Satwa-satwa ini diduga kekurangan makanan di habitat mereka hingga turun gunung dan memakan madu petani.
Jembatan itu memanjang di bantaran Kapuas. Berkelok-kelok mengikuti
daerah aliran sungai (DAS). Tak satu pun sepeda motor melintasi.
Jembatan serba kayu ini akrab disebut geretak ini tak cukup perkasa menahan beban terlampau berat. Sepeda kayuhpun jadi primadona, selain berjalan kaki.
Di tengah keterbatasan infrastruktur, desa-desa di Kecamatan Bunut
Hilir, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, ini memiliki keragaman hayati
begitu besar. Salah satu madu hutan. Sayangnya, konflik antara petani
dan satwa, sulit dibendung. Tiga satwa dilindungi, orangutan (Pongo pygmaeus-pygmaeus), beruang madu (Helarctos malayanus), dan elang bondol (Haliastur indus), dianggap hama bagi petani.
Minggu (11/5/14), di Dusun Ujung Pandang, Desa Kapuas Raya,
Jamaluddin sedang memperbaiki bubu. Selain nelayan, ayah lima anak ini
juga petani madu. Dia menyisakan satu tikung di rumah.
Tikung adalah kayu yang disenangi lebah bersarang antara lain
cerinap, tembesuk, kawi, meddang, dan rengas. Sebelum dipasang, kayu
pilihan itu diolah menyerupai papan agak melengkung selebar 18
centimeter. Panjang tikung rata-rata dua meter.
Meddang adalah jenis kayu diyakini paling bagus buat lebah bersarang.
Kayu itu dipasang di pohon pakan lebah. Letak agak jauh dari
permukiman. Perlu waktu satu jam menggunakan sampan bermesin 3,3 PK
untuk ke lokasi.
Dua desa di Bunut Hilir, Ujung Pandang dan Kapuas Raya beruntung. Di
sekitar desa, ada danau sebagai kawasan lebah bersarang. Danau Miuban,
namanya. Namun, di danau itu tempat satwa dilindungi mencari pakan untuk
bertahan hidup.
“Kalau mau jujur, dari dulu kasus orangutan, elang, dan beruang sudah
makan madu. Tapi tidak semua tikung dirusak. Ibaratnya, kalau manusia
cuma curi-curi. Jadi kerugian kurang lebih. Kalau kami dapat 40 sarang,
biasa hilang belasan tikung,” katanya.
Namun, dia maklum jika hasil panen berkurang. Selain gangguan satwa,
juga sudah banyak orang pasang tikung di danau. Kondisi berbeda ketika
pemilik tikung masih sedikit. “Kalau banyak, ya terbagilah lebah
bersarang. Hasil pasti berkurang.”
Menurut Jamaluddin, penyebab mayas–istilah lokal bagi
orangutan–turun ke danau mencari makan karena pakan di hutan berkurang.
Si Pongo nekat turun untuk bertahan hidup. Dulu, beberapa petani madu
berencana membuka jalan lingkar danau agar orangutan tak masuk ke tikung
petani. Rencana itu belum berwujud hingga sekarang lantaran tersandung
anggaran.
Berdasarkan hitungan Jamaluddin, dalam satu musim panen, petani bisa
menghasilkan 100–200 kilogram madu. Madu dijual ke penampung seharga
Rp80.000-Rp100.000 per kilogram.
Bagi petani tradisional, masa panen biasa pada malam hari. Petani
tidak berani panen siang hari. Alasannya, takut disengat lebah.
Malampun, ditunggu hingga gelap. “Kalau bulan terang kami tak berani.
Lebah amat ganas. Kalau satu lebah menyengat, kawanan akan ikut.”
Hal itu diamini Mas’ud, petani madu lain. “Kalau di Danau Miuban
tetap ada ganguan. Hama biasa itu ada tiga. Elang, beruang, dan
orangutan, ujar dia.
Cara makan tiga satwa ini berbeda. Kalau elang merusak sedikit hanya
menggunakan cengkeraman kaki. Namun, kalau sarang dirusak, lebah tetap
pergi.
Berbeda dengan beruang, kala merusak sarang meninggalkan jejak lewat
kuku ketika memanjat pohon. Beruang makan madu cukup banyak. Sarang
lebah pasti hancur berserakan ke tanah.
Lebih parah orangutan. Satwa ini tak meninggalkan jejak sama sekali.
Dia seperti manusia, punya telapak tangan, telapak kaki, dan jari-jari.
“Anak lebah akan dimakan. Sarang diambil dan memakan sambil duduk di
atas tikung. Orangutan makan madu sampai habis.”
“Saya tahu orangutan ini dilindungi. Jadi kita harus menjaga. Kami
juga petani harus diperhatikan. Paling tidak bangunkan kami jalan.”
Menurut dia, agar ada akses darat mengelilingi Danau Miuban sekitar
tiga kilometer. Mereka perlu dana operasional, sekitar Rp20 juta.
“Petani sukarela mau menebas. Dana itu akan buat konsumsi dan
lain-lain.”
Dengan ada jalan lingkar danau, gangguan satwa bisa diminimalisasi.
“Kalau ini tak dilakukan, saya kira petani madu terus merugi. Kita tidak
tahu hati orang. Kalau sudah diam-diam ketika melihat orangutan,
maksudnya apa? Masih mending saya, selalu ngomong kalau ada masalah.”
Di Danau Miuban, Mas’ud punya tiga tikung. Pada 2010-2013, lebah
banyak datang, tapi orangutan juga ganas. Pada 2012, rata-rata petani di
Desa Ujung Pandang dapat 10 sarang dalam satu tikung. Delapan tikung
terpasang. Jika dihitung bulat, ada 80 sarang.
Tahun itu, katnya ada tiga tikung dirusak satwa dengan perkiraan tiga kilogram per sarang, berarti ada 30 kilogram hilang.
“Harga madu Rp100.000 per kilogram. Jadi kerugian satu orang Rp3
juta. Kalau madu tadi 8×30 berarti 240 kilogram dikali Rp100.000 berarti
Rp24 juta kerugian petani semusim,” kata Mas’ud.
Namun, apa yang dialami petani belum seberapa. Dibandingkan jika
perkebunan sawit skala besar masuk. “Saya yakin masalah ini lebih besar.
Pakan satwa akan habis. Yang tersisa tinggal danau saja.”
0 komentar:
Posting Komentar