skip to main | skip to sidebar

Silva Dream

Konsep Bumi Kita

  • Home
  • Gallery
  • Contact me
  • About Me

Kamis, 02 Januari 2014

2013: Tahun Istimewa Untuk Hutan Indonesia

Diposting oleh Maysatria Label: News
Foto dari ketinggian: hutan yang berubah menjadi kawasan perkebunan. Foto: Rhett Butler

Foto dari ketinggian: hutan yang berubah menjadi kawasan perkebunan. Foto: Rhett Butler

Tahun 2013 penuh dengan berbagai perkembangan dalam upaya memahami dan melindungi hutan hujan tropis dunia, Tulisan ini, adalah sebuah kilas balik dari berbagai upaya untuk melindungi hutan hujan tropis yang sudah terjadi sepanjang tahun 2013, khususnya di Indonesia. Dalam tulisan aslinya, Rainforest News Review 2013, Rhett Butler membuat versi yang lebih panjang dengan cakupan kilas balik upaya perlindungan hutan tropis di level internasional, meliputi Asia, Afrika hingga Amerika Latin. Namun tulisan ini, saya fokuskan dalam konteks hutan hujan tropis Indonesia.
Kebijakan Konservasi Hutan Sejumlah Perusahaan
Salah satu hal yang paling menonjol di tahun 2013 adalah munculnya berbagai upaya sejumlah perusahaan yang selama ini dikenal sebagai salah satu penyebab deforestasi di hutan hujan tropis di Indonesia untuk mengadopsi kebijakan nol deforestasi untuk melakukan proses produksi mereka. Dua yang terbesar adalah di sektor produksi kertas dan bubur kertas, serta kelapa sawit.
Pada bulan Februari 2013, Asia Pulp & Paper (APP), salah satu produsen kertas terbesar dunia menyatakan komitmen mereka untuk melindungi hutan yang bernilai konservasi tinggi dan hutan yang memiliki kandungan karbon tinggi di dalam wilayah konsesi mereka, dan juga mencegah konflik dengan masyarakat lokal dalam proses produksi mereka. Kebijakan ini diterapkan di semua wilayah perkebunan mereka di seluruh dunia, dengan cara melakukan penilaian lingkungan secara mendalam sebelum membuka perkebunan baru. Lewat kebijakan baru ini, APP hanya akan menerima serat kayu dari lahan yang termasuk perkebunan lama. Dalam mengimpelementasikan kebijakan ini, APP dipandu oleh The Forest Trust, sebuah lembaga konsultasi di bidang kehutanan yang pernah bekerjasama dengan perusahaan kelapa sawit besar di Indonesia, Golden Agri Resources pada tahun 2011.
MTH di Sungai Siak yang siap dikirim ke pabrik APP. Foto: Eyes On The Forest
MTH di Sungai Siak yang siap dikirim ke pabrik APP. Foto: Eyes On The Forest
Langkah yang diambil oleh APP ini dinilai signifikan karena selama ini mereka dinilai sebagai salah satu perusahaan yang menimbulkan kerugian lingkungan di Indonesia, dan menyebabkan deforestasi atau penggundulan hutan dalam skala besar di hutan yang kaya dan lahan gambut yang menyimpan cadangan karbon tinggi. Melihat rekam jejak perusahaan ini, sejumlah pihak menanggapi kebijakan baru APP ini dengan skeptis. Namun sepuluh bulan setelah APP menjalankan kebijakan ini, salah satu “musuh” besar mereka yaitu Greenpeace menyatakan bahwa kebijakan yang dilakukan ini cukup menjanjikan. Sementara lembaga lain yang ikut memantau kebijakan APP ini, seperti Rainforest Action Network (RAN) WWF dan Greenomics-Indonesia terus memantau perusahaan-perusahaan penyuplai APP. Dalam laporan yang diterbitkan secara internal sendiri APP sudah melaporkan dua pelanggaran yang terjadi dalam kebijakan mereka sendiri.
Kebijakan konservasi hutan yang diluncurkan oleh APP ini terkait dengan gelombang penolakan sejumlah perusahaan penerbit besar dunia untuk membeli produk APP, seperti yang dinyatakan oleh penerbit asal AS, HarperCollins pada bulan Januari tahun ini. Di sisi lain, kebijakan yang dilakukan oleh APP ini juga semakin menekan perusahaan pesaing APP dalam bisnis kertas, seperti APRIL yang hingga saat ini tidak memiliki kebijakan konservasi hutan dan mash menebang hutan gambut di Propinsi Riau.
Sembilan bulan setelah APP menandatangani kebijakan konservasi hutan mereka, produsen kelapa sawit yang berbasis di Singapura, Wilmar juga meluncurkan komitmen serupa. Hal ini, jika berhasil akan mampu mengubah industri kelapa sawit dunia, yang selama ini dituding sebagai salah satu penyebab terjadinya kerusakan hutan tropis di dunia, terutama Indonesia.
Aksi Greenpeace membentangkan spanduk di konsesi Wilmar di Jambi. Foto: Greenpeace
Aksi Greenpeace membentangkan spanduk di konsesi Wilmar di Jambi. Foto: Greenpeace
Kebijakan Wilmar ini muncul setelah berbulan-bulan melakukan konsultasi dan diskusi degan TFT, Unilever, sebagai pembeli terbesar kelapa sawit industri dan lembaga Climate Advisers, sebuah konsultan yang fokus di bidang perubahan iklim. Kebijakan yang dilakukan oleh Wilmar ini meliputi dimensi deforestasi, alih fungsi lahan gambut dan Hak Asasi Manusia dan diterapkan di seluruh wilayah operasi perusahaan ini, baik itu perkebunan, pengolahan, maupun pabrik. Hal ini juga termasuk di bidang perusahaan lain milik Wilmar seperti gula dan kedelai.
Sejumlah perusahaan produk makanan dunia, sepert Unilever dan Nestle yang menerima tekanan besar dari sejumlah organisasi lingkungan untuk membeli produk kelapa sawit yang diproduksi secara ramah lingkungan, memberi dampak bagi munculnya kebijakan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan produsen kelapa sawit seperti Wilmar, karena perusahaan makanan dunia ini akhirnya batasan yang lebih tinggi dalam membeli produk kelapa sawit.
Kelapa Sawit dan Deforestasi
Perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus bertambah luar biasa kendati harga minyak kelapa sawit dunia meningkat. Hal ini telah menyebabkan sejumlah konflik sosial yang tak kunjung usai, salah satunya adalah skandal PT Asiatic Persada yang menggunakan jasa aparat keamanan untuk mengusir Suku Anak Dalam, warga asli di Jambi dari wilayah tinggal mereka.
Greenpeace telah menerbitkan laporan bahwa produksi kelapa sawit adalah salah satu penyebab tunggal terbesar deforestasi di Indonesia, yang mencapai sekitar seperempat jumlah kehilangan total area hutan di Indonesia sepanjang tahun 2009 hingga 2011. Sejumah kajian yang diterbitkan oleh Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) memperkirakan sekitar 3,5 juta hektar hutan d Indonesia, Malaysia dan Papua Nugini telah diubah menjadi perkebunan kelapa sawit antara tahun 1990 hingga 2010. Proporsi atau perimbangan konversi hutan secara berurutan terbesar terjadi di wilayah Papua (sekitar 61% atau 33.600 hektar didirikan di hutan alam), Sabah (62%, atau sekitar 714.000 hektar) dan Papua Nugini (54%, atau sekitar 41.700 hektar), diikuti oleh Kalimantan (44%, atau sekitar 1.23 juta hektar), Sarawak (48%, 471.000 hektar), Sumatera (25%, 883.000 hektar) dan Semenanjung Malaysia (28%, atau sekitar 318.000 hektar).
Aksi buruh sawit dan pegiat lingkungan di Medan, Sumut, di tengah berlangsung pertemuan tahunan RSPOI. Foto: Roby S Karokaro
Aksi buruh sawit dan pegiat lingkungan di Medan, Sumut, di tengah berlangsung pertemuan tahunan RSPOI. Foto: Roby S Karokaro
RSPO sendiri telah menyetujui diterapkannnya “Prinsip dan Kriteria” (P&C) untuk meningkatkan standar sertifikasi kelapa sawit ramah lingkungan. Namun sejumlah lembaga lingkungan meihat bahwa standar ini belum memasukkan perhitungan emsisi Gas Rumah Kaca yang akan mencegah konversi lahan gambut untuk perkebunan. Sejumlah perusahaan kelapa sawit sendiri memprotes prinsip-prinsip baru ini karena dinilai terlalu ketat dan mengancam akan meninggalkan lembaga ini, dan bergabung dengan standar sertifikasi yang dilakukan oleh Malaysia, yang memiliki standar lebih rendah.
2013: Tahun Signifikan Bagi Hutan Indonesia
Tahun 2013 dibuka dengan kontroversi atas usulan revisi rencana tata ruang Aceh yang mengatur penggunaan lahan di provinsi ini. Rencana tata ruang yang dibuat Gubernur Aceh Zaini Abdullah ini sangat dipengaruhi oleh kepentingan para pebisnis di sektor pertambangan, kayu, dan perkebunan, akan memberikan dampak pada ribuan hektar hitan yang sebelumnya tertutup untuk konversi industri. Pemerhati lingkungan mengatakan, perubahan ini jika disetujui oleh pemerintah pusat akan membuat habitat kunci bagi orangutan yang terancam punah, juga harimau, badak, dan gajah menjadi semakin beresiko. Rencana baru itu dikecam oleh sekelompok ilmuwan selama pertemuan ATBC (Asian Tropical Biology Conservation) di Aceh pada bulan Maret silam.Pada bulan Februari, Asia Pulp & Paper mengumumkan kebijakan konservasi hutan yang yang memberikan komitmen perusahaan ini untuk tidak mengambil sumber serat kayu dari hutan alam dan lahan gambut. Hal ini berpotensi menempatkan raksasa bisnis kehutanan ini menuju operasi produksi yang secara signifikan lebih ramah lingkungan di masa mendatang. Sementara beberapa LSM menyatakan keraguan tentang komitmen ini, kebijakan itu didukung oleh keputusan Greenpeace untuk menghentikan sejumlah kampanye panjang yang selama ini menuding APP sebagai salah satu perusahaan yang melakukan perusakan hutan tropis Indonesia.

Sementara itu perusahaan satu grup APP, yaitu produsen minyak kelapa sawit Golden Agri Resources (GAR), juga dinilai terus membuat kemajuan dalam pelaksanaan kebijakan konservasi hutan yang sama, menurut laporan pihak ketiga. Raksasa minyak sawit ini mengatakan akan meninggalkan pengembangan perkebunan kelapa sawit di daerah hutan hujan di Papua untuk mematuhi kebijakan tersebut. Sementara itu GAPKI  atau Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia mengatakan akan mendukung pertukaran lahan (Land swap) sebagai sarana untuk mengurangi emisi karbon dari deforestasi sekaligus memperluas produksi mereka.
Pada bulan Maret, sebuah pertemuan yang membahas tentang badak di Asia Tenggara yang digelar di Singapura menyimpulkan bahwa hanya 100 badak Sumatera dan 40 badak Jawa saat ini yang bertahan hidup di alam liar. Para pejabat Malaysia membuka kemungkinan mentransfer badak Sumatera dari Sabah ke Indonesia sebagai bagian dari upaya terakhir untuk menyelamatkan spesies unik ini dari kepunahan. Pada bulan April, WWF memicu kontroversi ketika mengumumkan penampakan pertama dari badak Sumatera di Pulau Kalimantan, Indonesia dalam 40 tahun terakhir. Kritik mengatakan, WWF seharusnya merahasiakan hal ini untuk mengurangi kemungkinan pemburu cula badak mencari lokasi penemuan ini. WWF sendiri menanggapi,  bahwa tindakan pencegahan telah diambil untuk melindungi populasi badak yang ada di Kabupaten Kutai Barat ini.
Tim survei baru menemukan jejak tapak badak. Foto: WWF-Indonesia
Tim survei baru menemukan jejak tapak badak. Foto: WWF-Indonesia
Pada bulan April, Indonesia menyambut kapal milik Greenpeace, Rainbow Warrior, yang kembali ke perairan nusantara untuk pertama kalinya sejak diusir pada bulan Oktober 2010 silam. Keberadaan Rainbow Warrior di Indonesia adalah sebagai bagian dari kampanye peningkatan kesadaran lingkungan yang digelar oleh Greenpeace. Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono bahkan menyempatkan untuk mengunjungi kapal ini dan bertemu dengan Direktur Eksekutif Greenpeace Internasional, Kumi Naidoo.
Pada bulan Mei, Mahkamah Konstitusi membatalkan klaim Pemerintah Indonesia terhadap jutaan hektar lahan hutan yang dianggap sebagai hutan negara. Keputusan MK ini memberikan hak kepada masyarakat adat dan lokal untuk mengelola hutan adat mereka. Keputusan itu muncul setelah penilaian ulang terhadap Undang-Undang Kehutanan tahun 1999, dan Mahkamah Konstitusi Indonesia memutuskan bahwa hutan adat tidak harus diklasifikasikan sebagai ” Kawasan Hutan Negara “. Langkah ini sangat penting karena pemerintah pusat Indonesia memegang kontrol atas kawasan hutan yang luas di negara ini,  dan secara efektif memungkinkan lembaga seperti Departemen Kehutanan untuk memberikan konsesi besar untuk perusahaan untuk melakukan pembukaan perkebunan, bahkan jika daerah tersebut telah dikelola selama beberapa generasi oleh masyarakat setempat . Dalam prakteknya itu berarti hutan yang dimiliki oleh masyarakat adat sebagai pemegang konsesi penebangan secara selektif dapat dibuldoser untuk industri perkayuan, produksi pulp dan kertas, dan perkebunan kelapa sawit. Dalam banyak kasus, konversi hutan untuk industri memicu perlawanan keras dari masyarakat setempat, yang jarang mendapat manfaat dari perampasan tanah adat mereka. Organisasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), yang mewakili masyarakat adat di seluruh nusantara dan bertanggung jawab untuk mendorong peninjauan ulang ini mengatakan, putusan ini mempengaruhi hak kepemilikan dan pengelolaan 30 persen kawasan hutan di Indonesia atau sekitar 40 juta hektar.Pada bulan yang sama, Presiden Yudhoyono mengumumkan untuk memperpanjang moratorium penebangan hutan dan pembukaan konsesi perkebunan baru di hutan seluas 65 juta hektar dan lahan gambut selama dua tahun mendatang. Moratorium adalah sebagai bagian dari upaya pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, yang sebagian besar dihasilkan dari deforestasi dan degradasi lahan gambut yang padat karbon. Moratorium ini ditandatangani setelah Norwegia menjanjikan satu miliar dolar terhadap rencana deforestasi pengurangan Indonesia. Pembayaran yang dilakukan oleh Norwegia akan bersandar pada keberhasilan Indonesia dalam mengurangi hilangnya hutan .

Perbandingan jumlah perkebunan HTI dan Luasan hutan primer yang dilindungi dalam program moratorium.
Pada bulan Juni, The Jakarta Globe melaporkan bahwa dua perusahaan China, yaitu China Power Investment Corporation dan Anhui Conch Cement berencana menginvestasikan $ 17 miliar pada sebuah proyek bendungan di Kalimantan Utara, dan telah menimbulkan kekhawatiran sebagian besar hutan di provinsi ini bisa segera berubah menjadi kawasan industri. Di Sumatera, kebakaran hutan yang terjadi akibat pembukaan lahan telah menyebabkan munculnya kabut asap yang memberi dampak parah terhadap negara tetangga Singapura dan Malaysia. Menurut analisis World Resources Institute, Greenpeace, CIFOR, dan Eyes on the Forest menunjukkan bahwa sebagian besar kebakaran hutan yang terjadi di Sumatera ini berada di lahan gambut yang dibuka untuk perkebunan kelapa sawit, kayu, dan perkebunan akasia untuk bubur kertas. Masalah kabut ini sekaligus menyoroti sejumlah masalah di sektor kehutanan dan perkebunan di Indonesia, termasuk proses penerbitan izin yang tumpang tindih, kurangnya transparansi di sekitar konsesi kehutanan, dan penegakan hukum yang lemah.
Australia mengumumkan telah mengakhiri proyek REDD+ yang banyak digembar-gemborkan di Kalimantan,  yang sebelumnya bertujuan untuk menanam 100 juta pohon dan melindungi 70.000 hektar hutan gambut , serta daerah yang mengalami banjir akibat rawa yang dikeringkan. Proyek ini mengalami kesulitan di lapangan karena lambatnya persetujuan pemerintah dan munculnya berbagai keberatan dari masyarakat lokal dan pejabat .
Pada bulan Juli, laporan dari Human Rights Watch merinci tingginya biaya korupsi di sektor kehutanan Indonesia. Penilaian tersebut memperkirakan bahwa korupsi dan salah kelola di sektor ini menghasilkan kerugian sekitar 7 miliar dollar AS dalam kurun waktu 2007-2011. Hal ini sekaligus memunculkan pertanyaan tentang kemampuan pemerintah untuk melaksanakan program REDD+. Apalagi, sebuah laporan dari PBB memberi nilai yang rendah dalam tata kelola hutan Indonesia.
APRIL atau Asia Pacific Resources Interntional Limited, yang merupakan pesaing terbesar APP dalam bisnis kertas dunia, akhirnya melepaskan diri dari proses sertifikasi Forest Stewardship Council (FSC) atas dugaan pelanggaran kebijakan pengelolaan hutan. Pihak FSC secara resmi mengakhiri hubungannya dengan APRIL pada bulan Agustus, yang berarti perusahaan ini tidak bisa lagi menggunakan label FSC pada produk-produknya, yang berkisar dari kertas untuk kardus kemasan selulosa yang digunakan dalam filter rokok. APRIL telah menjadi target kampanye selama bertahun-tahun oleh kelompok-kelompok lingkungan karena konversi skala besar hutan alam dan lahan gambut di Pulau Sumatera untuk Hutan Tanaman Industri mereka.
Sebuah laporan pada bulan September dari Greenpeace menyatakan bahwa minyak sawit merupakan faktor pendorong terbesar dari deforestasi di Indonesia, tak kurang dari sekitar seperempat dari deforestasi di negara ini antara tahun 2009 hingga 2011. Sejumlah lembaga lingkungan kemudian metargetkan beberapa produsen minyak sawit besar karena dugaan menjadi penyebab kerusakan lingkungan, termasuk membuka hutan gambut dan habitat orangutan. Sebuah laporan yang diterbitkan oleh RSPO, memperkirakan bahwa lebih dari 2,1 juta hektar hutan dibuka untuk perkebunan kelapa sawit antara 1990 hingga 2010.
Harrison Ford dalam potongan trailer film Years of Living Dangerously yang pengambilan gambarnya dilakukan di Riau. Foto: Screenshot Years of Living Dangerously/Showtime
Harrison Ford dalam potongan trailer film Years of Living Dangerously yang pengambilan gambarnya dilakukan di Riau. Foto: Screenshot Years of Living Dangerously/Showtime
Superstar Hollywood, Harrison Ford menimbulkan kegemparan saat syuting untuk sebuah segmen di film serial TV terbaru, The Years of Living Dangerously. Ini adalah sebuah film dokumenter yang diproduksi oleh Showtime terkait isu perubahan iklim. Ford mengunjungi lokasi syuting Taman Nasional Tesso Nilo  di Propinsi Riau, Sumatera sebelum bertemu dengan para pemimpin bisnis dan pejabat di Jakarta . Seorang pejabat mengancam akan mendeportasi aktor karena dinilai “menyerang” Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dengan pertanyaan-pertanyaan sulit tentang deforestasi.
Sebuah survei di hampir 200 komunitas di Kalimantan mendokumentasikan penolakan yang luas terhadap deforestasi dalam skala besar. Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal PLoS ONE ini menemukan bahwa orang yang tinggal di dekat hutan menempatkan nilai terbesar pada manfaat yang mereka mampu, termasuk tanaman obat, permainan , air bersih , dan serat .
Pada bulan Oktober , Indonesia dan Uni Eropa menandatangani Perjanjian Kemitraan Sukarela yang lama ditunggu-tunggu tentang Pemerintahan Penegakan Hukum Kehutanan dan Perdagangan (FLEGT – VPA), kebijakan ini adalah sebuah upaya untuk mengakhiri perdagangan produk kayu ilegal dari Indonesia. Di bawah VPA, semua kayu yang diekspor ke Uni Eropa dari Indonesia harus disertifikasi di bawah sistem verifikasi yang diakui negara terkait legalitasnya, atau Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), yang bertujuan untuk melacak balak produk kayu dan memastikan kayu yang dipanen sesuai dengan hukum Indonesia .
Alur kerja SVLK
Alur kerja SVLK
Pada bulan Desember, Presiden Yudhoyono menunjuk Kepala Badan REDD+ yang didirikan pada bulan September. Heru Prasetyo, seorang administrator dan mantan konsultan manajemen sektor swasta, dipilih untuk bertugas melaksanakan program REDD+ di Indonesia, yang bertujuan untuk mengarahkan negara Asia Tenggara jauh dari praktek pengelolaan hutan yang tidak memenuhi koridor ramah lingkungan.
Program Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi (REDD +)  yaitu sebuah program PBB yang bertujuan untuk memberikan kompensasi berbasis kinerja untuk negara-negara tropis untuk melindungi hutan, akhirnya disetujui setelah tujuh tahun diskusi . Teks akhir memuat beberapa pokok penting termasuk ketentuan safeguard; upaya mengatasi deforestasi seperti konversi hutan alam untuk perkebunan, lalu proses pengukuran, pelaporan dan verifikasi (MRV) dari emisi yang berkaitan dengan hutan, lalu tingkat referensi untuk mengukur pengurangan emisi dari deforestasi, serta skema keuangan. Persetujuan formal akan memberikan jalan keluar untuk pasar REDD+ yang sempat terhenti, yang telah mengalami ketidakpastian dan menyebabkan kurangnya permintaan untuk kredit karbon, sehingga menyebabkan penurunan harga karbon offset.
Meskipun mengalami ketidakpastian, beberapa proyek besar REDD+ terus bergerak maju, termasuk proyek Surui di Brazil dan proyek Rimba Raya di Kalimantan Tengah di Indonesia. Pada bulan Maret, Walt Disney Company bahkan membeli kredit karbon senilai 3,5 juta dollar AS kredit karbon yang dihasilkan dari proyek konservasi hutan hujan di Peru. Pada bulan September, WCS mengumumkan bahwa kredit karbon dari proyek REDD+ di Madagaskar timur laut telah disertifikasi untuk dijual.
Citra Kalimantan tengah dari satelit Landsat 8 terbaru.
Citra Kalimantan tengah dari satelit Landsat 8 terbaru.
Teknologi dan Konservasi
2013 juga merupakan tahun kemajuan yang signifikan untuk teknologi yang digunakan dalam konservasi. Pada bulan Februari, NASA berhasil meluncurkan Landsat 8. Satelit observasi Bumi yang akan memberikan citra penting untuk memantau hutan tropis dunia. Ini adalah Landsat kedelapan sejak peluncuran awal pada tahun 1972 .
Pada bulan November, peneliti merilis sebuah alat yang lama ditunggu-tunggu yang mengungkapkan tingkat hilangnya tutupan hutan dan keuntungan dalam skala global. Didukung oleh sistem komputasi besar dan canggih dari Google, peta hutan interaktif ini membentuk dasar baru untuk mengukur deforestasi dan tingkat pemulihan hutan di semua negara di dunia, biomassa dan jenis hutan. Peta ini tidak membedakan antara hutan alam dan perkebunan, tapi database yang adai akan mendukung pengembangan lapisan tambahan, yang dapat digunakan untuk membuat lapisan untuk menganalisis perkebunan kelapa sawit dan kayu, yang memungkinkan pengguna untuk membedakan antara deforestasi, penanaman kembali perkebunan, dan konversi hutan menjadi perkebunan. Secara keseluruhan peta ini menemukan bahwa 2,3 juta kilometer persegi hutan sudah hilang antara tahun 2000 hingga tahun 2012.  Kehilangan hutan tertinggi terjadi di daerah tropis, yang merupakan satu-satunya wilayah di dunia di mana deforestasi meningkat.
Pada bulan Desember , Stanford University mengumumkan kursus online gratis yang mendemokratisasi proses pemantauan hutan dengan menawarkan pelatihan software monitoring deforestasi. Juga pada bulan Desember, sebuah inisiatif kolaborasi yang dikenal sebagai Tropical Ecology Assesment and Monitoring (TEAM) menyatakan telah bermitra dengan HewlettPackard (HP) untuk memahami data dari ribuan perangkap kamera di 14 negara. Program yang dipimpin oleh Conservation International dan Wildlife Conservation Society ini sejauh ini sudah berhasil melacak data pada 275 spesies dalam 17 kawasan lindung.
Para peneliti menggunakan data dari citra satelit resolusi tinggi milik Light Detection and Ranging (LIDAR) dari sensor berbasis pesawat untuk menciptakan peta karbon hutan untuk Panama, dan sekaligus menandai pertama kalinya  seluruh negeri ini berhasil dipetakan secara rinci. Peta itu menunjukkan variasi dalam kepadatan karbon hutan yang dihasilkan dari ketinggian, kemiringan, iklim, jenis vegetasi, dan cakupan kanopi .
Para ilmuwan membangun sebuah aplikasi yang secara otomatis mengidentifikasi spesies dengan vokalisasi mereka. Platform ini, secara rinci dibahas dalam edisi Juli jurnal PeerJ , telah digunakan di Puerto Rico dan Kosta Rika untuk mengidentifikasi katak, serangga, burung, dan monyet .
Seorang polisi hutan di Ujung Kulon menggunakan telepon genggamnya untuk melakukan pengawasan hutan. Foto: Rhett A. Butler
Seorang polisi hutan di Ujung Kulon menggunakan telepon genggamnya untuk melakukan pengawasan hutan. Foto: Rhett A. Butler
Dua teknologi berbasis ponsel yang ditujukan untuk menghentikan pembalakan liar di Brazil dan Indonesia. Di Brazil, pemerintah memasang perangkat nirkabel untuk menjaga pohon, alat ini dikenal dengan nama Invisible Track  yang akan mengirimkan sinyal saat pohon ditebang dan dipindahkan. Di Sumatera, sebuah organisasi yang disebut Rainforest Connection  memasang unit untuk mendengarkan suara tembakan dan gergaji mesin. Setiap suara yang cocok dengan kedua suara tersebut akan memicu alarm peringatan yang disampaikan kepada otoritas lokal, yang memungkinkan melakukan penindakan hukum dengan cepat.
Dan terakhir, revolusi drone atau pesawat tanpa awak untuk tujuan konservasi dilanjutkan dengan puluhan proyek di seluruh dunia. Drone konservasi, yang menggabungkan perangkat lunak pemetaan dengan model pesawat khusus dan helikopter yangdigunakan untuk berbagai aplikasi , termasuk pemantauan, pengumpulan data dan pemetaan resolusi tinggi.
Koh dan Wich saat menguji pesawat tanpa awak mereka di Swiss. Pesawat ini telah dilengkap berbagai kamera, seperti GoPro HD Hero, Canon Ixus 220 HS, dan Pentax Optio WG-1 GPS. Foto: Lian Pin Koh
Koh dan Wich saat menguji pesawat tanpa awak mereka di Swiss. Pesawat ini telah dilengkap berbagai kamera, seperti GoPro HD Hero, Canon Ixus 220 HS, dan Pentax Optio WG-1 GPS. Foto: Lian Pin Koh

source : link
0 komentar

Indonesia Kaya: Spesies Baru Ditemukan Sepanjang 2013

Diposting oleh Maysatria Label: Flora dan Fauna, News
Spesies baru di Indonesia terus ditemukan.

Spesies baru di Indonesia terus ditemukan. Empat spesies ini menunjukkan betapa kaya wilayah daratan, dan perairan Indonesia.

Keragaman hayati Indonesia memang luar biasa. Dari catatan yang dimiliki Mongabay-Indonesia, tanah air kita memiliki tak kurang dari 515 jenis mamalia, 511 jenis reptilia, 15.31 jenis burung, 270 jenis amfibia, 2.827 jenis satwa tak bertulang, dan 38.000 jenis flora. Kekayaan yang dimiliki tanah nusantara meliputi 12% kekayaan mamalia dunia, 7,3% kekayaan reptil dunia dan sekitar 17% kekayaan burung di dunia.
Namun kekayaan hayati yang kita miliki saat ini, ternyata bukan jumlah akhir. Sejumlah penelitian yang dilakukan oleh para ahli, baik dari dalam maupun luar negeri di sepanjang tahun 2013  membuktikan betapa nusantara masih menyimpan ribuan misteri spesies di dalamnya. Sepanjang 2013, sejumlah  spesies baru masih terus ditemukan oleh para pakar.
Catatan kecil berikut ini, adalah sejumput penemuan berbagai spesies baru, baik vegetasi maupun satwa, baik di daratan maupun di perairan Indonesia yang terjadi di sepanjang tahun 2013. Sebuah bukti kecil, tanah air kita masih menyimpan berjuta rahasia di dalamnya.
Celepuk rinjani (Otus jolandae). Foto: Philippe Verbelen
Celepuk rinjani (Otus jolandae). Foto: Philippe Verbelen
Celepuk Rinjani (Otus jolandae)
Penemuan jenis burung hantu yang diberi nama celepuk rinjani (Otus jolandae) tersebut diterbitkan dalam jurnal ilmiah PLOS ONE edisi Februari 2013 oleh tim gabungan ilmuwan Swedia, Belgia, Amerika Serikat, dan Australia. Burung ini pertamakali ditemukan oleh naturalis asal Inggris, Alfred Everett, pada Mei 1896. Semula, jenis ini diberi nama Pisorhina albiventris. Selanjutnya, burung ini dianggap sebagai anak jenis dari celepuk Maluku dan mendapat nama ilmiah Otus magicus albiventris. Celepuk maluku (Otus magicus) sendiri merupakan jenis celepuk yang tersebar di Kepulauan Maluku dan Nusa Tenggara (Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba dan pulau-pulau kecil di sekitarnya).
Awalnya, pada 3 September 2003, Sangster dan istrinya, Jolanda Luksenburg, bertemu dengan jenis ini dikaki Gunung Rinjani. Setelah melakukan percobaan dengan memutar rekaman suara beberapa jenis celepuk yang diambil dari pulau sekitar Lombok, mereka menyimpulkan bahwa suara celepuk yang mereka jumpai itu sama sekali berbeda.
Hasil analisis rekaman suara celepuk rinjani membuktikan bahwa burung ini memiliki suara teritorial (suara yang menandakan daerah kekuasaan atau teritori) berbeda dari jenis-jenis celepuk lain. Suara celepuk rinjani berupa siulan tunggal “pok” tanpa nada tambahan. Masyarakat lokal pun sering menyebutnya burung pok. Selain itu, setelah para peneliti melakukan analisis terhadap bentuk dan ukuran tubuh burung ini, celepuk rinjani terbukti memiliki corak bulu bagian atas berbeda dengan celepuk lain dan berukuran lebih kecil dibanding Otus magicus dari Kepulauan Maluku. Hasil analisis itulah yang kemudian dimuat dalam jurnal PLOS ONE.
Penetapan celepuk rinjani sebagai jenis baru menjadikannya sebagai burung khas/endemik Pulau Lombok pertama yang diketahui keberadaannya.
Jejak tapak badak. Foto: WWF-Indonesia
Jejak tapak badak. Foto: WWF-Indonesia
Bukti Keberadaan Badak Sumatera di Kalimantan
Tim monitoring WWF-Indonesia, menemukan jejak segar mirip jejak badak saat memonitoring orangutan di Kutai Barat (Kubar), Kalimantan Timur (Kaltim),  di wilayah Heart of Borneo (HoB). Guna menguatkan temuan ini, WWF-Indonesia bersama Dinas Kehutanan Kubar, Universitas Mulawarman dan masyarakat setempat, survei lanjutan pada Februari 2013.
Temuan ini diperkuat konfirmasi saintifik dari ahli badak di WWF-Indonesia dan Universitas Mulawarman, Chandradewana Boer. Dia  menegaskan, spesies ini kemungkinan besar adalah badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis). Temuan ini didukung data historis sebaran badak Sumatra di Kalimantan, yang telah terdokumentasi sebelumnya. Namun, sampai ini, belum bisa dikonfirmasi berapa individu badak yang teridentifikasi melalui temuan ini.
Eviota pamae, spesies ikan laut baru yang ditemukan di kepulauan Kei, Maluku, Indonesia oleh dua penyelam Amerika Serikat dalam kunjungan mereka ke wiayah tersebut. Foto: William
Eviota pamae, spesies ikan laut baru yang ditemukan di kepulauan Kei, Maluku, Indonesia oleh dua penyelam Amerika Serikat dalam kunjungan mereka ke wiayah tersebut. Foto: William
Eviota pamae, Spesies Baru di Kepulauan Kei, Maluku 
Seorang pengusaha yang juga petualang asal Amerika Serikat bernama William Matthew Brooks bersama beberapa rekannya telah berhasil mengidentifikasi spesies baru ikan yang hidup di perairan sekitar Pulau Kei Besar, Kepulauan Kei, Propinsi Maluku. Spesies ini dinamai Eviota pamae, sebagai penghargaan atas istrinya yang bernama Pamela Scott Rorke. Pamela juga bagian dari tim penyelam yang melakukan ekspedisi yang berhasil menemukan spesies ikan baru ini bulan Februari 2013 silam ini.
Eviota pamae masuk ke dalam famili gobiidae, yang merupakan famili terbesarikan-ikan laut yang terdiri dari sekitar 1600 jenis. Badan ikan dari famili ini biasanya memanjang, dan ukurannya sekitar 15 cm. Pada beberapa jenis saluran dan pori-pori berkembang di kepala. Gigi kecil, conical atauvilliform yang membentuk seperti pita di rahang. Beberapa jenis dengan dua sirip punggung, akan tetapi lainnya dengan satu sirip punggung; sirip punggung yang pertama dengan jari-jari keras yang fleksibel, sirip punggung yang kedua dengan jari-jari lunak; sirip perut pada beberapa jenis terhubungkan sampai membentuk bentuk lempengan mangkok, tetapi terpisah pada beberapa jenis.
Penemuan spesies baru ini baru diumumkan pada bulan April 2013, dua bulan setelah penemuannya di kepulauan Kei tersebut. Dengan melakukan identifikasi terhadap 42 spesimen yang dibawa ke San Francisco, Amerika Serikat, tim William Brooks memastikan bahwa spesies yang ditemukan ini adalah spesies baru yang berbeda dari kerabat terdekatnya, Eviota raja.
Penemuan besar ini telah dimuat dalam sebuah jurnal ilmiah Aqua, International Journal of Ichthyology, yang secara khusus memuat ikan temuan baru dari kepulauan Maluku ini sebagai laporan utama dan cover mereka. Jurnal Aqua sendiri mendeskripsikan ikan Eviota pamae sebagai: “….spesies yang memiliki warna cerah yang ditemukan oleh penyelam William Matthews Brooks dan Mark Erdmann saat kunjungan singkat mereka ke kepulauan Kei di Maluku, Indonesia….”
Hanya seujung jari manusia, ukuran umum katak bernama Mycrohila orientalis ini. Foto: Amir Hamidy
Hanya seujung jari manusia, ukuran umum katak bernama Mycrohila orientalis ini. Foto: Amir Hamidy
Katak Seujung Kuku Manusia di Bali
Seorang pakar Indonesia, bernama Amir Hamidy bersama dua peneliti Jepang menemukan sebuah spesies katak baru yang memiliki ukuran sangat kecil. Katak ini hanya sebesar ujung jari manusia dewasa, atau sekitar 17 hingga 18 milimeter (1,7 hingga 1,8 centimeter) di Pulau Dewata, Bali.
Hasil temuan ini sudah dimuat dalam jurnal ilmiah Zootaxayang diterbitkan pada tanggal 14 Juni 2013 silam. Dalam artikel ini dijelaskan ciri-ciri spesies katak baru yang dinamai Microhyla orientalis bahwa katak ini berwarna coklat dengan garis lateral pada punggungnya, lalu memiliki corak garis hitam pada bagian samping tubuhnya yang melintas panjang dari bagian mata hingga bagian tengah tubuhnya, serta memiliki bagian mulut yang membulat. Ciri lain yang juga menonjol adalah keunikan bentuk jarinya, dimana jari pertama hanya seperlima dari jari yang ketiga.
Keberadaan katak ini di Bali yang merupakan wilayah batas sisi barat dari garis Wallacea (garis yang memisahkan silayah satwa di Asia dan Australasia dan diperkenalkan Alfred Wallace) menjadi suatu bukti bahwa Bali diyakini memiliki rahasia proses evolusi katak yang masuk dalam famili Mycrohila. Selain Mycrohila orientalis, di Bali juga menjadi rumah bagi katak dari keluarga Mycrohila lainnya, yaitu Mycrohila palmipes dan Mycrohila achatina. 
Melalui uji DNA yang dilakukan oleh ketiga peneliti dari Universitas Kyoto ini, spesies baru Mycrohila orientalis masih berkerabat dekat dengan Mycrohila mantheyi, Mycrohila borneensis dan Mycrohila malang, dan ketiga spesies ini adalah sub-grup dari spesies Mycrohila borneensis.
Hiu Berjalan
Hiu berjalan Halmahera (Hemiscyllium halmahera). Foto: Mark Erdmann
Hiu Berjalan di Perairan Halmahera, Maluku Utara
Sebuah spesies baru ditemukan di perairan Halmahera, Maluku Utara, Indonesia. Spesies dari keluarga Hiu Epaulette, atau Hiu Berjalan ini dinamai Hemiscyllum halmahera, dan merupakan spesies hiu berjalan kesembilan yang ada di dunia.
Tiga orang peneliti bernama Gerald R. Allen, Mark V. Edmann dan Christine L. Dudgeon memastikan spesies baru iniberbeda dari spesies sejenis bernama Hemiscyllum galei yang ditemukan di Teluk Cenderawasih, Papua Barat danHemiscyllum freycineti yang ditemukan pada September 2006 silam.
Hiu spesies baru ini relatif kecil dengan ukuran sekitar 65,6 hingga 68,1 centimeter, dan berjalan di dasar laut dengan meliukkan tubuhnya dan melangkah dengan siripya yang berfungsi seperti pedal untuk mendorong tubuhnya bergerak ke depan.  Hiu ini baru akan berenang ketika ada predator yang mengejarnya.
Euphylia Baliensis sp. terumbu karang jenis baru di perairan Bali. Foto: Conservation International
Euphylia Baliensis sp. terumbu karang jenis baru di perairan Bali. Foto: Conservation International
Terumbu Karang Baru Mirip Bunga Kamboja di Bali
Euphylia baliensis sp., demikian spesies baru terumbu karang yang ditemukan dalam sebuah penelitian untuk memetakan potensi kelautan Bali yang dilaksanakan sejak tahun 2011 lalu.
Euphylia Baliensis memiliki bentuk yang sangat unik, mirip seperti bentuk bunga kamboja. Seperti diketahui, bunga kamboja merupakan salah satu jenis bunga yang seringkali diidentikkan dengan Bali.
Euphylia baliensis memiliki beberapa karakter morfologi yang berbeda dengan jenis karang lainnya dari genus euphyllidae. E. baliensis memiliki corallites yang relative lebih kecil (dengan diameter rata-rata 3mm), dengan cabang yang lebih kurus, pendek dan sedikit terklasifikasi. Memiliki tentakel yang tumpul, berwarna merah gelap hingga cokelat dengan bagian dasar berwarna agak kehijauan ujung berwarna krem.
Menurut Country Executive Director CI Indonesia, Ketut Sarjana Putra, jenis karang baru ini hanya dijumpai pada kedalaman 27 – 37 meter di perairan sekitar Padangbai-Candidasa, di Kabupaten Karangasem, Bali.
“Kami belum pernah menemukan spesies ini di tempat lain di dunia. Di Raja Ampat misalnya, kita gakketemu. Padahal Raja Ampat adalah gudangnya terumbu karang. Tapi spesies ini nggak ada di sana. Kita cek di Lombok, kita cek di tempat tempat lain, di wilayah wilayah penyelaman yang unik, kita nggak ketemu spesies ini,” ujar Sarjana.
Halmaheramys bokimekot bukan sekedar spesies baru, tapi juga genus baru yang ditemukan di Maluku Utara Indonesia. Foto: Universitas Kopenhagen
Halmaheramys bokimekot bukan sekedar spesies baru, tapi juga genus baru yang ditemukan di Maluku Utara Indonesia. Foto: Universitas Kopenhagen
Genus Pengerat Baru di Maluku Utara
Satu genus baru satwa pengerat ditemukan di hutan pegunungan di Halmahera, di Maluku Utara. Satwa dengan ciri jumbai yang keras, serta berbulu dan memiliki ujung ekor berwarna putih ini ditemukan di wilayah dimana dahulu Alfred Wallace menguraikan teori evolusinya kepada Cahrles Darwin.
Dalam upaya menemukan dan mempelajari spesies baru ini, para ahli dari Universitas Kopenhagen dan Museum Zoologi Bogor menggunakan perangkap berupa kelapa yang dibakar dan selai kacang yang ditaruh di batang pohon dan liang-liang. Dari hasil tangkapan ini ternyata juga terjerat seekor hewan pengerat yang sebelumnya belum pernah diketahui, memiliki bulu abu-abu kecoklatan di punggungnya dan bagian perut berwarna putih.
Setelah dianalisis DNA satwa pengerat ini dan mempelajari ciri-ciri fisik seperti tengkorak dan giginya, para ahli sepakat bahwa satwa ini bukan sekedar spesies baru, namun juga sebuah genus baru. Satwa ini dinamai Halmaheramys bokimekot, nama Boki Mekot diambil dari kawasan pegunungan di Halmahera yang kini terancam oleh pertambangan dan deforestasi. Temuan baru ini sudah dipublikasikan oleh para ahli di jurnal ilmiah Zoological Journal of the Linnean Society.
Hingga saat ini hanya enam individu dari spesies baru ini yang sudah ditangkap untuk dipelajari: tiga jantan dewasa dan tiga betina. Hanya sedikit dari kebiasaan spesies ini yang sudah diketahui, tetapi menurut para ahli mereka kemungkinan adalah omnivora, setelah para ahli menemukan sisa sayuran dan serangga di dalam perut mereka usai melakukan pembedahan. “Penemuan ini menunjukkan betapa kayanya kehidupan yang masih ada di kepulauan Indonesia,” ungkap salah satu penulis, Kristpfer Helgen dari Smithsonian Institution, di Washington DC, AS.
Parcheilinus rennyae, jenis baru di spesies flasher wrasse yang ditemukan di barat daya Nusa Tenggara Timur. Foto: Conservation International
Parcheilinus rennyae, jenis baru di spesies flasher wrasse yang ditemukan di barat daya Nusa Tenggara Timur. Foto: Conservation International
Ikan Flasher Wrasse Baru di Perairan Nusa Tenggara Timur
Sejumlah pakar dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia bersama sejumlah pakar dari University of California mengidentifikasi spesies flasher wrasse terbaru dan dinyatakan sebagai spesies independen dan berbeda dari 16 jenis spesies flasher wrasse yang sudah dikenal sebelumnya.
Spesies baru ini dinamai Parcheilinus rennyae, untuk menghormati salah satu pakar yang paling berjasa dalam taksonomi ikan di Indonesia, yaitu Renny Kurnia Hadiaty. Sepanjang 27 tahun kariernya, Renny mengabdikan dirinya dalam bidang ini dan banyak menulis bersama pakar ikan dunia Gerald Allen yang kini bekerja untuk Conservation International.
Parcheilinus rennyae ini diketahui hanya ada di wilayah Barat Daya di Pulau Flores dan Pulau Komodo dan memiliki warna yang sangat indah. Spesies ini adalah spesies flasher wrasse ke-17 yang sudah diketahui oleh manusia, bentuk sirip di tubuh bagian atas yang melengkung serta warna oranye menyala di di tubuhnya menjadi ciri utama ikan ini.
Secara genetik mengindikasikan bahwa ikan ini masih kerabat dekat dari Parcheilinus angulatus yang berasal dari Filipina dan Pulau Kalimantan di bagian utara, namun kedua spesies ini berbeda terutama dari bentuk sirip tengahnya.

source : link
0 komentar

Penelitian: Pola Produksi Protein Hewani Dunia Pengaruhi Perubahan Iklim

Diposting oleh Maysatria Label: Sains dan Teknologi
Ayam. Foto: Rhett Butler

Ayam lebih efisien dibandingkan sapi yang membutuhkan sumber daya lebih banyak untuk menjadi sumber protein bagi manusia. Foto: Rhett Butler

Sumber daya yang diperlukan untuk membesarkan hewan ternak dan dampak dari peternakan terhadap lingkungan kini mengalami perubahan drastis terkait dengan jenis satwa, jenis pakan yang dikonsumsi, jenis makanan yang disediakan serta lingkungan tempatnya hidup. Hal ini terungkap dalam sebuah penelitian yang memotret secara detail “ekosistem peternakan” di berbagai belahan dunia. Intinya, pola pembesaran hewan ternak kini semakin mempengaruhi perubahan iklim jika dilakukan dengan tidak bijaksana.
Penelitian yang diterbitkan di jurnal ilmiah Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS) adalah sebuah kajian komprehensif terkini yang meneliti apa yang menjadi pakan sapi, domba, babi, unggas dan berbagai satwa ternak lainnya di berbagai belahan dunia, lalu seefisien apa pakan ini dikonversi menjadi susu, telur dan daging, serta tingkat emisi Gas Rumah Kaca dari aktivitas produksi ternak ini.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh sejumlah pakar dari International Livestock Research Institute (ILRI), Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization (CSIRO) dan International Institute for Applied Systems Analysis (IIASA), menunjukkan bahwa hewan ternak di berbagai wilayah negara berkembang membutuhkan pakan jauh lebih banyak dibandingkan hewan ternak di negara maju untuk menghasilkan satu kilogram protein. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa produksi unggas jauh lebih efisien dibandingkan susu dan daging sapi, namun emisi Gas Rumah Kaca sangat bervariasi tergantung satwa dan kualitas pakannya.
“Sudah banyak penelitian terkait tantangan yang dihadapi oleh peternakan di level global, namun kendati ini masalah global, tapi pola penyelesaiannya nyaris seluruhnya lokal dan sangat situasional,” ungkap Mario Herrero, penulis utama kajian ini dari CSIRO di Australia. “Tujuan kami adalah menyediakan data yang dibutuhkan, jadi perdebatan terhadap peran hasil ternak dalam makanan manusia dan lingkungan, serta pencarian solusi terhadap tantangan-tantangan ini bisa berikan dengan cara yang berbeda-beda di berbagai lokasi orang melakukan aktivitas ternak,” ungkap Herrero.
Temuan Herrero dan kawan-kawan dijelaskan melalui lebih dari 50 peta ilustrasi dan lebih dari 100 halaman data tambahan, serta menjadi laporan utama dalam jurnal PNAS tentang isu peternakan dan perubahan global.
Produksi protein dari sapi membutuhkan sumber daya lima kali lipta lebih besar dibandingkan unggas. Foto: Rhett Butler
Produksi protein dari sapi membutuhkan sumber daya lima kali lipta lebih besar dibandingkan unggas. Foto: Rhett Butler
Produksi Ternak dan Pakan
Studi ini memecah produksi hewan ternak ke dalam 9 region global, yaitu di wilayah-wilayah yang lebih maju seperti di Eropa dan Rusia (1), Amerika Utara (2) dan Oseania (3), serta kwasan yang masih berkembang seperti di Asia Tenggara (4), Asia Timur termasuk Cina (5), Asia Selatan (6), Amerika Latin dan Karibia (7), Afrika Sub-Sahara (8) dan Timur Tengah serta Afrika Utara (9).
Dari data yang dikumpulkan, terlihat kondisi yang sangat kontras dalam produksi ternak dan pakannya, misalnya sekitar 59 juta ton daging sapi yang diproduksi di dunia tahun 2000, sebagian besar berasal dari Amerika Latin, Eropa dan Amerika Utara. Seluruh negara di wilayah Afrika Sub-Sahara hanya menghasilkan 3 juta ton daging sapi.
Lalu terlihat juga bahwa sekitar 1,3 miliar ton gandum yang menjadi pakan ternak digunakan di wilayah Eropa, Amerika Utara, Cina bagian timur dan Amerika Latin. Seluruh ternak di Afrika Sub-Sahara jika digabung hanya memakan sekitar 50 juta ton gandum setiap tahun, dan lebih banyak bergantung pada rumput, serta sisa-sisa tanaman pasca pemanenan.
Emisi Gas Rumah Kaca
Para pakar juga melihat kaitan erat antara pola produksi ternak dengan Gas Rumah Kaca yang dilepas ke atmosfir, menjadi sebuah kondisi yang penting di tengah pemanasan global saat ini. Dari kajian ini ditemukan bahwa di Asia Selatan, Amerika Latin, Eropa dan Afrika Sub-Sahara menghasilkan emisi regional Gas Rumah Kaca yang tertinggi dari sektor peternakan. Lalu diantara wilayah negara maju dan negara berkembang, wilayah negara-negara berkembang menghasilkan emisi Gas Rumah Kaca yang jauh lebih besar dari sektor peternakan, termasuk 75% emisi dari produksi daging dan sekitar 56% dari peternakan babi dan unggas.
Studi ini juga menemukan bahwa peternakan untuk menghasilkan daging dan susu adalah sumber terbesar emisi Gas Rumah Kaca dari sektor peternakan secara global, yaitu sekitar 77% secara total. Sementara peternakan unggas dan babi hanya menyumbang 10% emisi Gas Rumah Kaca.
Secara keseluruhan penelitian ini menemukan bahwa hewan ternak ruminan seperti sapi, domba dan kambing membutuhkan pakan lima kali lipat lebih banyak untuk menghasilkan satu kilo protein dalam bentuk daging dibandingkan satu kilo protein dalam bentuk susu.
“Perbedaan besar dalam ketidakefisienan dalam produksi ternak ini perlu mendapat perhatian khusus,” ungkap penulis penelitian ini. “Mengetahui perbedaan ini akan bisa membantu kita menentukan konsumsi susu, daging dan telur yang lebih berkelanjutan dan pada porsi semestinya.”
Para pakar juga mengingatkan bahwa produksi hewan ternak di banyak negara berkembang harus kembali di evaluasi dalam konteks tingkat pentingnya bagi nutrisi di skala nasional dan pendapatan.

CITATION: M. Herrero, P. Havlik, H. Valin, A. Notenbaert, M. C. Rufino, P. K. Thornton, M. Blummel, F. Weiss, D. Grace, M. Obersteiner. Biomass use, production, feed efficiencies, and greenhouse gas emissions from global livestock systems. Proceedings of the National Academy of Sciences, 2013; DOI: 10.1073/pnas.1308149110

Source : link
0 komentar

Para Penjaga Penyu di Pulau Berhala

Diposting oleh Maysatria Label: Flora dan Fauna, Konservasi
Subuh, sekitar pukul 3.00-4.00, induk penyu mulai naik ke daratan untuk bertelur. Foto: Ayat S Karokaro

Subuh, sekitar pukul 3.00-4.00, induk penyu mulai naik ke daratan untuk bertelur. Foto: Ayat S Karokaro

Aksi saling kejar-kejaran antara pasukan TNI, penjaga Pulau Berhala, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara (Sumut), dengan sejumlah pemuda yang menyandarkan kapal di pulau terdepan dan tak berpenghuni itu, terjadi Sabtu dini hari (14/12/13).
Pasukan TNI AL dan AD ini coba menyergap enam pemuda, yang tengah mengeruk pasir putih, mencari telur penyu. Beruntung, aksi berhasil digagalkan. Para pemuda yang melihat pasukan TNI berpatroli, langsung kabur. Mereka menaiki kapal yang biasa untuk mencari ikan.
Setelah menimbun kembali telur-telur penyu itu, pasukan TNI kembali melakukan patroli di pulau yang berbatasan langsung dengan Malaysia dan Vietnam ini. Namun, ketika pagi, lubang telur penyu itu sudah terbuka lebar. Cangkang hancur.
Apa yang terjadi? Ternyata telur-telur penyu itu, sudah rusak dimakan biawak.  Reptil ini paling banyak ditemukan di pulau ini. Pulau masih hutan lebat dan berbukit.
Letda Marinir Sodikin, komandan pleton penjagaan dan pengamanan Pulau Berhala, menyatakan, mereka berupaya menjaga telur-telur penyu ini, dengan mengeramkan, setelah menetas, barulah dilepaskan ke laut.
Penyelamatan telur penyu ini, karena banyak sekali ancaman. Manusia, ingin mengambil dan menetaskan, lalu dijual dengan harga tinggi. Sedangkan satwa pemangsa, memakan telur tanpa sisa. “Serba salah. Manusia rakus mau mengambil dan menjual telurnya. Ada juga yang menangkar, setelah menetas dijual mahal. Kalau biawak, satu pemangsa yang mengancam berkembang penyu disini.”
Menurut dia, ada beberapa cara penangkaran dan penetasan telur penyu di Pulau Berhala ini. Salah satu, petugas marinir menyisir pantai setiap pukul 03.00-04.00. Saat itu, induk penyu datang ke daratan, dan mengeruk pasir lalu masuk bertelur. Setelah itu, menutup, dan sang induk kembali ke laut.
Saat itulah, mereka mengambil telur-telur penyu ini, dan membawa telur penyu ke tempat penangkaran di bibir pantai pulau. Setelah menetas dan usia penyu dua minggu, mereka langsung melepaskan ke laut dengan harapan berkembang biak.
Yang ditangkarkan di Pulau Berhala ini, katanya, penyu sisik dan penyu hijau. Kedua jenis penyu ini, terus diburu nelayan, diambil kulit dan daging. Daging penyu ini dianggap mampu meningkakan kekebalan tubuh. Tak pelak, penyu ini berharga mahal. “Populasi mulai langka. Mau tidak mau, kami ambil langkah penyelamatan telur-telur ini, untuk ditangkarkan, setelah menetas, segera dikembalikan ke laut.”
Pulau Berhala, dijaga 24 marinir, dan Yon 126 sebanyak 10 orang. Pulau ini paling dekat dengan Pulau Datuk, Malaysia. Jumlah mereka, tersebar di tiga pulau, yaitu Pulau Nipah, Pulau Sekatung, dan Pulau Rondo.
Setelah menetas, anak-anak penyu ini dimasukkan ke  tempat penampungan sementara sebelum dilepas ke laut. Foto: Ayat S Karokaro
Setelah menetas, anak-anak penyu ini dimasukkan ke tempat penampungan sementara sebelum dilepas ke laut. Foto: Ayat S Karokaro
Indah Dwi Kumala, Kepala Bahagian Humas Pemerintahan Kabupaten Serdang Bedagai, mengatakan, penangkaran penyu ini ada sejak 10 tahun lalu. Saat pemekaran dari Deli Serdang, ke Serdang Bedagai, menyelamatkan penyu-penyu ini dimulai, dengan menetaskan telur di tempat yang disiapkan. Setelah menetas, anak-anak penyu lalu dikembalikan ke lautan lepas untuk berkembang biak.
“Yang kita lepas liarkan lebih dari 2.000 ekor. Sirkulasi alam berjalan. Ada hidup dan berhasil selamat dari buruan orang, ada yang mati karena dibunuh dan dimakan pemangsa. Tetapi penyelamatan penyu ini akan terus kami lakukan.”
Menurut dia, sedikitnya ada 1.500 lebih nelayan dari Kabupaten Sergai dan Kabupaten Batu Bara, mencari ikan di perairan Pulau Berhala ini. Sebagian lagi ada yang berpura-pura menjadi nelayan, dan mencuri telur dan induk penyu untuk dijual.
Di perairan Serdang Bedagai, selain ada yang dilarang diambil seperti penyu, ada yang diizinkan, antara lain kerapu, cumi-cumi, talang, tongkol, grisi, dan banyak lagi.  Sedang yang mudah ditemukan di perairan Pulau Berhala ini, seperti kerang, dan kepiting.
Lantas bagaimana tanggapan organisasi pecinta satwa dengan penangkaran penyu ini? Menurut Rosek Nursahid, Chairman Of ProFauna, pada prinsipnya jika penangkaran penyu memenuhi kaedah-kaedah konservasi dan kesejahteraan satwa, dapat didukung dan diterima. Asal jangan menjadi modus tertentu saja untuk diperjualbelikan.
Pengamatan ProFauna di berbagai daerah, kesalahan pertama yang terjadi ketika penyu menetas menjadi tukik, ditahan lama dan tidak segera dilepas. Seharusnya,  begitu menetas, harus segera dilepas agar kemungkinan beradabtasi dengan alam lebih besar jika.
Dia menjelaskan, anak penyu memiliki cadangan ion, pasokan protein di tubuh. Jika anak-anak penyu itu beradaptasi dan proses belajar di alam berlangsung normal, mereka masih punya cadangan makanan. Namun,  jika ditahan lebih lama, tak baik buat perkembangan tukik.
Untuk itu, penangkaran sebaiknya tidak lebih dari 24 jam. Setelah menetas sebelum waktu itu, sebaiknya dilepas ke laut tetapi ada toleransi hingga dua minggu. “Nah, jika penangkaran penyu di Pulau Berhala itu semestinya, ProFauna mendukung dan memberikan apresiasi.”
Menuju Pulau Berhala, dengan menaiki kapal nelayan memakan waktu lebih dari empat jam dari dermaga kecil Kabupaten Serdang Bedagai. Dari Medan, memerlukan tujuh jam untuk sampai ke lokasi ini. Ombak tinggi. Di tengah perjalanan, akan terlihat kicauan bangau, dan sesekali lumba-lumba menemani perjalanan. Setiba di lokasi, laut terlihat jernih. Karang indah menghiasi dasar laut di perairan pulau ini.
Pulau ini meliputi dataran tinggi berbukit, hutan tropis, lereng curam, pantai, dengan kekayaan biota laut. Di hutan berbukit, ada biawak, ular, burung, dan sejumlah fauna lain. Di bagian utara ke arah Malaysia, bibir pulau curam, berbatu dan dalam. Di bagian selatan, cukup indah dengan gradien pantai sangat landai.
Ketika malam tiba, bagi yang ingin menyaksikan induk penyu bertelur, harus tahan tidak tidur. Sekitar pukul 3.00-4.00 dini hari, induk penyu muncul, menuju daratan dan bertelur.

Source : link
0 komentar

Sponsored

  • banners
  • banners
  • banners
  • banners

Kategori

  • Flora dan Fauna (128)
  • Forestry (312)
  • Mangrove (82)

Archive

  • ►  2015 (20)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (17)
  • ▼  2014 (43)
    • ►  Agustus (13)
    • ►  Mei (9)
    • ►  April (8)
    • ►  Februari (6)
    • ▼  Januari (7)
      • 2013: Tahun Istimewa Untuk Hutan Indonesia
      • Indonesia Kaya: Spesies Baru Ditemukan Sepanjang 2013
      • Penelitian: Pola Produksi Protein Hewani Dunia Pen...
      • Para Penjaga Penyu di Pulau Berhala
      • Agroforestri: Perjalanan Praktik Pengelolaan Kebun...
      • Penelitian: Kekurangan Air Untuk Irigasi Gandakan ...
      • Hermit Annemone Crab di Lembeh, Bali. Foto: Wis...
  • ►  2013 (309)
    • ►  Desember (14)
    • ►  November (97)
    • ►  Oktober (28)
    • ►  September (36)
    • ►  Agustus (11)
    • ►  Juli (20)
    • ►  Juni (19)
    • ►  April (20)
    • ►  Maret (20)
    • ►  Februari (19)
    • ►  Januari (25)
  • ►  2012 (97)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (25)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (15)
    • ►  April (9)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (19)
    • ►  Januari (16)
  • ►  2011 (323)
    • ►  Desember (52)
    • ►  November (27)
    • ►  Oktober (12)
    • ►  Agustus (12)
    • ►  Juli (5)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (16)
    • ►  Maret (24)
    • ►  Februari (122)
    • ►  Januari (44)
  • ►  2010 (105)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (22)
    • ►  Agustus (79)

_______________

_______________

 

© My Private Blog
designed by Website Templates | Bloggerized by Yamato Maysatria |