skip to main | skip to sidebar

Silva Dream

Konsep Bumi Kita

  • Home
  • Gallery
  • Contact me
  • About Me

Kamis, 27 Februari 2014

Ekstra Ruang Hijau, Akan Selamatkan Spesies Asli Perkotaan

Diposting oleh Maysatria Label: Konservasi, News
Taman Medan Merdeka dan Taman Monas, salah satu ruang hijau yang masih tersisa di Jakarta. Foto: Aji Wihardandi

Taman Medan Merdeka dan Taman Monas, salah satu ruang hijau yang masih tersisa di Jakarta. Foto: Aji Wihardandi

Laju pembangunan fisik di perkotaan yang mengubah lahan-lahan terbuka dan hijau menjadi hutan beton memang menyebabkan hilangnya keragaman hayati lokal. Namun, sebuah kabar yang cukup menggembirakan datang dari sebuah studi yang dilakukan National Center for Ecological Analysis and Synthesis (NCEAS) di Universitas Santa Barbara, Kalifornia, AS.
Menurut hasil studi yang dilakukan di 147 kota di dunia ini, fakta yang cukup mengejutkan adalah banyaknya jumlah vegetasi dan spesies satwa yang bertahan dan bahkan berkembang di lingkungan urban, terutama ratusan spesies burung dan ribuan spesies tanaman yang berhasil tumbuh di setiap kota.
Cucak kutilang (Pycnonotus aurgaster) salah satu penghuni di Taman Medan Merdeka, Monas, Jakarta. Foto: Aji Wihardandi
Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster) salah satu penghuni di Taman Medan Merdeka, Monas, Jakarta. Foto: Aji Wihardandi
Kontras dengan adanya ungkapan bahwa wilayah urban hanyalah kawasan sisa-sisa bagi keragaman hayati, studi ini menemukan bahwa selain sejumlah spesies yang seringkali kita lihat di taman kota seperti burung merpati dan sejenisnya, namun secara keseluruhan campuran keragaman hayati spesies-spesies di wilayah urban merefleksikan warisan keunikan sejumlah mahluk hidup di wilayah geografi setempat.
Temuan ini sudah diterbitkan di jurnal ilmiah Proceedings B, sebuah jurnal milik Royal Society of Biological Sciences.
Ruang terbuka hijau, memberikan kesempatan bagi banyak vegetasi dan speses satwa lokal untuk berkembang. Foto: Aji Wihardandi
Ruang terbuka hijau, memberikan kesempatan bagi banyak vegetasi dan speses satwa lokal untuk berkembang. Foto: Aji Wihardandi
“Kendati urbanisasi telah menyebabkan wilayah perkotaan kehilangan sejumlah besar vegetasi dan satwanya, kabar baiknya adalah kawasan perkotaan ternyata masih menyimpan spesies endemik lokal, yang membuka kemungkinan untuk adanya kebijakan baru untuk konservasi regional dan keragaman hayati global,” ungkap penulis utama dan anggota tim kerja NCEAS, Myla F. J. Aronson, seorang pakar di Jurusan Ekologi, Ecolusi dan Sumber Daya Alam di Universitas Negeri New Jersey.
Kajian ini mengungkapkan nilai ruang terbuka hijau di perkotaan, yang bernilai sangat penting bagi spesies asli dan migran. Fenomena ini dinamai Central Park Effect karena secara mengejutkan ditemukan sangat banyak spesies di Central Park, New York, sebuah ruang terbuka hijau di tengah kota New York.
Berbeda dari penelitian keragaman hayati perkotaan sebelumnya, kajian ini melihat lebih jauh dampak lokal dari urbanisasi dan menghitung dampak secara keseluruhan terhadap keragaman hayati global. Tim peneliti membuat sebuah kumpulan data global untuk mempelajari dua jenis taksa di perkotaan, yaitu burung (54 kota) dan vegetasi (110 kota).
Salah satu keteduhan di sudut Taman Medan Merdeka Jakarta. Foto: Aji Wihardandi
Salah satu keteduhan di sudut Taman Medan Merdeka Jakarta. Foto: Aji Wihardandi
Hasil kajian ini menemukan bahwa banyak vegetasi dan spesies satwa, termasuk yang berkategori terancam dan nyaris punah, bisa berkembang di perkotaan, bahkan ketika yang lainnya hilang atau berkurang secara keseluruhan. Perkotaan dengan habitat alami akan memberikan dukungan lebih baik bagi berbagai jenis burung dan vegetasi dan akan mengalami lebih sedikit hilangnya jumlah spesies meski saat kota ini terus tumbuh. Secara keseluruhan, perkotaan menyokong jauh lebih sedikit spesies (sekitar hanya 8% spesies burung dan 25% untuk spesies vegetasi asli) dibanding yang diperkirakan untuk luasan yang sama di wilayah-wilayah yang belum dibangun.
“Kita harus membayar mahal terkait hilangnya keragaman hayati seiring dengan meningkatnya urbanisasi,” ungkap salah satu penulis, Frank La Sorte, salah satu peneliti di Laboratorium Ornitologi Cornell.”Namun kendati wilayah-wilayah yang sudah menjadi kawasan pemukiman hanya memiliki jumlah spesies yang jauh lebih sedikit, kami menemukan bahwa wilayah-wilayah tersebut memiliki keunikan asli yang tersisa. ”
Betet biasa. Foto: Aji Wihardandi
Betet biasa. Foto: Aji Wihardandi
Menjaga ruang terbuka hijau, menambah jumlah spesies vegetasi asli dan menambah habitat-habitat baru di kawasan perkotaan akan bisa semakin menyokong kehidupan burung-burung dan vegetasi asli. “Memang benar bahwa kawasan perkotaan sudah kehilangan proporsi besar kawasan untuk keragaman hayati. Namun jika kita bertindak saat ini dan memikirkan ulang desain bentang alam di wilayah urban, perkotaan akan memiliki peran penting dalam melestarikan spesies vegetasi asli dan satwa yang masih tersisa dan mengembalikan lebih banyak lagi yang sudah pernah hilang,” ungkap Madhusudan Kati, salah satu penulis peneltiian ini dari Jurusan Biologi Universitas Negeri Kalifornia di Fresno.

CITATION: M. F. J. Aronson, F. A. La Sorte, C. H. Nilon, M. Katti, M. A. Goddard, C. A. Lepczyk, P. S. Warren, N. S. G. Williams, S. Cilliers, B. Clarkson, C. Dobbs, R. Dolan, M. Hedblom, S. Klotz, J. L. Kooijmans, I. Kuhn, I. MacGregor-Fors, M. McDonnell, U. Mortberg, P. Pysek, S. Siebert, J. Sushinsky, P. Werner, M. Winter. A global analysis of the impacts of urbanization on bird and plant diversity reveals key anthropogenic drivers. Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences, 2014; 281 (1780): 20133330 DOI: 10.1098/rspb.2013.3330

source : link
0 komentar

Penelitian: Orangutan Semakin Sering Turun dari Pepohonan, Apa Yang Terjadi?

Diposting oleh Maysatria Label: Flora dan Fauna, Konservasi
Orangutan Kalimantan. Foto: Rhett A. Butler

Orangutan Kalimantan. Foto: Rhett A. Butler

Orangutan kini ternyata menghabiskan cukup banyak waktu di tanah selain di atas pohon, namun kebiasaan ini ternyata sebagian diantaranya adalah akibat pengaruh dari manusia. Hal ini terungkap dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Dr. Mark Harrison dari Jurusan Geografi di University of Leicester serta Direktur Operasional Orangutan Tropical Peatland Project (OuTrop) dan telah diterbitkan jurnal ilmiah Scientific Reports.
Studi yang dilakukan oleh Dr. Harrison dengan sejumlah koleganya selama tujuh tahun ini dilakukan antara bulan Juni 2006 hingga Maret 2013, dan berbasis pada analisis skala besar terhadap kebiasaan orangutan berjalan di tanah dengan menggunakan data dari kamera jebak di 16 lokasi di Kalimantan. Secara total, dari hasil pemotretan dengan kamera jebak ini terekam 641 individu orangutan, dengan 1.409 kamera dengan lebih dari 159,152 hari beroperasi kamera jebak.
Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus), dikenal sebagai mamalia arboreal atau hidup diantara pepohonan yang tinggi. Catatan terhadap kebiasaan mereka di atas tanah masih jarang dan terkait dengan adanya gangguan terhadap habitat mereka.
Hutan di Kalimantan Tengah. Foto: Rhett A. Butler
Adanya gangguan terhadap habitat mereka, membuat orangutan kini semakin banyak beraktivitas di atas tanah. Foto: Rhett A. Butler
Marc Ancrenaz, dari lembaga HUTAN/Kinabatangan Orangutan Conservation Programme di Malaysia yang membantu melakukan kajian ini. Dr. Harrison mengatakan bahwa ketergangguan habitat menjadi pendorong kebiasaan orangutan berjalan di tanah. “Kita sudah memahami sejak lama bahwa orangutan menggunakan tanah untuk berjalan dan mencari makan, namun pengaruh dari ketergangguan antropogenik yang menjadi pendorong kebiasaan ini, masih belum sepenuhnya jelas. Menjadi penting untuk memahami hilangnya hutan dan fragmentasi, dimana hal ini menghilangkan habitat asli orangutan,” ungkap Dr. Harrison. “Kami menemukan bahwa kendati tingkat kerusakan hutan dan kerimbunan kanopi mempengaruhi kebiasaan berjalan mereka di tanah, namun dari hasil catatan terlihat bahwa mereka menggunakan tanah sama seringnya baik di hutan yang terdegradasi maupun di hutan yang primer yang masih baik.”
“Dalam kajian ini semua kelas usia orangutan tercatat melakukan aktivitas di atas tanah, namun jantan dewasa yang memiliki pipi lebar memiliki kebiasaan berjalan di tanah lebih sering. Hasil temuan ini memperlihatkan bahwa pergerakan darat merupakan bagian dari kebiasaan alami orangutan Kalimantan dibanding yang kita pahami sebelumnya, dan hal ini hanya dipengaruhi oleh ketergangguan habitat,” tambah Dr. Harrison. “Kemampuan orangutan untuk turun dari pohon akan meningkatkan kemampuan mereka untuk beradaptasi dengan fragmentas hutan dalam skala kecil, dan untuk melintasi lahan terbuka di bentang alam yang berbeda, kendati kemampuan ini masih harus diselidiki lebih jauh.”
Laju deforestasi di Sumatera dan Kalimantan.
Laju deforestasi di Sumatera dan Kalimantan, dua pulau yang menjadi  tempat hidup orangutan.
Para penulis laporan ini menyatakan bahwa lebih dari 70% orangutan muncul di hutan-hutan yang dimanfaatkan untuk banyak hal berbeda, dan sudah diubah oleh manusia yang menyebabkan hilangnya karakter asli ekologis setempat. Kebiasaan orangutan yang berubah yang semakin banyak menghabiskan waktu di atas tanah dibanding di atas pohon menimbulkan pro dan kontra.
“Meningkatnya kemampuan di atas tanah kemungkian meningkatkan resiko diburu, interaksi dan penangkapan oleh manusia, dan kemungkinan terjangkit penyakit tertentu. Tidak seperti di Sumatera, dimana ada kehadiran harimau, perburuan oleh satwa lain tidak banyak terjadi di Kalimantan, kendati demikian bayi orangutan mungkin akan jadi korban babi liar dan macan dahan. Namun dalam sejarah terkini, musuh terbesar mereka adalah manusia, yang seringkali menangkap mereka dari atas pohon: orangutan membuat suara yang gaduh dan mereka mudah diketahui di atas pohon, namun mereka bisa sangat hening di daratan dan lebih mudah untuk melarikan diri di darat.”
Sebelum dilepasliarkan ke alam, orangutan yang sudah menjadi korban dan tercampak dari habitat asli mempunyai rumah singgah baru di Desa Sungai Awan Kiri, Ketapang. Foto: YIARI
Salah satu anak orangutan di rumah singgah baru mereka di Desa Sungai Awan Kiri, Ketapang. Foto: YIARI
Para ahli juga melaporkan bahwa kebiasaan berjalan di atas tanah juga bisa membuat mereka lebih mudah bergerak di bentang alam yang sudah rusak sebagai akibat dari perilaku manusia. Hal ini juga meciptakan kemungkinan baru untuk mendapatkan sumber makanan bagi orangutan. Singkatnya, pemahaman terhadap kebiasaan orangutan yang semakin sering berjalan di atas tanah akibat dari adanya degradasi hutan, akan memerikan masukan penting bagi upaya pelestarian satwa unik Indonesia ini.

CITATION: Marc Ancrenaz, Rahel Sollmann, Erik Meijaard, Andrew J. Hearn, Joanna Ross, Hiromitsu Samejima, Brent Loken, Susan M. Cheyne, Danica J. Stark, Penny C. Gardner, Benoit Goossens, Azlan Mohamed, Torsten Bohm, Ikki Matsuda, Miyabi Nakabayasi, Shan Khee Lee, Henry Bernard, Jedediah Brodie, Serge Wich, Gabriella Fredriksson, Goro Hanya, Mark E. Harrison, Tomoko Kanamori, Petra Kretzschmar, David W. Macdonald, Peter Riger, Stephanie Spehar, Laurentius N. Ambu, Andreas Wilting. Coming down from the trees: Is terrestrial activity in Bornean orangutans natural or disturbance driven? Scientific Reports, 2014; 4 DOI: 10.1038/srep04024

source : link
0 komentar

Tahukah Anda, 10 Fakta si Unik Trenggiling

Diposting oleh Maysatria Label: Flora dan Fauna, Konservasi

Trenggiling mati sitaan Kementerian Kehutanan yang siap dimusnahkan. Foto: Sapariah Saturi

Trenggiling (Manis javanica) satwa dilindungi di Indonesia. Sayangnya, perdagangan ilegal begitu tinggi hingga populasi mereka makin terancam. Kondisi ini, dipicu harga trenggiling yang selangit, selain habitat yang rusak karena alih fungsi hutan yang merajalela . Satu sisik trenggiling seharga USS1-US$2! Belum lagi daging mereka, dipercaya mempunyai khasiat kesehatan dan menunjukkan status sosial.
Indonesia, sebagai daerah tropis merupakan salah satu negara yang menjadi ‘rumah’ satwa ini selain Burma, Thailand, Filipina, dan Laos. Di Indonesia, populasi trenggiling menyebar di Kalimantan, Sumatera, Bangka Jawa, dan Bali.
Satwa ini dikenal pemalu dan memiliki keunikan-keunikan lain. Ingin tahu apa saja itu? Bertepatan dengan Hari Trenggiling Dunia 15 Februari ini, mengutip dari Annamiticus.com, Mongabay, mengetengahkan, 10 fakta seputar trenggiling.
Trenggiling yang akan diselundupkan berhasil disita polisi Sumut pada 2013. Sayangnya, angka ini sangat kecil dibanding trenggiling yang berhasil lolos dibawa ke luar negeri. Foto: Ayat S Karokaro
  1. Ada delapan spesies trenggiling di dunia, empat di Afrika, empat di Asia.
  2. Lidah trenggiling ternyata lebih panjang dari tubuh satwa itu sendiri.
  3. Trenggiling bisa makan sebanyak 70 juta semut per tahun. Wow.
  4. Trenggiling tak punya gigi. Untuk makan mereka mengunyah dengan kerikil dan duri keratin yang ada di dalam perutnya.
  5. Satwa ini menutup telinga dan lubang hidup agar tak dimasuki serangga dari luar.
  6. Trenggiling menandai wilayah mereka dengan air kencing, tinja dan sekresi yang berbaur dengan kelenjar khusus.
  7. Si ibu trenggiling mengangkut anak-anak mereka menggunakan punggung dan ekor.
  8. Sekitar 20 persen dari berat trenggiling terdiri dari sisik.
  9. Sisik trenggiling terdiri dari keratin seperti kuku manusia.
  10. Puluhan ribu trenggiling liar dibunuh setiap tahun untuk dijual sisik maupun dagingnya.
Trenggiling yang dijual di tepi jalan. Foto: TRAFFIC

source : link
0 komentar

Dari Aceh, Sumut sampai Kalbar, Ribuan Hektar Hutan dan Lahan Gambut Terbakar

Diposting oleh Maysatria Label: News
kebakaran terjadi di lahan kebun sawit warga  di Aceh Barat . Pembukaan lahan gambut oleh warga untuk kebun sawit dengan  membakar di Aceh Barat. Asapun tebal. Foto: Chik Rini

Pembukaan lahan gambut oleh warga untuk kebun sawit dengan membakar di Aceh Barat. Asapun tebal. Foto: Chik Rini

Tak hanya Riau, kebakaran hutan dan lahan gambut juga melanda belahan daerah lain di Indonesia, seperti Aceh, Sumatera Utara sampai Kalimantan Barat. Ribuan lahan dilalap api, bahkan di Mandailing Natal, belasan rumah warga ikut terbakar.
Di Aceh, sudah seminggu ini, terkepung kabut asap menyusul kebakaran hutan dan lahan di 10 kabupaten sejak awal Februari 2014. Kebakaran makin meluas akibat kekeringan yang memicu cuaca panas sejak Desember 2013.
Menurut Husaini Syamaun, Kepala Dinas Kehutanan Aceh, Rabu (19/2/14) kebakaran lahan dan hutan terjadi di Kabupaten Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Singkil, Aceh Tengah, Bener Meriah, Pidie, Gayo Lues dan Aceh Tenggara.
Kebakaran ini, katanya, sebagian besar, akibat pembukaan lahan untuk perkebunan oleh masyarakat di luar kawasan hutan. Namun, di Aceh Jaya, ada kawasan hutan produksi terbakar, dan di Aceh Tenggara, kebakaran di Taman Nasional Gunung Leuser.
Kebakaran terparah, di lahan gambut di Teunom Kabupaten Aceh Jaya, Tripa di Kecamatan Babahrot Aceh Barat Daya dan HGU perkebunan sawit PT. Nafasindo dan lahan warga di Aceh Singkil. Lahan yang dibakar warga bergambut hingga menjadi tidak terkendali. Asap kebakaran menyebabkan sebagian wilayah Aceh tertutup kabut asap selama sepekan.
Husaini belum bisa memastikan berapa luas hutan dan lahan terbakar di Aceh.  Namun dipastikan lebih dari 1.000 hektar perkebunan masyarakat terbakar, seperti kebun sawit, karet dan coklat. “Untuk kawasan hutan yang terbakar belum ada perhitungan.”
Saat ini, katanya, pemerintah belum melakukan pemadaman menyeluruh. Ada upaya Dinas Kehutanan dan Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten di Aceh Jaya, Aceh Tengah dan Aceh Singkil memadamkan api dengan bantuan mobil pemadam kebakaran. “Kami memerintahkan para petugas pengaman hutan bersiaga dan mensosialisasikan kepada masyarakat tidak membakar lahan dan hutan.”
Data Badan Meteorologi dan Geofisika mencatat, terdapat 72 hotspot di Aceh terpantau melalui citra satelit. Ini kasus kebakaran lahan terluas yang pernah di Aceh selama lima tahun terakhir.
Kebun sawit warga yang terbakar di Aceh Barat. Foto: Chik Rini
Kebun sawit warga yang terbakar di Aceh Barat. Foto: Chik Rini
Kondisi serupa terjadi di Sumatera Utara (Sumut), ratusan hektar hutan dan lahan gambut di beberapa kabupaten di Sumatera Utara (Sumut) mengalami kebakaran hebat. Akibatnya, kabut asap cukup tebal bahkan, penerbangan di Bandara Internasional Kuala Namu pada pagi hari tertunda.
Data Balai Besar BMKG Wilayah I Medan, hasil pantauan Satelit NOOA-18 pada 16-19 Februari 2014 mulai pukul 01.00, di Sumut ditemukan ada 523 titik api (hotspot). Ketinggian asap kebakaran hutan sampai 10 meter untuk pepohonan, dan satu meter semak belukar. Pada level ketinggian itu, Trajectory massa udara asap kebakaran hutan, sebagian besar bergerak ke arah Barat Laut sampai Utara.
Adapun hotspot, terdapat di 10 wilayah di Sumut, yaitu Kecamatan Babalan, Kecamatan Medan Helvetia, Kecamatan Simpangempat (Kabupaten Karo); Kecamatan Panei Tengah, Kecamatan Kolang, Kecamatan Sidempuan Barat (Kota Padang Sidempuan); Kecamatan Batang Angkola, dan Kecamatan Natal (Kabupaten Mandailing Natal).
Kabut asap dari kebakaran hutan di Sumut dan Riau, menyebabkan Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, dan Kabupaten Serdang Bedagai, tertutup asap dan jarang pandang terbatas.
Di Bandara Kuala Namu International Airport (KNIA), kabut asap menyebabkan sejumlah keberangkatan ditunda. Pada Rabu (19/2/14) pagi  sejak pukul 06.00-10.30, bandara tertutup asap tebal akibat kebakaran hutan cukup luas.
Yono Lubis, aktivis pergerakan Setop Perambahan Hutan di Mandailing Natal (SPH Madina), Rabu (19/2/14), mengatakan, pembakaran lahan diduga dilakukan perusahaan yang tengah ekspansi sawit dan karet.
Hasil pengumpulan data mereka, kebakaran hutan itu karena ada perubahan dari hutan lindung menjadi perkebunan sawit dan karet. Ada juga eksplorasi tambang tradisional, oleh PT DIS dengan luas kebakaran mencapai 15 hektar.
Lalu, membakar hutan menjadi perkebunan diduga dilakukan PT MAL mencapai 800 hektar, dan PT Rendi diduga turut andil dengan areal terbakar 20 hektar.
Hutan menjadi lahan Transmigrasi SP I dan SP II, juga menimbulkan kebakaran di Madina, mencapai 100 hektar.  Selain perusahaan, katanya,  warga juga membakar kebun dan tak dikontrol hingga api menjalar. Kejadian ini menyebabkan sekitar 18 rumah di Desa Singkuang, Kecamatan Muara Batang Gadis, dilalap api.
Keadaan ini muncul karena kelemahan sistematis pemerintah, yang tak tegas terhadap pengusaha nakal yang nekat merambah hutan. Kebakaran yang terjadi di Madina, sebagian besar konsesi perusahaan dan hutan lindung Taman Nasional Batang Gadis.
Menurut dia, penebangan, pembakaran lahan, dan penyalahgunaan izin pengelolaan hutan, menjadi dasar utama kebakaran hutan di Madina.  Saat ini, ada empat kelompok mahasiswa dan pemuda asli Madina terus berjuang menolak perusakan hutan.
“Kami kalah, ketika duit sudah bicara menutup mulut mereka yang memegang kebijakan. Dampaknya, bisa dilihat sendiri, hutan rusak, kebakaran lahan, dan serapan air bawah tanah hilang akibat ekplorasi kebun sawit. Belum lagi hutan gambut sudah hancur.”
'Mantan' hutan yang siap disulap jadi perkebunan. Ia menjadi salah satu pemicu kebakaran di Sumut. Foto: Ayat S Karokaro
‘Mantan’ hutan yang siap disulap jadi perkebunan. Ia menjadi salah satu pemicu kebakaran di Sumut. Foto: Ayat S Karokaro
Ahmad Faisal, Kepala Bidang (Kabid) Bina Hutan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Madina, membenarkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan ini.
Dia mengatakan, titik api ini terlihat sejak 1 Februari 2014. Api makin besar. Pada Kamis (13/2/14), api meluas hingga membakar kebun dan rumah warga. Guna mengantisipasi api tak menjalar ke areal lain maka evakuasi warga dan pemadaman terus dilakukan. Namun dia belum bisa menjabarkan berapa luas lahan yang terbakar, karena fokus utama pemadaman api.”Saya masih di lapangan. Kita belum dapat menjabarkan berapa luas yang terbakar.”
Zulkhairi, Sekretaris Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Mandailing Natal, mengatakan, data awal mereka, setidaknya areal terbakar mencapai 100 hektar lebih.
Saat ini, mereka mengupayakan agar kebakaran lahan ini tak menelan korban jiwa. Bersama Pemerintah Madina, dan Dinas Kehutanan serta pemadam kebakaran, BPBD mencoba memadamkan api.
BPBD pun sudah membagi-bagikan masker penutup hidung. “Ini perlu agar warga tidak terserang infeksi pernafasan akut. Kita sudah bagikan masker. Warga diminta menjauh dari lokasi kebakaran agar tidak ada korban jiwa.”
Jamal Amri, Manager Area Service Bandara Kuala Namu, mengatakan, kabut asap sangat menganggu penerbangan. Ada dua maskapai menunda bekerangkatan, yakni Garuda Indonesia tujuan Medan-Batam, dan Malaysia Airlines tujuan Medan-Kuala Lumpur.
Sementara dari Kalbar, kebakaran sempat terjadi di beberapa wilayah. Namun, hujan yang mengguyur membuat hotspot dan asap berkurang. Arahan Menko Kesra, Kalbar diminta menentukan status bencana. “Hingga kini, masih melihat situasi. Pasalnya di sejumlah daerah sudah turun hujan. Kabut asap berkurang. Pada 17 Februari kali pertama penerbangan sesuai jadwal,” kata L Marpaung, Sekretaris Dinas Kehutanan Kalbar.
Dia mengatakan, titik api jauh lebih rendah, termasuk di kabupaten-kabupaten yang mempunyai titik api terbanyak, seperti Kota Pontianak, Kubu Raya dan Kabupaten Ketapang.
Galuh Januarti, dari UPT Kebakaran Hutan dan Lahan Dinas Kehutanan Kalbar, menambahkan, 15-16 Februari dari satelit NOAA terdata 32 hotspot. Pada 17 Februari nihil. Kebakaran yang terjadi, katanya, sebagian besar di luar kawasan hutan.
Data sebaran titik panas pantauan BMKG tak terlalu berbeda dengan satelit NOAA. Pada 18 Februari, ada 72 titik api. Kabupaten paling banyak titik api ialah Ketapang, di Kecamatan Pesaguan 32 titik api. Menyusul Kabupaten Pontianak, Kabupaten Kubu Raya, Sambas, Bengkayang, Pontianak dan Landak. Laporan dari Aceh, Medan dan Pontianak.
 Jika ingin melihat data kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, bisa klik di sini.
Tim gabungan berupaya memadamkan api yang membakar lahan gambut di Pontianak, Kalbar. Foto: Manggala Agni

source : link
0 komentar

Kaya Keragaman Hayati, Burung Indonesia Lakukan Pemulihan 256 Ribu Hektar Hutan Gorontalo

Diposting oleh Maysatria Label: Flora dan Fauna

Anoa dataran rendah, satwa Sulawesi,  yang makin terancam. Di Sulawesi, populasi satwa ini antara lain di Gorontalo. Foto: Wikipedia

Demi menjaga keragaman hayati di Gorontalo, Burung Indonesia akan menjalankan pengelolaan bentang alam berkelanjutan dan restorasi ekosistem di Gorontalo mulai 2014.
Dalam program ini, akan dilakukan pemulihan kawasan hutan Popayato-Paguat, dengan menghubungkan bentang alam lebih luas. Ia meliputi dua kawasan hutan konservasi yaitu Cagar Alam Panua dan Suaka Margasatwa Nantu, dan sembilan blok hutan lindung dengan luas total sekitar 256.000 hektar.
Amsurya Warman Amsa, Senior Wallacea Program Officer Burung Indonesia, menuturkan, tujuan utama program ini melestarikan keragaman hayati dan meningkatkan penghidupan masyarakat di sekitar hutan. Program lima tahun ini, katanya, mendapat dukungan penuh Pemerintah Jerman, yakni Federal Ministry for the Environment, Nature Conservation and Nuclear Safety (BMU) melalui Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) Development Bank.
“Program ini memang didesain memberikan manfaat kepada para pihak yang menekankan pencapaian penguatan sumber penghidupan masyarakat dan ketahanan ekosistem terhadap perubahan iklim,” katanya kepada Mongabay, Senin (17/2/14).
Hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Burung Indonesia tahun 2009 di blok hutan Popayato-Paguat, mengungkapkan, lebih dari 36 burung dan 10 mamalia endemik Sulawesi ada di Gorontalo.  Antara lain, maleo senkawor, julang sulawesi, anoa, dan babi rusa. Kondisi ini menunjukkan, Gorontalo merupakan daerah penting bagi keragaman hayati.
Amsurya mengungkapkan, hutan alam Popayato-Paguat, penting bagi keragaman hayati Sulawesi dan kelangsungan hidup daerah-daerah sekitar. Hutan alam ini, katanya, menjadi sumber mata air utama untuk empat sungai besar di Gorontalo yaitu Sungai Paguyaman, Sungai Malango, Sungai Taluditi, dan Sungai Wanggahulu.
Dian Agista, Kepala Divisi Konservasi Program Burung Indonesia, mengatakan, pengelolaan lintas fungsi hutan, non hutan perlu lestari untuk memberikan manfaat ekonomi dan ekologis optimal serta berkelanjutan.
Sejak 2009-2013, Burung Indonesia banyak pengkajian awal dan konsultasi terkait rencana pengembangan restorasi ekosistem (RE) dan memperkuat konektivitas bentang alam di Gorontalo. “Burung Indonesia juga mulai membangun kerjasama dengan pemerintah provinsi dan kabupaten serta masyarakat sekitar hutan.”

source : link
0 komentar

Lewat Mangrove, Indonesia Bisa Bantu Selamatkan Iklim Dunia

Diposting oleh Maysatria Label: Mangrove

Hutan mangrove yang telah dikonversi mejadi tambak di Kalimantan. Foto: Rhett Butler

Ekosistem mangrove memiliki arti penting bagi iklim global.  Dengan menyelamatkan mangrove berarti tiga miliar metriks ton karbon setidaknya tidak terlepas ke udara.  Hutan mangrove sendiri memiliki kemampuan empat kali lipat dari hutan biasa sebagai penyimpan cadangan karbon dalam tanah.  Dengan demikian mangrove merupakan ekosistem penting jika bicara tentang mitigasi iklim global.
Dengan menyelamatkan mangrove sekaligus bisa menjawab janji Presiden SBY kepada dunia untuk menurunkan emisi karbon Indonesia ke tingkat 26% (41% jika ada komitmen bantuan Internasional) pada tahun 2020.  Indonesia sendiri memiliki 3,2 juta hektar mangrove atau hampir seperempat kawasan mangrove yang ada di dunia.
Menurut Daniel Murdiyarso, peneliti iklim dari Pusat Penelitian Hutan Internasional (CIFOR), satu hektar mangrove mampu untuk menyerap antara 600-1800 ton karbon atau jika digunakan rataan maka 1.200 ton karbon dapat dipertahankan dalam 1 hektar bentang hutan mangrove.  Jika mangrove di Indonesia 3,2 juta hektar, sekurang-kurangnya 3 miliar metrik ton karbon dapat diselamatkan untuk tidak terlepas sebagai emisi ke udara.
“Namun itu hitung-hitungan di atas kertas, faktanya dari 3,2 juta hektar mangrove di Indonesia, hanya 46%-nya  yang masih baik,” demikian Bagus Herudojo Tjiptono, dari Dirjen BPDAS dan Perhutanan Sosial, Kemenhut menjelaskan dalam Talkshow Restorasi Penghidupan Pesisir di CIFOR, Bogor (20/02/2014).
“Rehabilitasi mangrove makan waktu dan biaya, dalam lima tahun terakhir Kemenhut merestorasi 31.600 hektar dari target 40.000 hingga akhir tahun 2014” jelasnya.
Kawasan mangrove sendiri yang masih baik sendiri di Indonesia berada di Papua, khususnya di kabupaten Mimika dan Asmat. Mangrove di Papua meliputi 69% kawasan mangrove yang ada di Indonesia.
Hutan mangrove yang dikeiola baik sebagai ekowisata, berlokasi di belakang SMA 8 Balikpapan. Foto: Aji Wihardandi
Seperti manusia, mangrove juga amat rentan terhadap perubahan bentang ekofisik, sebagai contoh menurut Herudojo, eks daerah tsunami di Aceh tidak semuanya dapat direhabilitasi karena substrat dasar telah berubah dari endapan lumpur berair yang cocok untuk mangrove menjadi bentang pasir yang membuat akar mangrove mudah terbawa arus samudera.
Kerusakan mangrove sendiri paling besar diakibatkan oleh tambak udang.  Hal ini tidak dipungkiri oleh Coco Kokarkin Soetrisno, dari Dirjen Pembudidayaan, KKP.  “Saat ini, Kementrian Kelautan dan Perikanan tidak lagi mengalokasikan dana untuk ekstensifikasi tambak udang, kami fokus hanya untuk tambak yang terlanjur sudah dibuka. Program kami adalah intensifikasi bukan lagi ekstensifikasi. Dua puluh persen area tambak harus tetap dijadikan mangrove,” jelas Coco.
“Program KKP saat ini sedang mengembangkan model akuakultur yang tidak lagi di areal mangrove, kami mencoba budidaya di area 12 mil dari tepi laut. Adapun di area mangrove hanya untuk usaha kecil,”  Di Indonesia sendiri menurut data KKP dari 682.858 hektar tambak yang ada, maka total terdapat 1,2 juta areal potensial untuk tambak.
Tidak semua bentang mangrove sebenarnya cocok untuk dibuka tambak udang intensif.  Senyawa pirit yang ada di area mangrove sendiri dapat menjadi racun bagi udang.
Ben Brown, peneliti dan aktivis penyelamat mangrove dari Mangrove Action Project menyebutkan sudah terlalu banyak contoh buruk dari pembukaan tambak, yang ujung-ujungnya tidak produktif dan memerlukan biaya pemulihan yang tinggi.
“Di Delta Mahakam, Kalimantan Timur, mangrove yang dibuka untuk tambak sudah lebih dari 60.000 hektar, sekarang rusak karena adanya endapan asam sulfat yang muncul terangkat dari area tersebut yang menyebabkan kematian udang. Mangrove hilang, tambak udang juga akhirnya  tidak produktif” papar Brown.
Menurut Ben Brown, mengelola mangrove unik, berbeda dengan hutan biasa, karena dapat dikatakan tidak terdapat kearifan lokal nenek moyang yang diwariskan ke generasi sekarang. “Dulu mereka tidak pernah diperhadapkan dengan kerusakan mangrove seperti sekarang, jadi mereka tidak pernah membudidayakan mangrove, saat ini mengelola mangrove dan memulihkannya kembali harus dilakukan dengan metode yang cocok.”
Ratusan hektar tanaman mangrove mengelilingi Kepulauan Tanakeke, yang menjaga pulau dari hantaman ombak, khusus di musim angin kencang. Untuk penyelamatan mangrove dari penebangan liar, warga dan pemerintah desa menginisiasi Peraturan Desa tentang Pengelolaan Mangrove. Foto: Wahyu Chandra

Pengelolaan Mangrove di Daerah
Meskipun secara umum masih banyak kendala yang dihadapi, namun terdapat beberapa praktek pengelolaan mangrove yang dapat dibanggakan.  Salah satunya di Tanakeke, Sulawesi Selatan  atas fasilitasi dari LSM Internasional Oxfam. Saat ini masyarakat telah mampu mendapat manfaat dari pengelolaan mangrove lestari.
Kunci dari pengelolaan mangrove oleh masyarakat sebenarnya adalah jika masyarakat mendapat insentif dari pengelolaan mangrove.  Masyarakat akan melestarikan mangrove jika mereka merasa mangrove merupakan kebutuhan, tanpa perlu disuruh-suruh karena bagian dari target proyek.  Di sisi lain, pengelolaan mangrove tidak akan berhasil, jika tidak ada kelembagaan yang kuat baik di tingkat masyarakat maupun di tingkat pemerintahan.
Mengelola mangrove juga merupakan proses untuk menjadi membangun kelembagaan demokrasi untuk masyarakat.  Jika tambak udang hanya dimiliki oleh satu orang dan orang lain menjadi karyawan tambak, maka di mangrove semua anggota masyarakat berkesempatan untuk sama-sama memanfaatkan lewat sebuah wadah pengaturan bersama.
Tidak semua cerita tentang pengelolaan mangrove baik, di Pohuwato, Gorontalo misalnya, bentang mangrove yang ada di cagar alam telah dikonversi menjadi tambak.  Di daerah Bengkalis propinsi Riau, mangrove yang terlanjur dikonversi menjadi perkebunanan kelapa dan karet oleh masyarakat, yang saat ini coba dipulihkan kembali menjadi mangrove seperti sediakala.
Kawasan Cagar Alam Tanjung Panjang di Desa Patuhu, Kecamatan Randangan, Pohuwato, Gorontalo. Kawasan ini telah berubah menjadi tambak ikan bandeng dan udang sejak tahun 1980-an. Foto: Christopel Paino
Cerita yang sama juga muncul di Balikpapan, Kalimantan Timur dimana keberadaan hutan mangrove terancam karena adanya rencana pembukaan jalan.  Di Sumatera Utara, berdasarkan laporan Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD), 90% mangrove yang ada di Sumatera Utara telah rusak parah.
Di tingkat pemerintah daerah juga masih ditemui kendala koordinasi pengelolaan mangrove dengan Pemerintah Pusat. Irmanto dari Dishut Kabupaten Mimika, Papua melaporkan tentang rencana pendirian pabrik semen di kawasan yang masuk dalam area mangrove, yang konon kabarnya mendapat ijin dari Pemerintah Pusat.
“Bagi kami di Papua, tantangannya berbeda jika di daerah lain bagaimana merestorasi mangrove, di Papua bagaimana mempertahankan kawasan mangrove yang masih baik,” tegas Irmanto.
Rencana Tata Ruang Wilayah menjadi kata kunci untuk penyelamatan mangrove.  Tanpa adanya komitmen dari Pusat dan Daerah dan tanpa adanya model insentif yang diberikan kepada Pemerintah Daerah, masyarakat dan swasta, iming-iming menggiurkan ekonomi untuk mengkonservasi mangrove akan tetap tinggi.

Source : link
0 komentar

Sponsored

  • banners
  • banners
  • banners
  • banners

Kategori

  • Flora dan Fauna (128)
  • Forestry (312)
  • Mangrove (82)

Archive

  • ►  2015 (20)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (17)
  • ▼  2014 (43)
    • ►  Agustus (13)
    • ►  Mei (9)
    • ►  April (8)
    • ▼  Februari (6)
      • Ekstra Ruang Hijau, Akan Selamatkan Spesies Asli P...
      • Penelitian: Orangutan Semakin Sering Turun dari Pe...
      • Tahukah Anda, 10 Fakta si Unik Trenggiling
      • Dari Aceh, Sumut sampai Kalbar, Ribuan Hektar Huta...
      • Kaya Keragaman Hayati, Burung Indonesia Lakukan Pe...
      • Lewat Mangrove, Indonesia Bisa Bantu Selamatkan Ik...
    • ►  Januari (7)
  • ►  2013 (309)
    • ►  Desember (14)
    • ►  November (97)
    • ►  Oktober (28)
    • ►  September (36)
    • ►  Agustus (11)
    • ►  Juli (20)
    • ►  Juni (19)
    • ►  April (20)
    • ►  Maret (20)
    • ►  Februari (19)
    • ►  Januari (25)
  • ►  2012 (97)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (25)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (15)
    • ►  April (9)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (19)
    • ►  Januari (16)
  • ►  2011 (323)
    • ►  Desember (52)
    • ►  November (27)
    • ►  Oktober (12)
    • ►  Agustus (12)
    • ►  Juli (5)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (16)
    • ►  Maret (24)
    • ►  Februari (122)
    • ►  Januari (44)
  • ►  2010 (105)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (22)
    • ►  Agustus (79)

_______________

_______________

 

© My Private Blog
designed by Website Templates | Bloggerized by Yamato Maysatria |