skip to main | skip to sidebar

Silva Dream

Konsep Bumi Kita

  • Home
  • Gallery
  • Contact me
  • About Me

Kamis, 03 April 2014

Restorasi Ekosistem Upaya untuk Memulihkan Kondisi Hutan Indonesia

Diposting oleh Maysatria Label: News
Landscape Hutan Harapan Jambi, Restorasi Ekosistem pertama di Indonesia. Foto: Fahrul Amama/ Burung Indonesia
Dogma lama bahwa hutan adalah penyedia kayu telah menjadikan hutan di Indonesia rusak parah.  Tidak saja kerugian ekonomi yang terjadi, namun kerugian sosial, potensi hilangnya jasa lingkungan dan keragaman hayati.  Pengelolaan di hutan produksi harusnya bukan untuk kayu semata tetapi tetapi harus meliputi prinsip keberlanjutan, produktivitas, konektivitas, keaslian dan keragaman hayati.
Koreksi terhadap pengelolaan hutan produksi dari komoditas kayu, saat ini coba dilakukan melalui perbaikan yang dikenal dengan upaya Restorasi Ekosistem di wilayah hutan produksi yang diatur lewat Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE).  Jika hutan konservasi dikelola oleh pemerintah, maka Restorasi Ekosistem (RE) akan dilakukan oleh swasta yang berminat.
Kegiatan IUPHHK-RE bertujuan untuk mengembalikan unsur hayati (flora dan fauna) serta non-hayati (tanah, iklim dan topografi) pada suatu kawasan kepada jenis asli, sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya.  Demikian pula, RE merupakan upaya untuk mempertahankan fungsi dan keterwakilan ekosistem hutan alam melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan pemulihan ekosistem hutan.
Hingga Maret 2014, ijin RE telah dikeluarkan kepada 12 perusahaan dengan cakupan luasan 480.093 ha.  Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan Kementerian Kehutanan, IUPHHK-RE mendapat alokasi seluas 2.695.026 hektar. Ijin RE pertama di Indonesia yang dikenal dengan nama Hutan Harapan sendiri telah berjalan Konsorsium Burung Indonesia di Sumatera Selatan sejak tahun 2007.
“Hal positif dari RE adalah akan tercipta pengembangan usaha multi produk dan jasa serta laju deforestasi dan emisi karbon dari hutan produksi berkurang,” ungkap Mangarah Silalahi, Kepala Resource Center Pengembangan Restorasi Ekosistem Burung Indonesia.
Menurutnya pengelolaan IUPHHK-RE harus didukung karena sangat berpeluang untuk mempertahankan konektivitas bentang hutan alam dan mendukung pelestarian keanekaragaman hayati.
Perambahan kawasan, salah satu masalah di area restorasi ekosistem. Skema Restorasi Ekosistem harus memikirkan upaya penyelesaian konflik dan masalah sosial. Foto: Aulia Erlanga/ Burung Indonesia

Tantangan Restorasi Ekosistem
Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Hutan dari Institut Pertanian Bogor menyebutkan bahwa keberadaan RE bukannya tanpa hambatan.  Menurut Hariadi, masalah restorasi ekosistem saat ini bukan lagi melulu masalah teknis kehutanan seperti penanaman dan pemiliharaan tetapi yang lebih penting adalah menempatakan persoalan sosial.
Pengelolaan hutan harus berubah dari definisi fisik ke interaksi sosial dan pola ruang.  Sehingga solusinya dengan demikian harus mencari model usaha yang kontekstual sesuai dengan kondisi lapangan.
“Hal utama dari restorasi ekosistem berada di tingkat manajemen unit.  Jika penetapan lokasi ijin tumpang tindih, maka akan timbul konflik sosial. Masalah tata batas krusial supaya tidak timbul konflik.  Jangan lagi nanti kampung orang masuk ke dalam kawasan konsesi.”
Hariadi juga menyoroti masalah penggunaan peta indikatif.  Menurutnya peta 1:100.000 yang selama ini dipakai di Kehutanan tidak lagi layak, seharusnya peta yang digunakan adalah peta 1:50.000 atau 1:25.000 sesuai dengan pertimbangan teknis dari Gubernur/ Bupati yang setara dengan skala peta Hak Guna Usaha (HGU).
“Harus juga diingat sekarang dengan adanya keputusan MK 35/2012 kawasan hutan itu bukan lagi semuanya adalah kawasan hutan negara, selain hutan negara juga ada hutan hak dan hutan adat,”  ujarnya menambahkan.
Sebaran RE
Demikian pula jika RE diharapkan akan eksis tanpa melakukan eksploitasi kayu, maka perlu dicarikan skema struktur finansial yang tepat dan sumber pembiayaan yang tepat.  Bagi para pelaku usaha maka diperlukan suatu aspek kepastian usaha dalam pemanfaatan hutan produksi yang mencakup kepastian kawasan, waktu dan jaminan hukum.
“Termasuk harusnya ada insentif kebijakan bagi pelaku usaha RE” menurut Sukianto Lusli dari Konsorsium Burung yang sekarang sedang mengurus ijin IUPHHK-RE di Gorontalo.
Menurutnya akan berat jika ijin RE disamakan dengan pengelolaan kayu. Literatur dan paradigma lama, termasuk aturan regulasi yang berlaku untuk HPH sudah harus direvisi agar cocok bagi pengelolaan RE.  Tanpa adanya eksploitasi ekstraktif seperti kayu, bahkan malahan mengeluarkan dana investasi untuk restorasi, maka perhitungan ekonomi seperti Return on Investment (RoI) dalam paradigma lama tidak akan cocok dalam skema bisnis RE yang amat jauh berbeda.
Berbeda dengan IUPHHK-HA (Hutan Alam) yang memiliki maksimum ijin 55 tahun, maka IUPHHK-RE memiliki konsesi hingga 60 tahun dan dapat diperpanjang hingga 35 tahun.
Para pelaku juga meminta pemerintah agar lokasi yang dicadangkan untuk RE berada dalam lokasi yang strategis, tidak terpisah dan tidak berada dalam kawasan yang sulit dijangkau, termasuk potensi konflik yang dapat diatasi.  Para pelaku pun menyoroti masalah ekonomi biaya tinggi yang kerap terjadi dalam pengusahaan kehutanan.
Dalam proses pengelolaan RE, jika keseimbangan hayati telah tercapai maka pemerintah juga harus harus membuka peluang bagi pemegang konsesi untuk berbagai pemanfaatan hasil hutan dan tidak diharuskan kembali ke kayu.
Bagi para pelaku RE, peluang pendanaan pengelolaan dapat berasal dari peluang internasional untuk pembayaran kompensasi biaya karbon.  Pemerintah diharapkan dapat keluar dengan kebijakan yang dapat memudahkan aliran skema finansial untuk mengambil peluang ini.

Source : link

0 komentar

karang Otak Raksasa di Kedalaman Perairan Nusantara

Diposting oleh Maysatria Label: Konservasi
Karang otak raksasa di Perairan Buyat, Sulawesi Utara. Foto: Wisuda
Karang otak raksasa di Perairan Buyat, Sulawesi Utara. Foto: Wisuda
Tentunya anda sudah tahu, Indonesia memiliki luas perairan yang luar biasa dan berlimpah akan kekayaan keragaman hayati di dalamnya. Bahkan di berbagai wilayah nusantara, keindahan  isi perut perairan nusantara ini mampu menyedot para wisatawan, baik dari dalam, maupun mancanegara untuk menikmati keindahannya.
Bahkan menurut beberapa penelitian, Indonesia memiliki kawasan terumbu karang terkaya di dunia dengan lebih dari 18% terumbu karang dunia, serta lebih dari 3.000 spesies ikan, 590 jenis karang batu, 2.500 jenis moluska, dan 1.500 jenis udang-udangan. Kekayaan biota laut tersebut menciptakan sekitar 600 titik selam yang tersebar dari Sabang hingga Merauke.
Foto: Wisuda
Karang otak umumnya ditemukan di perairan dangkal di seluruh dunia. Foto: Wisuda
Terumbu karang beraneka jenis dan warna membuat indonesia merupakan negara yang sangat diperhitungkan sebagai destinasi wisata selam kelas dunia.
Beberapa spesies ikan dan karang yang sangat langka beberapa diantaranya pun hidup di bumi nusantara. Salah satunya adalah karang otak raksasa.
Foto: Wisuda
Foto: Wisuda
Karang otak adalah nama umum yang diberikan kepada karang dalam keluarga Faviidae. Disebut otak, karena bentuk umumnya bulat dan permukaan berlekuk yang menyerupai otak . Setiap kepala karang dibentuk oleh koloni polip genetik identik yang mengeluarkan kerangka keras kalsium karbonat , ini membuat mereka pembangun terumbu karang penting seperti karang batu lainnya dalam urutan Scleractinia .
Karang otak ditemukan di terumbu karang dangkal yang hangat di seluruh lautan di dunia. Mereka adalah bagian dari filum Cnidaria, di kelas yang disebut Anthozoa atau “hewan bunga”. Rentang hidup karang otak terbesar adalah 900 tahun. Pada umumnya, koloni ini dapat tumbuh lebih dari 1,8 meter.
Karang otak memperpanjang tentakel mereka untuk menangkap makanan di malam hari. Pada siang hari , karang otak menggunakan tentakel mereka untuk perlindungan dengan membungkus mereka di atas alur yang terdapat pada permukaan karang otak. Permukaan yang keras memberikan perlindungan yang baik terhadap ikan atau angin topan. Dibandingkan karang bercabang seperti karang staghorn, karang otak tumbuh lebih cepat, tetapi mereka lebih rentan terhadap kerusakan akibat badai.
Seperti genera lain dari karang, karang otak memakan hewan kecil dan juga menerima nutrisi yang disediakan oleh ganggang yang hidup dalam jaringan mereka. Perilaku salah satu genera yang paling umum, Favia adalah semi-agresif, karang ini akan menyengat karang lain dengan tentakel penyapu yang bisa memanjang pada malam hari.
Wisatawan menikmati keindahan bawah laut Indonesia. Foto: Wisuda
Wisatawan menikmati keindahan bawah laut Indonesia. Foto: Wisuda
Dan di indonesia, tepatnya di daerah Buyat, Sulawesi Utara, terdapat koloni karang otak yang mencapai tinggi 6 – 10 meter. Ini merupakan salah satu koloni yang terbesar di dunia, mengingat koloni pada batas kewajarannya, hanya bisa mencapai 1,8 meter saja. walaupun tidak banyak orang yang mengetahui hal ini, tapi beberapa wisatawan sudah mulai datang ke buyat, untuk mengaggumi keindahannya.
Sayangnya keberadaan karang otak raksasa yang unik dan langka ini, tidak dibarengi dengan perhatian dari pemerintah daerah atau setempat. Ini terbukti dengan ketidakmudahan akses ke daerah lokasi, pun akomodasi yang sangat minim. Bahkan informasi dan promosi kepada wisatawan dalam dan luar negeri pun dirasa sangat minim. Promosi hanya dilakukan oleh sebagian kecil pemilik resort, yang letaknya pun jauh dari lokasi, dan perusahaan tambang setempat.
Nelayan di Buyat, Sulawesi Utara. Foto: Wisuda
Nelayan di Buyat, Sulawesi Utara. Foto: Wisuda
Keindahan panorama Pantai Buyat. Foto: Wisuda
Keindahan panorama Pantai Buyat. Foto: Wisuda
Keberadaan karang otak yang unik dan langka ini, harus lebih gencar diinformasikan kepada khalayak ramai, sehingga banyak orang yang peduli dan pada akhirnya dibentuk regulasi khusus, yang melindungi keberadaannya, seperti pada Taman Nasional Bunaken.

Source : link
0 komentar

Sejumlah Spesies Ikan Baru dan Langka Ditemukan di Hutan Harapan Jambi

Diposting oleh Maysatria Label: Flora dan Fauna, Konservasi, News
Ikan sepat mutiara, salah satu spesies yang ditemukan di Hutan Harapan Jambi. Foto: Sukmono
Ikan sepat mutiara, salah satu spesies yang ditemukan di Hutan Harapan Jambi. Foto: Tedjo Sukmono
Hutan Harapan merupakan kawasan restorasi ekosistem pada areal hutan hujan tropis  dataran rendah pertama dan terbesar di Indonesia yang terletak di perbatasan Jambi dan Sumatra Selatan. Arealnya merupakan bekas wilayah hak pengelolaan hutan (HPH), dengan luas  sekitar 100.000 Ha. Selain daratan yang terdiri dari hutan sekunder yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi kawasan ini juga memiliki  berbagai tipe ekosistem perairan seperti : sungai besar yang berarus lemah, danau ataupun rawa banjiran yang tidak kalah kaya dengan daratannya.
Pada penelitian yang dilakukan di 8 badan aliran sungai dalam kawasan Hutan Harapan selama kurang lebih dari satu tahun ini berhasil mengidentifikasi 123 jenis ikan air tawar. “Berdasarkan kategori daftar merah IUCN (International Union for Conservation of Nature) dari 123 jenis ikan yang kami temukan  74 jenis belum dievaluasi, 4 jenis informasi kurang, 41 jenis berisiko rendah, 3 jenis hampir terancam dan  1  jenis genting atau terancam” ujar Tedjo Sukmono, peneliti yang memimpin penelitian ini yang juga berprofesi sebagai Dosen Jurusan Biologi di Universitas Jambi. Ridiangus (Balantiocheilos melanopterus) atau juga sering disebut “balashark” adalah jenis ikan terancam punah yang berhasil ditemukan di aliran sungai Hutan Harapan.
Ikan berwarna perak dengan pinggiran sirip berwarna hitam dan kuning yang dapat mencapai panjang 150 cm ini cukup populer dikalangan pecinta ikan hias air tawar namun sayangnya untuk memenuhi kebutuhan ikan hias jenis ini masih mengambil dari alam sehingga spesies ini sudah tidak dapat ditemukan lagi di beberapa sungai yang dulu menjadi habitatnya.  “Selama penelitian ini kami hanya berhasil menemukan 1 ekor ikan Ridiangus” ujar Sukmono. Sungai-sungai atau danau di kawasan Asia seperti Thailand, Myanmar dan Malaysia adalah habitat asli Ridiangus. Di Indonesia ikan jenis ini dapat ditemui di sungai – sungai Sumatera dan Kalimantan.
Selain Ridiangus Sukmono juga menemukan beberapa jenis ikan langka  yang perlu di lindungi di provinsi Jambi berdasarkan pada endemisitas, populasi terancam punah, dan kondisi habitat. Beberapa jenis ikan langka yang ditemukan di Hutan Harapan tersebut diantaranya adalah : ridiangus (Balantiocheilos melanopterus), gurami coklat (Sphaerichtys osphromenoides), sebarau (Hampala ampalong), sebarau (Hampala microlepidota), gurami (Osphronemus goramy), dan Kepras (Cylocheicltys enoplos).
Menurut Sukmono dari 123 jenis ikan yang berhasil ditemukan di Hutan Harapan 23 jenis diantaranya merupakan catatan baru bagi Jambi. Salah satu jenis ikan yang merupakan catatan baru bagi Jambi adalah Seluang Kuring (Puntius sp”harapan”) bahkan Sukmono menduga bahwa ikan ini adalah ikan jenis baru karena belum terdapat di dalam beberapa buku  identifikasi ikan yang digunakan sebagai rujukan dalam penelitian ikan air tawar. Kondisi perairan hutan harapan terdiri dari sungai yang kering ketika kemarau tiba namun disepanjang sungai banyak ditemukan rawa-rawa dan putusan sungai yang berfungsi sebagai tempat pengungsian bagi ikan – ikan ketika sungai mengalami kekeringan.
Dengan habitat yang beragam ini diyakini bahwa potensi keanekaragaman ikan air tawar di kawasan ini sangat tinggi karena habitatnya yang berbeda. Jumlah jenis ikan baru yang ditemukan di Hutan Harapan ini lebih banyak jika dibandingkan dengan daerah aliran sungai Batanghari. Pada survey yang dilakukan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2010 lalu di sungai terpanjang di Sumatra yang mengalir disepanjang provinsi Jambi ini ditemukan 20 jenis ikan baru.
Dilihat dari keaslian jenis ikan Hutan Harapan menunjukkan tingkat keaslian yang sangat tinggi yaitu 121 jenis atau 98,4 % dari total temuan selama penelitian ini dilakukan. Hanya ditemukan 2 jenis ikan bersifat introduksi yaitu dari jenis ikan sapu-sapu. Menurut Sukmono keberadaan jenis ikan introduksi ini kemungkinan merupakan introduksi yang tidak sengaja karena nilai ekonominya yang rendah. Selama penelitian ini dilakukan jenis ikan sapu – sapu hanya ditemukan Sungai Kapas yang mana bagian Hulu dan Hilir Sungai Kapas tersebut merupakan desa yang berpenduduk padat yaitu Desa Butang yang terletak di wilayah provinsi Jambi dan Desa Sakau Suban yang berada di wilayah provinsi Sumatra Selatan.
Ridiangus, salah satu spesies langka yang ada di Hutan Harapan, Jambi. Foto: Tedjo Sukmono
Ridiangus, salah satu spesies langka yang ada di Hutan Harapan, Jambi. Foto: Tedjo Sukmono
Tingginya tingkat keaslian ikan di Hutan Harapan menunjukkan bahwa tingkat penurunan populasi  dan penyebaran penyakit akibat introduksi masih kecil dan sebaliknya daya dukung habitat perairan Hutan Harapan terhadap keanekaragaman jenis ikan masih tinggi. Adanya spesies introduksi dan spesies asing juga dapat dijadikan sebagai indikator  kesehatan perairan yang buruk. Menurut Sukmono ini juga membuktikan bahwa ikan dapat berperan sebagai bioindikator pencemaran. Dan dengan sedikitnya populasi ikan – ikan  yang toleran terhadap pencemaran mengindikasikan bahwa kondisi perairan tersebut masih bagus.
Sukmono juga menemukan fenomena menarik pada salah satu danau di kawasan Hutan Harapan. “Di danau ini kami menemukan ikan gabus dan ikan sepat yang insangnya terlihat rusak namun tetap hidup” jelas Sukmono. Ia menduga terbentuknya insang yang tidak normal ini disebabkan oleh suplemen oksigen yang terbatas di dalam air danau karena danau ini sebenarnya adalah kawasan yang telah digali tanahnya dan digenangi air hujan sehingga airnya tidak mengalir. Pada ikan anakan, Sukmono mendapati insangnya terbentuk sempurna namun pada ikan dewasa insang terlihat rusak namun tetap dapat hidup dalam danau tersebut. “Ada campur tangan manusia  sehingga ikan-ikan tersebut berada dalam danau mati” ungkap Sukmono. Selain suplemen oksigen yang terbatas ia juga menduga adanya senyawa racun yang terdapat didalam air dalam proses terbentuknya danau itu.
Jika ditinjau dari segi potensi ikan air tawar yang ditemukan di Hutan Harapan ini 47% atau 58 jenis berpotensi sebagai ikan konsumsi. Jenis ikan yang berpotensi menjadi ikan konsumsi dan bernilai ekonomi tinggi yang terdapat di kawasan ini diantaranya adalah  tambakang (Helostoma temmincki), Lais (Kryptopterus palembangensis) dan Toman  (Channa micropeltes). Sementara 29% atau 39 jenis berpotensi sebagai ikan hias, dan 24% atau 30 jenis berpotensi keduanya. Menurut Sukmono dengan tingginya potensi  ikan air tawar di Hutan Harapan dapat dimanfaatkan sebagai alternatif hasil hutan non kayu yang dapat menjadi sumber ekonomi masyarakat sekitar hutan.
Domestikasi atau pengadopsian ikan dari kehidupan liar ke dalam lingkungan kehidupan sehari-hari disertai dengan proses budidaya adalah salah satu upaya pemanfaatan potensi perikanan di Hutan Harapan. Dan dengan melepaskan minimal 10% dari populasi ikan yang dihasilkan dari proses budidaya tersebut kembali ke habitat aslinya akan dapat mempertahankan kelestarian perairan tersebut sehingga masyarakat sekitar hutan dapat tetap memanfaatkan ikan sebagai mata pencarian secara berkesinambungan. 
Ancaman Terhadap Kelestarian Hutan Harapan
Meskipun dari penelitian ini menunjukkan kondisi perairan di Hutan Harapan masih bagus namun tidak berarti perairan di kawasan ini bebas ancaman. Selama melakukan penelitian ini terutama pada saat musim kemarau kerap kali Sukmono bertemu dengan perambah dan masyarakat masuk kedalam kawasan Hutan Harapan untuk menuba atau meracun dan menyetrum ikan. “Cara menangkap ikan seperti ini sangat tidak ramah lingkungan yang menyebabkan pencemaran dan terjadinya penangkapan ikan secara berlebihan” ujar Sukmono. Jika cara ini terus dilakukan makan perairan yang menjadi habitat ikan akan mengalami kerusakan dan menurunkan populasi ikan di kawasan tersebut.
Selain cara menangkap ikan yang tidak ramah lingkungan kebakaran lahan pun dapat mempengaruhi kelestarian ikan. “Asap akan mempengaruhi penetrasi udara kedalam air dan sehingga kondisi ini akan mempengaruhi proses biologis dalam air, misalnya akan mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dan tumbuhan air yang menjadi pakan ikan” jelas Sukmono. Menurutnya jika hal ini terjadi maka ikan pun akan terancam kelestariannya.
Danau di dalam kamp Hutan Harapan. Foto: Lili Rambe
Danau di dalam kamp Hutan Harapan. Foto: Lili Rambe
Namun tidak hanya perairannya saja yang mendapat ancaman daratannya pun mengalami hal yang sama. Rencana pinjam pakai kawasan untuk dijadikan jalan angkut batubara juga masih membayangi kelestarian kawasan Hutan Harapan. Jalan angkut batubara yang diusulkan oleh PT. Musi Mitra Jaya (MMJ) yang merupakan anak perusahaan Atlas Resources ini rencananya akan membelah Hutan Harapan sepanjang 18,35 kilometer dengan lebar 12 meter dan dapat mengakomodir truk berkapasitas 30 ton dengan volume lalu lintas mencapai 2.900 truk per hari.
Pada tahun 2013 lalu Kementrian Kehutanan telah dua kali mengadakan pertemuan dengan PT. REKI, pengelola Hutan Harapan untuk membicarakan soal pinjam pakai kawasan untuk dijadikan jalan angkut batubara ini. Namun PT. REKI telah menyatakan penolakan atas usulan jalan ini. “Kami telah telah tiga mengirimkan surat penolakan kami terhadap usulan jalan tersebut karena sebenarnya tanpa jalan ini PT. MMJ tetap dapat mengangkut batubara melalui jalan yang sudah ada” kata Surya Kusuma, Manajer Komunikasi PT. REKI. Ia juga mengatakan jika rencana ini terealisasi maka akses pergerakan satwa liar penghuni Hutan Harapan akan tertutup dan juga akan meningkatkan stress pada satwa yang dapat mengakibatkan punahnya satwa tersebut. Disamping itu dengan adanya jalan batubara ini akan menyebabkan terbukanya akses ke Hutan Harapan yang berpotensi mendorong meningkatnya perambah dan pembalak liar baru yang akan memperburuk dan mengancam keberlangsungan Hutan Harapan.

Source : link
0 komentar

Kepiting Porselen Si Rapuh Yang Mematikan

Diposting oleh Maysatria Label: Flora dan Fauna

Kepiting porselen di perairan Bali. Foto: Hendar
Kepiting porselen di perairan Bali. Foto: Wisuda
Kepiting yang satu ini cukup memang unik. Krustacea ini juga sering ditemukan tinggal di anemon, bersama-sama dengan ikan badut.
Kepiting Porselen atau porcelain crab, demikian namanya, adalah krustasea berkaki sepuluh dalam keluarga Porcellanidae. Mereka termasuk kepiting yang sangat mungil, besar rata-ratanya kurang dari 15 mm (0,6 in) lebar. Mereka halus dan rapuh seperti porselen, sehingga mudah kehilangan anggota tubuh saat diserang, itu sebabnya kepiting ini dinamakan kepiting porselen. Namun  mereka punya senjata capit yang besar untuk mempertahankan wilayah.
Foto: Hendar
Sepasang kepiting porselen mencari makan diantara anemon Foto: Wisuda
Kepiting porselen adalah sebuah contoh proses carcinisation, dimana hewan-non-kepiting seperti (dalam hal ini squad lobster)  berkembang menjadi binatang yang menyerupai kepiting dengan ciri-ciri kepiting sesungguhnya.  kepiting porselen juga dapat dibedakan dari kepiting yang sesungguhnya melalui  jumlah  kaki, yaitu tiga bukan empat pasang. Kepiting porselen juga memiliki antena panjang yang berasal dari bagian depan luar eyestalks.
Kepiting porselen. Foto: Hendar
Kepiting porselen. Foto: Wisuda
Kepiting porselen hidup di semua lautan di dunia, kecuali Samudra Arktik dan Antartika. Selain di anemon, mereka juga biasa ditemukan di bawah batu, dan  di pantai berbatu serta garis pantai. makhluk ini akan kaget dan bergegas pergi ketika batu diangkat. Mereka makan dengan menyisir plankton dan partikel organik lainnya dari air menggunakan setae panjang (rambut berbulu atau bulu-seperti struktur) pada mulut.
Dan karena kerapuhannya itu juga, si kepiting porselen memilih berdiam di balik anemon. Tentakel anemon yang menyengat, melindungi dirinya dari serangan para predator.
kepiting-porcelain-bali-3

Source : link
0 komentar

Aksi Global, Selamatkan Hutan, Selamatkan Habitat Harimau

Diposting oleh Maysatria Label: Lain lain
Aksi global menyerukan penyelamatan satwa-satwa langka, seperti harimau Sumatera, orangutan, gajah, badak dan lain-laina yang terancam karena habitat mereka dijarah perusahaan-perusahaan tak bertanggung jawab. Foto: Sapariah Saturi
Aksi global menyerukan penyelamatan satwa-satwa langka, seperti harimau Sumatera, orangutan Sumatera dan Kalimantan, gajah, badak dan lain-lain yang terancam karena habitat mereka dijarah perusahaan-perusahaan tak bertanggung jawab. Foto: Sapariah Saturi
Sabtu (29/3/14), sekitar 100-an muda-mudi sibuk ramai-ramai bersampo di kawasan Gelora Bung Karno, Jakarta. Ada yang membasahi rambut. Ada yang sibuk merapikan handuk. Sebagian sibuk menulis kata-kata ‘mutiara.’
Ada apa? Ternyata mereka tengah mempersiapkan diri buat berfoto-foto selfie. Mereka berfoto buat menyuarakan penyelamatan hutan di Indonesia. Di Indonesia, aksi serupa di lima daerah, yakni Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta dan Padang.
Aksi global, penyelamatan hutan Indonesia. Aksi ini dilakukan serentak di sekitar 13 negara. Foto: Sapariah Saturi
Aksi global, penyelamatan hutan Indonesia di Jakarta, Sabtu (29/3/14). Aksi ini dilakukan serentak di sekitar 13 negara. Foto: Sapariah Saturi
Gambaran sosok harimau yang menjadi korban karena habitat tergerus kala aksi global di Jakarta, Sabtu (29/3/14). Foto: Sapariah Saturi
Gambaran sosok harimau yang menjadi korban karena habitat tergerus kala aksi global di Jakarta, Sabtu (29/3/14). Foto: Sapariah Saturi
Gawe ini,  serentak dilakukan di 13 negara sebagai aksi bersama menyuarakan penyelamatan hutan Sumatera, Indonesia, dari jarahan perusahaan-perusahaan sawit ‘kotor’.  Aksi global yang digagas Greenpeace ini mendesak Procter and Gamble (P&G), produk rumah tangga dengan salah satu produk samponya, Head & Shoulders,  melepaskan rantai pesokan sawit mereka dari perusahaan-perusahaan yang merusak habitat harimau Sumatera, orangutan Sumatera, dan Kalimantan serta satwa-satwa langka lain.
Gerakan ini berbeda-beda di tiap negara. Ada yang turun aksi seperti di Jerman dan Indonesia. Ada lewat online seperti di India, Thailand, Itali. Di Filipina tanam pohon, di Brazil dengan stickering (memberikan label di produk-produk P&G). “Inggris lewat berfoto-foto selfie. Intinya, bagaimana menyuarakan penyelamatan hutan di Indonesia yang merupakan habitat Harimau, dan satwa langka lain,” kata  Annisa Rahmawati, Forest Researcher and Campaigner at Greenpeace Southeast Asia, hari itu.
Pada akhir Februari 2014, Greenpeace mengeluarkan temuan yang memperlihatkan P&G masih terlibat pembelian sawit dari pemasok yang tidak diketahui jelas asal-usulnya. Greenpeacepun mendesak agar perusahaan anggota RSPO ini berkomitmen melepas diri dari rantai-rantai pasokan itu. “Tapi sampai sekarang belum ada respon berarti. Beberapa hari lalu, serentak Greenpeace menelepon kantor-kantor P&G di berbagai negara mendesak ini,” kata Annisa.
"Harimau" yang berteriak mendesak penyelamatan hutan mereka kala aksi global di Jakarta, Sabtu (29/3/14). Foto: Sapariah Saturi
“Harimau” yang berteriak mendesak penyelamatan hutan mereka kala aksi global di Jakarta, Sabtu (29/3/14). Foto: Sapariah Saturi
Aksi selfie menyuarakan penyelamatan hutan Indonesia. Foto: Sapariah Saturi
Aksi selfie menyuarakan penyelamatan hutan Indonesia. Foto: Sapariah Saturi
Berjoget dan bernyanyi menyuarakan penyelamatan hutan dan satwa di Indonesia dalam aksi global di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi
Berjoget dan bernyanyi menyuarakan penyelamatan hutan dan satwa di Indonesia dalam aksi global di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

source : link
0 komentar

Kebijakan Pemerintah Picu Degradasi Hutan Mangrove

Diposting oleh Maysatria Label: Mangrove
Masyarakat berupaya mereboisasi kawasan hutan mangrove yang sudah rusak. Foto: Wahyu Chandra
Masyarakat berupaya mereboisasi kawasan hutan mangrove yang sudah rusak. Foto: Wahyu Chandra
Hutan mangrove di sebagian besar kawasan pesisir di Indonesia terancam hilang. Salah satu penyebab, konversi lahan mangrove menjadi tambak makin meluas. Pemerintah dinilai memiliki andil besar mendorong degradasi ini melalui berbagai kebijakan yang cenderung mendukung dan mamanjakan para petambak, termasuk memberi ruang bagi perusahaan pupuk dan pestisida. Demikian salah satu benang merah diskusi MAP Indonesia Sulawesi Selatan, Makassar, Senin, (24/3/14)
Yusran Nurdin Massa, Senior Project Officer MAP Indonesia, mengatakan, penghancuran kawasan mangrove secara massif dimulai ketika pemerintah pusat mencanangkan program Intam tahun 1984, tersebar di 12 provinsi. “Program ini memicu ekstensifikasi tambak udang. Itu berdampak pada penghancuran hutan mangrove besar-besaran jadi tambak,” katanya.
Di Sulsel, kondisi hutan mangrove terus mengalami degradasi cukup besar. Pada 1970-an, masih sekitar 214 ribu hektar hutan mangrove dan 2014 diperkirakan tersisa 23 ribu hektar. “Berarti mengalami penurunan sampai 89%.”
Data terbaru dari Strategi Nasional untuk Konservasi Hutan Mangrove di Indonesia tahun 2008 menunjukkan, deforestasi hutan mangrove di Sulsel mencapai 2,2% per tahun.
Ironisnya, ketika terjadi penurunan produksi tambak akibat berbagai macam penyakit, tambak-tambak ini ditinggalkan begitu saja. Para petambak makin memperluas ekspansi ke daerah-daerah lain yang belum terjamah.
Menurut Yusran, Sulsel menjadi sorotan penting terkait degradasi mangrove karena tambak. Sebab, pembukaan lahan tambak baru di sejumlah provinsi di Indonesia oleh petambak dari Bugis-Makassar, suku utama penduduk Sulsel.
“Ketika tambak mulai tidak produktif dan lahan makin berkurang, para petambak ini ekspansi ke provinsi lain, termasuk Gorontalo, Kalimantan, bahkan sampai ke Sumatera dan Papua.”
Dia mencontohkan, di Tanjung Panjang, Gorontalo.  Hutan mangrove di kawasan cagar alam ini berkurang drastis, dari 3.000 hektar tersisa 200 hektar. “Saya sudah ke sana dan menemukan para petambak ternyata sebagian besar dari Bugis-Makassar. Ironis. Itu terjadi di cagar alam.”
Masyarakat Bugis-Makassar,  memang petambak handal. Bahkan, budaya tambak di Indonesia diperkirakan berasal dari Kabupaten Takalar, Sulsel. Budaya tambak di Takalar sudah dimulai sejak 400 tahun lalu.
Masyarakat pesisir, katanya, mayoritas mudah dimasuki pendatang, apalagi dianggap membawa inovasi baru dalam mengelola lahan pesisir. “Sangat kurang potensi konflik ketika pembukaan lahan tambak dilakukan,” ujar dia.
Keberadaan hutan mangrove makin terdegradasi karena dikonversi  menjadi  tambak. Di Sulsel  dalam  30  tahun diperkirakan degradasi mencapai 89 persen. Kebijakan pemerintah dalam mendukung peningkatan produksi tambak dianggap menjadi satu pemicu. Foto: Wahyu Chandra
Keberadaan hutan mangrove makin terdegradasi karena dikonversi menjadi tambak. Di Sulsel dalam 30 tahun diperkirakan degradasi mencapai 89 persen. Kebijakan pemerintah dalam mendukung peningkatan produksi tambak dianggap menjadi satu pemicu. Foto: Wahyu Chandra
Secara nasional, kondisi mangrove tak kalah buruk. Jika pada 1982, hutan mangruove seluas 4,2 juta hektar, kini tersisa 3,7 juta hektar lebih. Penyusutan ini antara lain karena konversi lahan menjadi tambak, penggunaan kayu mangrove untuk bahan industri, kayu bakar dan reklamasi pantai yang makin marak.
Program kebangkitan udang oleh pemerintah pada 2013, juga memperbesar potensi kerusakan hutan mangrove. Pemerintah, bahkan mengklaim potensi tambak di Indonesia, cukup besar sampai 2,9 juta hektar, yang termanfaatkan baru 682 ribu hektar.
“Kalau pemerintah menyatakan masih ada potensi 2 juta hektar lebih, darimana kira-kira lahan itu diambil? Kalau bukan dari hutan mangrove, pasti pemukiman warga.”
Menurut dia, Papua, salah satu daerah mangrove cukup baik dengan potensi ancaman kerusakan besar. Sebanyak 60 persen mangrove di Indonesia berada di Papua. “Upaya-upaya pembukaan lahan mangrove di daerah ini sudah terlihat. Apalagi dengan ekspansi sawit beberapa tahun terakhir. Harus ada pengawasan ketika zonasi kawasan pesisir dan tata ruang dilakukan. Di situlah titik krusial, selama ini kita tak fokus ke arah itu.”
Yusran juga menyoroti, pengkaplingan kawasan pesisir marak dalam beberapa tahun terakhir. Walaupun dalam UU Agraria, kawasan pesisir disebutkan sebagai tanah negara, katanya, namun ada upaya segelintir orang membuat sertifikasi lahan pesisir.
Contoh di Makassar, hampir seluruh kawasan pesisir dikapling dan disertifikatkan. Lahan-lahan di pesisir ini biasa ditimbun sebelum diperjualbelikan dengan harga cukup tinggi. Di Tanjung Makassar, harga lahan pantai yang ditimbun bisa mencapai puluhan miliar per kapling.
Menurut Ratna Fadilah, Director Project MAP Indonesia Sulsel, permasalahan mangrove ini bisa diselesaikan jika ada upaya serius oleh berbagai pihak.
Salah satu solusi, melalui pengelolaan mangrove dan tambak berkelanjutan. Perbandingan antara luasan hutan mangrove dan tambak berkisar antara 80% dan 20%. “Kalau sekarang justru terbalik. Hampir tak ada kriteria jelas, padahal ada aturan.”
Masalah mangrove belum selesai. Ada pencemaran pupuk. Selama ini, nutrisi tambak terbesar dari urea, dalam satu hektar mencapai satu ton, yang berdaya rusak besar.
“Hasil penelitian partisipatif dari warga yang kami bina menunjukkan penyebab kematian udang di tambak justru dari penggunaan urea berlebihan.”
Sekolah lapangan yang digagas MAP Indonesia dan Oxfam di Sulsel, sebagai upaya agar warga bisa mengelola mangrove berkelanjutan. Foto: MAP Indonesia
Sekolah lapangan yang digagas MAP Indonesia dan Oxfam di Sulsel, sebagai upaya agar warga bisa mengelola mangrove berkelanjutan. Foto: MAP Indonesia
Pengunaan urea dalam tambak karena sumber nitrogen yang memicu pertumbuhan alga– salah satu bahan nutrisi bagi tambak.
Penggunaan urea dalam takaran besar ternyata menimbulkan masalah tersendiri. Selain tidak ekonomis, juga meningkatkan keasaman tanah. ”Ini menghambat penyerapan unsur hama tertentu.” Urea berlebih,  juga mengancam kelangsungan hidup mikroorganisme dalam tanah dan menjadikan tanaman sukulen,  hingga mudah terserang hama maupun penyakit.
Kebiasaan buruk lain, dengan memberi makanan udang dan ikan mereka dengan apapun yang mereka miliki, seperti remah roti, biskuit, dan berbagai bahan makanan yang sebenarnya bisa memicu berbagai macam penyakit.
Menurut Yusran, salah satu upaya penyelamatan hutan mangrove dengan membangun kesadaran kritis masyarakat. Inilah yang mendasari MAP Indonesia atas dukungan Oxfam mendampingi masyarakat pesisir di empat kabupaten di Sulsel melalui program Restoring Coastal Livelihood (RCL).
Satu upaya MAP Indonesia dan Oxfam,  dengan mendirikan sekolah lapang petani tambak. Melalui sekolah lapangan ini petani petambak diajarkan mengenali berbagai permasalahan, termasuk mencari sendiri soulsi efektif sesuai kondisi daerah masing-masing.
“Mereka meneliti sendiri kenapa tambak menjadi tidak produktif dan rawan penyakit. Dari sini muncul kesadaran penting keberadaan mangrove dan bagaimana bertambak secara sehat.”
MAP sejak 2012 juga membangun Situs Belajar dan Laboratorium Alam Mangrove guna rehabilitasi mangrove secara ekologis dan tambak ramah lingkungan, berlokasi di Dusun Kuricaddi, Desa Nisombalia, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.
Situs belajar ini dibangun dengan metode ecological mangrove rehabiliation (EMR), yaitu upaya pelestarian mangrove bukan melalui penanaman, tetapi dengan memperbaiki kondisi ekologis daerah pesisir agar kondusif bagi pertumbuhan mangrove.
 Menurut Yusran, inisiatif pembangunan situs belajar seluas 23,38 hektar menggunakan lahan belajar dari Universitas Muhammadiyah Makassar ini, muncul dalam pertemuan berbagai pihak pada Februari 2012. Penandantanganan kesepahaman pada 3 Juli 2013 di Makassar.
Reklamasi demi kepentingan industri juga berkontribusi hilangnya hutan mangrove. Ironis, lahan-lahan pesisir mulai dikapling dan disertifikatkan. Foto: Wahyu Chandra
Reklamasi demi kepentingan industri juga berkontribusi hilangnya hutan mangrove. Ironis, lahan-lahan pesisir mulai dikapling dan disertifikatkan. Foto: Wahyu Chandra

source : link
0 komentar

Sepuluh Orangutan Kembali ke Habitat Mereka di Hutan Kalimantan

Diposting oleh Maysatria Label: Konservasi
Sepuluh orangutan kembali ke alam asli mereka di hutan Kalimantan. Foto: Hendar
Sepuluh orangutan kembali ke alam asli mereka di hutan Kalimantan. Foto: Hendar

Beberapa minggu lalu, Yayasan Bos Samboja Lestari kembali melepasliarkan sebanyak 10 individu orangutan. Kesepuluh  individu orangutan tersebut telah melewati sekolah alam selama lebih dari 10 tahun. Pelepasliaran ini juga merupakan salah satu target dalam strategi dan rencana aksi konservasi orangutan Indonesia 2007-2027.
Rencana aksi ini sendiri dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia dalam Konferensi Perubahan Iklim di Bali tahun 2007, yang menyatakan bahwa semua orangutan di pusat rehabilitasi harus dikembalikan ke habitatnya paling lambat pada tahun 2015, dan telah disepakati oleh seluruh jajaran pemerintah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten.
Proses pelepasliaran orangutan tanggal 20 Maret 2014 silam. Foto: Hendar
Proses pelepasliaran orangutan tanggal 20 Maret 2014 silam. Foto: Hendar
10 Orangutan yang dilepasliarkan dari Yayasan BOS Samboja Lestari dengan semangat Hari Kehutanan Sedunia yang jatuh pada tanggal 21 Maret 2014,Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo (Yayasan BOS) dari Pusat Reintroduksi Orangutan Kalimantan Timur di Samboja Lestari, ke habitat alami mereka.
Sebelumnya Samboja Lestari, Kalimantan Timur, telah melakukan pelepasliaran 12 orangutan lintas propinsi, orangutan dari Pusat Reintroduksi Orangutan Kalimantan Timur di Samboja Lestari ke Kalimantan Tengah. Memasuki tahun 2014 ini, Yayasan Penyelamatan Orangutan. Borneo (Yayasan BOS) memulai kegiatan pelepasliarantahun 2014 ini dengan melepasliarkan 10 orangutan rehabilitan lagi ke wilayah Hutan Kehje Sewen, Kalimantan Timur.
Enam orangutan betina dan empat orangutan jantan telah di berangkatkan dari Program Reintroduksi Orangutan Kalimantan Timur di Samboja Lestari menuju lokasi pelepasliaran di Hutan Kehje Sewen, Kabupaten Kutai Timur dan Kutai Kartanegara pada tanggal 20 dan 21 Maret 2014. Delapan orangutan yang terbagi dalam dua kelompok, masing-masing empat orangutan, diberangkatkan pada tanggal 20 Maret 2014 dari Bandar Udara Sepinggan, Balikpapan, Kalimantan Timur menuju Bandara PT Swakarsa Sinar Sentosa, Kecamatan Muara Wahau dalam dua kali penerbangan, untuk selanjutnya diterbangkan dengan helikopter (sling load) menuju Kehje Sewen. Dua orangutan yang lain diberangkatkan keesokan harinya, 21 Maret 2014 dengan rute dan armada yang sama.
Kesepuluh orangutan ini diberangkatkan dari Bandara Sepinggan, Balikpapan. Foto: Hendar
Kesepuluh orangutan ini diberangkatkan dari Bandara Sepinggan, Balikpapan. Foto: Hendar
Hutan Kehje Sewen yang dikelola oleh PT Restorasi Habitat Orangutan Indonesia (RHOI) telah mendapatkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) dari Kementerian Kehutanan. RHOI adalah perusahaan yang didirikan oleh Yayasan BOS pada 21 April 2009 dengan tujuan tunggal untuk dapat mengelola kawasan hutan secara lestari serta menyediakan habitat alami yang layak dan aman bagi orangutan rehabilitan dari Samboja Lestari, di mana mereka dapat hidup bebas dan akhirnya menciptakan populasi orangutan liar yang baru dan berkelanjutan untuk menjaga kelestarian spesies ini.
Pelepasliaran orangutan ini merupakan hasil nyata kolaborasi Yayasan BOS dengan para pemangku kepentingan, antara lain Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur dan Kutai Kartanegara, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur, serta masyarakat Kutai Timur dan Kutai Kartanegara. Selain itu, Yayasan BOS juga berterima kasih atas dukungan moral, finansial, dan logistik dari organisasi-organisasi mitra BOS Switzerland dan Orangutan Protection Foundation UK, sektor swasta seperti First State Indoequity Peka Fund yang dikelola oleh First State Investments Indonesia dan distribusikan eksklusif oleh Citibank, Salim Ivomas, dan Bank BCA serta juga dari donor perseorangan, dan organisasi konservasi di seluruh dunia yang peduli atas usaha pelestarian orangutan di Indonesia.
“Kami sangat gembira melihat kegiatan pelepasliaran orangutan yang dilaksanakan secara kontinyu ini. Sangat penting bagi kita semua untuk terus memerhatikan kelangsungan hidup orangutan di tempat di mana seharusnya mereka berada, yaitu di hutan alami. Perlu kita ingat selalu, sehatnya suatu hutan dapat dilihat dari kesejahteraan satwa yang ada di dalamnya, terutama orangutan.” Kepala BKSDA Kaltim, Ir. Y. Hendradi Kusdiharjo, MM
Sementara itu CEO Yayasan BOS, Dr. Ir. Jamartin Sihite menyatakan , pihaknya akan terus melakukan pelepasliaran sesuai dengan target. “Kami terus berusaha untuk memenuhi target yang dicanangkan dalam Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017. Kerjasama antara pemerintah, sektor swasta dan donor sangat berperan penting dalam kegiatan ini. Semoga untuk kedepannya akan semakin bertambah dukungan yang diberikan dari pemangku kepentingan. Mari kita sadari bahwa ini adalah tugas kita bersama.” Kata Jamartin.
Begitu pula dengan drh. Agus Irwanto, Manajer Program Samboja Lestari mengatakan pihaknya optimis akan melepaskan orangutan lebih banyak lagi ke habitatnya. , “Tahun 2014 kami mulai dengan melepasliarkan 10 orangutan. Selanjutnya kami optimis untuk melepasliarkan lebih banyak lagi orangutan ke habitat alaminya. Tentu saja ini harus didukung dengan ketersediaan hutan yang layak dan aman. Kami sangat berharap kepada para pemangku  kepentingan untuk terus mendukung baik dalam pelaksanaan kegiatan pelepasliaran ini, juga dalam penyediaan hutan yang layak dan aman di masa depan.” Kata Agus.
Namun laju deforestasi hutan di Indonesia yang sangat tinggi, tentu menjadi ancaman tersendiri bagi upaya pelepasliaran orangutan. Tanpa upaya pelestarian hutan, kegiatan konservasi orangutan tidak dapat berjalan lancar. Sebagai akibatnya, target yang telah dicanangkan dalam Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017, tidak akan tercapai.
Salah satu individu orangutan saat dimasukan ke dalam pesawat. Foto: Hendar
Salah satu individu orangutan saat dimasukan ke dalam pesawat. Foto: Hendar
10 Orangutan Kembali Menghirup Alam Bebas
Pelepasliaran orangutan tidaklah mudah, pasalnya selain membutuhkan biaya yang besar, juga membutuhkan waktu untuk proses adaptasi individu orangutan dan kesediaan tempat. “Sebelum orangutan itu dilepasliarkan pastinya harus dilakukan pengecekan DNA, untuk memastikan apakah DNA orangutan yang akan dilepasliarkan sesuai dengan habitatnya,” kata Agus.
Sebelum melakukan pelepasliaran orangutan, pihak BOS Samboja Lestari harus melakukan tes DNA sebelum melakukan pelepasliaran, setelah ketahuan apakah DNA tersebut untuk mengetahui orangutan kaltim apa bukan, bila saat pengetesan DNA diketahui bahwa individu orangutan tersebut adalah orangutan Kaltim, maka akan dilepaskan di hutan Kaltim namun bila tidak maka akan dilepaskan sesuai dengan DNA nya.
“Pada pelepasliaran sebelumnya, terjadi pelepasliaran individu orangutan lintas propinsi, yakni Kaltim dan Kalteng, dan ada baiknya bila ada penyitaan orangutan, biaknya pihak pemerintah sebelum menyerahkan ke lembaga konservasi terlebih dahulu melakukan tes DNA untuk mengetahui orangutan dari mana,” papar Agus.
Acul salah satu jantan dewasa yang dilepasliarkan. Foto: Hendar
Acul salah satu jantan dewasa yang dilepasliarkan. Foto: Hendar
ACUL
Acul tiba dari Bontang ke Samboja Lestari pada tanggal 25 Juni 2001 saat usianya masih 4 tahun. Karena sifatnya yang semi-liar, kemampuan Acul di Sekolah Hutan cepat berkembang. Ia pintar memilih pakan alaminya, membuat sarang, dan banyak beraktivitas di pepohonan. Acul adalah orangutan jantan dominan dengan bantalan pipi yang kini mulai tumbuh menghiasi wajahnya. Meskipun dominan, Acul tidak pernah bersifat agresif terhadap teman-temannya. Kini usia Acul sudah 17 tahun dengan berat badan 62 kilogram. Tak lama lagi Acul yang gagah akan menikmati kebebasannya menjelajah Hutan Kehje Sewen.
Orangutan betina bernama Nila. Foto: Hendar
Orangutan betina bernama Nila. Foto: Hendar
NILA
Nila tiba di Samboja Lestari dari Bontang pada 22 April 1998 saat usianya masih 4 tahun dengan berat badan 4 kilogram. Anak orangutan liar ini ditempatkan di kandang sosialisasi di mana ia bertemu dengan Titin, Juminten dan Sarmi yang kini telah dilepasliarkan di Hutan Kehje Sewen.
Nila kemudian ditempatkan di Pulau 6 dan mengasah keterampilannya dalam bertahan hidup di alam liar di pulau itu. Salah satu teman pulau-nya yang akan dilepasliarkan bersamanya adalah orangutan betina bernama Oneng.
Nila merupakan orangutan penyendiri dan tidak menyukai kehadiran manusia. Nila juga terampil memilih pakan alaminya sehingga ia lebih banyak mencari makan sendiri ketimbang memakan buah-buahan menu harian yang diberikan oleh teknisi. Makanan kesukaan Nila adalah dedaunan.
Kini Nila berusia 20 tahun dengan berat badan 68 kilogram. Orangutan betina dewasa yang aktif di pepohonan ini tak lama lagi akan menjelajah hutan Kehje Sewen rumah sejatinya.
Oneng, salah satu individu betina yang berhasil lulus dari pusat rehabilitasi. Foto: Hendar
Oneng, salah satu individu betina yang berhasil lulus dari pusat rehabilitasi. Foto: Hendar
ONENG
Oneng yang saat itu masih berusia 3 tahun tiba di Samboja Lestari pada 5 April 2006 setelah disita oleh BKSDA Tenggarong dari seorang warga Muara Wahau yang menjadikannya hewan peliharaan. Oneng mengasah kemampuan bertahan hidupnya di alam liar di Pulau 6 bersama Nila yang akan dilepasliarkan bersamanya dan Sarmi yang sudah lebih dulu dilepasliarkan ke Kehje Sewen pada Oktober 2013.
Oneng yang kini berusia 11 tahun dengan berat badan 41 kilogram ini merupakan orangutan termuda yang dilepasliarkan kali ini. Meskipun masih muda, Oneng terkenal cerdik dan pandai melarikan diri dari pulau dengan cara berenang di kanal. Kemampuan Oneng dalam mengenal pakan alami dan membuat sarang sudah tak diragukan lagi. Kini orangutan betina Kalimantan Timur ini tinggal menghitung hari saja untuk menikmati rumah sejatinya di Hutan Kehje Sewen.
Leke. Foto: Hendar
Leke kini bebas, setelah sebelumnya sempat menjadi satwa peliharaan. Foto: Hendar
LEKE
Leke menjadi hewan peliharaan seorang warga di Balikpapan sebelum akhirnya masuk ke Samboja Lestari pada 23 April 2001. Saat itu orangutan betina ini masih berusia 3 tahun dengan berat badan 5,5 kilogram serta mengalami dehidrasi, diare parah dan malnutrisi sehingga harus mendapatkan perawatan intensif dari Tim Medis. Leke belajar di Sekolah Hutan mulai tahun 2001 hingga 2005 dan mendapat predikat sebagai murid yang pintar sehingga ditempatkan di Halfway House hingga 2008 untuk mempersiapkannya menjadi kandidat pelepasliaran.
Leke yang berperawakan besar dan kekar ini merupakan orangutan betina dominan yang tak kalah bersaing dengan orangutan jantan untuk mendapatkan makanan. Kini di usianya yang ke-16 dengan berat badan 51 kilogram, Si cantik Leke yang pemberani siap menjalani hidup barunya di rimba yang sesungguhnya.
Indo. Foto: Hendar
Indo, pejantan lain yang sempat menjadi peliharaan di Samarinda. Foto: Hendar
INDO
Indo dijadikan hewan peliharaan oleh seorang warga di Samarinda sebelum akhirnya masuk ke Samboja Lestari pada 10 April 2001. Saat itu anak orangutan jantan ini baru berusia 5 tahun dengan berat badan 11,5 kg. Indo menjadi lulusan terbaik Sekolah Hutan dan ditempatkan di Halfway House pada tahun 2004 hingga 2005 untuk mengasah kemampuan alaminya sebelum dipersiapkan sebagai kandidat pelepasliaran.
Indo yang terampil mengenali pakan alaminya ini merupakan orangutan jantan dominan, namun memiliki sifat yang kalem. Kini di usianya yang ke-18 dengan bobot 60 kilogram, Indo siap menguji kemampuannya sebagai lulusan terbaik Sekolah Hutan di habitat alaminya.
Maduri, lulus dari pusat rehabilitasi setelah enam tahun menjalani perawatan. Foto: Hendar
Maduri, lulus dari pusat rehabilitasi setelah enambelas tahun menjalani perawatan. Foto: Hendar
MADURI
Maduri masuk ke Samboja Lestari pada 16 Desember 1998 setelah sebelumnya menjadi hewan peliharaan seorang warga di Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur. Saat pertama kali tiba di Samboja Lestari, orangutan betina ini masih berusia 2 tahun dengan berat badan 3 kilogram. Setelah lulus dari Sekolah Hutan, Maduri masuk ke Halfway House untuk menjalani
tahap akhir proses rehabilitasinya mulai tahun 2003 hingga 2007. Maduri yang pandai mengenal pakan alaminya dan banyak beraktivitas di pepohonan ini pun dipersiapkan sebagai kandidat pelepasliaran.
Orangutan cantik dengan wajah yang berwarna terang ini kini berusia 18 tahun dengan berat badan 43 kilogram. Maduri yang telah menjelma menjadi orangutan betina dewasa ini siap pulang ke rumah sejatinya di Hutan Kehje Sewen.
Upi. Foto: Hendar
Upi kini berusia 18 tahun dan siap kembali ke habitatnya. Foto: Hendar
UPI
Upi diserahkan langsung ke Samboja Lestari oleh seorang warga Balikpapan yang menjadikannya sebagai hewan peliharaan pada 4 Juli 2001. Saat itu usianya masih 5 tahun dengan berat badan 16 kilogram. Sebelum dipersiapkan sebagai kandidat pelepasliaran, Upi belajar di Sekolah Hutan dan Halfway House pada 2004. Upi termasuk orangutan betina yang pintar dalam memilih pakan alaminya. Kebiasaan Upi yang paling diingat oleh para babysitter adalah mengeluarkan suara mencicit terhadap babysitter yang tidak disukainya.
Kini Upi berusia 18 tahun dengan berat badan 44 kilogram. Tak lama lagi orangutan betina cantik ini akan merasakan senangnya tinggal di rumah barunya di Hutan Kehje Sewen.
Bajuri. Foto: Hendar
Bajuri siap kembali ke habitat aslinya. Foto: Hendar
BAJURI
Bajuri diserahkan oleh Kebun Raya Universitas Mulawarman Samarinda kepada Samboja Lestari pada tanggal 17 Maret 2006. Saat itu orangutan jantan ini masih berusia 6 tahun.
Semasa di Sekolah Hutan, Bajuri sangat aktif, mandiri, dan tidak tergantung kepada babysitter-nya. Ia juga terampil mengenali pakan alaminya dan membangun sarang.
Karena kemandirian dan kemampuannya itu Bajuri dipersiapkan sebagai kandidat pelepasliaran.  Bajuri yang dominan namun tidak agresif terhadap teman-temannya ini kini berusia 14 tahun dengan berat badan 49 kilogram. Tak lama lagi ia akan membuktikan kemandirian dan kemampuannya bertahan hidup di belantara Kehje Sewen.
Kent. Foto: Hendar
Kent, akhirnya kembali ke tempat lahirnya, setelah hidup di rehabilitasi sejak bayi. Foto: Hendar
KENT
Kent tiba dari Sangkulirang ke Samboja Lestari pada tanggal 25 Maret 1999. Saat itu bayi orangutan liar yang diselamatkan dari kebun warga ini masih berusia 2 bulan dengan berat badan 5 kilogram. Selain tiba dalam keadaan tanpa induk, bayi orangutan jantan ini juga mengalami dehidrasi dan diare parah akibat infeksi cacing. Belajar di Sekolah Hutan Samboja Lestari, Kent lulus pada 2004 dan ditempatkan ke Halfway House untuk mempersiapkannya sebagai kandidiat pelepasliaran.
Kent yang mandiri, terampil bertahan hidup di alam liar dan tidak menyukai kehadiran manusia ini kini telah berusia 16 tahun dengan berat badan 45 kilogram. Tak lama lagi Kent akan kembali menikmati hidupnya sebagai orangutan liar sejati di Hutan Kehje Sewen.
Wani. Foto: Hendar
Wani, salah satu hasil sitaan yang sukses kembali ke rumah aslinya. Foto: Hendar
WANI
Wani tiba di Samboja Lestari pada 26 Juni 2002 setelah disita oleh BKSDA Tenggarong dari seorang warga di Samarinda yang menjadikannya hewan peliharaan. Saat itu orangutan betina ini berusia 5 tahun dengan berat badan 17 kilogram. Wani dipisahkan dari induknya dan ditangkap di Desa Bengalon saat usianya masih 2 bulan.
Wani yang pintar lulus dari Sekolah Hutan pada 2004 dan melanjutkan pembelajarannya di Halfway House hingga 2007. Ia sangat terampil memilih pakan alaminya dan hanya mau berinteraksi dengan babysitter yang disukainya saja. Wani kini berusia 17 tahun dengan berat badan 34 kilogram. Orangutan betina yang cantik dan pintar ini tak lama lagi akan pulang ke Hutan Kehje Sewen, rumah sejatinya.

source : link
0 komentar

Sponsored

  • banners
  • banners
  • banners
  • banners

Kategori

  • Flora dan Fauna (128)
  • Forestry (312)
  • Mangrove (82)

Archive

  • ►  2015 (20)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (17)
  • ▼  2014 (43)
    • ►  Agustus (13)
    • ►  Mei (9)
    • ▼  April (8)
      • Restorasi Ekosistem Upaya untuk Memulihkan Kondisi...
      • karang Otak Raksasa di Kedalaman Perairan Nusantara
      • Sejumlah Spesies Ikan Baru dan Langka Ditemukan di...
      • Kepiting Porselen Si Rapuh Yang Mematikan
      • Aksi Global, Selamatkan Hutan, Selamatkan Habitat ...
      • Kebijakan Pemerintah Picu Degradasi Hutan Mangrove
      • Sepuluh Orangutan Kembali ke Habitat Mereka di Hut...
      • Penelitian: Pemanasan Global Picu Emisi Gas Metana...
    • ►  Februari (6)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2013 (309)
    • ►  Desember (14)
    • ►  November (97)
    • ►  Oktober (28)
    • ►  September (36)
    • ►  Agustus (11)
    • ►  Juli (20)
    • ►  Juni (19)
    • ►  April (20)
    • ►  Maret (20)
    • ►  Februari (19)
    • ►  Januari (25)
  • ►  2012 (97)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (25)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (15)
    • ►  April (9)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (19)
    • ►  Januari (16)
  • ►  2011 (323)
    • ►  Desember (52)
    • ►  November (27)
    • ►  Oktober (12)
    • ►  Agustus (12)
    • ►  Juli (5)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (16)
    • ►  Maret (24)
    • ►  Februari (122)
    • ►  Januari (44)
  • ►  2010 (105)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (22)
    • ►  Agustus (79)

_______________

_______________

 

© My Private Blog
designed by Website Templates | Bloggerized by Yamato Maysatria |