skip to main | skip to sidebar

Silva Dream

Konsep Bumi Kita

  • Home
  • Gallery
  • Contact me
  • About Me

Minggu, 31 Agustus 2014

Penyebab Menyusutnya Banteng dan Macan Tutul di Taman Nasional Baluran

Diposting oleh Maysatria Label: Flora dan Fauna, Konservasi
Nurdin Razak menunjukkan hamparan savana yang dikelilingi akasia dari atas menara pantau di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Foto : Petrus Riski

Nurdin Razak menunjukkan hamparan savana yang dikelilingi akasia dari atas menara pantau di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Foto : Petrus Riski  
Seharian penuh menyusuri jalanan tidak rata yang membelah Taman Nasional Baluran, nampaknya tidak cukup untuk memenuhi hasrat menjelajahi 25.000 hektar luas keseluruhan taman nasional yang terletak di wilayah Kabupaten Situbondo, Jawa Timur.
Perburuan foto satwa dan keanekaragaman hayati di Taman Nasional Baluran, menjadi tujuan sekaligus tantangan tersendiri bagi pengunjung yang masuk ke dalamnya. Melewati zona-zona di dalam Taman Nasional Baluran, masih bisa dijumpai sejumlah spesies tumbuhan dan  satwa eksotis endemik pulau Jawa.
Ekosistem Baluran memiliki sekitar 444 jenis tumbuhan yang diantaranya merupakan tumbuhan asli yang khas, dan mampu beradaptasi dalam kondisi yang sangat kering seperti, widoro bukol (ziziphus rotundifolia), mimba (azadirachta indica), pilang (acacia leucophloea), asam jawa (tamarindus indica), gadung (dioscorea hispida), kemiri (aleurites moluccana), gebang (corypha utan), salam (syzygium polyanthum), kepuh (sterculia foetida), dan beberapa tumbuhan lainnya. Berbagai jenis tumbuhan ini memperindah pemandangan hutan Baluran.
Burung merak di bawah pohon di tengan savana di Taman Nasional Baluran. Foto : Petrus Riski
Burung merak di bawah pohon di tengan savana di Taman Nasional Baluran. Foto : Petrus Riski
Di taman nasional tertua Indonesia ini  terdapat 26 jenis mamalia, di antaranya banteng (bos javanicus javanicus), kerbau liar (bubalus bubalis), ajak atau anjing hutan (cuon alpinus javanicus), kijang (kuntiacus muntjak muntjak), rusa timor (cervus timorensis), macan tutul (panthera pardus melas), kancil (tragulus javanicus pelandoc), kucing bakau (prionailurus viverrinus)
Selain itu terdapat sekitar 155 jenis burung, di antaranya termasuk burung langka seperti layang-layang api (hirundo rustica), tuwuk asia (eudynamys scolopacea), burung merak (pavo muticus), burung rangkong (buceros rhinoceros), bangau tong-tong (leptoptilos javanicus), ayam hutan merah (gallus gallus), dan banyak jenis burung lainnya.
Satwa endemik yang menjadi maskot Taman Nasional Baluran yaitu banteng jawa, merupakan salah satu mamalia yang sulit ditemui dan diindikasikan semakin berkurang jumlah populasinya. Dari jumlah ratusan pada 10 tahun terakhir, saat ini jumlahnya diperkirakan sekitar 25-35 ekor banteng jawa yang tersisa.
Diutarakan oleh Joko Waluyo, selaku Kepala Bagian Tata Usaha Balai Besar Taman Nasional Baluran, berkurangnya populasi banteng jawa maupun macan tutul lebih banyak disebabkan adanya aktivitas perburuan liar.
“Kita sudah upayakan melakukan pengamanan kawasan dengan meningkatkan pengawasan, termasuk melakukan patroli oleh seksi dan resort kami, serta koordinasi dengan kepolisian untuk pengamanan kawasan,” terang Joko.
Hama Akasia
Pengajar di Jurusan Ekowisata, FISIP Universitas Airlangga Surabaya, Nurdin Razak, merosotnya jumlah populasi banteng jawa di Taman Nasional Baluran disebabkan oleh perburuan pada masa lalu, serta tumbuh kembang tanaman akasia (acacia nilotica) yang ada di sekeliling area Savana Taman Nasional Baluran.
“Kalau perkiraan saya dari pantauan selama ini, jumlah banteng jawa sekarang tinggal 20-an ekor. Ini akibat perburuan serta cepatnya pertumbuhan tanaman akasia yang mengurangi area savana yang menjadi tempat mencari makan banteng jawa,” kata Nurdin Razak.
Pertumbuhan akasia yang sangat cepat itu mengakibatkan berkurangnya area savana dari 40 persen menjadi 10 persen, atau yang semula 10.000 hektar menjadi kurang dari 5.000 hektar. Invasi akasia yang memiliki duri pada batang dan dahannya itu, kata Nurdin Razak, menyebabkan terhambatnya pertumbuhan rumput yang menjadi makanan utama banteng.
“Akasia itu kan tanaman yang tumbuh dengan cepat, banyak duri di dahan dan rantingnya, otomatis banteng jawa kesulitan melewati itu untuk mencari makan. Bisa jadi mereka sekarang pergi mencari lokasi baru, atau karena makanannya terbatas jumlah mereka menjadi berkurang karena mati,” terang Nurdin yang menekuni fotografi satwa dan alam liar sejak 11 tahun yang lalu.
Latar belakang tanaman akasia yang meranggas setelah diolesi cairan solar fermentasi. Foto : Petrus Riski
Latar belakang tanaman akasia yang meranggas setelah diolesi cairan solar fermentasi. Foto : Petrus Riski
Jarak yang rapat antar tanaman akasia ini membentuk sebuah payung, yang mengakibatkan rumput di bawahnya mati akibat kekurangan sinar matahari. Sementara itu upaya pengendalian akasia masih menggunakan cara konvensional yaitu dengan menebang akasia, yang kemudian pokok batangnya dibakar sampai menembus akar. Meski ditebang atau dibakar, tanaman akasia akan terus tumbuh karena akarnya tertanam sangat dalam melebihi panjang tanaman itu sendiri.
“Sudah pernah dilakukan dengan menyuntikkan cairan tertentu pada tanaman akasia, yang bertujuan mencegah pertumbuhannya sehingga tanaman itu menjadi kering dan meranggas, tapi itu baru uji coba dan tidak dilanjutkan kembali,” lanjut Nurdin.
Keberadaan tanaman akasia di sekitar savana Taman Nasional Baluran pada awal mulanya untuk melindungi savanna dari kebakaran yang biasa terjadi pada saat musim kemarau, karena tanaman akasia merupakan tanaman yang tahan terhadap api sehingga diharapkan dapat melindungi savanna dan hutan di sekitarnya.
“Pemerintah menjadikan tanaman asal Afrika itu, sebagai sabuk pelindung savana di Taman Nasional Baluran. Namun cepatnya pertumbuhan akasia yang bibitnya mudah tersebar oleh angin dan burung, menjadikan pertumbuhan akasia tidak terbendung dan semakin meluas,” katanya.
Upaya mengurangi pertumbuhan akasia lanjut Joko Waluyo dari Taman Nasional Baluran, akan terus dilakukan dengan teknik mengolesi akasia Akasia dengan solar hasil fermentasi. Sejauh ini kata Joko, upaya itu cukup berhasil mencegah penyebaran tumbuh kembang akasia.
“Hasilnya cukup berhasil, ada yang tidak tumbuh dan mati. Yang sudah berhasil di savana bekol sekitar 250 hektar, dari total akasia di baluran sekitar 6.000 hektar. Kita lanjutkan, dan anggarannya tidak hanya terbatas dari kami tapi juga dari mitra,” tutur Joko.
Sementara itu, penampakan banteng jawa meski semakin jarang juga dibenarkan oleh Sukadi, salah satu warga Desa Wonorejo, Kecamatan Bayu Putih, Kabupaten Situbondo, yang bertempat tinggal dekat dari kawasan taman nasional.
“Banteng saya pernah ketemu beberapa waktu lalu, juga masih terlihat babi hutan baru-baru ini, dan anjing hutan. Seorang wisatawan asing yang kebetulan menginap di desa ini, pernah melihat macan tutul jawa,” imbuh Sukadi.
Banteng merupakan satwa pemalu yang jarang terlihat berkelompok lebih dari tiga ekor. Pada 1996, populasi banteng tercatat sebanyak 320 ekor, kemudian merosot drastis pada 2007 menjadi 34 ekor, dan terakhir pada 2011 tercatat hanya sekitar 22-24 ekor saja yang tersisa.
Kerbau liar sedang mandi di kubangan. Foto : Petrus Riski
Kerbau liar sedang mandi di kubangan. Foto : Petrus Riski
Pantauan Mongabay pada pertengahan Agustus 2014 atau masuk musim kering, hanya terlihat 2 ekor kerbau liar yang berkubang maupun mencari makan di savana. Selain itu belasan rusa timor dan beberapa ekor merak hijau tampak malu-malu mencari makan dan minum di sekitar savana Baluran. Banteng jawa yang menjadi maskot Baluran, hingga sore menjelang belum menampakkan batang hidungnya maupun suara lenguhannya.
Selain Banteng, keberadaan burung merak juga menjadi perhatian karena jumlahnya yang semakin berkurang akibat perburuan liar. Di Indonesia, jumlah burung merak yang merupakan hewan dilindungi ini diperkirakan tinggal 1.000 ekor, termasuk yang ada di Taman Nasional Baluran.
Krisis Macan Tutul Jawa
Keberadaan macan tutul jawa di Taman Nasional Baluran diprediksi semakin habis, yang diperkirakan jumlahnya mencapai belasan saja. Indikasi langkanya macan tutul jawa di Baluran dapat dilihat dari keberadaan rusa timor yang jumlahnya semakin bertambah dan dominan di savana Baluran. Jumlah yang berlimpah dari satwa yang menjadi mangsa predator macan tutul, memunculkan asumsi bahwa jumlah predator mengalami penurunan atau berkurang.
“Rusa timor, kerbau liar, beberapa unggas seperti ayam hutan dan merak hijau, beberapa burung masih cukup berlimpah di Baluran. Sementara mamalia banteng dan khususnya predator seperti macan tutul, beberapa kali pengamatan dan pendokumentasian yang saya lakukan dan itu kebetulan beberapa kali terlihat, sepertinya jumlahnya semakin berkurang,” ujar Nurdin Razak yang baru 2 kali dalam kurun waktu 11 tahun, berhasil bertemu dan mengabadikan foto macan tutul jawa dengan kameranya.
Rantai makanan yang tidak seimbang ini menjadi indikasi kurangnya pemangsa atau satwa predator baik itu macan tutul maupun ajak atau anjing hutan di Baluran. Nurdin memperkirakan macan tutul jawa tinggal 7 – 12 ekor di taman nasioal yang mempunyai tropical range forest-nya serta zona-zona lain seperti evergreen.
“Faktanya kita malah sering menemukan mangsanya. Padahal pada area jelajah 5 sampai 10 kilometer persegi, seharusnya bisa ditemui satwa predator,” ungkap Nurdin lebih lanjut.
http://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2014/08/Peta-Ekologi-Savana-Bekol-di-Baluran.jpg
Peta Ekologi Savana Bekol di Taman Nasional Baluran. Foto : Petrus Riski
Pemerintah diutarakan tidak memiliki data dan tidak pernah melakukan pendataan secara akurat mengenai keberadaan satwa yang ada di setiap taman nasional, termasuk di Baluran. Padahal pendataan sangat penting dilakukan untuk mengetahui rekam jejak, masa hidup, dan populasi satwa.
“Perlu salah satunya menggunakan metode jejak untuk home range, pengintaian untuk mangsa, kalau sudah bertemu dibuatkan semacam kalung navigasi. sehingga bisa diketahui dimana jalur mereka, dan seberapa jauh mereka menempuh itu, masa hidup juga bisa diketahui,” paparnya.
Meski penelitian untuk macan tutul jawa telah banyak dilakukan, namun khusus untuk macan tutul jawa di Baluran masih sangat kurang atau bahkan belum dilakukan. Penelitian satwa di beberapa tempat memanfaatkan teknologi berupa kamera pengintai atau kamera trap, untuk memperoleh data dan gambar secara komprehensif.
“Kelemahan pemerintah kita itu data, yang selama ini hanya mengandalkan penemuan-penemuan yang bersifat kualitatif. Yang perlu ditonjolkan sekarang adalah data visual karena mampu berbicara banyak. Kalau idealnya seluruh taman nasional masing-masing punya dokumentasi lengkap mengenai flora dan faunanya. Itu tidak mudah dan tidak cepat, tapi harus dimulai sekarang, karena hanya itu yang tertinggal,” imbuh Nurdin yang mendirikan Baloeran Ecologe sebagai media informasi mengenai Baluran.
Gunung Baluran
Baluran merupakan taman nasional yang terletak Kecamatan Banyu Putih, Kabupaten Situbondo, dan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Wilayah utara berbatasan dengan Selat Madura, sebelah timur Selat Bali. Adapun sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Bajulmati, dan sebelah barat Baluran berbatasan dengan Sungai Kelokoran, sementara di tengah kawasan ini terdapat Gunung Baluran yang sudah tidak aktif lagi.
Baluran memiliki temperatur udara 27-34 derajat celcius, curah hujan 900-1.600 mm/tahun, ketinggian tempat 0-1.247 mdpl, serta letak geografis 7°29’-7°55’ LS, 114°17’-114°28’ BT.
Burung Merak mencari makan di savana Taman Nasional Baluran. Foto : Petrus Riski
Burung Merak mencari makan di savana Taman Nasional Baluran. Foto : Petrus Riski
Nama Baluran diambil dari gunung yang berada di kawasan itu yakni gunung Baluran. Sebelum tahun 1928, AH. Loedeboer, seorang pemburu kebangsaan Belanda yang memiliki daerah konsesi perkebunan di Labuhan Merak dan Gunung Mesigit, pernah singgah di Baluran. Loedeboer menaruh perhatian terhadap Baluran dan meyakini bahwa tempat itu mempunyai nilai penting untuk perlindungan satwa khususnya jenis mamalia besar.
Pada tahun 1930, KW. Dammerman yang menjabat sebagai Direktur Kebun Raya Bogor mengusulkan perlunya Baluran ditunjuk sebagai hutan lindung. Dan kemudian Gubernur Jenderal Hindia Belanda menetapkan Baluran sebagai Suaka Margasatwa pada tahun 1937 dengan ketetapan GB. No. 9 tanggal 25 September 1937 Stbl. 1937 No. 544.
Pasca kemerdekaan, Baluran ditetapkan kembali sebagai Suaka Margasatwa oleh Menteri Pertanian dan Agraria Republik Indonesia, dengan Surat Keputusan Nomor. SK/II/1962 tanggal 11 Mei 1962. Selanjutnya bertepatan dengan Hari Strategi Pelestarian se-Dunia pada tanggal 6 Maret 1980, Suaka Margasatwa Baluran diumumkan sebagai Taman Nasional oleh Menteri Pertanian. Melalui SK. Menteri Kehutanan No. 279/Kpts.-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997, kawasan Taman Nasional Baluran ditetapkan memiliki luas 25.000 hektar.
Taman Nasional Baluran memiliki ekosistem yang bervariasi, mulai dari hutan rawa, hutan pegunungan bawah, hutan yang selalu hijau sepanjang tahun atau evergreen, hutan pantai, hutan musim, hutan mangrove, dan vegetasi savana.
Taman Nasional Baluran memiliki beberapa bagian sesuai peruntukannya, diantaranya zona inti seluas 12.000 hektar, zona rimba seluas 5.537 hektar dan terbagi dalam wilayah perairan 1.063 hektar dan wilayah daratan 4.574 hektar, zona pemanfaatan intensif seluas 800 hektar, zona pemanfaatan khusus 5.780 hektar, dan zona rehabilitasi seluas 783 hektar.
Dibagian tengah Taman Nasional Baluran terdapat Savana Bekol, berupa padang rumput yang sangat luas berwarna kuning kecoklatan. Savana terbesar di Pulau Jawa ini, banyak dijuluki savanna Afrika di Indonesia. Tidak jauh dari padang savana terdapat menara pandang setinggi 64 meter. Di sisi luar terdapat pantai Bama, Balanan dan Bilik, yang terletak di sekitar taman nasional, dapat menjadi salah satu alternatif wisata memancing maupun snorkling.
Kawasan Savana Bekol di Taman Nasional Baluran. Foto : Petrus Riski
Kawasan Savana Bekol di Taman Nasional Baluran. Foto : Petrus Riski
Di pantai Bama merupakan tempat yang bagus untuk melihat matahari terbit, selain kumpulan pohon bakau atau mangrove serta kawasan konservasi lainnya yang masih alami. Selain monyet ekor panjang yang bebas naik turun pohon disekitar pantai, bisa didapati pula satwa lainnya seperti biawak dan babi hutan, serta sesekali dapat ditemui burung raja udang (halcyon chloris) di dahan sekitar pantai dan aneka jenis burung migran.

Source : link

0 komentar:

Posting Komentar

Sponsored

  • banners
  • banners
  • banners
  • banners

Kategori

  • Flora dan Fauna (128)
  • Forestry (312)
  • Mangrove (82)

Archive

  • ►  2015 (20)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (17)
  • ▼  2014 (43)
    • ▼  Agustus (13)
      • Salu, kanguru Papua Pendatang Baru di Taman Rimbo ...
      • Penyebab Menyusutnya Banteng dan Macan Tutul di Ta...
      • Ekspedisi Herpetologi Mania, ‘Berburu’ Amfibi di H...
      • Kupu-kupu Troides Helena jantan. Foto : Agustin...
      • Pictured Dragonet, Ikan Eksotis Yang Makin Langka
      • Cara Aceh Cegah Korupsi di Sektor Kehutanan
      • Bukit Sulap Taman Nasional Kerinci Seblat
      • Udang-Merah Sangihe, Jenis Baru yang Kritis di Daf...
      • Indahnya Keanekaragaman Hayati Bawah Laut Pulau Su...
      • Orangutan, Spesies Ikonik Indonesia yang Terancam
      • Batik Mangrove, Cara Baru Eksploitasi Hutan Bakau
      • Sekam Padi di Merauke jadi Sumber Energi, Bagaiman...
      • Elang Jawa, Inilah Sosok Asli Sang Garuda
    • ►  Mei (9)
    • ►  April (8)
    • ►  Februari (6)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2013 (309)
    • ►  Desember (14)
    • ►  November (97)
    • ►  Oktober (28)
    • ►  September (36)
    • ►  Agustus (11)
    • ►  Juli (20)
    • ►  Juni (19)
    • ►  April (20)
    • ►  Maret (20)
    • ►  Februari (19)
    • ►  Januari (25)
  • ►  2012 (97)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (25)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (15)
    • ►  April (9)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (19)
    • ►  Januari (16)
  • ►  2011 (323)
    • ►  Desember (52)
    • ►  November (27)
    • ►  Oktober (12)
    • ►  Agustus (12)
    • ►  Juli (5)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (16)
    • ►  Maret (24)
    • ►  Februari (122)
    • ►  Januari (44)
  • ►  2010 (105)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (22)
    • ►  Agustus (79)

_______________

_______________

 

© My Private Blog
designed by Website Templates | Bloggerized by Yamato Maysatria |