Jika ada spesies burung yang disebut-sebut menjadi inspirasi dari lambang negara Indonesia maka elang jawa (Nisaetus bartelsi) atau javan hawk-eagle
merupakan sosok paling meyakinkan dari Sang Garuda. Sosoknya yang gagah
dengan jambul panjang di bagian belakang kepala membuat elang jawa
kerap diidentikkan dengan garuda. Dalam Kitab Adiparwa diceritakan bahwa
garuda merupakan burung gagah berani yang dijadikan kendaraan sekaligus
lambang panji-janji Dewa Wisnu.
Burung ini berdiam di surga, setelah misinya membebaskan ibunya dari
perbudakan para naga selesai. Dalam cerita budaya Indonesia, garuda
diperkirakan mulai menjadi mitologi sejak abad ke-10 Masehi. Sedangkan
Presiden Soekarno memperkenalkan pertama kalinya kepada khalayak sebagai
lambang negara pada 15 Februari 1950 di Hotel Des Indes Jakarta.
Dalam buku “Bung Hatta Menjawab” diungkapkan bahwa awal terpilihnya
garuda sebagai lambang negara dilakukan melalui sayembara. Kala itu,
terpilih dua karya terbaik dari Sultan Hamid II dan Mohammad Yamin.
Namun pada akhirnya, Pemerintah dan DPR memilih karya Sultan Hamid II.
Meski telah terpilih, sketsa garuda karya Sultan Hamid II terus
disempurnakan. Bersama Soekarno dan Mohammad Hatta, pita merah yang
awalnya dicengkeram garuda diganti dengan putih dan ditambahkan kata ”Bhinneka Tunggal Ika”.
AG Pringgodigdo dalam buku ”Sekitar Pancasila” menyebutkan bahwa
rancangan Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang
Kabinet RIS pada 11 Februari 1950. Selanjutnya, Soekarno memperkenalkan
kepada khalayak pada 15 Februari 1950 di Hotel Des Indes Jakarta.
Elang Jawa muda. Foto: Harry Kartiwa/ Burung Indonesia
Berbeda dengan Kenyataannya
Namun, berbeda dengan Garuda yang disanjung-sanjung dan menjadi
lambang negara, nasib elang jawa justru miris. Burung endemis Jawa ini
masuk dalam kategori terancam punah dengan status Genting (Endangered). Menurut data BirdLife International saat ini populasi elang jawa di alam diperkirakan hanya tersisa sekitar 300 – 500 individu dewasa.
“Salah satu penyebabnya adalah makin menyusutnya luasan hutan alami
di Jawa,” ujar Jihad, Bird Conservation Officer Burung Indonesia.
Sebagai pulau dengan populasi penduduk terpadat di dunia, kebutuhan
lahan untuk permukiman dan pertanian makin meningkat dari tahun ke
tahun. Akibatnya, banyak hutan yang dibuka dan dialihfungsikan menjadi
lahan pertanian maupun permukiman. Saat ini, hutan alami yang tersisa di
Jawa diperkirakan hanya tersisa sepuluh persen.
Alihfungsi hutan itu membuat anggota suku Accipitridae ini
terdesak dan sebagian besar hanya tersisa di hutan-hutan pegunungan.
Maklum, elang berbulu dominan cokelat gelap itu sangat tergantung dengan
keberadaan hutan, baik hutan alami maupun daerah berhutan terbuka yang
dekat dengan hutan primer.
“Elang jawa juga memanfaatkan hutan sekunder untuk berburu ” tutur
Jihad. Burung pemangsa ini biasanya berburu dengan terbang di dekat
kanopi pohon atau bertengger di pohon dan menunggu mangsa yang lewat.
Tak hanya habitatnya yang dirusak, elang jawa juga kerap ditangkap
dan diperjualbelikan sebagai satwa peliharaan. Padahal elang jawa
merupakan burung yang dilindungi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
serta diperkuat lewat Kepres No. 4/1993 Tentang Satwa dan Bunga
Nasional. Jenis ini juga termasuk salah satu dari 14 satwa prioritas
untuk diselamatkan berdasar SK Dirjen PHKA Nomor 132/2011.
Jika perdagangan dan alih fungsi hutan tidak dihentikan, maka bukan
tidak mungkin suatu saat nanti elang jawa hanya dapat dilihat dalam
bentuk gambar atau foto atau hanya dikenang sebagai burung yang identik
dengan simbol negara, Garuda.
Source : link
0 komentar:
Posting Komentar