Seharian penuh menyusuri jalanan tidak rata yang membelah Taman
Nasional Baluran, nampaknya tidak cukup untuk memenuhi hasrat
menjelajahi 25.000 hektar luas keseluruhan taman nasional yang terletak
di wilayah Kabupaten Situbondo, Jawa Timur.
Perburuan foto satwa dan keanekaragaman hayati di Taman Nasional
Baluran, menjadi tujuan sekaligus tantangan tersendiri bagi pengunjung
yang masuk ke dalamnya. Melewati zona-zona di dalam Taman Nasional
Baluran, masih bisa dijumpai sejumlah spesies tumbuhan dan satwa
eksotis endemik pulau Jawa.
Ekosistem Baluran memiliki sekitar 444 jenis tumbuhan yang
diantaranya merupakan tumbuhan asli yang khas, dan mampu beradaptasi
dalam kondisi yang sangat kering seperti, widoro bukol (ziziphus rotundifolia), mimba (azadirachta indica), pilang (acacia leucophloea), asam jawa (tamarindus indica), gadung (dioscorea hispida), kemiri (aleurites moluccana), gebang (corypha utan), salam (syzygium polyanthum), kepuh (sterculia foetida), dan beberapa tumbuhan lainnya. Berbagai jenis tumbuhan ini memperindah pemandangan hutan Baluran.
Di taman nasional tertua Indonesia ini terdapat 26 jenis mamalia, di antaranya banteng (bos javanicus javanicus), kerbau liar (bubalus bubalis), ajak atau anjing hutan (cuon alpinus javanicus), kijang (kuntiacus muntjak muntjak), rusa timor (cervus timorensis), macan tutul (panthera pardus melas), kancil (tragulus javanicus pelandoc), kucing bakau (prionailurus viverrinus)
Selain itu terdapat sekitar 155 jenis burung, di antaranya termasuk burung langka seperti layang-layang api (hirundo rustica), tuwuk asia (eudynamys scolopacea), burung merak (pavo muticus), burung rangkong (buceros rhinoceros), bangau tong-tong (leptoptilos javanicus), ayam hutan merah (gallus gallus), dan banyak jenis burung lainnya.
Satwa endemik yang menjadi maskot Taman Nasional Baluran yaitu
banteng jawa, merupakan salah satu mamalia yang sulit ditemui dan
diindikasikan semakin berkurang jumlah populasinya. Dari jumlah ratusan
pada 10 tahun terakhir, saat ini jumlahnya diperkirakan sekitar 25-35
ekor banteng jawa yang tersisa.
Diutarakan oleh Joko Waluyo, selaku Kepala Bagian Tata Usaha Balai
Besar Taman Nasional Baluran, berkurangnya populasi banteng jawa maupun
macan tutul lebih banyak disebabkan adanya aktivitas perburuan liar.
“Kita sudah upayakan melakukan pengamanan kawasan dengan meningkatkan
pengawasan, termasuk melakukan patroli oleh seksi dan resort kami,
serta koordinasi dengan kepolisian untuk pengamanan kawasan,” terang
Joko.
Hama Akasia
Pengajar di Jurusan Ekowisata, FISIP Universitas Airlangga Surabaya,
Nurdin Razak, merosotnya jumlah populasi banteng jawa di Taman Nasional
Baluran disebabkan oleh perburuan pada masa lalu, serta tumbuh kembang
tanaman akasia (acacia nilotica) yang ada di sekeliling area Savana Taman Nasional Baluran.
“Kalau perkiraan saya dari pantauan selama ini, jumlah banteng jawa
sekarang tinggal 20-an ekor. Ini akibat perburuan serta cepatnya
pertumbuhan tanaman akasia yang mengurangi area savana yang menjadi
tempat mencari makan banteng jawa,” kata Nurdin Razak.
Pertumbuhan akasia yang sangat cepat itu mengakibatkan berkurangnya
area savana dari 40 persen menjadi 10 persen, atau yang semula 10.000
hektar menjadi kurang dari 5.000 hektar. Invasi akasia yang memiliki
duri pada batang dan dahannya itu, kata Nurdin Razak, menyebabkan
terhambatnya pertumbuhan rumput yang menjadi makanan utama banteng.
“Akasia itu kan tanaman yang tumbuh dengan cepat, banyak duri di
dahan dan rantingnya, otomatis banteng jawa kesulitan melewati itu untuk
mencari makan. Bisa jadi mereka sekarang pergi mencari lokasi baru,
atau karena makanannya terbatas jumlah mereka menjadi berkurang karena
mati,” terang Nurdin yang menekuni fotografi satwa dan alam liar sejak
11 tahun yang lalu.
Jarak yang rapat antar tanaman akasia ini membentuk sebuah payung,
yang mengakibatkan rumput di bawahnya mati akibat kekurangan sinar
matahari. Sementara itu upaya pengendalian akasia masih menggunakan cara
konvensional yaitu dengan menebang akasia, yang kemudian pokok
batangnya dibakar sampai menembus akar. Meski ditebang atau dibakar,
tanaman akasia akan terus tumbuh karena akarnya tertanam sangat dalam
melebihi panjang tanaman itu sendiri.
“Sudah pernah dilakukan dengan menyuntikkan cairan tertentu pada
tanaman akasia, yang bertujuan mencegah pertumbuhannya sehingga tanaman
itu menjadi kering dan meranggas, tapi itu baru uji coba dan tidak
dilanjutkan kembali,” lanjut Nurdin.
Keberadaan tanaman akasia di sekitar savana Taman Nasional Baluran
pada awal mulanya untuk melindungi savanna dari kebakaran yang biasa
terjadi pada saat musim kemarau, karena tanaman akasia merupakan tanaman
yang tahan terhadap api sehingga diharapkan dapat melindungi savanna
dan hutan di sekitarnya.
“Pemerintah menjadikan tanaman asal Afrika itu, sebagai sabuk
pelindung savana di Taman Nasional Baluran. Namun cepatnya pertumbuhan
akasia yang bibitnya mudah tersebar oleh angin dan burung, menjadikan
pertumbuhan akasia tidak terbendung dan semakin meluas,” katanya.
Upaya mengurangi pertumbuhan akasia lanjut Joko Waluyo dari Taman
Nasional Baluran, akan terus dilakukan dengan teknik mengolesi akasia
Akasia dengan solar hasil fermentasi. Sejauh ini kata Joko, upaya itu
cukup berhasil mencegah penyebaran tumbuh kembang akasia.
“Hasilnya cukup berhasil, ada yang tidak tumbuh dan mati. Yang sudah
berhasil di savana bekol sekitar 250 hektar, dari total akasia di
baluran sekitar 6.000 hektar. Kita lanjutkan, dan anggarannya tidak
hanya terbatas dari kami tapi juga dari mitra,” tutur Joko.
Sementara itu, penampakan banteng jawa meski semakin jarang juga
dibenarkan oleh Sukadi, salah satu warga Desa Wonorejo, Kecamatan Bayu
Putih, Kabupaten Situbondo, yang bertempat tinggal dekat dari kawasan
taman nasional.
“Banteng saya pernah ketemu beberapa waktu lalu, juga masih terlihat
babi hutan baru-baru ini, dan anjing hutan. Seorang wisatawan asing yang
kebetulan menginap di desa ini, pernah melihat macan tutul jawa,” imbuh
Sukadi.
Banteng merupakan satwa pemalu yang jarang terlihat berkelompok lebih
dari tiga ekor. Pada 1996, populasi banteng tercatat sebanyak 320 ekor,
kemudian merosot drastis pada 2007 menjadi 34 ekor, dan terakhir pada
2011 tercatat hanya sekitar 22-24 ekor saja yang tersisa.
Pantauan Mongabay pada pertengahan Agustus 2014 atau masuk musim
kering, hanya terlihat 2 ekor kerbau liar yang berkubang maupun mencari
makan di savana. Selain itu belasan rusa timor dan beberapa ekor merak
hijau tampak malu-malu mencari makan dan minum di sekitar savana
Baluran. Banteng jawa yang menjadi maskot Baluran, hingga sore menjelang
belum menampakkan batang hidungnya maupun suara lenguhannya.
Selain Banteng, keberadaan burung merak juga menjadi perhatian karena
jumlahnya yang semakin berkurang akibat perburuan liar. Di Indonesia,
jumlah burung merak yang merupakan hewan dilindungi ini diperkirakan
tinggal 1.000 ekor, termasuk yang ada di Taman Nasional Baluran.
Krisis Macan Tutul Jawa
Keberadaan macan tutul jawa di Taman Nasional Baluran diprediksi
semakin habis, yang diperkirakan jumlahnya mencapai belasan saja.
Indikasi langkanya macan tutul jawa di Baluran dapat dilihat dari
keberadaan rusa timor yang jumlahnya semakin bertambah dan dominan di
savana Baluran. Jumlah yang berlimpah dari satwa yang menjadi mangsa
predator macan tutul, memunculkan asumsi bahwa jumlah predator mengalami
penurunan atau berkurang.
“Rusa timor, kerbau liar, beberapa unggas seperti ayam hutan dan
merak hijau, beberapa burung masih cukup berlimpah di Baluran. Sementara
mamalia banteng dan khususnya predator seperti macan tutul, beberapa
kali pengamatan dan pendokumentasian yang saya lakukan dan itu kebetulan
beberapa kali terlihat, sepertinya jumlahnya semakin berkurang,” ujar
Nurdin Razak yang baru 2 kali dalam kurun waktu 11 tahun, berhasil
bertemu dan mengabadikan foto macan tutul jawa dengan kameranya.
Rantai makanan yang tidak seimbang ini menjadi indikasi kurangnya
pemangsa atau satwa predator baik itu macan tutul maupun ajak atau
anjing hutan di Baluran. Nurdin memperkirakan macan tutul jawa tinggal 7
– 12 ekor di taman nasioal yang mempunyai tropical range forest-nya serta zona-zona lain seperti evergreen.
“Faktanya kita malah sering menemukan mangsanya. Padahal pada area
jelajah 5 sampai 10 kilometer persegi, seharusnya bisa ditemui satwa
predator,” ungkap Nurdin lebih lanjut.
Pemerintah diutarakan tidak memiliki data dan tidak pernah melakukan
pendataan secara akurat mengenai keberadaan satwa yang ada di setiap
taman nasional, termasuk di Baluran. Padahal pendataan sangat penting
dilakukan untuk mengetahui rekam jejak, masa hidup, dan populasi satwa.
“Perlu salah satunya menggunakan metode jejak untuk home range,
pengintaian untuk mangsa, kalau sudah bertemu dibuatkan semacam kalung
navigasi. sehingga bisa diketahui dimana jalur mereka, dan seberapa jauh
mereka menempuh itu, masa hidup juga bisa diketahui,” paparnya.
Meski penelitian untuk macan tutul jawa telah banyak dilakukan, namun
khusus untuk macan tutul jawa di Baluran masih sangat kurang atau
bahkan belum dilakukan. Penelitian satwa di beberapa tempat memanfaatkan
teknologi berupa kamera pengintai atau kamera trap, untuk memperoleh
data dan gambar secara komprehensif.
“Kelemahan pemerintah kita itu data, yang selama ini hanya
mengandalkan penemuan-penemuan yang bersifat kualitatif. Yang perlu
ditonjolkan sekarang adalah data visual karena mampu berbicara banyak.
Kalau idealnya seluruh taman nasional masing-masing punya dokumentasi
lengkap mengenai flora dan faunanya. Itu tidak mudah dan tidak cepat,
tapi harus dimulai sekarang, karena hanya itu yang tertinggal,” imbuh
Nurdin yang mendirikan Baloeran Ecologe sebagai media informasi mengenai
Baluran.
Gunung Baluran
Baluran merupakan taman nasional yang terletak Kecamatan Banyu Putih,
Kabupaten Situbondo, dan berbatasan dengan wilayah Kabupaten
Banyuwangi, Jawa Timur. Wilayah utara berbatasan dengan Selat Madura,
sebelah timur Selat Bali. Adapun sebelah selatan berbatasan dengan
Sungai Bajulmati, dan sebelah barat Baluran berbatasan dengan Sungai
Kelokoran, sementara di tengah kawasan ini terdapat Gunung Baluran yang
sudah tidak aktif lagi.
Baluran memiliki temperatur udara 27-34 derajat celcius, curah hujan
900-1.600 mm/tahun, ketinggian tempat 0-1.247 mdpl, serta letak
geografis 7°29’-7°55’ LS, 114°17’-114°28’ BT.
Nama Baluran diambil dari gunung yang berada di kawasan itu yakni
gunung Baluran. Sebelum tahun 1928, AH. Loedeboer, seorang pemburu
kebangsaan Belanda yang memiliki daerah konsesi perkebunan di Labuhan
Merak dan Gunung Mesigit, pernah singgah di Baluran. Loedeboer menaruh
perhatian terhadap Baluran dan meyakini bahwa tempat itu mempunyai nilai
penting untuk perlindungan satwa khususnya jenis mamalia besar.
Pada tahun 1930, KW. Dammerman yang menjabat sebagai Direktur Kebun
Raya Bogor mengusulkan perlunya Baluran ditunjuk sebagai hutan lindung.
Dan kemudian Gubernur Jenderal Hindia Belanda menetapkan Baluran
sebagai Suaka Margasatwa pada tahun 1937 dengan ketetapan GB. No. 9
tanggal 25 September 1937 Stbl. 1937 No. 544.
Pasca kemerdekaan, Baluran ditetapkan kembali sebagai Suaka
Margasatwa oleh Menteri Pertanian dan Agraria Republik Indonesia, dengan
Surat Keputusan Nomor. SK/II/1962 tanggal 11 Mei 1962. Selanjutnya
bertepatan dengan Hari Strategi Pelestarian se-Dunia pada tanggal 6
Maret 1980, Suaka Margasatwa Baluran diumumkan sebagai Taman Nasional
oleh Menteri Pertanian. Melalui SK. Menteri Kehutanan No.
279/Kpts.-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997, kawasan Taman Nasional Baluran
ditetapkan memiliki luas 25.000 hektar.
Taman Nasional Baluran memiliki ekosistem yang bervariasi, mulai dari
hutan rawa, hutan pegunungan bawah, hutan yang selalu hijau sepanjang
tahun atau evergreen, hutan pantai, hutan musim, hutan mangrove, dan vegetasi savana.
Taman Nasional Baluran memiliki beberapa bagian sesuai peruntukannya,
diantaranya zona inti seluas 12.000 hektar, zona rimba seluas 5.537
hektar dan terbagi dalam wilayah perairan 1.063 hektar dan wilayah
daratan 4.574 hektar, zona pemanfaatan intensif seluas 800 hektar, zona
pemanfaatan khusus 5.780 hektar, dan zona rehabilitasi seluas 783
hektar.
Dibagian tengah Taman Nasional
Baluran terdapat Savana Bekol, berupa padang rumput yang sangat luas
berwarna kuning kecoklatan. Savana terbesar di Pulau Jawa ini, banyak
dijuluki savanna Afrika di Indonesia. Tidak jauh dari padang savana
terdapat menara pandang setinggi 64 meter. Di sisi luar terdapat pantai
Bama, Balanan dan Bilik, yang terletak di sekitar taman nasional, dapat
menjadi salah satu alternatif wisata memancing maupun snorkling.
Di pantai Bama merupakan tempat yang bagus untuk melihat matahari
terbit, selain kumpulan pohon bakau atau mangrove serta kawasan
konservasi lainnya yang masih alami. Selain monyet ekor panjang yang
bebas naik turun pohon disekitar pantai, bisa didapati pula satwa
lainnya seperti biawak dan babi hutan, serta sesekali dapat ditemui
burung raja udang (halcyon chloris) di dahan sekitar pantai dan aneka jenis burung migran.
Source : link
Source : link
0 komentar:
Posting Komentar