Foto dari ketinggian: hutan yang berubah menjadi kawasan perkebunan. Foto: Rhett Butler
Tahun 2013 penuh dengan berbagai perkembangan dalam upaya memahami dan melindungi hutan hujan tropis dunia, Tulisan ini, adalah sebuah kilas balik dari berbagai upaya untuk melindungi hutan hujan tropis yang sudah terjadi sepanjang tahun 2013, khususnya di Indonesia. Dalam tulisan aslinya, Rainforest News Review 2013, Rhett Butler membuat versi yang lebih panjang dengan cakupan kilas balik upaya perlindungan hutan tropis di level internasional, meliputi Asia, Afrika hingga Amerika Latin. Namun tulisan ini, saya fokuskan dalam konteks hutan hujan tropis Indonesia.
Kebijakan Konservasi Hutan Sejumlah Perusahaan
Salah satu hal yang paling menonjol di tahun 2013 adalah munculnya
berbagai upaya sejumlah perusahaan yang selama ini dikenal sebagai salah
satu penyebab deforestasi di hutan hujan tropis di Indonesia untuk
mengadopsi kebijakan nol deforestasi untuk melakukan proses produksi
mereka. Dua yang terbesar adalah di sektor produksi kertas dan bubur
kertas, serta kelapa sawit.
Pada bulan Februari 2013, Asia Pulp & Paper (APP), salah satu
produsen kertas terbesar dunia menyatakan komitmen mereka untuk
melindungi hutan yang bernilai konservasi tinggi dan hutan yang memiliki
kandungan karbon tinggi di dalam wilayah konsesi mereka, dan juga
mencegah konflik dengan masyarakat lokal dalam proses produksi mereka.
Kebijakan ini diterapkan di semua wilayah perkebunan mereka di seluruh
dunia, dengan cara melakukan penilaian lingkungan secara mendalam
sebelum membuka perkebunan baru. Lewat kebijakan baru ini, APP hanya
akan menerima serat kayu dari lahan yang termasuk perkebunan lama. Dalam
mengimpelementasikan kebijakan ini, APP dipandu oleh The Forest Trust,
sebuah lembaga konsultasi di bidang kehutanan yang pernah bekerjasama
dengan perusahaan kelapa sawit besar di Indonesia, Golden Agri Resources
pada tahun 2011.
Langkah yang diambil oleh APP ini dinilai signifikan karena selama
ini mereka dinilai sebagai salah satu perusahaan yang menimbulkan
kerugian lingkungan di Indonesia, dan menyebabkan deforestasi atau
penggundulan hutan dalam skala besar di hutan yang kaya dan lahan gambut
yang menyimpan cadangan karbon tinggi. Melihat rekam jejak perusahaan
ini, sejumlah pihak menanggapi kebijakan baru APP ini dengan skeptis.
Namun sepuluh bulan setelah APP menjalankan kebijakan ini, salah satu
“musuh” besar mereka yaitu Greenpeace menyatakan bahwa kebijakan yang
dilakukan ini cukup menjanjikan. Sementara lembaga lain yang ikut
memantau kebijakan APP ini, seperti Rainforest Action Network (RAN) WWF
dan Greenomics-Indonesia terus memantau perusahaan-perusahaan penyuplai
APP. Dalam laporan yang diterbitkan secara internal sendiri APP sudah
melaporkan dua pelanggaran yang terjadi dalam kebijakan mereka sendiri.
Kebijakan konservasi hutan yang diluncurkan oleh APP ini terkait
dengan gelombang penolakan sejumlah perusahaan penerbit besar dunia
untuk membeli produk APP, seperti yang dinyatakan oleh penerbit asal AS,
HarperCollins pada bulan Januari tahun ini. Di sisi lain, kebijakan
yang dilakukan oleh APP ini juga semakin menekan perusahaan pesaing APP
dalam bisnis kertas, seperti APRIL yang hingga saat ini tidak memiliki
kebijakan konservasi hutan dan mash menebang hutan gambut di Propinsi
Riau.
Sembilan bulan setelah APP menandatangani kebijakan konservasi hutan
mereka, produsen kelapa sawit yang berbasis di Singapura, Wilmar juga
meluncurkan komitmen serupa. Hal ini, jika berhasil akan mampu mengubah
industri kelapa sawit dunia, yang selama ini dituding sebagai salah satu
penyebab terjadinya kerusakan hutan tropis di dunia, terutama
Indonesia.
Kebijakan Wilmar ini muncul setelah berbulan-bulan melakukan
konsultasi dan diskusi degan TFT, Unilever, sebagai pembeli terbesar
kelapa sawit industri dan lembaga Climate Advisers, sebuah konsultan
yang fokus di bidang perubahan iklim. Kebijakan yang dilakukan oleh
Wilmar ini meliputi dimensi deforestasi, alih fungsi lahan gambut dan
Hak Asasi Manusia dan diterapkan di seluruh wilayah operasi perusahaan
ini, baik itu perkebunan, pengolahan, maupun pabrik. Hal ini juga
termasuk di bidang perusahaan lain milik Wilmar seperti gula dan
kedelai.
Sejumlah perusahaan produk makanan dunia, sepert Unilever dan Nestle
yang menerima tekanan besar dari sejumlah organisasi lingkungan untuk
membeli produk kelapa sawit yang diproduksi secara ramah lingkungan,
memberi dampak bagi munculnya kebijakan yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan produsen kelapa sawit seperti Wilmar, karena
perusahaan makanan dunia ini akhirnya batasan yang lebih tinggi dalam
membeli produk kelapa sawit.
Kelapa Sawit dan Deforestasi
Perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus bertambah luar biasa
kendati harga minyak kelapa sawit dunia meningkat. Hal ini telah
menyebabkan sejumlah konflik sosial yang tak kunjung usai, salah satunya
adalah skandal PT Asiatic Persada yang menggunakan jasa aparat keamanan
untuk mengusir Suku Anak Dalam, warga asli di Jambi dari wilayah
tinggal mereka.
Greenpeace telah menerbitkan laporan bahwa produksi kelapa sawit
adalah salah satu penyebab tunggal terbesar deforestasi di Indonesia,
yang mencapai sekitar seperempat jumlah kehilangan total area hutan di
Indonesia sepanjang tahun 2009 hingga 2011. Sejumah kajian yang
diterbitkan oleh Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) memperkirakan
sekitar 3,5 juta hektar hutan d Indonesia, Malaysia dan Papua Nugini
telah diubah menjadi perkebunan kelapa sawit antara tahun 1990 hingga
2010. Proporsi atau perimbangan konversi hutan secara berurutan terbesar
terjadi di wilayah Papua (sekitar 61% atau 33.600 hektar didirikan di
hutan alam), Sabah (62%, atau sekitar 714.000 hektar) dan Papua Nugini
(54%, atau sekitar 41.700 hektar), diikuti oleh Kalimantan (44%, atau
sekitar 1.23 juta hektar), Sarawak (48%, 471.000 hektar), Sumatera (25%,
883.000 hektar) dan Semenanjung Malaysia (28%, atau sekitar 318.000
hektar).
RSPO sendiri telah menyetujui diterapkannnya “Prinsip dan Kriteria”
(P&C) untuk meningkatkan standar sertifikasi kelapa sawit ramah
lingkungan. Namun sejumlah lembaga lingkungan meihat bahwa standar ini
belum memasukkan perhitungan emsisi Gas Rumah Kaca yang akan mencegah
konversi lahan gambut untuk perkebunan. Sejumlah perusahaan kelapa sawit
sendiri memprotes prinsip-prinsip baru ini karena dinilai terlalu ketat
dan mengancam akan meninggalkan lembaga ini, dan bergabung dengan
standar sertifikasi yang dilakukan oleh Malaysia, yang memiliki standar
lebih rendah.
2013: Tahun Signifikan Bagi Hutan Indonesia
Tahun 2013 dibuka dengan kontroversi atas usulan revisi rencana tata
ruang Aceh yang mengatur penggunaan lahan di provinsi ini. Rencana tata
ruang yang dibuat Gubernur Aceh Zaini Abdullah ini sangat dipengaruhi
oleh kepentingan para pebisnis di sektor pertambangan, kayu, dan
perkebunan, akan memberikan dampak pada ribuan hektar hitan yang
sebelumnya tertutup untuk konversi industri. Pemerhati lingkungan
mengatakan, perubahan ini jika disetujui oleh pemerintah pusat akan
membuat habitat kunci bagi orangutan yang terancam punah, juga harimau,
badak, dan gajah menjadi semakin beresiko. Rencana baru itu dikecam oleh
sekelompok ilmuwan selama pertemuan ATBC (Asian Tropical Biology
Conservation) di Aceh pada bulan Maret silam.Pada bulan Februari, Asia Pulp & Paper mengumumkan kebijakan
konservasi hutan yang yang memberikan komitmen perusahaan ini untuk
tidak mengambil sumber serat kayu dari hutan alam dan lahan gambut. Hal
ini berpotensi menempatkan raksasa bisnis kehutanan ini menuju operasi
produksi yang secara signifikan lebih ramah lingkungan di masa
mendatang. Sementara beberapa LSM menyatakan keraguan tentang komitmen
ini, kebijakan itu didukung oleh keputusan Greenpeace untuk menghentikan
sejumlah kampanye panjang yang selama ini menuding APP sebagai salah
satu perusahaan yang melakukan perusakan hutan tropis Indonesia.
Sementara itu perusahaan satu grup APP, yaitu produsen minyak kelapa
sawit Golden Agri Resources (GAR), juga dinilai terus membuat kemajuan
dalam pelaksanaan kebijakan konservasi hutan yang sama, menurut laporan
pihak ketiga. Raksasa minyak sawit ini mengatakan akan meninggalkan
pengembangan perkebunan kelapa sawit di daerah hutan hujan di Papua
untuk mematuhi kebijakan tersebut. Sementara itu GAPKI atau Gabungan
Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia mengatakan akan mendukung pertukaran
lahan (Land swap) sebagai sarana untuk mengurangi emisi karbon dari
deforestasi sekaligus memperluas produksi mereka.
Pada bulan Maret, sebuah pertemuan yang membahas tentang badak di
Asia Tenggara yang digelar di Singapura menyimpulkan bahwa hanya 100
badak Sumatera dan 40 badak Jawa saat ini yang bertahan hidup di alam
liar. Para pejabat Malaysia membuka kemungkinan mentransfer badak
Sumatera dari Sabah ke Indonesia sebagai bagian dari upaya terakhir
untuk menyelamatkan spesies unik ini dari kepunahan. Pada bulan April,
WWF memicu kontroversi ketika mengumumkan penampakan pertama dari badak
Sumatera di Pulau Kalimantan, Indonesia dalam 40 tahun terakhir. Kritik
mengatakan, WWF seharusnya merahasiakan hal ini untuk mengurangi
kemungkinan pemburu cula badak mencari lokasi penemuan ini. WWF sendiri
menanggapi, bahwa tindakan pencegahan telah diambil untuk melindungi
populasi badak yang ada di Kabupaten Kutai Barat ini.
Pada bulan April, Indonesia menyambut kapal milik Greenpeace, Rainbow
Warrior, yang kembali ke perairan nusantara untuk pertama kalinya sejak
diusir pada bulan Oktober 2010 silam. Keberadaan Rainbow Warrior di
Indonesia adalah sebagai bagian dari kampanye peningkatan kesadaran
lingkungan yang digelar oleh Greenpeace. Presiden Indonesia Susilo
Bambang Yudhoyono bahkan menyempatkan untuk mengunjungi kapal ini dan
bertemu dengan Direktur Eksekutif Greenpeace Internasional, Kumi Naidoo.
Pada bulan Mei, Mahkamah Konstitusi membatalkan klaim Pemerintah
Indonesia terhadap jutaan hektar lahan hutan yang dianggap sebagai hutan
negara. Keputusan MK ini memberikan hak kepada masyarakat adat dan
lokal untuk mengelola hutan adat mereka. Keputusan itu muncul setelah
penilaian ulang terhadap Undang-Undang Kehutanan tahun 1999, dan
Mahkamah Konstitusi Indonesia memutuskan bahwa hutan adat tidak harus
diklasifikasikan sebagai ” Kawasan Hutan Negara “. Langkah ini sangat
penting karena pemerintah pusat Indonesia memegang kontrol atas kawasan
hutan yang luas di negara ini, dan secara efektif memungkinkan lembaga
seperti Departemen Kehutanan untuk memberikan konsesi besar untuk
perusahaan untuk melakukan pembukaan perkebunan, bahkan jika daerah
tersebut telah dikelola selama beberapa generasi oleh masyarakat
setempat . Dalam prakteknya itu berarti hutan yang dimiliki oleh
masyarakat adat sebagai pemegang konsesi penebangan secara selektif
dapat dibuldoser untuk industri perkayuan, produksi pulp dan kertas, dan
perkebunan kelapa sawit. Dalam banyak kasus, konversi hutan untuk
industri memicu perlawanan keras dari masyarakat setempat, yang jarang
mendapat manfaat dari perampasan tanah adat mereka. Organisasi Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), yang mewakili masyarakat adat di
seluruh nusantara dan bertanggung jawab untuk mendorong peninjauan ulang
ini mengatakan, putusan ini mempengaruhi hak kepemilikan dan
pengelolaan 30 persen kawasan hutan di Indonesia atau sekitar 40 juta
hektar.Pada bulan yang sama, Presiden Yudhoyono mengumumkan untuk
memperpanjang moratorium penebangan hutan dan pembukaan konsesi
perkebunan baru di hutan seluas 65 juta hektar dan lahan gambut selama
dua tahun mendatang. Moratorium adalah sebagai bagian dari upaya
pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, yang
sebagian besar dihasilkan dari deforestasi dan degradasi lahan gambut
yang padat karbon. Moratorium ini ditandatangani setelah Norwegia
menjanjikan satu miliar dolar terhadap rencana deforestasi pengurangan
Indonesia. Pembayaran yang dilakukan oleh Norwegia akan bersandar pada
keberhasilan Indonesia dalam mengurangi hilangnya hutan .
Pada bulan Juni, The Jakarta Globe melaporkan bahwa dua
perusahaan China, yaitu China Power Investment Corporation dan Anhui
Conch Cement berencana menginvestasikan $ 17 miliar pada sebuah proyek
bendungan di Kalimantan Utara, dan telah menimbulkan kekhawatiran
sebagian besar hutan di provinsi ini bisa segera berubah menjadi kawasan
industri. Di Sumatera, kebakaran hutan yang terjadi akibat pembukaan
lahan telah menyebabkan munculnya kabut asap yang memberi dampak parah
terhadap negara tetangga Singapura dan Malaysia. Menurut analisis World
Resources Institute, Greenpeace, CIFOR, dan Eyes on the Forest
menunjukkan bahwa sebagian besar kebakaran hutan yang terjadi di
Sumatera ini berada di lahan gambut yang dibuka untuk perkebunan kelapa
sawit, kayu, dan perkebunan akasia untuk bubur kertas. Masalah kabut ini
sekaligus menyoroti sejumlah masalah di sektor kehutanan dan perkebunan
di Indonesia, termasuk proses penerbitan izin yang tumpang tindih,
kurangnya transparansi di sekitar konsesi kehutanan, dan penegakan hukum
yang lemah.
Australia mengumumkan telah mengakhiri proyek REDD+ yang banyak
digembar-gemborkan di Kalimantan, yang sebelumnya bertujuan untuk
menanam 100 juta pohon dan melindungi 70.000 hektar hutan gambut , serta
daerah yang mengalami banjir akibat rawa yang dikeringkan. Proyek ini
mengalami kesulitan di lapangan karena lambatnya persetujuan pemerintah
dan munculnya berbagai keberatan dari masyarakat lokal dan pejabat .
Pada bulan Juli, laporan dari Human Rights Watch merinci tingginya
biaya korupsi di sektor kehutanan Indonesia. Penilaian tersebut
memperkirakan bahwa korupsi dan salah kelola di sektor ini menghasilkan
kerugian sekitar 7 miliar dollar AS dalam kurun waktu 2007-2011. Hal ini
sekaligus memunculkan pertanyaan tentang kemampuan pemerintah untuk
melaksanakan program REDD+. Apalagi, sebuah laporan dari PBB memberi
nilai yang rendah dalam tata kelola hutan Indonesia.
APRIL atau Asia Pacific Resources Interntional Limited, yang
merupakan pesaing terbesar APP dalam bisnis kertas dunia, akhirnya
melepaskan diri dari proses sertifikasi Forest Stewardship Council (FSC)
atas dugaan pelanggaran kebijakan pengelolaan hutan. Pihak FSC secara
resmi mengakhiri hubungannya dengan APRIL pada bulan Agustus, yang
berarti perusahaan ini tidak bisa lagi menggunakan label FSC pada
produk-produknya, yang berkisar dari kertas untuk kardus kemasan
selulosa yang digunakan dalam filter rokok. APRIL telah menjadi target
kampanye selama bertahun-tahun oleh kelompok-kelompok lingkungan karena
konversi skala besar hutan alam dan lahan gambut di Pulau Sumatera untuk
Hutan Tanaman Industri mereka.
Sebuah laporan pada bulan September dari Greenpeace menyatakan bahwa
minyak sawit merupakan faktor pendorong terbesar dari deforestasi di
Indonesia, tak kurang dari sekitar seperempat dari deforestasi di negara
ini antara tahun 2009 hingga 2011. Sejumlah lembaga lingkungan kemudian
metargetkan beberapa produsen minyak sawit besar karena dugaan menjadi
penyebab kerusakan lingkungan, termasuk membuka hutan gambut dan habitat
orangutan. Sebuah laporan yang diterbitkan oleh RSPO, memperkirakan
bahwa lebih dari 2,1 juta hektar hutan dibuka untuk perkebunan kelapa
sawit antara 1990 hingga 2010.
Superstar Hollywood, Harrison Ford menimbulkan kegemparan saat
syuting untuk sebuah segmen di film serial TV terbaru, The Years of
Living Dangerously. Ini adalah sebuah film dokumenter yang diproduksi
oleh Showtime terkait isu perubahan iklim. Ford mengunjungi lokasi
syuting Taman Nasional Tesso Nilo di Propinsi Riau, Sumatera sebelum
bertemu dengan para pemimpin bisnis dan pejabat di Jakarta . Seorang
pejabat mengancam akan mendeportasi aktor karena dinilai “menyerang”
Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dengan pertanyaan-pertanyaan sulit
tentang deforestasi.
Sebuah survei di hampir 200 komunitas di Kalimantan mendokumentasikan
penolakan yang luas terhadap deforestasi dalam skala besar. Penelitian
yang diterbitkan dalam jurnal PLoS ONE ini menemukan bahwa orang yang
tinggal di dekat hutan menempatkan nilai terbesar pada manfaat yang
mereka mampu, termasuk tanaman obat, permainan , air bersih , dan serat .
Pada bulan Oktober , Indonesia dan Uni Eropa menandatangani
Perjanjian Kemitraan Sukarela yang lama ditunggu-tunggu tentang
Pemerintahan Penegakan Hukum Kehutanan dan Perdagangan (FLEGT – VPA),
kebijakan ini adalah sebuah upaya untuk mengakhiri perdagangan produk
kayu ilegal dari Indonesia. Di bawah VPA, semua kayu yang diekspor ke
Uni Eropa dari Indonesia harus disertifikasi di bawah sistem verifikasi
yang diakui negara terkait legalitasnya, atau Sistem Verifikasi
Legalitas Kayu (SVLK), yang bertujuan untuk melacak balak produk kayu
dan memastikan kayu yang dipanen sesuai dengan hukum Indonesia .
Pada bulan Desember, Presiden Yudhoyono menunjuk Kepala Badan REDD+
yang didirikan pada bulan September. Heru Prasetyo, seorang
administrator dan mantan konsultan manajemen sektor swasta, dipilih
untuk bertugas melaksanakan program REDD+ di Indonesia, yang bertujuan
untuk mengarahkan negara Asia Tenggara jauh dari praktek pengelolaan
hutan yang tidak memenuhi koridor ramah lingkungan.
Program Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi (REDD +)
yaitu sebuah program PBB yang bertujuan untuk memberikan kompensasi
berbasis kinerja untuk negara-negara tropis untuk melindungi hutan,
akhirnya disetujui setelah tujuh tahun diskusi . Teks akhir memuat
beberapa pokok penting termasuk ketentuan safeguard; upaya
mengatasi deforestasi seperti konversi hutan alam untuk perkebunan, lalu
proses pengukuran, pelaporan dan verifikasi (MRV) dari emisi yang
berkaitan dengan hutan, lalu tingkat referensi untuk mengukur
pengurangan emisi dari deforestasi, serta skema keuangan. Persetujuan
formal akan memberikan jalan keluar untuk pasar REDD+ yang sempat
terhenti, yang telah mengalami ketidakpastian dan menyebabkan kurangnya
permintaan untuk kredit karbon, sehingga menyebabkan penurunan harga
karbon offset.
Meskipun mengalami ketidakpastian, beberapa proyek besar REDD+ terus
bergerak maju, termasuk proyek Surui di Brazil dan proyek Rimba Raya di
Kalimantan Tengah di Indonesia. Pada bulan Maret, Walt Disney Company
bahkan membeli kredit karbon senilai 3,5 juta dollar AS kredit karbon
yang dihasilkan dari proyek konservasi hutan hujan di Peru. Pada bulan
September, WCS mengumumkan bahwa kredit karbon dari proyek REDD+ di
Madagaskar timur laut telah disertifikasi untuk dijual.
Teknologi dan Konservasi
2013 juga merupakan tahun kemajuan yang signifikan untuk teknologi
yang digunakan dalam konservasi. Pada bulan Februari, NASA berhasil
meluncurkan Landsat 8. Satelit observasi Bumi yang akan memberikan citra
penting untuk memantau hutan tropis dunia. Ini adalah Landsat kedelapan
sejak peluncuran awal pada tahun 1972 .
Pada bulan November, peneliti merilis sebuah alat yang lama
ditunggu-tunggu yang mengungkapkan tingkat hilangnya tutupan hutan dan
keuntungan dalam skala global. Didukung oleh sistem komputasi besar dan
canggih dari Google, peta hutan interaktif ini membentuk dasar baru
untuk mengukur deforestasi dan tingkat pemulihan hutan di semua negara
di dunia, biomassa dan jenis hutan. Peta ini tidak membedakan antara
hutan alam dan perkebunan, tapi database yang adai akan mendukung
pengembangan lapisan tambahan, yang dapat digunakan untuk membuat
lapisan untuk menganalisis perkebunan kelapa sawit dan kayu, yang
memungkinkan pengguna untuk membedakan antara deforestasi, penanaman
kembali perkebunan, dan konversi hutan menjadi perkebunan. Secara
keseluruhan peta ini menemukan bahwa 2,3 juta kilometer persegi hutan
sudah hilang antara tahun 2000 hingga tahun 2012. Kehilangan hutan
tertinggi terjadi di daerah tropis, yang merupakan satu-satunya wilayah
di dunia di mana deforestasi meningkat.
Pada bulan Desember , Stanford University mengumumkan kursus online gratis yang mendemokratisasi proses pemantauan hutan dengan menawarkan pelatihan software monitoring
deforestasi. Juga pada bulan Desember, sebuah inisiatif kolaborasi yang
dikenal sebagai Tropical Ecology Assesment and Monitoring (TEAM)
menyatakan telah bermitra dengan HewlettPackard (HP) untuk memahami data
dari ribuan perangkap kamera di 14 negara. Program yang dipimpin oleh
Conservation International dan Wildlife Conservation Society ini sejauh
ini sudah berhasil melacak data pada 275 spesies dalam 17 kawasan
lindung.
Para peneliti menggunakan data dari citra satelit resolusi tinggi
milik Light Detection and Ranging (LIDAR) dari sensor berbasis pesawat
untuk menciptakan peta karbon hutan untuk Panama, dan sekaligus menandai
pertama kalinya seluruh negeri ini berhasil dipetakan secara rinci.
Peta itu menunjukkan variasi dalam kepadatan karbon hutan yang
dihasilkan dari ketinggian, kemiringan, iklim, jenis vegetasi, dan
cakupan kanopi .
Para ilmuwan membangun sebuah aplikasi yang secara otomatis
mengidentifikasi spesies dengan vokalisasi mereka. Platform ini, secara
rinci dibahas dalam edisi Juli jurnal PeerJ , telah digunakan di Puerto Rico dan Kosta Rika untuk mengidentifikasi katak, serangga, burung, dan monyet .
Dua teknologi berbasis ponsel yang ditujukan untuk menghentikan
pembalakan liar di Brazil dan Indonesia. Di Brazil, pemerintah memasang
perangkat nirkabel untuk menjaga pohon, alat ini dikenal dengan nama
Invisible Track yang akan mengirimkan sinyal saat pohon ditebang dan
dipindahkan. Di Sumatera, sebuah organisasi yang disebut Rainforest
Connection memasang unit untuk mendengarkan suara tembakan dan gergaji
mesin. Setiap suara yang cocok dengan kedua suara tersebut akan memicu
alarm peringatan yang disampaikan kepada otoritas lokal, yang
memungkinkan melakukan penindakan hukum dengan cepat.
Dan terakhir, revolusi drone atau pesawat tanpa awak untuk tujuan
konservasi dilanjutkan dengan puluhan proyek di seluruh dunia. Drone
konservasi, yang menggabungkan perangkat lunak pemetaan dengan model
pesawat khusus dan helikopter yangdigunakan untuk berbagai aplikasi ,
termasuk pemantauan, pengumpulan data dan pemetaan resolusi tinggi.