Hutan mangrove yang telah dikonversi mejadi tambak di Kalimantan. Foto: Rhett Butler
Ekosistem mangrove memiliki arti penting bagi iklim global. Dengan menyelamatkan mangrove berarti tiga miliar metriks ton karbon setidaknya tidak terlepas ke udara. Hutan mangrove sendiri memiliki kemampuan empat kali lipat dari hutan biasa sebagai penyimpan cadangan karbon dalam tanah. Dengan demikian mangrove merupakan ekosistem penting jika bicara tentang mitigasi iklim global.
Dengan menyelamatkan mangrove sekaligus bisa menjawab janji Presiden
SBY kepada dunia untuk menurunkan emisi karbon Indonesia ke tingkat 26%
(41% jika ada komitmen bantuan Internasional) pada tahun 2020.
Indonesia sendiri memiliki 3,2 juta hektar mangrove atau hampir
seperempat kawasan mangrove yang ada di dunia.
Menurut Daniel Murdiyarso, peneliti iklim dari Pusat Penelitian Hutan
Internasional (CIFOR), satu hektar mangrove mampu untuk menyerap antara
600-1800 ton karbon atau jika digunakan rataan maka 1.200 ton karbon
dapat dipertahankan dalam 1 hektar bentang hutan mangrove. Jika
mangrove di Indonesia 3,2 juta hektar, sekurang-kurangnya 3 miliar
metrik ton karbon dapat diselamatkan untuk tidak terlepas sebagai emisi
ke udara.
“Namun itu hitung-hitungan di atas kertas, faktanya dari 3,2 juta
hektar mangrove di Indonesia, hanya 46%-nya yang masih baik,” demikian
Bagus Herudojo Tjiptono, dari Dirjen BPDAS dan Perhutanan Sosial,
Kemenhut menjelaskan dalam Talkshow Restorasi Penghidupan Pesisir di
CIFOR, Bogor (20/02/2014).
“Rehabilitasi mangrove makan waktu dan biaya, dalam lima tahun
terakhir Kemenhut merestorasi 31.600 hektar dari target 40.000 hingga
akhir tahun 2014” jelasnya.
Kawasan mangrove sendiri yang masih baik sendiri di Indonesia berada
di Papua, khususnya di kabupaten Mimika dan Asmat. Mangrove di Papua
meliputi 69% kawasan mangrove yang ada di Indonesia.
Seperti manusia, mangrove juga amat rentan terhadap perubahan bentang
ekofisik, sebagai contoh menurut Herudojo, eks daerah tsunami di Aceh
tidak semuanya dapat direhabilitasi karena substrat dasar telah berubah
dari endapan lumpur berair yang cocok untuk mangrove menjadi bentang
pasir yang membuat akar mangrove mudah terbawa arus samudera.
Kerusakan mangrove sendiri paling besar diakibatkan oleh tambak
udang. Hal ini tidak dipungkiri oleh Coco Kokarkin Soetrisno, dari
Dirjen Pembudidayaan, KKP. “Saat ini, Kementrian Kelautan dan Perikanan
tidak lagi mengalokasikan dana untuk ekstensifikasi tambak udang, kami
fokus hanya untuk tambak yang terlanjur sudah dibuka. Program kami
adalah intensifikasi bukan lagi ekstensifikasi. Dua puluh persen area
tambak harus tetap dijadikan mangrove,” jelas Coco.
“Program KKP saat ini sedang mengembangkan model akuakultur yang
tidak lagi di areal mangrove, kami mencoba budidaya di area 12 mil dari
tepi laut. Adapun di area mangrove hanya untuk usaha kecil,” Di
Indonesia sendiri menurut data KKP dari 682.858 hektar tambak yang ada,
maka total terdapat 1,2 juta areal potensial untuk tambak.
Tidak semua bentang mangrove sebenarnya cocok untuk dibuka tambak
udang intensif. Senyawa pirit yang ada di area mangrove sendiri dapat
menjadi racun bagi udang.
Ben Brown, peneliti dan aktivis penyelamat mangrove dari Mangrove
Action Project menyebutkan sudah terlalu banyak contoh buruk dari
pembukaan tambak, yang ujung-ujungnya tidak produktif dan memerlukan
biaya pemulihan yang tinggi.
“Di Delta Mahakam, Kalimantan Timur, mangrove yang dibuka untuk
tambak sudah lebih dari 60.000 hektar, sekarang rusak karena adanya
endapan asam sulfat yang muncul terangkat dari area tersebut yang
menyebabkan kematian udang. Mangrove hilang, tambak udang juga akhirnya
tidak produktif” papar Brown.
Menurut Ben Brown, mengelola mangrove unik, berbeda dengan hutan
biasa, karena dapat dikatakan tidak terdapat kearifan lokal nenek moyang
yang diwariskan ke generasi sekarang. “Dulu mereka tidak pernah
diperhadapkan dengan kerusakan mangrove seperti sekarang, jadi mereka
tidak pernah membudidayakan mangrove, saat ini mengelola mangrove dan
memulihkannya kembali harus dilakukan dengan metode yang cocok.”
Pengelolaan Mangrove di Daerah
Meskipun secara umum masih banyak kendala yang dihadapi, namun
terdapat beberapa praktek pengelolaan mangrove yang dapat dibanggakan.
Salah satunya di Tanakeke, Sulawesi Selatan
atas fasilitasi dari LSM Internasional Oxfam. Saat ini masyarakat telah
mampu mendapat manfaat dari pengelolaan mangrove lestari.
Kunci dari pengelolaan mangrove oleh masyarakat sebenarnya adalah
jika masyarakat mendapat insentif dari pengelolaan mangrove. Masyarakat
akan melestarikan mangrove jika mereka merasa mangrove merupakan
kebutuhan, tanpa perlu disuruh-suruh karena bagian dari target proyek.
Di sisi lain, pengelolaan mangrove tidak akan berhasil, jika tidak ada
kelembagaan yang kuat baik di tingkat masyarakat maupun di tingkat
pemerintahan.
Mengelola mangrove juga merupakan proses untuk menjadi membangun
kelembagaan demokrasi untuk masyarakat. Jika tambak udang hanya
dimiliki oleh satu orang dan orang lain menjadi karyawan tambak, maka di
mangrove semua anggota masyarakat berkesempatan untuk sama-sama
memanfaatkan lewat sebuah wadah pengaturan bersama.
Tidak semua cerita tentang pengelolaan mangrove baik, di Pohuwato, Gorontalo
misalnya, bentang mangrove yang ada di cagar alam telah dikonversi
menjadi tambak. Di daerah Bengkalis propinsi Riau, mangrove yang
terlanjur dikonversi menjadi perkebunanan kelapa dan karet oleh
masyarakat, yang saat ini coba dipulihkan kembali menjadi mangrove
seperti sediakala.
Cerita yang sama juga muncul di Balikpapan, Kalimantan Timur dimana
keberadaan hutan mangrove terancam karena adanya rencana pembukaan
jalan. Di Sumatera Utara, berdasarkan laporan Badan Lingkungan Hidup
Daerah (BLHD), 90% mangrove yang ada di Sumatera Utara telah rusak parah.
Di tingkat pemerintah daerah juga masih ditemui kendala koordinasi
pengelolaan mangrove dengan Pemerintah Pusat. Irmanto dari Dishut
Kabupaten Mimika, Papua melaporkan tentang rencana pendirian pabrik
semen di kawasan yang masuk dalam area mangrove, yang konon kabarnya
mendapat ijin dari Pemerintah Pusat.
“Bagi kami di Papua, tantangannya berbeda jika di daerah lain
bagaimana merestorasi mangrove, di Papua bagaimana mempertahankan
kawasan mangrove yang masih baik,” tegas Irmanto.
Rencana Tata Ruang Wilayah menjadi kata kunci untuk penyelamatan
mangrove. Tanpa adanya komitmen dari Pusat dan Daerah dan tanpa adanya
model insentif yang diberikan kepada Pemerintah Daerah, masyarakat dan
swasta, iming-iming menggiurkan ekonomi untuk mengkonservasi mangrove
akan tetap tinggi.
Source : link
Source : link
0 komentar:
Posting Komentar