skip to main | skip to sidebar

Silva Dream

Konsep Bumi Kita

  • Home
  • Gallery
  • Contact me
  • About Me

Minggu, 31 Agustus 2014

Salu, kanguru Papua Pendatang Baru di Taman Rimbo Jambi

Diposting oleh Maysatria Label: Flora dan Fauna, Konservasi
Salu, kanguru Papua (Thylogale brunii)  yang ada di Taman Rimbo Jambi. Foto : Lili Rambe

Salu, kanguru Papua (Thylogale brunii) yang ada di Taman Rimbo Jambi. Foto : Lili Rambe
Kabar gembira datang dari kebun binatang Taman Rimbo, Jambi. Salu, kanguru tanah Papua (Thylogale brunii)  yang telah menjadi penghuni kebun binatang ini selama 3 tahun telah melahirkan anak ketiganya.
“Kami tidak mengetahui secara pasti kapan anak Salu ini lahir namun pada tanggal 23 Juli lalu Siswo, keeper satwa kami melaporkan kantong Salu menggelantung dan bergerak” kata Arif Makhfud, Kepala Seksi Pemeliharaan dan Perawatan Satwa kebun binatang Taman Rimbo.
Mengetahui hal itu, dia dan dokter hewan segera melakukan pemeriksaan pada Salu dan benar saja, kantung Salu sudah dihuni oleh seekor bayi kanguru. Bayi kanguru lahir dalam keadaan belum sempurna dan berukuran kecil sehingga kelahirannya cukup sulit dideteksi.
Anak Salu ini akan berada dalam kantung induknya selama kurang lebih 6 bulan dan akan disapih ketika ia berusia antara 8 hingga 12 bulan.
Sejak menghuni Taman Rimbo pada tahun 2011 lalu Salu telah melahirkan 3 anak namun sayang anak pertamanya mati. Saat ini anak kedua Salu yang berjenis kelamin jantan telah berusia 1 tahun.
Kanguru yang berhabitat asli di Papua, Papua Nugini, Pulau Aru dan Pulau Kai ini memiliki masa kehamilan selama 30 hari dan hanya melahirkan satu anak. Jika dibandingkan dengan kanguru Australia ukuran tubuh kanguru tanah Papua ini sangat kecil, tingginya hanya sekitar 29 hingga 67 cm dan memiliki berat antara 5 hingga 18 kg.
Salu, kanguru Papua (Thylogale brunii)  yang ada di Taman Rimbo Jambi. Foto : Lili Rambe
Salu, kanguru Papua (Thylogale brunii) yang ada di Taman Rimbo Jambi. Foto : Lili Rambe
Dalam habitat yang terlindungi umur kanguru tanah dapat mencapai 10 tahun sementara di alam liar dapat mencapai 6 tahun.
International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan satwa marsupial alias hewan berkantung ini kedalam kategori rentan (vulnerable) karena selama 15 hingga 20 tahun terakhir populasinya berkurang 30 persen.
Bahkan populasi kanguru tanah di kawasan yang terletak dekat Port Moresby, Papua Nugini diperkirakan telah punah. Namun di Pulai Aru populasi kanguru tanah masih cukup banyak.
Bertambahnya jumlah penduduk akan meningkatkan resiko penurunan populasi kanguru tanah akibat habitat asli mereka yang berubah menjadi pemukiman dan diburu oleh manusia.

Source : link
0 komentar

Penyebab Menyusutnya Banteng dan Macan Tutul di Taman Nasional Baluran

Diposting oleh Maysatria Label: Flora dan Fauna, Konservasi
Nurdin Razak menunjukkan hamparan savana yang dikelilingi akasia dari atas menara pantau di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Foto : Petrus Riski

Nurdin Razak menunjukkan hamparan savana yang dikelilingi akasia dari atas menara pantau di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Foto : Petrus Riski  
Seharian penuh menyusuri jalanan tidak rata yang membelah Taman Nasional Baluran, nampaknya tidak cukup untuk memenuhi hasrat menjelajahi 25.000 hektar luas keseluruhan taman nasional yang terletak di wilayah Kabupaten Situbondo, Jawa Timur.
Perburuan foto satwa dan keanekaragaman hayati di Taman Nasional Baluran, menjadi tujuan sekaligus tantangan tersendiri bagi pengunjung yang masuk ke dalamnya. Melewati zona-zona di dalam Taman Nasional Baluran, masih bisa dijumpai sejumlah spesies tumbuhan dan  satwa eksotis endemik pulau Jawa.
Ekosistem Baluran memiliki sekitar 444 jenis tumbuhan yang diantaranya merupakan tumbuhan asli yang khas, dan mampu beradaptasi dalam kondisi yang sangat kering seperti, widoro bukol (ziziphus rotundifolia), mimba (azadirachta indica), pilang (acacia leucophloea), asam jawa (tamarindus indica), gadung (dioscorea hispida), kemiri (aleurites moluccana), gebang (corypha utan), salam (syzygium polyanthum), kepuh (sterculia foetida), dan beberapa tumbuhan lainnya. Berbagai jenis tumbuhan ini memperindah pemandangan hutan Baluran.
Burung merak di bawah pohon di tengan savana di Taman Nasional Baluran. Foto : Petrus Riski
Burung merak di bawah pohon di tengan savana di Taman Nasional Baluran. Foto : Petrus Riski
Di taman nasional tertua Indonesia ini  terdapat 26 jenis mamalia, di antaranya banteng (bos javanicus javanicus), kerbau liar (bubalus bubalis), ajak atau anjing hutan (cuon alpinus javanicus), kijang (kuntiacus muntjak muntjak), rusa timor (cervus timorensis), macan tutul (panthera pardus melas), kancil (tragulus javanicus pelandoc), kucing bakau (prionailurus viverrinus)
Selain itu terdapat sekitar 155 jenis burung, di antaranya termasuk burung langka seperti layang-layang api (hirundo rustica), tuwuk asia (eudynamys scolopacea), burung merak (pavo muticus), burung rangkong (buceros rhinoceros), bangau tong-tong (leptoptilos javanicus), ayam hutan merah (gallus gallus), dan banyak jenis burung lainnya.
Satwa endemik yang menjadi maskot Taman Nasional Baluran yaitu banteng jawa, merupakan salah satu mamalia yang sulit ditemui dan diindikasikan semakin berkurang jumlah populasinya. Dari jumlah ratusan pada 10 tahun terakhir, saat ini jumlahnya diperkirakan sekitar 25-35 ekor banteng jawa yang tersisa.
Diutarakan oleh Joko Waluyo, selaku Kepala Bagian Tata Usaha Balai Besar Taman Nasional Baluran, berkurangnya populasi banteng jawa maupun macan tutul lebih banyak disebabkan adanya aktivitas perburuan liar.
“Kita sudah upayakan melakukan pengamanan kawasan dengan meningkatkan pengawasan, termasuk melakukan patroli oleh seksi dan resort kami, serta koordinasi dengan kepolisian untuk pengamanan kawasan,” terang Joko.
Hama Akasia
Pengajar di Jurusan Ekowisata, FISIP Universitas Airlangga Surabaya, Nurdin Razak, merosotnya jumlah populasi banteng jawa di Taman Nasional Baluran disebabkan oleh perburuan pada masa lalu, serta tumbuh kembang tanaman akasia (acacia nilotica) yang ada di sekeliling area Savana Taman Nasional Baluran.
“Kalau perkiraan saya dari pantauan selama ini, jumlah banteng jawa sekarang tinggal 20-an ekor. Ini akibat perburuan serta cepatnya pertumbuhan tanaman akasia yang mengurangi area savana yang menjadi tempat mencari makan banteng jawa,” kata Nurdin Razak.
Pertumbuhan akasia yang sangat cepat itu mengakibatkan berkurangnya area savana dari 40 persen menjadi 10 persen, atau yang semula 10.000 hektar menjadi kurang dari 5.000 hektar. Invasi akasia yang memiliki duri pada batang dan dahannya itu, kata Nurdin Razak, menyebabkan terhambatnya pertumbuhan rumput yang menjadi makanan utama banteng.
“Akasia itu kan tanaman yang tumbuh dengan cepat, banyak duri di dahan dan rantingnya, otomatis banteng jawa kesulitan melewati itu untuk mencari makan. Bisa jadi mereka sekarang pergi mencari lokasi baru, atau karena makanannya terbatas jumlah mereka menjadi berkurang karena mati,” terang Nurdin yang menekuni fotografi satwa dan alam liar sejak 11 tahun yang lalu.
Latar belakang tanaman akasia yang meranggas setelah diolesi cairan solar fermentasi. Foto : Petrus Riski
Latar belakang tanaman akasia yang meranggas setelah diolesi cairan solar fermentasi. Foto : Petrus Riski
Jarak yang rapat antar tanaman akasia ini membentuk sebuah payung, yang mengakibatkan rumput di bawahnya mati akibat kekurangan sinar matahari. Sementara itu upaya pengendalian akasia masih menggunakan cara konvensional yaitu dengan menebang akasia, yang kemudian pokok batangnya dibakar sampai menembus akar. Meski ditebang atau dibakar, tanaman akasia akan terus tumbuh karena akarnya tertanam sangat dalam melebihi panjang tanaman itu sendiri.
“Sudah pernah dilakukan dengan menyuntikkan cairan tertentu pada tanaman akasia, yang bertujuan mencegah pertumbuhannya sehingga tanaman itu menjadi kering dan meranggas, tapi itu baru uji coba dan tidak dilanjutkan kembali,” lanjut Nurdin.
Keberadaan tanaman akasia di sekitar savana Taman Nasional Baluran pada awal mulanya untuk melindungi savanna dari kebakaran yang biasa terjadi pada saat musim kemarau, karena tanaman akasia merupakan tanaman yang tahan terhadap api sehingga diharapkan dapat melindungi savanna dan hutan di sekitarnya.
“Pemerintah menjadikan tanaman asal Afrika itu, sebagai sabuk pelindung savana di Taman Nasional Baluran. Namun cepatnya pertumbuhan akasia yang bibitnya mudah tersebar oleh angin dan burung, menjadikan pertumbuhan akasia tidak terbendung dan semakin meluas,” katanya.
Upaya mengurangi pertumbuhan akasia lanjut Joko Waluyo dari Taman Nasional Baluran, akan terus dilakukan dengan teknik mengolesi akasia Akasia dengan solar hasil fermentasi. Sejauh ini kata Joko, upaya itu cukup berhasil mencegah penyebaran tumbuh kembang akasia.
“Hasilnya cukup berhasil, ada yang tidak tumbuh dan mati. Yang sudah berhasil di savana bekol sekitar 250 hektar, dari total akasia di baluran sekitar 6.000 hektar. Kita lanjutkan, dan anggarannya tidak hanya terbatas dari kami tapi juga dari mitra,” tutur Joko.
Sementara itu, penampakan banteng jawa meski semakin jarang juga dibenarkan oleh Sukadi, salah satu warga Desa Wonorejo, Kecamatan Bayu Putih, Kabupaten Situbondo, yang bertempat tinggal dekat dari kawasan taman nasional.
“Banteng saya pernah ketemu beberapa waktu lalu, juga masih terlihat babi hutan baru-baru ini, dan anjing hutan. Seorang wisatawan asing yang kebetulan menginap di desa ini, pernah melihat macan tutul jawa,” imbuh Sukadi.
Banteng merupakan satwa pemalu yang jarang terlihat berkelompok lebih dari tiga ekor. Pada 1996, populasi banteng tercatat sebanyak 320 ekor, kemudian merosot drastis pada 2007 menjadi 34 ekor, dan terakhir pada 2011 tercatat hanya sekitar 22-24 ekor saja yang tersisa.
Kerbau liar sedang mandi di kubangan. Foto : Petrus Riski
Kerbau liar sedang mandi di kubangan. Foto : Petrus Riski
Pantauan Mongabay pada pertengahan Agustus 2014 atau masuk musim kering, hanya terlihat 2 ekor kerbau liar yang berkubang maupun mencari makan di savana. Selain itu belasan rusa timor dan beberapa ekor merak hijau tampak malu-malu mencari makan dan minum di sekitar savana Baluran. Banteng jawa yang menjadi maskot Baluran, hingga sore menjelang belum menampakkan batang hidungnya maupun suara lenguhannya.
Selain Banteng, keberadaan burung merak juga menjadi perhatian karena jumlahnya yang semakin berkurang akibat perburuan liar. Di Indonesia, jumlah burung merak yang merupakan hewan dilindungi ini diperkirakan tinggal 1.000 ekor, termasuk yang ada di Taman Nasional Baluran.
Krisis Macan Tutul Jawa
Keberadaan macan tutul jawa di Taman Nasional Baluran diprediksi semakin habis, yang diperkirakan jumlahnya mencapai belasan saja. Indikasi langkanya macan tutul jawa di Baluran dapat dilihat dari keberadaan rusa timor yang jumlahnya semakin bertambah dan dominan di savana Baluran. Jumlah yang berlimpah dari satwa yang menjadi mangsa predator macan tutul, memunculkan asumsi bahwa jumlah predator mengalami penurunan atau berkurang.
“Rusa timor, kerbau liar, beberapa unggas seperti ayam hutan dan merak hijau, beberapa burung masih cukup berlimpah di Baluran. Sementara mamalia banteng dan khususnya predator seperti macan tutul, beberapa kali pengamatan dan pendokumentasian yang saya lakukan dan itu kebetulan beberapa kali terlihat, sepertinya jumlahnya semakin berkurang,” ujar Nurdin Razak yang baru 2 kali dalam kurun waktu 11 tahun, berhasil bertemu dan mengabadikan foto macan tutul jawa dengan kameranya.
Rantai makanan yang tidak seimbang ini menjadi indikasi kurangnya pemangsa atau satwa predator baik itu macan tutul maupun ajak atau anjing hutan di Baluran. Nurdin memperkirakan macan tutul jawa tinggal 7 – 12 ekor di taman nasioal yang mempunyai tropical range forest-nya serta zona-zona lain seperti evergreen.
“Faktanya kita malah sering menemukan mangsanya. Padahal pada area jelajah 5 sampai 10 kilometer persegi, seharusnya bisa ditemui satwa predator,” ungkap Nurdin lebih lanjut.
http://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2014/08/Peta-Ekologi-Savana-Bekol-di-Baluran.jpg
Peta Ekologi Savana Bekol di Taman Nasional Baluran. Foto : Petrus Riski
Pemerintah diutarakan tidak memiliki data dan tidak pernah melakukan pendataan secara akurat mengenai keberadaan satwa yang ada di setiap taman nasional, termasuk di Baluran. Padahal pendataan sangat penting dilakukan untuk mengetahui rekam jejak, masa hidup, dan populasi satwa.
“Perlu salah satunya menggunakan metode jejak untuk home range, pengintaian untuk mangsa, kalau sudah bertemu dibuatkan semacam kalung navigasi. sehingga bisa diketahui dimana jalur mereka, dan seberapa jauh mereka menempuh itu, masa hidup juga bisa diketahui,” paparnya.
Meski penelitian untuk macan tutul jawa telah banyak dilakukan, namun khusus untuk macan tutul jawa di Baluran masih sangat kurang atau bahkan belum dilakukan. Penelitian satwa di beberapa tempat memanfaatkan teknologi berupa kamera pengintai atau kamera trap, untuk memperoleh data dan gambar secara komprehensif.
“Kelemahan pemerintah kita itu data, yang selama ini hanya mengandalkan penemuan-penemuan yang bersifat kualitatif. Yang perlu ditonjolkan sekarang adalah data visual karena mampu berbicara banyak. Kalau idealnya seluruh taman nasional masing-masing punya dokumentasi lengkap mengenai flora dan faunanya. Itu tidak mudah dan tidak cepat, tapi harus dimulai sekarang, karena hanya itu yang tertinggal,” imbuh Nurdin yang mendirikan Baloeran Ecologe sebagai media informasi mengenai Baluran.
Gunung Baluran
Baluran merupakan taman nasional yang terletak Kecamatan Banyu Putih, Kabupaten Situbondo, dan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Wilayah utara berbatasan dengan Selat Madura, sebelah timur Selat Bali. Adapun sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Bajulmati, dan sebelah barat Baluran berbatasan dengan Sungai Kelokoran, sementara di tengah kawasan ini terdapat Gunung Baluran yang sudah tidak aktif lagi.
Baluran memiliki temperatur udara 27-34 derajat celcius, curah hujan 900-1.600 mm/tahun, ketinggian tempat 0-1.247 mdpl, serta letak geografis 7°29’-7°55’ LS, 114°17’-114°28’ BT.
Burung Merak mencari makan di savana Taman Nasional Baluran. Foto : Petrus Riski
Burung Merak mencari makan di savana Taman Nasional Baluran. Foto : Petrus Riski
Nama Baluran diambil dari gunung yang berada di kawasan itu yakni gunung Baluran. Sebelum tahun 1928, AH. Loedeboer, seorang pemburu kebangsaan Belanda yang memiliki daerah konsesi perkebunan di Labuhan Merak dan Gunung Mesigit, pernah singgah di Baluran. Loedeboer menaruh perhatian terhadap Baluran dan meyakini bahwa tempat itu mempunyai nilai penting untuk perlindungan satwa khususnya jenis mamalia besar.
Pada tahun 1930, KW. Dammerman yang menjabat sebagai Direktur Kebun Raya Bogor mengusulkan perlunya Baluran ditunjuk sebagai hutan lindung. Dan kemudian Gubernur Jenderal Hindia Belanda menetapkan Baluran sebagai Suaka Margasatwa pada tahun 1937 dengan ketetapan GB. No. 9 tanggal 25 September 1937 Stbl. 1937 No. 544.
Pasca kemerdekaan, Baluran ditetapkan kembali sebagai Suaka Margasatwa oleh Menteri Pertanian dan Agraria Republik Indonesia, dengan Surat Keputusan Nomor. SK/II/1962 tanggal 11 Mei 1962. Selanjutnya bertepatan dengan Hari Strategi Pelestarian se-Dunia pada tanggal 6 Maret 1980, Suaka Margasatwa Baluran diumumkan sebagai Taman Nasional oleh Menteri Pertanian. Melalui SK. Menteri Kehutanan No. 279/Kpts.-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997, kawasan Taman Nasional Baluran ditetapkan memiliki luas 25.000 hektar.
Taman Nasional Baluran memiliki ekosistem yang bervariasi, mulai dari hutan rawa, hutan pegunungan bawah, hutan yang selalu hijau sepanjang tahun atau evergreen, hutan pantai, hutan musim, hutan mangrove, dan vegetasi savana.
Taman Nasional Baluran memiliki beberapa bagian sesuai peruntukannya, diantaranya zona inti seluas 12.000 hektar, zona rimba seluas 5.537 hektar dan terbagi dalam wilayah perairan 1.063 hektar dan wilayah daratan 4.574 hektar, zona pemanfaatan intensif seluas 800 hektar, zona pemanfaatan khusus 5.780 hektar, dan zona rehabilitasi seluas 783 hektar.
Dibagian tengah Taman Nasional Baluran terdapat Savana Bekol, berupa padang rumput yang sangat luas berwarna kuning kecoklatan. Savana terbesar di Pulau Jawa ini, banyak dijuluki savanna Afrika di Indonesia. Tidak jauh dari padang savana terdapat menara pandang setinggi 64 meter. Di sisi luar terdapat pantai Bama, Balanan dan Bilik, yang terletak di sekitar taman nasional, dapat menjadi salah satu alternatif wisata memancing maupun snorkling.
Kawasan Savana Bekol di Taman Nasional Baluran. Foto : Petrus Riski
Kawasan Savana Bekol di Taman Nasional Baluran. Foto : Petrus Riski
Di pantai Bama merupakan tempat yang bagus untuk melihat matahari terbit, selain kumpulan pohon bakau atau mangrove serta kawasan konservasi lainnya yang masih alami. Selain monyet ekor panjang yang bebas naik turun pohon disekitar pantai, bisa didapati pula satwa lainnya seperti biawak dan babi hutan, serta sesekali dapat ditemui burung raja udang (halcyon chloris) di dahan sekitar pantai dan aneka jenis burung migran.

Source : link
0 komentar

Ekspedisi Herpetologi Mania, ‘Berburu’ Amfibi di Hutan Simbahe

Diposting oleh Maysatria Label: Flora dan Fauna
Microhyla,  kodok yang ditemukan disekitar hutan dan pemukiman warga yang tinggal di sekitar hutan dan pemukiman warga. Foto: Ayat S Karokaro
Microhyla, kodok yang ditemukan di sekitar hutan dan pemukiman warga yang tinggal di hutan dan pemukiman warga. Foto: Ayat S Karokaro
Komunitas pencinta satwa bernama Herpetologi Mania, Sabtu (23/8/14) memulai ekspedisi di hutan Simbahe, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Kelompok ini terdiri dari mahasiswa Biologi Universitas Sumatera Utara (USU) dan mahasisiwa pasca sarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Mereka akan meneliti spesies amfibi di hutan itu. Saya ikut tim mendokumentasikan berbagai temuan.
Tim ekspedisi meminta izin tokoh adat suku Karo, di pintu rimba sekitar lokasi penelitian. Di sepanjang perjalanan, berbagai jenis spesies ditemukan, bahkan seekor anak ular diperkirakan baru menetas terlihat melintas.
Tim 10 orang ini dibagi menjadi dua. Lima orang mencari target di perkebunan sekitar hutan, dan daratan. Tim kedua menelusuri jalur air dan sekitar.
Dalam ekspedisi kali ini, mereka fokus mencari berbagai spesies amfibi, termasuk Ichthyophis, yang jarang ditemui. Bentuk tubuh mirip cacing besar atau ular. Hidup di dalam tanah gembur dekat sungai dan rawa-rawa. Belum banyak penelitian dilakukan hingga satwa ini belum dikenal umum.
Salah satu tim, Farid Akhsani. Mahasiswa pasca sarjana ini peneliti jurusan bio sains hewan di IPB. Menurut dia, Ichthyophis salah satu amfibi primitif. Secara morfologi seperti cacing tetapi kekerabatan lebih dekat dengan amfibi. Di Indonesia, penelitian soal spesies ini masih sedikit sekali.
Anggota Komunitas Herpetologi Mania tengah melakukan penelitian mencari berbagai spesies amfibi di hutan Simbahe. Foto: Ayat S Karokaro
Anggota Komunitas Herpetologi Mania tengah melakukan penelitian mencari berbagai spesies amfibi di hutan Simbahe. Foto: Ayat S Karokaro
Secara ekologis, Ichthyophis itu mendekati jenis katak dan kodok. Untuk fungsi ekologis, Ichthyophis sebagai detrifor untuk mencerna zat-zat pembusukan, atau sebagai fungsi penyeimbang penguraian zat-zat pembusukan tanah. Di Indonesia, ada 12 jenis Ichthyophis ditemukan.
Dia mengatakan, habitat satwa ini di hutan tropis, di kayu busuk dan tumbuhan mati. Ia mengkonsumsi makanan hewan kecil makro fauna dan misofauna atau hewan-hewan jenis itu di dalam tanah. Terhadap alam, satwa jenis detrifora ini akan menghancurkan zat sisa pada alam seperti keong dan siput.
“Dalam penelitian ini, kami mengeruk sampah dan mencari di kayu busuk dan mati. Kalau anakan masih kecil hidup di air. Jika sudah dewasa ke darat dan lokasi lembab. Kadang kembali ke air karena hidup di dua alam,” kata Farid.
Hari itu, meskipun tidak menemukan Ichthyophis, mereka mendapatkan Leptobrachium hendricksoni, juga jarang ditemui. Mereka juga menemukan beberapa jenis lain seperti kodok puru (Bufo melanotictus). “Kami akan terus mencari agar penelitian ini bisa lebih lengkap.”
Kodok Puru, salah satu  yang ditemukan oleh Komunitas Herpetologi Mania di Hutan Simbahe. Foto: Ayat S Karokaro
Kodok Puru, salah satu yang ditemukan oleh Komunitas Herpetologi Mania di hutan Simbahe. Foto: Ayat S Karokaro

Source : link
0 komentar
Diposting oleh Maysatria Label: Flora dan Fauna
Kupu-kupu Troides Helena jantan. Foto : Agustinus Wijayanto

Kupu-kupu Troides Helena jantan. Foto : Agustinus Wijayanto
Kupu-kupu, bagi sebagian orang mungkin tidak terlalu diperhitungkan. Namun satwa ini memiliki peran penting dalam ekosistem yaitu sebagai pollinator atau penyerbuk sehingga alam ini lebih seimbang.  Kupu-kupu memiliki sensitifitas tinggi karena tergantung pada habitat penyerbukan tanaman, termasuk juga pada kawasan karst di Gunungkidul, Yogyakarta. Salah satu jenis kupu-kupu yang menarik adalah kupu-kupu raja Troides helena.  Satwa ini dilindungi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, tercantum dalam Lampiran II CITES, dan status dalam International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List (pada 2008 belum dimasukkan/data deficient). Kabupaten Gunungkidul terkenal dengan kawasan karst dan salah satu kawasan karst tropis yang memiliki  nilai-nilai geologi dan keanekaragaman hayati unik. Beberapa lokasi kecamatan di Gunungkidul memiliki kawasan karst yang berpotensi sebagai hidrologi dan fungsi ekologis dan sudah terdaftar dalam perencanaan tata ruang (Perda No.6 / 2011 Kabupaten Gunungkidul tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Gunungkidul). Disebutkan bahwa pembentukan untuk melindungi fungsi kelestarian lingkungan yang mampu beradaptasi terhadap dampak risiko bencana termasuk mempertahankan dan melestarikan ekosistem unik dan endokarst / formasi eksokarst dan sinkronisasi dilindungi geologi pengelolaan kawasan sebagai perkembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan pariwisata warisan dunia Untuk mengetahui keberadaan kupu-kupu raja tersebut, peneliti muda dari -Kanopi Indonesia Jogja dan Pemuda Pecinta Alam Gunungkidul melakukan survey beberapa bulan ini di berbagai tempat di kecamatan Gunungkidul, antara lain di Tepus, Patuk, Wonosari, Ponjong, Paliyan, Karangmojo, Semin, Nglipar, Panggang, Tanjungsari, Semanu, Girisubo, Playen, Purwosari.
Menurut tim peneliti dari Yayasan Kanopi Indonesia, Arif Nurmawan, penelitian ini penting kerena sudah jarang ditemukan kupu-kupu raja Troides helena di Gunungkidul sebagai satwa eksotik.  “Kupu-kupu raja Troides helena, merupakan satwa yang dilindungi di Indonesia dan keberadaannya di Gunungkidul sangat terbatas. Kawasan Gunung api purba di Nglanggeran-Patuk, Gunungkidul merupakan salah satu habitatnya yang cukup aman,” katanya. Survey ini mendapat dukungan dari MBZ Species Conservation-Dubai. Sebuah lembaga konservasi yang peduli terhadap pelestarian satwa liar di dunia. Fakta lapangan menunjukkan bahwa dari sekian banyak lokasi yang diteliti, hanya  hanya di Patuk, yaitu di Nglanggeran dengan jumlah rata-rata 25 individu sedang di lokasi lain hanya ditemukan 1 individu. Sirih hutan (Aristolochia sp.)  sebagai pakan inang dari Troides helena hanya ditemukan di bukit Nglanggeran dengan populasi rata-rata 22 individu dengan dominasi anakan (seedling). Di beberapa lokasi kecamatan yang telah disurvey tersebut menunjukkan ancaman yang tidak ringan yaitu penambangan kapur dimana kawasan tersebut merupakan habitat dari Troides helena dan Aristolochia sp. “Habitat kupu-kupu raja mendapat ancaman antara lain penambangan batu kapur, kompetitor alami, serta datang dari para peneliti yang cenderung menangkap banyak kupu-kupu untuk dikumpulkan menjadi spesimen” ungkap Arif. Lebih lanjut bahwa hasil penelitian ini penting untuk memberikan masukan kepada pengelolaan kawasan di wilayah habitat kupu-kupu raja Troides helena. “Kami meneliti kupu-kupu raja ini dengan menangkap menggunakan swipnet kemudian kami identifikasi jantan atau betina dan kami lepaskan kembali ke alam, agar keseimbangan dan dinamika populasinya tetap terjaga”ungkap Arif. Kondisi populasi kelangsungan hidup Troides helena dan Aristolochia sp, menjadi tanggung jawab semua pihak. Secara khusus, Nglanggeran-Patuk, yang merupakan salah satu lokasi wisata alam perlu diperhatikan lebih serius karena dengan adanya wisata masal akan berpengaruh negatif terhadap keberadaan Troides helena dan Aristolichia sp tersebut.
Tanaman Sirih Hutan Aristolochia sp merupakan pakan inang kupu-kupu raja. Foto : Agustinus Wijayanto
Tanaman Sirih Hutan Aristolochia sp merupakan pakan inang kupu-kupu raja. Foto : Agustinus Wijayanto
Pengelola Ekowisata di Nglanggeran mengapresiasai langkah yang dilakukan untuk mengetahui Troides helena dan pakannya tersebut. “Kami sangat berterima kasih karena ada penelitian terkait kupu-kupu raja Troides helena yang selama ini tidak kami ketahui bahwa jenis tersebut dilindungi di Indonesia”, ungkap Heru selaku anggota Pengelola Ekowisata Nglanggeran. Upaya-upaya yang dilakukan terhadap kelestarian ini tidak hanya berupa penelitian atau survey, namun perlu langkah nyata.  Salah satunya melalui pengembangbiakan secara alami Aristolochia sp dan perlindungan Troides helena. Kegiatan tersebut selain untuk memperbaiki lingkungan dan melindungi Troides helena, juga dapat digunakan sebagai wahana pendidikan lingkungan” ungkap Arif. Hal tersebut diamini juga oleh Heru selaku pelaku Ekowisata Nglanggeran, karena memiliki nilai tambah ekowisatanya yaitu pengenalan kupu-kupu raja Troides helena dan Aristolochia sp. Untuk itu, upaya nyata bagi penyelamatan kupu-kupu raja selain perlindungan habitat dan pengembangbiakan secara alami adalah mendorong Pemerintah Daerah Gunungkidul agar lebih memperhatikan kawasan-kawasan karst, terutama habitat Troides Helena dan Aristolochia sp di kawasan Gunungapi purba Nglanggeran sebagai lokasi ekowisata sekaligus lokasi penyelamatan habitat Troides helena dan Aristolochia sp. Penyadartahuan kepada masyarakat luas terhadap keberadaan kupu-kupu dan pakan alam tersebut agar mendorong kepedulian masyarakat untuk ikut melindungi sebagai upaya penyelamatan bersama agar tidak punah di kemudian hari.

Source : link
0 komentar

Pictured Dragonet, Ikan Eksotis Yang Makin Langka

Diposting oleh Maysatria Label: Flora dan Fauna, Konservasi
IKan Pictured Dragonet dari kawasan perairan Bali. Foto : Wisuda

IKan Pictured Dragonet dari kawasan perairan Bali. Foto : Wisuda
Indonesia kaya dengan keanekaragaman hayati bawah laut, salah satunya adalah ikan Pictured Dragonet (Synchiropus picturatus). Serupa tapi tak sama, demikian jika kita menyandingkan antara Mandarinfish (Synchiropus splendidus) dengan Pictured Dragonet Perbedaan kedua ikan eksotis ini cuma motif di badannya. Jika Mandarinfish mempunyai motif garis-garis, sedangkan Pictured Dragonet atau biasa juga disebut dengan Western Dragonet mempunyai motif bulat-bulat.
IKan Pictured Dragonet dari kawasan perairan Bali. Foto : Wisuda

IKan Pictured Dragonet dari kawasan perairan Bali. Foto : Wisuda
Keberadaan Pictured Dragonet termasuk langka, jika dibandingkan dengan saudara kembarnya Mandarinfish. Mempunyai habitat yang juga serupa dengan Mandarinfish, Pictured Dragonet hidup dan bersembunyi diantara karang-karang mati.
Karang-karang mati ini, mereka manfaatkan sebagai tempat berlindung dari para predatornya. Dengan warna dan coraknya yang menarik, Pictured Dragonet seringkali menarik perhatian para pehobi fotografi bawah laut.
IKan Pictured Dragonet dari kawasan perairan Bali. Foto : Wisuda

IKan Pictured Dragonet dari kawasan perairan Bali. Foto : Wisuda
 Pictured dragonet sering dijumpai pada pagi hari ketika matahari terbit dan sore hari ketika matahari terbenam, atau bisa juga tergantung pada suhu air. semakin rendah suhu air, maka Pictured Dragonet akan lebih mudah dijumpai. Ikan ini juga sering pula dijumpai berpasangan.
Ikan eksotik ini tidak diketahui musim memijah yang pasti, karena ketika suhu air rendah maka pictured dragonet kerap dijumpai sedang bereproduksi. Pictured Dragonet jantan bisa melakukan perkawinan pada beberapa betina sekaligus dalam satu masa. proses perkawinannya pun tergolong sangat unik, betina dan jantan akan berenang berdampingan sambil masing-masing mengeluarkan sperma dan telurnya.
Makanan Pictured Dragonet adalah algae atau tumbuhan yang menempel pada karang.
IKan Pictured Dragonet yang sedang kawin di kawasan perairan Bali. Foto : Wisuda

IKan Pictured Dragonet yang sedang kawin di kawasan perairan Bali. Foto : Wisuda
Walaupun senang menampakan diri pada suhu air rendah, tetapi Pictured Dragonet tersebar di wilayah perairan tropis, seperti Asia, termasuk Indonesia sampai ke sebagian laut Australia.
Sebetulnya di beberapa wilayah perairan laut indonesia, ikan ini dapat dijumpai dengan mudah, tetapi karena ketidaktahuan dari pemerintah setempat dan ekaplorasi nya sebagai komoditas ikan hias, menjadikannya semakin menghilang dan tidak dikenal.
Padahal, jika dipertahankan dan dijaga betul keberadaannya, ikan ini bisa mendatangkan devisa dan keuntungan yang tidak sedikit, karena para fotografer underwater , baik dalam negeri maupun mancanegara, banyak yang mengincar ikan ini sebagai obyek fotonya.

Source : link
0 komentar

Cara Aceh Cegah Korupsi di Sektor Kehutanan

Diposting oleh Maysatria Label: Lain lain, News

Buku Pedoman Pengelolaan Hutan Berbasis Syariah dan Adat Aceh: Pencegahan Korupsi di Sektor Kehutanan, yang diluncurkan di Banda Aceh, Senin (25/8/2014)
Buku Pedoman Pengelolaan Hutan Berbasis Syariah dan Adat Aceh: Pencegahan Korupsi di Sektor Kehutanan, yang diluncurkan di Banda Aceh, Senin (25/8/2014)
Aceh menjadi provinsi pertama di Indonesia yang memiliki rencana aksi untuk mencegah korupsi di sektor kehutanan dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan korupsi. Salah satu strateginya adalah mengedepankan hukum syariah dan adat dalam pengelolaan hutan.
Program Penguatan Integritas dan Akuntabilitas (SIAP II) yang dilaksanakan oleh konsorsium WWF Indonesia, Transparency International Indonesia, dan IWGFF dengan pendanaan dari USAID menggandeng Majelis Adat Aceh (MAA) menyusun buku “Pedoman Pengelolaan Hutan Berbasis Syariah dan Adat Aceh: Pencegahan Korupsi di Sektor Kehutanan” sebagai upaya mendukung program penguatan integritas dan akuntabilitas dalam tata kelola hutan. Buku ini diluncurkan bersama oleh Pemerintah Aceh, SIAP II, MAA, dan USAID di Banda Aceh, Senin (25/8/2014).
Sejak masa Kesultanan Aceh, Aceh telah menerapkan hukum syariat Islam dan adat yang cukup kuat dalam mengelola hutan. Menurut Ketua MAA, Badruzzaman Ismail, Aceh memiliki contoh positif dalam sejarah pengelolaan hutan adatnya, dan itu yang hendak dikumpulkan dan dihidupkan kembali melalui semangat keistimewaan Aceh yang berlaku sekarang ini.
Syarikat Mukim sebagai pemangku adat di Aceh telah berjuang sekian tahun untuk meminta kembali hak pengelolaan hutan adat yang telah hilang sejak Pemerintah Indonesia memberlakukan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 yang menghilangkan wewenang Mukim dan Peutuha Peut sebagai pemangku adat pemerintahan di Aceh.
“Ini tantangan besar kami untuk mengembalikan kembali wewenang mukim dalam pengelolaan hutan di Aceh,” kata Badruzzaman.
Sejak 2013 MAA dan SIAP II mengumpulkan lebih dari 100 orang pemangku adat seperti Mukim, pawang uteun (hutan), pawang binatang, ulama, akademisi, dan aparat penegak hukum untuk menggali lagi Al-Quran dan Al-hadist serta hukum adat yang berlaku dalam pengelolaan hutan dan lingkungan yang berlaku di kemukiman yang berbatasan dengan hutan. Akhirnya, semua terangkum dalam sebuah buku pedoman bagaimana manajemen pengelolaan hutan yang diharapkan bisa menjadi contoh baik di Indonesia.
“Pedoman ini menjabarkan bagaimana hukum Syariat baik Al-Quran dan Al-Hadist telah mengatur banyak hal terkait keseimbangan kehidupan di dunia, hubungan antara manusia dan makhluk ciptaan Allah lainnya serta lingkungan sekitar, apa yang diperbolehkan dan apa yang tidak diperbolehkan, dan apa ancaman jika manusia melakukan kerusakan,” kata Badruzzaman.
Hutan alam di Aceh seluas 3.3 juta hektar,  harus dikelola secara lestari. Foto: Chik Rini
Hutan alam di Aceh seluas 3.3 juta hektar harus dikelola secara lestari. Foto: Chik Rini
Hutan Aceh merupakan salah satu harapan terakhir hutan alam yang tersisa di Sumatera. Dengan hutan alam seluas 3.3 juta hektar, hutan Aceh harus dikelola dengan manajemen pengelolaan hutan lestari yang dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat di Aceh.
CEO WWF-Indonesia, Dr. Efransjah, mengatakan,” Peran serta masyarakat sipil dalam mendukung pengelolaan hutan lestari adalah sebuah keniscayaan, sehingga keterlibatan MAA dalam upaya ini menjadi sangat penting. Apalagi dengan tekanan terhadap hutan tersisa di Sumatera yang semakin besar, jika kondisi saat ini dibiarkan, dalam kurun waktu 20 tahun mendatang keanekaragaman hayati di hutan Aceh dapat mengalami kepunahan.”
Berbagai pendekatan berupaya dilakukan untuk melestarikan hutan Aceh. Sejak 2012, SIAP II telah menjalankan kegiatan-kegiatan untuk memperkuat peranan masyarakat sipil di Provinsi Aceh dalam rangka mendorong integritas dan akuntabilitas dalam pengelolaan hutan yang lestari dan mencegah praktik-praktik korupsi.
Pelaksana tugas Direktur USAID/Indonesia, Derrick Brown, menyatakan, mereka mendukung upaya perlindungan sumber daya alam Aceh. Melalui penyusunan pedoman ini, diharapkan ada contoh baik dalam memperbaiki tata kelola hutan.
“Kami gembira Aceh menjadi propinsi pertama di Indonesia yang menyusun rencana aksi daerah pencegahan korupsi sektor kehutanan dan meningkatan akutabilitas dan integritas dalam pengelolaan hutan. Kami memahami ada peraturan perundangan yang harus diubah dan kami mendukung upaya Pemerintah Aceh, salah satunya dengan terbitnya pendoman ini,” kata Derrick Brown.
Pedoman ini melakukan pendekatan startegis untuk mencegah korupsi yang mencegah pembalakan liar dan penggunaan sumber daya hutan lainnya. Mengidentifikasi prosedur pengelolaan hutan  berdasarakan adat Aceh, diharapkan bisa dilaksanakan oleh masyarakat Aceh. “Ini bukan solusi dari pihak luar, tapi solusi yang dibuat oleh masyarakat Aceh sendiri.”
Chief of Party SIAP II, Fathi Hanif, mengatakan, “Kami juga mengapresiasi dukungan para ulama Aceh dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dan lembaga dakwah lainnya yang telah memberikan sumbang pikiran dan tulisan untuk menggali isi Al-Qur’an dan Al-Hadist yang mengatur manusia dalam mengelola sumber daya alam. Kami berharap, pedoman ini dapat membantu seluruh pihak di Provinsi Aceh dalam membangun tata kelola kehutanan yang baik di Indonesia.”
Buku pedoman ini diharapkan menjadi rujukan banyak pihak dalam mendorong tata kelola hutan yang baik di Aceh. Beberapa hal yang dibahas dalam buku pedoman ini antara lain: mata rantai korupsi di sektor kehutanan dan upaya pencegahannya, hukum larangan korupsi di dalam Al-Quran dan Al-Hadist, fiqih pengelolaan hutan dan lingkungan serta panduan pengelolaan hutan berdasarkan adat di Aceh.
Hutan Aceh merupakan salah satu harapan terakhir hutan alam yang tersisa di Sumatera. Foto: Chik Rini

Hutan Aceh merupakan salah satu harapan terakhir hutan alam yang tersisa di Sumatera. Foto: Chik Rini

Source : link
0 komentar

Bukit Sulap Taman Nasional Kerinci Seblat

Diposting oleh Maysatria Label: Konservasi

Pintu masuk menuju TNKS. Foto: Taufik Wijaya
Pintu masuk menuju TNKS. Foto: Taufik Wijaya
Kamis (07/08/2014) pagi saya mengunjungi Bukit Sulap. Jaraknya dari pusat kota Lubuklinggau sekitar dua kilometer. Bukit Sulap merupakan bukit yang dipenuhi tanaman hutan, tempat hidup sejumlah satwa seperti burung, rusa, monyet ekor panjang, lutung, trenggiling, serta koridor harimau sumatera.
“Kalau harimau sumatera saat ini jarang terlihat, tapi warga beberapa kali menemukan jejaknya,” kata Asep dari TNKS Wilayah 5 Lubuklinggau.
Bukit Sulap masuk dalam wilayah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang masuk wilayah Kota Lubuklinggau seluas 200 hektar. Di bukit ini mengalir Sungai Kesei.
Saat menyusuri permukaan dan lereng Bukit Sulap yang tingginya sekitar 700 meter, saya hanya bertemu dengan beberapa monyet ekor panjang serta tanaman hutan khas Sumatera seperti durian dan rotan. Dibutuhkan waktu sekitar 1,5 jam dengan berjalan kaki untuk mencapai puncaknya. Saya sedikit kecewa tidak sampai ke puncak Bukit Sulap, karena teman yang mendampingi saya mengaku tubuhnya tiba-tiba merasa tidak sehat.
Bagi masyarakat Lubuklinggau dan Musirawas, Bukit Sulap memiliki arti yang penting. Sebab di lerengnya, tepatnya di Ulaklebar, terdapat makam manusia sakti yang pernah hidup di masa lalu yang dikeramatkan, namanya Bujang Kurap.
Makam Bujang Kurap di Ulak Lebar, di kaki Bukit Sulap Lubuklinggau, Sumsel. Foto: Taufik Wijaya
Makam Bujang Kurap di Ulak Lebar, di kaki Bukit Sulap Lubuklinggau, Sumsel. Foto: Taufik Wijaya
Legendanya, Bujang Kurap seorang pemuda yang sakti. Dia merupakan salah satu panglima Kerajaan Sriwijaya, yang bertugas di wilayah Bukit Sulap. Pemuda ini dipanggil “Bujang Kurap” lantaran di tubuhnya dipenuhi kurap.
Diyakini, Bujang Kurap masih keturunan dari Si Pahit Lidah, tokoh sakti yang pernah hidup sebelumnya.
Makam Bujang Kurap terletak di tepi Sungai Kelingi. Makamnya ditandai dengan dua batu menhir yang menghadap barat. Di sekitar makamnya terdapat tiga makam lain, yang dipercaya sebagai pengikut Bujang Kurap.
Dijelaskan Antoni, warga Dusun Ulaklebar, sekitar makam Bujang Kurap, di masa lalu merupakan pemukiman. “Tapi, pemukiman tiba-tiba menghilang. Makanya disebut Silampari yang artinya kampung yang hilang,” kata Antoni yang menemani saya, Jumat (08/08/2014).
Tanda adanya pemukiman tersebut adanya sebuah bukit yang berbentuk benteng, yang memanjang dari Sungai Kelingi hingga Sungai Ketue. Serta terdapat makam Batu Betunas, yang merupakan susunan batu menhir menyerupai makam.
“Sampai saat ini baik makam Bujang Kurap maupun makam Batu Betunas sering diziarahi masyarakat,” kata Antoni.
Lubuklinggau, merupakan salah satu kota tua di Sumatera Selatan. Jaraknya dengan Palembang sekitar 314 kilometer. Pada 1947, saat Agresi Pertama Belanda, kota ini pernah menjadi pusat pemerintahan Sumatera Selatan. Posisinya paling barat Sumatera Selatan dan paling hulu dari Sungai Musi.
Berada di kaki Bukit Barisan, membuat Lubuklinggau yang luasnya mencapai 40.150 hektar dengan penduduk sekitar 200 ribu, menjadi kota yang memiliki banyak sungai. Misalnya Sungai Kelingi, Sungai Mesat, Sungai Malus, Sungai Kasie, Sungai Kati dan Sungai Temam. Sungai Kelingi merupakan sungai yang paling besar. Semua sungai itu bermuara ke Sungai Beliti, yang selanjutnya mengalir ke Sungai Musi.
Jalan yang menjadi pembatas Bukit Sulap di TNKS dengan tanah warga. Foto: Taufik Wijaya
Jalan yang menjadi pembatas Bukit Sulap di TNKS dengan tanah warga. Foto: Taufik Wijaya
Trek sepeda gunung
Melihat potensi tersebut, pemerintah Kota Lubuklinggau, menjadikan Bukit Sulap sebagai objek wisata alam. Sejak tiga tahun lalu, digelar olahraga ekstrim sepeda gunung yang memanfaatkan aliran Sungai Kesei yang melintasi Bukit Sulap. Sungai ini dipenuhi bebatuan dan air yang mengalir tidak begitu deras.
Lomba sepeda gunung di Bukit Sulap diikuti sejumlah atlet dari berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri. Promosi selama tiga tahun tersebut membuat Bukit Sulap ditunjuk menjadi tempat penyelenggaraan Kejuaraan Asia Sepeda Gunung atau Asian Mountain Bike Championship 2014, yang akan digelar pada 1-2 November 2014 mendatang. Sekitar 16 negara akan mengirimkan atlet sepeda gunung.
“Jalur sepeda gunung di Bukit Sulap alami. Bukan jalur buatan seperti di negara lain,” kata Walikota Lubuklinggau SN Prana Putra Sohe, Kamis (07/08/2014).
Dijelaskan Nanan—begitu panggilan SN Prana Putra Sohe—tujuan dari kegiatan tersebut selain memperkenalkan keindahan alam Bukit Sulap, juga menjadikan Lubuklinggau menjadi tujuan wisatawan lokal maupun ineternational yang menyukai olahraga ekstrim seperti sepeda gunung.
“Bahkan kita mengharapkan, jika Sumatera Selatan yang ditunjuk sebagai salah satu tempat penyelenggaraan Asian Games 2018, juga dilombakan cabang sepeda gunung yang digelar di Lubuklinggau,” katanya.
Jalur lintasan sepeda gunung
Jalur lintasan sepeda gunung
Meskipun jauh dari Palembang, akses transportasi ke Lubuklinggau relatif mudah. Selain angkutan darat, seperti mobil dan kereta api dari Palembang, juga adanya transportasi pesawat terbang dari Jakarta-Lubuklinggau. Sejumlah hotel dengan 101 kamar juga sudah tersedia.
Sebagai persiapan, Nanan menjelaskan dalam waktu dua bulan ini akan dibangun fasilitas di Bukit Sulap, seperti kereta gantung dan shelter. “Kereta gantung itu memudahkan para atlet naik ke puncak Bukit Sulap, sehingga fisik mereka tidak habis sebelum perlombaan,” ujarnya.
Saat ini sudah dibangun shelter yang berada di kaki Bukit Sulap, yang dilengkapi dengan arena parkirnya.
Leonardi Sohe, Ketua Umum ISSI (Ikatan Sepeda Sport Indonesia) Pengurus Kota Lubuklinggau, mengatakan trek sepeda gunung di Bukit Sulap untuk downhill sepanjang 2,2 kilometer. Dimulai puncak Bukit Sulap, masuk area perkebunan masyarakat, dan berakhir di Lapangan Jogoboyo.
“Sedangkan kelas cross country sepanjang 4,7 kilometer. Start dan finish di Lapangan Jogoboyo dan memutari venue track di sekitar Bukit Sulap, berupa perkebunan rakyat dan hutan,” kata Leonardi, Jumat (08/08/2014).
“Dua kelas tersebut yang akan dilombakan pada kejuaraan Asia mendatang,” katanya.
Adapun tingkat kesulitan trek sepeda gunung di Bukit Sulap, selain trek berbatu di tepi jurang, tanahnya liat, juga kemiringannya hingga 60 derajat.
Penampilan atlet sepeda gunung di Bukit Sulap, Lubuklinggau. Foto: Dono Pratono
Penampilan atlet sepeda gunung di Bukit Sulap, Lubuklinggau. Foto: Dono Pratono
Gunakan 42 hektar lahan TNKS
Persoalan muncul. Guna menjadikan Bukit Sulap sebagai objek wisata alam, termasuk lokasi penyelenggaraan Asian Mountain Bike Championship 2014, pemerintah Lubuklinggau harus mendapatkan izin pengelolaan lahan TNKS seluas 42,37 hektar.
Para pegiat lingkungan hidup di Lubuklinggau memprotesnya. Bahkan mereka menyurati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk tidak mengizinkan penujukkan 42,37 hektar lahan di TNKS sebagai objek wisata alam.
“Kami tidak setuju Bukit Sulap dijadikan lokasi objek wisata, sebab itu merupakan bagian dari TNKS yang saat ini merupakan salah satu paru-paru dunia,” kata Saparuddin Yasa, penggiat lingkungan hidup di Lubuklinggau, Jumat (08/08/2014).
“Sekecil apa pun pembangunan sarana di Bukit Sulap jelas berpotensi terjadi kerusakan,” katanya.
Saparuddin mengutip penjelasan Miskun, Kepala Seksi Pengelolaan TNKS Wilayah 5 Lubuklinggau. Luas TNKS yang masuk ke wilayah Sumatera Selatan, yang terletak di Kota Lubuklinggau dan Kabupaten Musirawas, mencapai 250 ribu hektar. Dari luasan tersebut sekitar 3.158 hektar mengalami kerusakan akibat perambahan yang dilakukan masyarakat sejak tahun 1980-an.
Di puncak Bukit Sulap, kata Saparuddin, terdapat tanaman khas, seperti bambu yang unik.  Batangnya berwarna hijau, tapi rantingnya berwarna kuning serta berduri. Juga terdapat bambu yang yang dahan dan ranting-rantingnya buntu. Termasuk pula sejumlah satwa. “Yang terpenting Bukit Sulap merupakan koridor harimau sumatera,” ujarnya.
Sementara Nanan menjelaskan usaha menetapkan Bukit Sulap sebagai objek wisata alam telah mendapatkan dukungan pemerintah. Izin prinsip dari Menteri Kehutanan melalui Dirjen PHKA (Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam) sudah didapatkan. “Justru kita akan menjaga kondisi alamnya, sebab daya tarik Bukit Sulap terletak dari kondisi alamnya. Makanya agar tidak merusak hutan di Bukit Sulap kita membangun kereta gantung agar wisatawan dapat mengakses ke puncak Bukit Sulap,” ujarnya.
Berdasarkan sumber dari TNKS Wilayah 5 Lubuklinggau, sejauh ini rencana pengembangan Bukit Sulap sebagai objek wisata alam tidak merusak kondisi hutan di Bukit Sulap, “Tidak ada rencana pembangunan yang memakan banyak lahan. Sejauh ini mereka pun patuh pada titik di Bukit Sulap yang dijadikan jalur wisata,” ujar sumber itu.
Tidak didapatkan penjelasan dari Miskun. Miskun saat ini tengah terbaring sakit, dan dirawat di Lampung.
“Kami tetap mencemaskan penetapan objek wisata Bukit Sulap. Bukan tidak mungkin di masa mendatang akan banyak pembangunan di sekitar bukit, seperti hotel yang dapat merusak lingkungan,” ujar Saparuddin.
Shelter yang berada di kaki Bukit Sulap yang direncanakan Pemerintah Lubuklinggau menjadi objek wisata alam. Foto: Taufik Wijaya
Shelter yang berada di kaki Bukit Sulap yang direncanakan Pemerintah Lubuklinggau menjadi objek wisata alam. Foto: Taufik Wijaya

Source : link
0 komentar

Sponsored

  • banners
  • banners
  • banners
  • banners

Kategori

  • Flora dan Fauna (128)
  • Forestry (312)
  • Mangrove (82)

Archive

  • ►  2015 (20)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (17)
  • ▼  2014 (43)
    • ▼  Agustus (13)
      • Salu, kanguru Papua Pendatang Baru di Taman Rimbo ...
      • Penyebab Menyusutnya Banteng dan Macan Tutul di Ta...
      • Ekspedisi Herpetologi Mania, ‘Berburu’ Amfibi di H...
      • Kupu-kupu Troides Helena jantan. Foto : Agustin...
      • Pictured Dragonet, Ikan Eksotis Yang Makin Langka
      • Cara Aceh Cegah Korupsi di Sektor Kehutanan
      • Bukit Sulap Taman Nasional Kerinci Seblat
      • Udang-Merah Sangihe, Jenis Baru yang Kritis di Daf...
      • Indahnya Keanekaragaman Hayati Bawah Laut Pulau Su...
      • Orangutan, Spesies Ikonik Indonesia yang Terancam
      • Batik Mangrove, Cara Baru Eksploitasi Hutan Bakau
      • Sekam Padi di Merauke jadi Sumber Energi, Bagaiman...
      • Elang Jawa, Inilah Sosok Asli Sang Garuda
    • ►  Mei (9)
    • ►  April (8)
    • ►  Februari (6)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2013 (309)
    • ►  Desember (14)
    • ►  November (97)
    • ►  Oktober (28)
    • ►  September (36)
    • ►  Agustus (11)
    • ►  Juli (20)
    • ►  Juni (19)
    • ►  April (20)
    • ►  Maret (20)
    • ►  Februari (19)
    • ►  Januari (25)
  • ►  2012 (97)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (25)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (15)
    • ►  April (9)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (19)
    • ►  Januari (16)
  • ►  2011 (323)
    • ►  Desember (52)
    • ►  November (27)
    • ►  Oktober (12)
    • ►  Agustus (12)
    • ►  Juli (5)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (16)
    • ►  Maret (24)
    • ►  Februari (122)
    • ►  Januari (44)
  • ►  2010 (105)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (22)
    • ►  Agustus (79)

_______________

_______________

 

© My Private Blog
designed by Website Templates | Bloggerized by Yamato Maysatria |