Pengamat ekonomi dari Universitas Riau, Ediyanus Herman Halim berpendapat saat ini hutan di sebagian besar daratan Provinsi Riau dalam kondisi kritis dan mulai memasuki ambang kepunahan.
"Salah satu kiat agar kepunahan hutan Riau tidak begitu cepat terjadi, cara dan upaya cermatnya adalah stop mengeluarkan izin pengelolaan hutan untuk perkebunan bagi investor manapun, tanpa terkecuali," kata Ediyanus di Pekanbaru, Riau, Ahad (5/2).
Dari data yang diperoleh, kata dia, saat ini perluasan lahan perkebunan yang berakibat menyempitnya kawasan hutan di Riau sangat jelas terlihat. Bayangkan saja, demikian ucapnya, kawasan perkebunan di Riau pada 2010 sudah mencapai lebih dari 2,7 juta hektare. Ini masih khusus perkebunan sawit, belum yang lainnya.
"Namun kondisi ini dikabarkan terus berkembang dan hutan-hutan di Riau terus saja beralih fungsi sehingga Riau semakin gersang," ujarnya.
Kondisi demikian, menurut Ediyanus, sangat memprihatinkan. Ke depan sebaiknya pemerintah bertindak lebih hati-hati demi keutuhan hutan di Tanah Air termasuk Riau.
"Jika pihak investor yang akan masuk ke Riau atau wilayah tanah air hanya untuk membuka lahan, seperti perkebunan, Hutan Tanam Industri (HTI) dan segala macamnya, itu sudah harus jeda. Tidak ada lagi investasi untuk itu terkecuali replanting atau peremajaan kebun," tuturnya.
Langkah demikian, menurut dia, sudah selayaknya diambil oleh pemerintah, tidak hanya untuk menghambat berbagai bencana yang akan dihadapi akibat kerusakan lingkungan, namun juga untuk meminimalisasi konflik di tengah masyarakat akibat perebutan lahan.
"Banyak sudah contoh konflik antara warga dan perusahaan. Di Riau saja, itu ada konflik warga Rokan Hulu dengan PT Mazuma Agro Indonesia (MAI) dan satu lagi yakni konflik Pulau Padang, Meranti," ujarnya.
Setidaknya, kata Ediyanus, sejumlah kasus sengketa lahan yang berujung pada bentrok warga dengan perusahaan dan aparat kepolisian ini menjadi pembelajaran yang sangat berarti bagi pemerintah.
"Jangan sampai terulang, caranya adalah berikan kesempatan untuk masyarakat mengelola lahan yang tersisa dan jangan ada lagi perluasan lahan bagi perusahaan," katanya.
Kalau untuk industri hilir, menurut dia, kemungkinan masih sangat prospektif di wilayah Riau. Namun untuk usaha yang berkaitan dengan pembukaan lahan baru, itu sangat tidak lagi layak dilakukan di Riau mengingat kondisi kawasan hutan di provinsi itu saat ini sudah sangat kronis.
"Sehingga jika dipaksakan juga, maka bukan tidak mungkin akan menimbulkan gejolak-gejolak baru ditengah masyarakat," katanya.
"Pemerintah juga sudah saatnya melakukan moratorium yang menyatakan hentikan investasi di bidang perkebunan dan kehutanan kecuali replanting," demikian Ediyanus.(Ant/BEY)
Source : link
"Salah satu kiat agar kepunahan hutan Riau tidak begitu cepat terjadi, cara dan upaya cermatnya adalah stop mengeluarkan izin pengelolaan hutan untuk perkebunan bagi investor manapun, tanpa terkecuali," kata Ediyanus di Pekanbaru, Riau, Ahad (5/2).
Dari data yang diperoleh, kata dia, saat ini perluasan lahan perkebunan yang berakibat menyempitnya kawasan hutan di Riau sangat jelas terlihat. Bayangkan saja, demikian ucapnya, kawasan perkebunan di Riau pada 2010 sudah mencapai lebih dari 2,7 juta hektare. Ini masih khusus perkebunan sawit, belum yang lainnya.
"Namun kondisi ini dikabarkan terus berkembang dan hutan-hutan di Riau terus saja beralih fungsi sehingga Riau semakin gersang," ujarnya.
Kondisi demikian, menurut Ediyanus, sangat memprihatinkan. Ke depan sebaiknya pemerintah bertindak lebih hati-hati demi keutuhan hutan di Tanah Air termasuk Riau.
"Jika pihak investor yang akan masuk ke Riau atau wilayah tanah air hanya untuk membuka lahan, seperti perkebunan, Hutan Tanam Industri (HTI) dan segala macamnya, itu sudah harus jeda. Tidak ada lagi investasi untuk itu terkecuali replanting atau peremajaan kebun," tuturnya.
Langkah demikian, menurut dia, sudah selayaknya diambil oleh pemerintah, tidak hanya untuk menghambat berbagai bencana yang akan dihadapi akibat kerusakan lingkungan, namun juga untuk meminimalisasi konflik di tengah masyarakat akibat perebutan lahan.
"Banyak sudah contoh konflik antara warga dan perusahaan. Di Riau saja, itu ada konflik warga Rokan Hulu dengan PT Mazuma Agro Indonesia (MAI) dan satu lagi yakni konflik Pulau Padang, Meranti," ujarnya.
Setidaknya, kata Ediyanus, sejumlah kasus sengketa lahan yang berujung pada bentrok warga dengan perusahaan dan aparat kepolisian ini menjadi pembelajaran yang sangat berarti bagi pemerintah.
"Jangan sampai terulang, caranya adalah berikan kesempatan untuk masyarakat mengelola lahan yang tersisa dan jangan ada lagi perluasan lahan bagi perusahaan," katanya.
Kalau untuk industri hilir, menurut dia, kemungkinan masih sangat prospektif di wilayah Riau. Namun untuk usaha yang berkaitan dengan pembukaan lahan baru, itu sangat tidak lagi layak dilakukan di Riau mengingat kondisi kawasan hutan di provinsi itu saat ini sudah sangat kronis.
"Sehingga jika dipaksakan juga, maka bukan tidak mungkin akan menimbulkan gejolak-gejolak baru ditengah masyarakat," katanya.
"Pemerintah juga sudah saatnya melakukan moratorium yang menyatakan hentikan investasi di bidang perkebunan dan kehutanan kecuali replanting," demikian Ediyanus.(Ant/BEY)
Source : link
0 komentar:
Posting Komentar