah. Survei yang dilakukan Burung
Indonesia, organisasi konservasi pelestarian burung liar dan
habitatnya, pada 2004-2006 maupun di 2009 tidak berhasil menemukan jenis
ini. Pengamatan singkat yang dilakukan di Hutan Sahendaruman pada 2014
juga nihil hasilnya.
Berdasarkan bukti nyata tersebut, kajian Daftar Merah 2014, maka
burung yang menghuni hutan primer dataran rendah ini statusnya
ditetapkan sebagai jenis Kritis. Status ini mengartikan bahwa hidupnya
hanya selangkah lagi menuju kepunahan jika tidak ada kegiatan
pelestarian. Di Sangihe sendiri, meski hutan primer dataran rendahnya
nyaris habis, namun udang-merah sangihe diduga masih bertahan di
lembah-lembah berhutan yang tidak terjangkau. Meskipun, jumlahnya
relatif sedikit.
Karena itu, kajian yang diserahkan kepada badan konservasi dunia IUCN (International Union for Conservation of Nature) menekankan pentingnya pelestarian beberapa bird hotspot (daerah kaya jenis burung) yang kondisinya tercekam.
Agus Budi Utomo, Direktur Eksekutif Burung Indonesia, menjelaskan
bahwa Sangihe merupakan daerah penting untuk endemisme dan keterancaman
karena memiliki banyak jenis unik yang tidak ditemukan di tempat lain di
dunia. Sangihe juga memiliki jenis langka terancam punah.
“Daerah-daerah semacam ini telah ditetapkan menjadi prioritas konservasi
dunia, dan sangat memerlukan aksi konservasi secepatnya untuk
melindungi habitat dan masa depan burung-burung kritis seperti
udang-merah sangihe,” terang Agus.
Sementara di Jawa, jenis baru yang diakui seperti pelatuk punggung-emas (Chrysocolaptes strictus) yang statusnya Rentan dan raja-udang kalung-biru (Alcedo euryzona)
berstatus Kritis menunjukkan bahwa pulau terpadat di dunia ini juga
menjadi rumah bagi sejumlah jenis unik. Namun, padatnya penduduk dan
hilangnya habitat alami di pulau ini menjadi ancaman tersendiri bagi
keberadaan jenis-jenis baru tersebut.
Memang, raja-udang kalung-biru saat ini diakui sebagai jenis endemis
Jawa. Namun, jenis serupa yang ada di Semenanjung Malaysia, Sumatera,
dan Kalimantan yang semula juga dimasukkan dalam jenis yang sama, kini
diberi nama baru yaitu raja-udang peninsula atau Alcedo peninsulae.
Dr. Stuart Butchart, Kepala Bidang ilmu Pengetahuan BirdLife,
mengatakan bahwa Daftar Merah tidak hanya penting untuk membantu
mengidentifikasi jenis-jenis yang perlu upaya pemulihan. Namun juga,
dapat memfokuskan rencana konservasi dengan mengidentifikasi lokasi
maupun habitat kunci yang perlu dilestarikan, termasuk Daerah Penting
bagi Burung (DPB) dan Daerah Penting bagi Keragaman Hayati. “Daftar
Merah yang terus diperbarui akan membantu dalam penetapan prioritas
konservasi dan pendanaan di masa depan,” ujarnya.
Status keterancaman
Source : link
Source : link
0 komentar:
Posting Komentar