Sekitar tahun 2007, pasca reformasi,
masyarakat sekitar kota Surabaya membalak secara liar hutan mangrove di
kawasan pantai timur Surabaya (Pamurbaya), Jawa Timur. Pembalakan itu
bahkan sampai merusak sekitar 10 hektar hutan bakau di sepanjang bibir
pantai dan muara Kali Saridamen, Kecamatan Mulyorejo, Kecamatan
Wonorejo, serta di pesisir utara Surabaya. Bahkan, sekitar 100 ribu
pohon yang berfungsi untuk menangkal abrasi air laut itu sudah dipotong
berkeping-keping.
Melihat kondisi itu, Lulut Sri Yuliani,
merasa sedih. Sebagai seorang pendidik, dia tahu hutan bakau berfungsi
penting menjadi sabuk pelindung pesisir dan pemukiman masyarakat dari
paparan ombak dan tsunami.
Kerusakan mangrove itu membuat mantan
guru bahasa jawa itu berpikir bagaimana menyelamatkan dan melestarikan
kembali hutan mangrove yang dulu rimbun dan asri.
Lulut bersama masyarakat memulai gerakan
penyelamatan mangrove dengan menanam kembali kawasan yang gundul dengan
mangrove sejenis. Namun upayanya itu diakui tidak dapat secara langsung
memperbaiki kerusakan yang sudah terjadi, serta mampu menggerakkan
masyarakat untuk terlibat aktif menyelamatkan lingkungan.
Masih banyaknya masyarakat yang
memanfaatkan mangrove secara kurang tepat, menjadikan Lulut harus
mencari cara lain untuk mengubah paradigma masyarakat yang keliru.
Gerakan penyelamatan mangrove juga
dilakukan dengan mengajak masyarakat menjaga aliran sungai yang
terhubung dengan hutan mangrove, seperti mengajak untuk tidak membuang
sampah sembarangan ke sungai, mengurangi pemakaian sabun detergen dan
menggantinya dengan sabun yang lebih ramah lingkungan, hingga
pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan mangrove untuk
memperoleh keuntungan secara ekonomis tanpa harus merusak lingkungan
atau ekosistem hutan mangrove.
“Kami mengajak masyarakat untuk ikut
menangkal ombak dengan menanami kembali hutan mangrove yang rusak, juga
memberdayakan masyarakat dengan menggunakan ragam hayati di sekitar
sungai tanpa harus merusak lingkungan sekitarnya,” kata Lulut kepada Mongabay.
Pemberdayaan masyarakat dengan menjaga
dan melestarikan mangrove, namun tetap dapat memperoleh manfaat dari
mangrove, merupakan cara mengajak masyarakat mengubah pola pikir untuk
menjaga lingkungan disekitarnya. Tanpa mengubah pola pikir, mustahil
bagi dirinya untuk dapat menjaga hutan mangrove yang rawan dirusak
kembali.
“Target kita bukan luasannya hutan
mangrove yang diselamatkan, tapi justru target manusianya. Kalau satu
orang mengerjakan sepuluh hektar, tapi kalau hanya berpangku pada satu
orang saja maka nanti tambahnya hanya sepuluh hektar. Tapi kalau SDM-nya
dibangun, maka perbaikan di Indonesia bahkan dunia akan lebih cepat.
Percuma kalau kita menanam tapi kemudian oleh orang lain dirusak,”
paparnya.
Melalui mangrove atau dalam bahasa latin rhizophora,
dia mengenalkan batik mangrove, yaitu dengan mangrove sebagai pewarna
alami batik yang ramah terhadap lingkungan. Lewat batik mangrove pula,
Lulut berhasil memberdayakan banyak orang untuk terlibat dalam upaya
konservasi dan pelestarian lingkungan, khususnya hutan mangrove, seperti
di wilayah Kecamatan Wonorejo, Gununganyar, Keputih dan sekitarnya.
“Kita buat produk yang concern ke konservasi, baik di mangrove maupun di hutan pegunungan, jadi kita memang concern
ke lingkungan. Dengan membangun lingkungan kita mau menunjukkan bahwa
masyarakat juga bisa sejahtera, melalui kepedulian dengan lingkungan.
Selain itu apa yang kita lakukan aman tidak perlu konflik,” ujar
penerima penghargaan Kalpataru untuk kategori perintis lingkungan pada
2011 itu.
Meninggalkan profesi semula sebagai
seorang pendidik, Lulut merintis pembuatan batik mangrove, yang didesain
khusus sesuai semangat perjuangan yang dibawanya. Dengan mendirikan
Batik SeRu atau seni Batik Mangrove Rungkut Surabaya, dan juga Koperasi
Usaha Kecil Menengah (UKM) Griya Karya Tiara Kusuma yang bertujuan untuk
mempromosikan dan mendistribusikan produk-produk mangrove yang
dihasilkan oleh warga setempat, Lulut ingin mangrove menjadi ikon baru
Kota Surabaya yang dikenal masyarakat luas.
“Batik ini satu-satunya batik ikon
lingkungan, kita harap ini menjadi unggulan dari daerah dan memunculkan
banyak orang untuk melakukan hal yang sama, tapi tidak menjiplak,” kata
Ketua Forum Peduli Lingkungan (FPL) Kecamatan Rungkut di tahun 2007 itu.
Saat ini motif batik di tempatnya telah
ada sebanyak 2.017 pakem, yang dari pakem itu diharapkan akan muncul
ribuan desain batik bertema lingkungan. Dengan menggunakan sistem
manajemen lima jari-jari, Lulut berharap bahwa batik yang dibuat tidak
sekedar untuk dijual, melainkan juga untuk konservasi lingkungan.
“Batik mangrove bukan sekedar bikin
batik terus dijual, tapi harus untuk limgkungan, untuk konservasi.
Karena semua penjualannya untuk konservasi, semua labanya untuk
pengembangan riset, pemberdayaan masyarakat, dan untuk konservasi,”
tandasnya.
Setiap orang yang bergabung dengan
Komunitas Batik SeRu miliknya, diwajibkan menanam mangrove. Hal ini
untuk membuktikan kecintaan orang tersebut pada lingkungan. Batik yang
terjual dilengkapi dengan sertifikat, yang hanya dikeluarkan satu desain
untuk satu pembeli. Dengan membeli batiknya, pembeli juga ikut menanam
satu pohon mangrove.
“Kalau orang mengaku, tapi tidak mampu
menunjukkan sertifikasi batik mangrove, dan tidak bisa menunjukkan
berapa laba yang diberikan untuk konservasi, pengembangan, dan riset,
maka itu palsu,” kata Lulut.
“Orang yang mengerjakan batik mangrove
ini harus cinta lingkungan, kalau dia tidak cinta maka dia akan merusak.
Makanya batik mangrove tidak menggunakan bahan kimia. Kalau bahannya
kimia, itu bisa memicu kanker kulit,” terangnya.
Pemberdayaan Masyarakat
Selain Batik Mangrove, pemanfaatan
mangrove beserta produk yang dihasilkan juga dapat dijadikan modal dasar
pemberdayaan masyarakat. Masyarakat dapat memanfaatkan mangrove mulai
dari daun, batang, akar, hingga buahnya menjadi produk yang dapat
mendatangkan nilai ekonomis.
Mangrove sendiri kata Isroi Yati, salah
satu kader lingkungan anggota Komunitas batik SeRu, dapat dimanfaatkan
menjadi beraneka macam produk, seperti produk makanan, minuman,
perlengkapan rumah tangga, pengganti bahan bakar, serta pewarna dan
motif batik.
Butuh waktu 15 tahun untuk memberdayakan
masyarakat di Pamurbaya yaitu 3 tahun jadikan pengusaha, 3 tahun
selanjutnya pembinaan kampung unggulan, 3 kemudian kawasan unggulan, 3
tahun sesudahnya menjadi unggulan daerah setempat.
“Bisa untuk makanan, bisa juga untuk
minuman. Bisa dibuat kue, stik, bakery (roti), tempe. Bisa juga dibuat
untuk sabun, pembersih lantai. Limbahnya dipakai untuk pewarna batik.
Ampasnya bisa untuk pengganti bahan bakar, atau briket. Semua itu bisa
dijual,” kata Isroi, kader lingkungan asal Kedung Asri, Surabaya.
Isroi mengaku awalnya tidak mengetahui
manfaat mangrove. Namun dengan adanya informasi dan pemberian
pengetahuan dari Lulut serta kader lingkungan lainnya, dirinya semakin
mengetahui manfaat mangrove dan serta olahan yang dapat dibuat dari
produk mangrove.
“Seperti sirup mangrove itu selain
rasanya yang manis seperti madu, juga mengandung banyak vitamin C yang
berguna untuk nutrisi kulit. Saya pernah panas dalam parah, tenggorokan
sakit, setelah minum sirup mangrove alhamdulillah sembuh dalam 2 hari,”
katanya.
Daun dan ragi dari mangrove juga dapat
digunakan untuk membuat tempe, yang hasilnya berbeda dari tempe pada
umumnya. Selain rasa yang berbeda, tempe dari mangrove diyakini kaya
akan vitamin serta nutrisi dari produk hasil laut.
“Kalau tempe, gurihnya itu lebih nyes,
karena disitu ada kandungan garam, vitamin dari hewan laut seperti ikan
dan udang. Jadi lebih gurih dan lebih awet,” tambahnya.
Lulut menambahkan, pemberdayaan
masyarakat melalui mangrove ini diyakini akan dapat memperbaiki
ekosistem hutan mangrove yang banyak rusak akibat perbuatan manusia.
Selain memberdayakan masyarakat, kesadaran untuk ikut menjaga lingkungan
dalam hal ini ekositem hutan mangrove, akan dapat menularkan gerakan
peduli pelestarian lingkungan di daerah-daerah lain.
“Ini kami sosialisasikan pula ke luar
Surabaya, seperti Malang, Pasuruan, Jember, Mojokerto, Madura, bahkan
juga di luar pulau seperti Kalimantan. Harapannya mangrove kita terjaga
dan lestari, sementara masyarakat tetap dapat memperoleh manfaat secara
ekonomis dari gerakan peduli lingkungan ini,” pungkas Lulut yang
mentargetkan 25 tahun kedepan kerusakan ekosistem hutam mangrove sudah
tidak ada lagi.
source : link
source : link
0 komentar:
Posting Komentar