Subak, salah satu sistem irigasi tradisional di Bali yang memberikan pasokan air untuk pertanian setempat secara berkelanjutan. Foto: Rhett Butler
Suhu Bumi yang terus meningkat diperkirakan akan memberikan dampak yang membahayakan bagi sektor pertanian dan suplai pangan dunia, karena hal ini akan mengurangi hasil dari beberapa komoditi utama, sementara permintaan terus melonjak seiring dengan bertambahnya populasi. Sebuah penelitian terbaru mengungkapkan berkurangnya air bersih yang digunakan untuk irigasi bahkan bisa menggandakan dampak pemanasan global terhadap sektor pertanian.
Melihat fenomena emisi Gas Rumah Kaca yang terjadi saat ini, model
yang dibangun dalam penelitian ini memperkirakan bahwa perubahan iklim
akan secara langsung mengurangi produksi pangan terutama jagung,
kedelai, gandum dan beras sebanyak 43% di akhir abad ke-21. Sementara
model hidrologi yang digunakan untuk penelitian ini melihat dampak
pemanasan global terhadap suplai air bersih memperlihatkan dampak yang
lebih luas terhadap sektor pertanian, terutama adanya perubahan sekitar
20 hinga 60 juta hektar lahan pertanian yang kini bergantung pada
irigasi kembali berubah menjadi pertanian tadah hujan.
“Ini adalah dampak yang besar, dan sebuah efek yang pada dasarnya
berada dalam tataran yang sama sebagai bagian dari dampak perubahan
iklim,” ungkap seorang pakar dari Computation Institute Center for
Robust Decision Making on Climate and Energy Policy (RDCEP) di Argonne
National Laboratory, Joshua Elliott. “Jadi dampak terbatasnya keberadaan
irigasi di beberapa wilayah bisa menggandakan dampak perubahan iklim.”
Penelitian ini dipimpin oleh Elliott dan beberapa rekannya dari
proyek bernama Agricultural Model Intercomparison and Improvement
Project (AgMIP). Penelitian ini sendiri sudah diterbitkan di jurnal
ilmiah Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS)
pada tanggal 16 Desember silam sebagai bagian dari 12 kajian ilmiah yang
dimuat untk proyek Inter-Sectoral Impacts Model Intercomparison Project
atau ISI-MIP.
Model pertanian dan model hidrologis sangat mempengaruhi iklim, namun
dibuat oleh komunitas ilmiah yang berbeda untuk tujuan yang berbeda.
Model pertanian memberikan simulasi bagaimana suhu, penguapan dan
faktor-faktor iklim lainnya mempengaruhi hasil dari berbagai tanaman
pertanian, sementara model hidrologis memperkirakan
kaakteristik-karakteristik khusus terkait keberadaan air, seperti
misalnya aliran air, keberadaan air dan faktor cuaca seperti badai.
Dua model berbeda ini saling berkaitan dalam memperkirakan jumlah air
yang digunakan dalam irigasi pertanian, yang merupakan penggunaan air
bersih yang terbesar oleh manusia pada saat ini. Namun saat penelitian
Elliott dan sejumlah rekannya memberikan masing-masing model ini dengan
prakiraan iklim yang sama, keduanya memberikan prediksi yang sangat
berbeda tentang kebutuhan air bersih yang digunakan oleh irigasi di masa
depan.
Para peneliti menemukan perbedaan dalam bagaimana model hidrologi
menggabungkan proses seperti siklus karbon dan produktivitas air tanaman
jika dibandingkan dengan model pertanian – sebuah temuan yang akan
membantu membuat model yang ada lebih akurat .
“Ini benar-benar studi pertama di mana multi-faktor model hidrologi
dibandingkan dengan multi-faktor model tanaman,” kata Elliott.
Perbandingan juga memberikan horison baru tentang potensi konsekuensi
perubahan iklim terhadap sektor pertanian. Karena perubahan iklim saja,
model ini memprediksi kerugian antara 400 dan 2600 petacalories pasokan
pangan, 8-43 persen dari kondisi saat ini. Namun karena penurunan
ketersediaan air tawar -dan konversi terkait lahan pertanian irigasi
hujan- makan model ini memprediksi kerugian tambahan 600-2900
petakalori, seperti diungkapkan oleh para peneliti.
Namun, kendati model penelitian ini memprediksi kekurangan air bersih
di beberapa daerah di dunia, seperti Amerika Serikat bagian barat,
India dan China, daerah lain mungkin justru akan mengalami surplus air
bersih. Dengan mendistribusikan kelebihan air untuk memulihkan atau
menambah irigasi untuk areal tanaman hujan-makan bisa mengurangi
beberapa konsekuensi dari perubahan iklim pada irigasi dan pertanian,
kata Elliott.
“Kami menemukan bahwa penggunaan maksimal yang tersedia Surplus air
bersih bisa memperbaiki antara 12 dan 57 persen dari efek negatif
langsung perubahan iklim terhadap produksi pangan,” kata Elliott.
“Namun, ada banyak alasan politik, ekonomi dan infrastruktur yang
berbeda mengapa Anda menganggap bahwa untuk menjadi terlalu optimis.”
“Memahami implikasi perubahan iklim terhadap ketersediaan air tawar
adalah kunci untuk tujuan keamanan pangan masa depan masyarakat,” kata
Cynthia Rosenzweig, salah satu peneliti utama AgMIP. “Pola pendekatan
AgMIP dengan multi-model ini memungkinkan kemajuan dalam penelitian
tentang bagaimana perubahan iklim akan mempengaruhi pertanian di seluruh
dunia dan air adalah komponen penting.”
CITATION: Joshua Elliott, Delphine Deryng, Christoph
Müller, Katja Frieler, Markus Konzmann, Dieter Gerten, Michael Glotter,
Martina Flörke, Yoshihide Wada, Neil Best, Stephanie Eisner, Balázs M.
Fekete, Christian Folberth, Ian Foster, Simon N. Gosling, Ingjerd
Haddeland, Nikolay Khabarov, Fulco Ludwig, Yoshimitsu Masaki, Stefan
Olin, Cynthia Rosenzweig, Alex C. Ruane, Yusuke Satoh, Erwin Schmid,
Tobias Stacke, Qiuhong Tang, and Dominik Wisser. Constraints and potentials of future irrigation water availability on agricultural production under climate change. PNAS, December 16, 2013 DOI: 10.1073/pnas.1222474110
Source : link
Source : link
0 komentar:
Posting Komentar