Hutan mangrove di sebagian besar kawasan pesisir di
Indonesia terancam hilang. Salah satu penyebab, konversi lahan mangrove
menjadi tambak makin meluas. Pemerintah dinilai memiliki andil besar
mendorong degradasi ini melalui berbagai kebijakan yang cenderung
mendukung dan mamanjakan para petambak, termasuk memberi ruang bagi
perusahaan pupuk dan pestisida. Demikian salah satu benang merah diskusi
MAP Indonesia Sulawesi Selatan, Makassar, Senin, (24/3/14)
Yusran Nurdin Massa, Senior Project Officer MAP
Indonesia, mengatakan, penghancuran kawasan mangrove secara massif
dimulai ketika pemerintah pusat mencanangkan program Intam tahun 1984,
tersebar di 12 provinsi. “Program ini memicu ekstensifikasi tambak
udang. Itu berdampak pada penghancuran hutan mangrove besar-besaran jadi
tambak,” katanya.
Di Sulsel, kondisi hutan mangrove terus mengalami
degradasi cukup besar. Pada 1970-an, masih sekitar 214 ribu hektar hutan
mangrove dan 2014 diperkirakan tersisa 23 ribu hektar. “Berarti
mengalami penurunan sampai 89%.”
Data terbaru dari Strategi Nasional untuk Konservasi
Hutan Mangrove di Indonesia tahun 2008 menunjukkan, deforestasi hutan
mangrove di Sulsel mencapai 2,2% per tahun.
Ironisnya, ketika terjadi penurunan produksi tambak
akibat berbagai macam penyakit, tambak-tambak ini ditinggalkan begitu
saja. Para petambak makin memperluas ekspansi ke daerah-daerah lain yang
belum terjamah.
Menurut Yusran, Sulsel menjadi sorotan penting terkait
degradasi mangrove karena tambak. Sebab, pembukaan lahan tambak baru di
sejumlah provinsi di Indonesia oleh petambak dari Bugis-Makassar, suku
utama penduduk Sulsel.
“Ketika tambak mulai tidak produktif dan lahan makin
berkurang, para petambak ini ekspansi ke provinsi lain, termasuk
Gorontalo, Kalimantan, bahkan sampai ke Sumatera dan Papua.”
Dia mencontohkan, di Tanjung Panjang, Gorontalo. Hutan
mangrove di kawasan cagar alam ini berkurang drastis, dari 3.000 hektar
tersisa 200 hektar. “Saya sudah ke sana dan menemukan para petambak
ternyata sebagian besar dari Bugis-Makassar. Ironis. Itu terjadi di
cagar alam.”
Masyarakat Bugis-Makassar, memang petambak handal.
Bahkan, budaya tambak di Indonesia diperkirakan berasal dari Kabupaten
Takalar, Sulsel. Budaya tambak di Takalar sudah dimulai sejak 400 tahun
lalu.
Masyarakat pesisir, katanya, mayoritas mudah dimasuki
pendatang, apalagi dianggap membawa inovasi baru dalam mengelola lahan
pesisir. “Sangat kurang potensi konflik ketika pembukaan lahan tambak
dilakukan,” ujar dia.
Secara nasional, kondisi mangrove tak kalah buruk. Jika
pada 1982, hutan mangruove seluas 4,2 juta hektar, kini tersisa 3,7 juta
hektar lebih. Penyusutan ini antara lain karena konversi lahan menjadi
tambak, penggunaan kayu mangrove untuk bahan industri, kayu bakar dan
reklamasi pantai yang makin marak.
Program kebangkitan udang oleh pemerintah pada 2013,
juga memperbesar potensi kerusakan hutan mangrove. Pemerintah, bahkan
mengklaim potensi tambak di Indonesia, cukup besar sampai 2,9 juta
hektar, yang termanfaatkan baru 682 ribu hektar.
“Kalau pemerintah menyatakan masih ada potensi 2 juta
hektar lebih, darimana kira-kira lahan itu diambil? Kalau bukan dari
hutan mangrove, pasti pemukiman warga.”
Menurut dia, Papua, salah satu daerah mangrove cukup
baik dengan potensi ancaman kerusakan besar. Sebanyak 60 persen mangrove
di Indonesia berada di Papua. “Upaya-upaya pembukaan lahan mangrove di
daerah ini sudah terlihat. Apalagi dengan ekspansi sawit beberapa tahun
terakhir. Harus ada pengawasan ketika zonasi kawasan pesisir dan tata
ruang dilakukan. Di situlah titik krusial, selama ini kita tak fokus ke
arah itu.”
Yusran juga menyoroti, pengkaplingan kawasan pesisir
marak dalam beberapa tahun terakhir. Walaupun dalam UU Agraria, kawasan
pesisir disebutkan sebagai tanah negara, katanya, namun ada upaya
segelintir orang membuat sertifikasi lahan pesisir.
Contoh di Makassar, hampir seluruh kawasan pesisir
dikapling dan disertifikatkan. Lahan-lahan di pesisir ini biasa ditimbun
sebelum diperjualbelikan dengan harga cukup tinggi. Di Tanjung
Makassar, harga lahan pantai yang ditimbun bisa mencapai puluhan miliar
per kapling.
Menurut Ratna Fadilah, Director Project MAP Indonesia
Sulsel, permasalahan mangrove ini bisa diselesaikan jika ada upaya
serius oleh berbagai pihak.
Salah satu solusi, melalui pengelolaan mangrove dan
tambak berkelanjutan. Perbandingan antara luasan hutan mangrove dan
tambak berkisar antara 80% dan 20%. “Kalau sekarang justru terbalik.
Hampir tak ada kriteria jelas, padahal ada aturan.”
Masalah mangrove belum selesai. Ada pencemaran pupuk.
Selama ini, nutrisi tambak terbesar dari urea, dalam satu hektar
mencapai satu ton, yang berdaya rusak besar.
“Hasil penelitian partisipatif dari warga yang kami bina
menunjukkan penyebab kematian udang di tambak justru dari penggunaan
urea berlebihan.”
Pengunaan urea dalam tambak karena sumber nitrogen yang memicu pertumbuhan alga– salah satu bahan nutrisi bagi tambak.
Penggunaan urea dalam takaran besar ternyata menimbulkan
masalah tersendiri. Selain tidak ekonomis, juga meningkatkan keasaman
tanah. ”Ini menghambat penyerapan unsur hama tertentu.” Urea berlebih,
juga mengancam kelangsungan hidup mikroorganisme dalam tanah dan
menjadikan tanaman sukulen, hingga mudah terserang hama maupun
penyakit.
Kebiasaan buruk lain, dengan memberi makanan udang dan
ikan mereka dengan apapun yang mereka miliki, seperti remah roti,
biskuit, dan berbagai bahan makanan yang sebenarnya bisa memicu berbagai
macam penyakit.
Menurut Yusran, salah satu upaya penyelamatan hutan
mangrove dengan membangun kesadaran kritis masyarakat. Inilah yang
mendasari MAP Indonesia atas dukungan Oxfam mendampingi masyarakat
pesisir di empat kabupaten di Sulsel melalui program Restoring Coastal Livelihood (RCL).
Satu upaya MAP Indonesia dan Oxfam, dengan mendirikan
sekolah lapang petani tambak. Melalui sekolah lapangan ini petani
petambak diajarkan mengenali berbagai permasalahan, termasuk mencari
sendiri soulsi efektif sesuai kondisi daerah masing-masing.
“Mereka meneliti sendiri kenapa tambak menjadi tidak
produktif dan rawan penyakit. Dari sini muncul kesadaran penting
keberadaan mangrove dan bagaimana bertambak secara sehat.”
MAP sejak 2012 juga membangun Situs Belajar dan
Laboratorium Alam Mangrove guna rehabilitasi mangrove secara ekologis
dan tambak ramah lingkungan, berlokasi di Dusun Kuricaddi, Desa
Nisombalia, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.
Situs belajar ini dibangun dengan metode ecological mangrove rehabiliation (EMR), yaitu upaya pelestarian
mangrove bukan melalui penanaman, tetapi dengan memperbaiki kondisi
ekologis daerah pesisir agar kondusif bagi pertumbuhan mangrove.
Menurut Yusran, inisiatif pembangunan situs belajar
seluas 23,38 hektar menggunakan lahan belajar dari Universitas
Muhammadiyah Makassar ini, muncul dalam pertemuan berbagai pihak pada
Februari 2012. Penandantanganan kesepahaman pada 3 Juli 2013 di
Makassar.
0 komentar:
Posting Komentar