skip to main | skip to sidebar

Silva Dream

Konsep Bumi Kita

  • Home
  • Gallery
  • Contact me
  • About Me

Kamis, 29 Mei 2014

Indonesia, Populasi Terbanyak Peroleh Manfaat Kelestarian Terumbu Karang

Diposting oleh Maysatria Label: Konservasi

Terumbu karang di perairan Sangalaki, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. kelestarian terumbu karang dunia, akan menyelamatkan 200 juta penduduk. Foto: The Nature Conservancy
Kekayaan di perairan Indonesia berupa terumbu karang, tak hanya berfungsi sebagai objek wisata kelautan belaka. Jauh lebih penting, kumpulan terumbu karang di seluruh perairan nusantara ini memiliki fungsi ekologis yang luar biasa. Terumbu karang memiliki fungsi sangat signifikan dalam melindungi wilayah daratan, karena mampu menekan energi gelombang rata-rata 97%. Sementara, tubir terumbu karang atau rataan karang dangkal yang pertama kali memecah ombak, dapat mengurangi kekuatan ombak hingga 86%.
Hal ini terungkap dalam penelitian yang drills oleh sejumlah pakar kelautan dari University of Bologna, The Nature Conservancy (TNC), US Geological Survey, Stanford University dan University of California dan telah dimuat dalam jurnal ilmiah Nature Communications. Penelitian ini sendiri dilakukan di kawasan Atlantik, Pasifik dan Samudera Hindia.
Keberadaan terumbu karang, berfungsi sangat penting dalam menekan perubahan iklim dan kenaikan permukaan air laut melalui kemampuannya menahan terjangan ombak dan badai, seperti diungkapkan oleh Peneliti Kelautan dari TNC dan salah satu penulis dalam studi ini, Dr. Michael Beck. “Duaratus juta orang di lebih dari 80 negara akan terancam jika terumbu karang tidak dilindungi dan dipulihkan,” ungkap Dr. Beck.
Hal senada disampaikan oleh Dr. Filippo Ferrario dari University of Bologna,”Penelitian ini menggambarkan bahwa restorasi dan perlindungan terumbu karang sangat penting dan merupakan solusi dengan biaya efektif untuk mengurangi resiko terhadap bencana alam di wilayah pesisir dan terhadap perubahan iklim.”
Bagi Indonesia, yang dikelilingi oleh wilayah perairan hal ini tentu sangat penting. Indonesia menempati peringkat pertama sebagai negara dengan populasi terbanyak yang memperoleh manfaat dari pengurangan resiko atas keberadaan terumbu karang. Tak kurang dari 41 juta penduduk Indonesia memiliki ketergantungan tinggi terhadap sumberdaya terumbu karang. “Sebagai tempat bagi 16% terumbu karang dunia dan sekitar 590 spesies karang keras yang tersebar di seluruh penjuru nusantara, Indonesia memiliki peran penting dalam ekosistem laut dunia,” kata Gondan Renosari, Direktur Program Kelautan TNC Indonesia.  Ia kemudian menambahkan, “sayangnya, terumbu karang di Indonesia saat ini tengah terancam keberadaannya, terutama oleh faktor manusia seperti pembangunan di kawasan pesisir dan praktek penangkapan ikan yang merusak.” “Penelitian ini hendaknya menjadi peringatan bagi pemimpin kita di masa datang untuk lebih memerhatikan dan mengutamakan pembangunan infrastruktur hijau yang telah disediakan oleh alam dibanding mengadakan proyek-proyek raksasa untuk menghadapi perubahan iklim,” tegasnya.
Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa memelihara dan mengembalikan terumbu karang yang rusak, jauh lebih murah dibandingkan membuat tanggal buatan yang biayanya mencapai sepuluh kali lipat. “Terumbu karang adalah anugerah alam yang mengagumkan, terutama karena jika dalam kondisi baik, dapat memberikan manfaat pengurangan gelombang yang sebanding dengan pertahanan pantai buatan dan beradaptasi dengan peningkatan permukaan laut,” ucap Dr. Curt Storlazzi, salah satu pengarang buku yang berasal dari  Badan Geologi Amerika Serikat. “Penelitian ini menunjukkan bahwa restorasi terumbu karang dapat menjadi cara yang efektif dan murah masyarakat pesisir dalam menghadapi kombinasi dari badai dan kenaikan permukaan laut.”
Menurut penelitian ini, tak kurang dari 197 juta orang di dunia akan mendapat manfaat dari keberadaan terumbu karang, sebaliknya orang-orang ini pula yang akan menanggung kerugian terbesar jika terumbu karang di perairan mereka musnah.
Tabel Negara Mendapat Manfaat Terumbu Karang

Source : link
0 komentar

Hari Burung Migran Dunia 2014: Ekowisata Berkelanjutan dan Habitat Migrasi

Diposting oleh Maysatria Label: Flora dan Fauna, News
Biru-laut ekor-blorok dan Dara laut jambul. Foto: Yuyun Yanwar
Biru-laut ekor-blorok dan Dara laut jambul. Foto: Yuyun Yanwar
Setiap tahun, memasuki pekan kedua di bulan Mei kita kembali memperingati Hari Burung Migran Sedunia atau World Migratory Bird Day, tepatnya tanggal 10 dan 11 Mei. Peringatan khusus terhadap keberadaan burung- burung migran ini, menjadi simbol betapa pentingnya peran burung-burung migran ini dalam menjaga keseimbangan fungsi ekologis antara bumi di belahan utara dan selatan selama masa pergantian musim. Migrasi ini menunjukkan, pentingnya peran habitat yang sehat bagi keberlangsungan berbagai spesies burung di dunia.
Indonesia, sebagai salah satu negara utama yang dilintasi oleh burung migran dunia ini juga menjadi bagian dari peringatan World Migratory Bird Day 2014 yang tahun ini bertema Detination Flyways – Migratory Birds and Tourism”. Tanah air kita termasuk di dalam jalur terbang bagian timur Asia/Australasia. Jalur terbang ini mencakup daerah berbiak di Siberia, China dan Alaska, memanjang ke selatan melewati daerah persinggahan di Asia Tenggara, PNG, Australasia, Selandia Baru dan Kepulauan Pasifik.
World Migratory Bird Day 2014 Event Map
Posisi Indonesia yang terbentang antara benua Australia dan Asia Daratan di sisi utara, memiliki nilai penting dalam migrasi burung yang terjadi setiap tahun. Misalnya Danau Sentarum di Kalimantan Barat. Pada musim kemarau, burung-burung pemakan ikan bermigrasi ke wilayah ini untuk mencari makan. Burung-burung pencari ikan diantaranya dari famili Alcedinidae seperti Raja Udang, serta berbagai spesies langka dari famili Bucerotidae (rangkong) dan famili Ciconiidae (bangau). Dari seluruh jenis spesies burung yang ada di Indonesia (1.519) maka 20%-nya (310 spesies) berada di Danau Sentarum.
Selain itu Indonesia juga menjadi tujuan akhir bagi berbagai burung raptor untuk bermigrasi.  Ribuan raptor bermigrasi mencari makan dari kawasan Asia Utara  menuju kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Hingga saat ini, Indonesia tujuan migrasi terbesar raptor Asia Timur, dan sebagian kecil mereka ke Timor Leste.  Musim migrasi biasa dua kali: musim gugur (September-November), dan musim semi (Maret-Mei).
Tema turisme atau wisata, menjadi pilihan mengingat setiap tahun perpindahan burung-burung dari utara ke selatan ini menjadi fenomena yang menarik di Indonesia. Tahun ini World Migratory Bird Day 2014 di Indonesia, diikuti lebih dari 200 orang dari 14 daerah, antara lain di Pulau Sumatera, yaitu Ogan Ilir, Sumatera Selatan dari Himpunan Mahasiswa Biologi dan  Universitas Sriwijaya Wildlife Photography; Padang, Sumatera Barat dari Museum Zoology Universitas Andalas.
aewa_poster2014_en
Di Pulau Jawa, yaitu Bird Watcher Club of Jakarta-Bogor dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Negeri Jakarta, Institut Pertanian Bogor, Universitas Pakuan, dan Universitas Pamulang; Bekasi; Bandung, Jawa Barat dari BICONS (Bird Conservation Society) serta BWP (Be Wildlife Photography); Malang dari Serikat Birdwatcher Ngalam; Surabaya dari Peksia Universitas Airlangga, dan KSBL Pecuk dari Institut Teknologi 10 Nopember; Banyumas, Jawa Tengah dari Biodiversity Society; Yogyakarta, Jawa Tengah dari Burung Jogja;  Semarang, Jawa Tengah dari Pelatik BSC, Universitas Negeri Semarang.
Untuk Pulau Kalimantan, yaitu Ketapang, Kalimantan Barat dari Ketapang Biodiversity Keeping (KBK)/Birding Society of Ketapang (BSYOK). Sedangkan Pulau Bali dari Minpro Satwa Liar Rothschildi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana KPB Kokokan Bali, Himabio. Terakhir Nusa Tenggara Timur, yaitu dari Kupang Birdwatcher Society.
WMBD di Bali
peringatan Hari Burung Migran Dunia 2014. Di Bali (atas) dan di Malang (bawah). Foto:
peringatan Hari Burung Migran Dunia 2014. Di Pulau Serangan, Bali (atas) dan di Malang (bawah). Foto: Rhanie Mbemz (bawah)
Di Indonesia, ekowisata burung sudah mulai berkembang dan dilakukan oleh pengamat burung yang ada di Indonesia. Beberapa kelompok pengamat burung sudah menjadi pemandu untuk turis-turis yang sedang berada di Indonesia. Dengan mengikuti kegiatan dunia, ini menjadi daya tarik turis untuk datang ke Indonesia sebagai salah satu tujuan wisata,” jelas Fransisca Noni dari Burung Nusantara.
Kegiatan WMBD terdiri dari pengamatan burung, pameran foto, lokakarya, kampanye, pendidikan lingkungan, kompetisi fotografi dan lomba poster. Bersama dengan masyarakat lokal, pengunjung dan staf pemerintah lokal memperkenalkan bagaimana melindungi burung dan habitatnya di alam liar.
Memperingati Hari Burung Migran Sedunia, sekaligus mengingatkan bahwa kesimbangan ekologis di berbagai belahan dunia tak hanya mempengaruhi siklus hidup burung migran, namun juga keseimbangan alam dan dampaknya bagi manusia. Hilangnya siklus migrasi burung maka akan memaksa burung-burung yang bermigrasi untuk bertahan hidup di habitat asalnya yang tengah mengalami kondisi cuaca yang buruk, hal ini akan mempengaruhi kemampuan mereka untuk berkembang biak sekaligus mempertahankan populasi mereka. Jika hal ini terus terjadi secara berkelanjutan, maka bukan tak mungkin berbagai spesies burung migran akan punah dalam beberapa dekade.

Source : link
0 komentar

Minim Buruan, Harimau di Jambi Menjadi Korban Jerat di Perkebunan

Diposting oleh Maysatria Label: Flora dan Fauna, News

Harimau Sumatera di Taman Rimbo, Jambi. Foto: Lili Rambe
Harimau Sumatera, semakin rentan terancam jerat seiring dengan hilangnya habitat. Foto: Lili Rambe
Populasi harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) di provinsi Jambi semakin terancam oleh perburuan dan konflik dengan masyarakat. Pada tanggal 13 Mei 2014 tim patroli Penyelamatan Harimau Sumatra Kerinci Seblat (PHKS) menemukan seekor harimau terjerat di daerah Sungai Asam, Kecamatan Limbur Lubuk Mengkuang, Kabupaten Bungo, Jambi. Lokasi penemuan harimau berjarak 500 meter dari kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan berdekatan dengan perkebunan sawit milik PT. PKA (Pidar Kerinci Agung). “Kondisi harimau masih hidup dan agresif. Diperkirakan harimau baru satu hari terperangkap” jelas Dian Risdianto, Field Manager PHSKS. Menurut Dian timnya telah melakukan patroli di kawasan ini selama 5 hari. Selama 5 hari patroli tim telah berhasil menemukan 11 jerat, 2 diantaranya diperkirakan telah berhasil menjerat harimau dan 3 jerat yang masih aktif.
“Pada tanggal 14 Mei kami sudah mengirimkan 1 tim patroli dan tim rescue. Tim patroli berangkat lebih dulu untuk membantu mengamankan harimau dari pemburu dan disusul oleh tim rescue yang akan bertugas melepaskan harimau dari jerat” jelas Risdianto. Ia juga masih menunggu perkembangan terbaru dari tim rescue mengenai keadaan harimau yang terjerat itu. “Jika luka akibat jerat tidak parah dan dapat sembuh tanpa perawatan khusus dari manusia maka harimau akan langsung dilepasliarkan” kata Risdianto.
Sementara itu pada tanggal 11 Mei 2014 seorang warga desa Embacang Gedang, kecamatan Tabir, Kabupaten Tebo tewas diterkam harimau. Warga desa Embacang Gedang yang bernama Hanafis ini tewas diterkam harimau ketika tengah menyadap karet di  kebun miliknya yang ditempuh sekitar dua jam perjalanan dari rumahnya. Pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi bersama dengan pihak kepolisian segera turun ke lokasi kejadian untuk mencari dan memindahkan harimau yang telah menewaskan manusia itu dari pemukiman warga. Hal ini dilakukan untuk mencegah serangan harimau terhadap manusia terjadi lagi serta meminimalisir kemungkinan harimau terbunuh oleh warga yang marah akibat tewasnya Hanafis.
Jerat harimau birun. Foto: Lili Rambe
Jerat harimau. Foto: Lili Rambe
Menurut Risdianto meningkatnya frekuensi harimau keluar dari kawasan hutan dan mendekati perkebunan masyarakat dikarenakan satwa buruannya lebih banyak tersedia di kawasan tersebut. Faktor utama yang menyebabkan satwa buruan harimau keluar dari kawasan hutan adalah karena tidak adanya ketersediaan pakan dalam hutan. Penyebab utama berkurangnya jumlah pakan dalam hutan adalah semakin berkurangnya luasan hutan akibat beralihfungsinya kawasan hutan menjadi perkebunan dan pemukiman. Kondisi inilah yang membuat harimau semakin sering mendekati perkebunan dan pemukiman sehingga kemungkinan konflik dengan manusia dan resiko tertangkap pemburu semakin besar.
Risdianto juga mengatakan bahwa spesies kucing besar seperti harimau cenderung lebih mudah berkembang biak jika dibandingkan dengan spesies satwa seperti gajah atau badak. Harimau dapat cepat berkembang biak jika di kawasan tersebut tersedia satwa buruan yang banyak. Dengan masa kehamilan sekitar 3,5 bulan harimau betina biasanya melahirkan 2 hingga 4 ekor anak dalam satu kali kelahiran. Dalam kondisi normal seekor harimau betina akan melahirkan anak setiap 2 hingga 2,5 tahun sekali. Jika anak harimau mati induknya dapat memiliki anak kembali hanya dalam kurun waktu 5 bulan setelah anaknya mati. Anak harimau akan berpisah dari induknya dan hidup mandiri ketika berumur 2 hingga 2,5 tahun.

Source : link
0 komentar

Laut Indonesia Berpotensi Serap Karbon Lima Kali Lebih Besar Dibanding Hutan

Diposting oleh Maysatria
Selain memiliki banyak kekayaan keanekaragaman hayati, laut Indonesia juga memiliki kemampuan penyerapan karbon yang tinggi.  Ikan Napoleon di perairan kepulauan Banda. Foto: Marthen Welly/CTC
Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C. Sutardjo mengklaim kawasan pesisir dan lautan Indonesia berpotensi menyerap karbon sekira 138 juta ton ekuivalen per tahun atau lima kali lebih besar dibanding potensi penyerapan ekosistem hutan tropis di Indonesia.  Potensi penyerapan karbon itu dapat mengurangi 25 persen emisi karbon global.
“Jumlah penyimpanan karbon yang tinggi ini menunjukkan bahwa ekosistem mengrove dan laut dapat memainkan peranan penting dalam mitigasi perubahan iklim,” katanya dalam sambutan pembukaan acara International Blue Carbon Symposium (IBCS) di Manado Convention Center pada Kamis (15/5), di Manado Sulawesi Utara.
Sharif mengutip satu hasil analisa global bahwa padang lamun (seagrass)terutama pada sedimennya berpotensi menyimpan 830 ton karbon ekuivalen per meter kubik per tahun.
Sebagai negara kepulauan tropis terbesar, Indonesia menjadi kawasan segitiga terumbu karang (coral triangle) terluas di dunia. Sebesar 52 persen ekosistem terumbu karang dunia terdapat di Indonesia.
Iklim tropisnya juga membuat kawasan pesisir Indonesia menjadi tempat yang cocok untuk pertumbuhan hutan bakau (mangrove), padang lamun dan rumput laut. “Indonesia memiliki ekosistem mangrove sekitar 3,1 juta hektar atau 23 persen dari mangrove dunia dan 30 juta hektar padang lamun yang terluas di dunia,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan.
Untuk mengetahui potensi penyerapan karbon tersebut yang lebih akurat, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (Balitbang KKP) dengan United Nations Environment Programme (UNEP) bekerjasama dalam program karbon biru (blue carbon) sejak 2010 untuk meneliti potensi karbon secara menyeluruh pada ekosistem pesisir dan laut. Hasil penelitian  tersebut nantinya digunakan untuk pengelolaan sumber daya kelautan yang berkelanjutan termasuk dalam hal adaptasi dan mitigasi perubahan iklim kawasan pesisir.
Pada kesempatan yang sama, Jerker Tamelander, Head of Coral Reef Ecosystem UNEP melihat karbon biru belum sepenuhnya diperhatikan dalam program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
“Kita pada posisi untuk mengukur seberapa pentingnya karbon biru berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim. Dan bagaimana potensi kelautan bisa membantu mitigasi perubahan iklim dan juga adaptasi dan pembangunan berkelanjutan,” jelasnya.
Jerker melihat ekosistem laut dan pesisir memang berpotensi menyerap karbon dan yang paling penting adalah bagaiman potensi tersebut memang digunakan untuk penanganan perubahan iklim. Rusaknya ekosistem laut dan pesisir akan turut mengemisi karbon ke udara, dan akhirnya berpengaruh terhadap perubahan iklim.
IBCS merupakan salah satu dari rangkaian acara World Coral Reefs Conference (WCRC) 2014.  IBCS 2014 merupakan ajang komunikasi dan berbagi para pakar kelautan dan pesisir dari berbagai negara  seperti  Indonesia, Australias, Jepang, Korea Selatan, Tiongkok, Thailand, Vietnam, Malaysia, Nigeria, Pakistan, Inggris, Mauritius, Amerika. Selain itu perwakilan organisasi internasional juga turut hadir seperti UNEP dan Conservation International.

Source : link
0 komentar

Sains: Tujuh Fakta Kesalahan Persepsi tentang Rafflesia

Diposting oleh Maysatria Label: Flora dan Fauna, Konservasi

Bakal bunga Rafflesia patma (bunga berbentuk bintang segi lima) yang akan mekar 2-3 hari lagi di habitat alaminya di hutan alam. Foto: Ridzki R. Sigit
Spesies rafflesia atau bunga padma raksasa merupakan salah satu kekayaan keragaman hayati yang dijumpai di hutan tropis Indonesia.  Meskipun sudah relatif banyak dikenal oleh publik, faktanya masih banyak yang masih banyak fakta keliru tentang raflesia.
Dihimpun dari berbagai sumber, Mongabay Indonesia mengumpulkan berbagai fakta yang sering disalahtafsirkan tentang flora langka unik ini.

1.  Rafflesia sama dengan bunga bangkai suweg raksasa
Rafflesia atau padma raksasa merupakan bunga yang dapat mengeluarkan bau busuk.  Namun, umumnya masyarakat umum tertukar dan menyamakan antara rafflesia dengan bunga bangkai suweg raksasa (Amorphophallus titanum).  Meskipun sama-sama berbau bangkai, jenis rafflesia (rafflesia spp) dan suweg merupakan dua jenis yang sama sekali berbeda.
Jika rafflesia bentuk bunganya melebar, maka suweg raksasa memiliki bunga yang tinggi memanjang. Jika rafflesia merupakan tumbuhan endoparasit, maka suweg adalah tumbuhan seutuhnya yang berkembang dari umbi.
Khusus untuk kesalahan ini sangat elementer di masyarakat umum, bahkan Mongabay-Indonesia pernah menjumpai kesalahan ini dalam buku pelajaran IPA bagi siswa sekolah dasar.

Padma  raksasa  rafflesia (R. arnoldii) gambar sebelah kiri dan bunga bangkai raksasa (A. titanum) di sebelah kanan sering tertukar dan dianggap jenis yang sama.  Sumber gambar: Wikipedia

2.  Rafflesia merupakan tumbuhan pemakan bangkai
Masih terdapat persepsi bahwa rafflesia adalah tumbuhan predator, atau tumbuhan yang hidup dari memangsa serangga.  Pemikiran ini disalahartikan dengan pencampuradukan fakta antara rafflesia dan tumbuhan kantong semar (pitcher plant, nepenthes spp.).
Jika bau yang dikeluarkan oleh kantong semar adalah untuk memikat serangga agar terperangkap ke dalamnya, maka bau yang dikeluarkan oleh bunga rafflesia adalah untuk menarik lalat untuk melakukan penyerbukan antara benang sari dan putik.  Menurut para ahli persentase pembuahan rafflesia sangat kecil, karena bunga jantan dan betina sangat jarang bisa mekar bersamaan dalam waktu yang sama.
Bunga rafflesia sendiri hanya berumur satu minggu (5-7 hari) setelah itu layu dan mati, sehingga tidak mungkin keberadaan bunga rafflesia adalah untuk memangsa serangga.
 

Padma raffesia tidak tumbuh di atas permukaan tanah, tetapi menempel di batang inangnya. Dalam gambar bunga R. patma yang telah layu masih menempel di batang tetrastigma. Foto: Ridzki R. Sigit

3.   Rafflesia tumbuh dan berakar di atas tanah
Raflesia tidak tumbuh dan berakar di atas tanah, karena rafflesia merupakan jenis tumbuhan parasit yang menempel pada inangnya yaitu sejenis tumbuhan merambat (liana) tetrastigma (tetrastigma spp).
Rafflesia tidak memiliki daun sehingga tidak mampu berfotosintesa, juga tidak memiliki akar dan tangkai batang.  Ketika inangnya mati, maka raflesia juga turut mati. Rafflesia menyerap unsur organik dan anorganik melalui haustorium atau sejenis akar dari jaringan inangnya.
Rafflesia haselstii di Suaka Margasatwa Rimbang Baling Riau. Salah satu jenis bunga padma raksasa yang  paling indah, rafflesia ini  berwarna merah dan putih. Foto: WWF Indonesia

4.  Rafflesia hanya ada satu macam jenis
Jenis rafflesia yang paling terkenal di dunia adalah R. arnoldii asal Bengkulu yang sering menghiasi berbagai macam poster maupun buku-buku ilmiah di seluruh dunia.
Faktanya jenis rafflesia tidak hanya terdiri dari satu jenis spesies saja.  Diperkirakan di seluruh Asia Tenggara yang melingkupi Sumatera, semenanjung Malaya, Jawa, Borneo dan kepulauan Filipina terdapat sekitar 27 spesies rafflesia.  Adapun 17 spesies diantaranya berada di Indonesia.
Jika bunga R. arnoldii dapat berkembang hingga diameter lebih dari 1 meter dan berat hingga 10 kg, jenis bunga rafflesia terkecil adalah R. manillana yang ada di kepulauan Filipina dengan diameter hanya sekitar 20 cm.

5.  Rafflesia tumbuh hanya di satu tipe hutan
Faktanya habitat hidup rafflesia pun berbeda-beda, dari yang dapat hidup di hutan pantai seperti R. patma di CA Leuweung Sancang di Jawa Barat, R. zollingeriana di hutan dataran rendah TN Meru Betiri Jawa Timur hingga R. rochusenii yang tumbuh di ketinggian 1.000-1.500 m dpl di lereng Gunung Salak dan Gunung Gede di Jawa Barat.
Selama pada habitat tersebut tumbuh inang rafflesia yaitu liana tetrastigma (famili Vitaceae) terdapat kemungkinan rafflesia dapat dijumpai di situ.
Selain keberadaan inang, faktor kecocokan klimat, seperti kelembaban merupakan faktor penting tumbuhnya rafflesia. Beberapa peneliti menduga musang dan beberapa serangga tertentu turut dalam menyebarluaskan biji parasit rafflesia.

6.   Sir Stamford Raffles adalah Penemu Rafflesia
Meskipun secara ilmiah seluruh genus patma raksasa diberi nama rafflesia (terambil dari nama Raffles), faktanya Gubernur Jendral Sir Thomas Stamford Raffles bukanlah penemu rafflesia.  Bunga rafflesia terbesar di dunia yaitu Rafflesia arnoldii ditemukan pada tahun 1818 oleh seorang pemandu yang bekerja pada Dr. Joseph Arnold, seorang peneliti yang saat itu sedang melakukan penelitian di hutan Bengkulu.
Arnold yang bekerja untuk sebuah tim ekspedisi di bawah Raffles kemudian melaporkan temuan ini kepada atasannya.  Nama ilmiah Rafflesia arnoldii merupakan gabungan dari nama Thomas Stamford Raffles sebagai pemimpin ekspedisi dan Josep Arnold sebagai penemu bunga.
Sejak saat itu nama Raffles menjadi atribut lestari yang melekat sebagai nama genus ilmiah dari tumbuhan patma raksasa yang hanya dapat dijumpai di kawasan hutan-hutan di Asia Tenggara.

Rafflesia patma yang berhasil dibungakan di Kebun Raya Bogor pada tahun 2012. Foto: Ridzki R. Sigit

7.   Rafflesia sudah dapat dikembangbiakan di luar habitatnya
Hingga saat ini rafflesia belum dapat dibudidayakan dan dikembangkan di luar habitat alaminya.  Meski demikian penelitian yang dilakukan oleh Sofi Mursidawati dan timnya dari LIPI telah berhasil menumbuhkan bunga Rafflesia patma di Kebun Raya Bogor.  Teknik ini dikenal dengan nama grafting atau penyambungan akar inang rafflesia yaitu tetrastigma.
Sebelumnya para peneliti telah memperkirakan akar tumbuhan tetrastigma yang memiliki probabilitas terinfeksi biji parasit rafflesia, kemudian memotongnya dan menyambungkannya dengan tetrastigma lain yang telah ada di Kebun Raya Bogor.  Dibutuhkan waktu hingga 6 tahun hingga R. patma tersebut berbunga pertama kalinya di Kebun Raya Bogor pada tahun 2010.  Keberhasilan ini merupakan yang pertama di dunia.
Meskipun telah berhasil dibungakan di luar habitat alaminya, para peneliti melihat hilangnya habitat alami rafflesia akan berakibat musnahnya tumbuhan unik ini.  Masih banyak misteri yang perlu dikaji tentang rafflesia.

Source : link
0 komentar

Pesan buat Pemimpin Baru: Selamatkan Hutan, Gambut dan Jamin Hak Kelola Masyarakat

Diposting oleh Maysatria Label: News
Ketika pembangunan hijau baru sebatas slogan, kebijakan yang dibuatpun, seperti Inpres Moratorium tak berjalan. Hutan tetap dibabat walaupun masuk wilayah moratorium. Foto: LIli Rambe
Moratorium hutan dan lahan gambut sudah memasuki tahun ketiga, tepat 20 Mei 2014. Kebijakan ini bertujuan memberi jeda waktu buat perbaikan tata kelola hutan. Tujuannya, memastikan keberlangsungan alam sekaligus pengakuan hak kelola masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan.
Sayangnya, dalam kurun tiga tahun, carut marut tetap terjadi.  Izin-izin buat perusahaan sawit, HTI, tambang dan lain-lain terlebih dengan dalih master plan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI) terus berjalan di kawasan yang masuk moratorium. Alam dan kehidupan masyarakat terus terancam. Moratorium hutan dan lahan seakan dikangkangi.
Indonesia, tak lama lagi memsuki era pergantian pemimpin baru. Untuk itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global, mendesak,  pemimpin baru harus memiliki komitmen lebih kuat dalam penyelamatan hutan, gambut dan menjamin hak kelola masyarakat.
Demikian benang merah diskusi bertajuk “3 Tahun Moratorium Izin Kehutanan, Seperti Apakah Perlindungan Lahan Gambut, Pencegahan Kebakaran Hutan dan Penyelesaian Konflik di era Moratorium serta Harus Seperti Apakah Pemerintah Ke Depan?” di Jakarta, 21 Mei 2014.
Mereka mengajukan beberapa rekomendasi kepada Presiden SBY ataupun pemimpin baru nanti. Rekomendasi itu antara lain. Presiden harus memastikan pencapaian target penurunan emisi gas rumah kaca nasional seperti dicanangkan. “Salah satu lewat menghapus pengecualian dalam Inpres Moratorium,” kata Teguh Surya, pengkampanye Politik Hutan Greenpeace.
Adapun pengecualian Inpres Moratorium yang harus dihapus itu terkait permohonan yang mendapat persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan, pelaksanaan pembangunan nasional bersifat vital seperti geothermal, minyak dan gas bumi,ketenagalistrikan, dan lahan untuk padi dan tebu. Lalu, perpanjangan izin pemanfaatan hutan atau penggunaan kawasan hutan yang telah ada sepanjang izin di bidang usaha masih berlaku.
Perusahaan tambang Arthaindo tengah membabat hutan di kawasan hutan lindung Tojo Una-una. Meskipun perusahaan ini sudah di-police line karena diduga beroperasi sebelum ada izin pinjam pakai kawasan hutan dari Kemenhut, tetapi tetap beroperasi. Lucunya lagi, kawasan ini masuk moratorium. Foto: Jatam Sulteng
Bagian restorasi ekosistem, katanya, masih berlaku dengan mengganti istilah RE dengan pemulihan ekosistem.
Koalisi mendesak, Presiden segera menerbitkan landasan hukum peninjauan kembali izin‐izin konsesi perkebunan, hutan tanaman industri, dan pertambangan di atas hutan dan lahan gambut serta hutan adat. Juga memastikan pemerintah membangun mekanisme pemantauan atau pengawasan moratorium yang mudah dimengerti dan diakses masyarakat, khusus kaum perempuan.
Presiden juga didesak revisi RPP Gambut dengan melibatkan partisipasi aktif pemangku kepentingan, khusus masyarakat di sekitar lahan gambut.
Lalu, menghentikan dan mencegah dampak bencana kebakaran hutan dan gambut meluas. Caranya, tidak membenarkan pembangunan kebun baru dan HTI pada lahan gambut dan hutan yang tersisa, mengkaji ulang konsesi di lahan gambut, termasuk yang masih tahap pengajuan. Lantas, penegakan hukum perusahaan yang areal konsesi terbakar, dan fokus kejahatan korporasi.
Pemerintah juga didesak segera mengesahkan UU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat.
Contoh-contoh di lapangan yang menunjukkan moratorium belum berjalan efektif dijabarkan. “Melihat perkembangan peta indikatif penundaan izin baru, justru terjadi kompromi dengan izin-izin lokasi yang baru diusulkan,” kata Frangki, Yayasan Pusaka.
Dia mencontohkan, di Papua dan Papua Barat, setidaknya ada tiga permasalahan besar. Pertama, ketentuan pengecualian dalam kebijakan moratorium masih memungkinkan perkebunan besar masuk wilayah moratorium dengan mengusung kepentingan pangan dan energi. Salah satu contoh, mega proyek MIFEE di Merauke, izin dan rekomendasi keluar meskipun di wilayah moratorium.
Kedua, pemberian izin baru oleh pemerintah daerah meningkat, hingga terjadi alih fungsi dan perubahan peruntukan kawasan hutan. Lebih dari 1,5 juta hektar kawasan hutan di Papua dan Papua Barat untuk pencadangan hutan tanaman industri (HTI) dan 2,6 juta hektar hutan alam dialokasi buat ditebang.
Ketiga, alih fungsi kawasan hutan massif. Pemerintah Papua Barat mengesahkan usulan revisi RTRW dengan perubahan kawasan hutan seluas 1.836.327 hektar. Ini terdiri dari perubahan peruntukan 952.683 hektar dan fungsi 874.914 hektar. Kawasan APL menjadi kawasan hutan hanya 8.730 hektar. “Sebagian besar untuk investasi perkebunan.”
Azmi Sirajuddin, Yayasan Merah Puti Palu, Sulawesi Tengah, angkat bicara. Di Sulteng, dari 443 IUP memakan kawasan hutan sleuas 1,3 juta hektar. “Ini sudah dua pertiga dari kawasan hutan Sulteng yang tinggal 3,1 juta hektar. Besar sekali, ini buat kepentingan pertambagan,” ujar dia.
Dia mengatakan, kawasan-kawasan parah perusakan kawasan hutan, termasuk di kawasan moratorium, seperti di Kabupaten Banggai, Morowali dan Tojo Una-una. “Desa Podi, itu masuk Inpres Moratorium, tetapi pada 2012 bupati kasih izin nikel dan biji besi. Ini daerah bencana tapi tetap dikasih izin. Moratorium sama sekali tak ditaati.”
Hutan di Kepualauan Aru ini baru saja terlepas dari ancaman buat kebun tebu. Kini, muncul ancaman baru dari sawit. Padahal ini pulau kecil yang ditegaskan dalam UU tak boleh ada eksploitasi besar-besaran. Foto:
Kebijakan MP3EI menambah parah kerusakan, terlebih Sulteng masuk koridor biji besi dan nikel. Kepala daerah, katanya, lebih senang mengeluarkan izin atas nama MP3EI ketimbang taat pada Inpres Moratorium. “Ini sikap pembangkangan di Sulteng. Lebih suka uang tunai. Satu izin di Sulteng sekitar Rp1 miliar dengan dalih dana reklamasi. Ini jadi bisnis bupati di  Sulteng.”
Abu Meredian, Forest Watch Indonesia juga mengungkapkan kekhawatiran sama. Aturan di negeri ini, katanya, seakan tak bergigi. Sesuai UU Pesisir, pulau-pulau kecil di bawah 2.000 meter persegi dilindungi tetapi kenyataan berbeda, seperti terjadi di Kepulauan Aru. Izin-izin penguasaan lahan untuk perkebunan tebu dikeluarkan pemerintah daerah. Meskipun, belakangan disebutkan Menteri Kehutanan, kebun tebu tak layak di Kepulauan Aru. Bukan berarti aman, muncul kabar, sudah menanti persetujuan izin buat kebun sawit.
Di Kepulauan Aru, katanya, memiliki potensi kayu merbau cukup besar. “Di sana kayu merbau banyak diameter lebih satu meter.”
Dia meminta, pulau-pulau kecil jangan dianaktirikan, karena hutan-hutan di wilayah ini sangat rentan. “Kalau sampai dibabat akan munculkan dampak buruk bagi pulau dan orang di sana.”
Begitu pula terjadi di Kalimantan Tengah. Edo Rahman dari Walhi, mengatakan, Inpres Moratorium tak maksimal di daerah pilot project REDD+ ini. “Terbukti di Kalteng, muncul izin-izin memanfaatkan kawasan hutan yang masuk Inpres Moratorium.”
Miris. Meskipun Presiden sudah mengeluarkan inpres tetapi seakan tak wajib laksanakan daerah. “Karena para pemimpin daerah tak anggap wajib jalankan inpres itu. Terbukti banyak izin keluar.”
Muslim Rasyid, koordinator Jikalahari  mengatakan, moratorium seharusnya menjadi momentum koreksi izin-izin bermasalah di Riau, yang sampai saat ini penanganan tak jelas. Dia memperlihatkan bagaimana peta kawasan yang dilindungi moratorium, setiap revisi enam bulan berkurang dan akhirnya bersih dari perlindungan.
Tolak Capres Mafia Migas dan Tambang
Sebelum itu, Koalisi Anti Mafia Sumber Daya Alam mendesak kandidat yang maju dalam pilpres tidak melibatkan mafia tambang dan migas dalam tim sukses pemenangan. Koalisi menganggap keterlibatan mafia tambang dan migas punya andil besar dalam carut marut tata kelola hutan selama ini.
Organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam koalisi itu antara lain, KontraS, Institut Hijau Indonesia, ICEL, Fitra, Indonesia Corruption Watch, Jatam dan Solidaritas Perempuan.
Tepian pantai di Pulau Bangka, yang mulai direklamasi. Mangrove ditebang. Batu-batu ditumpahkan ke laut. Foto: Save Bangka Island
“Sektor tambang dan migas rumah nyaman bagi para koruptor. Di pilkada maupun pilpres banyak mafia tambang ikut sokong dana kampanye. Tambang dan migas jadi primadona kumpulkan modal politik,” kata Ki Bagus Hadi Kusuma dari Jatam, Selasa (20/5/14).
Jika mafia tambang dan migas berperan, akan terjadi politik balas jasa. Banyak peraturan dan kebijakan menguntungkan mereka sebagai bagian balas jasa dukungan politik. “Tahun 2009, pasangan SBY-Boediono mendapatkan dana kampanye Rp24,5 miliar dari pengusaha tambang. Begitupun capres lain.”
Data Jatam, 68 persen Indonesia sudah terkavling untuk konsensi tambang, migas dan perkebunan. “Faktanya, pertambangan tidak membuat masyarakat sejahtera. Justru memakan lahan luas dan menimbulkan konflik dengan masyarakat. Akses mereka menjadi terbatas. Juga mengancam ketersediaan air,” kata Bagus.
Chalid Muhammad dari Institut Hijau Indonesia, mengatakan, sebaiknya capres menutup celah mafia tambang dan migas masuk dalam tim sukses. “Jangan sampai ada penumpang gelap.”
Dia berharap,  capres yang maju transparan mengungkap sumber dana kampanye mereka. “Kami ingin capres dan cawapres tegas, mereka tidak melibatkan mafia migas dan tambang.”
Chalid mendesak, capres berkomitmen memperbaiki kebijakan tata kelola energi pertambangan yang lebih memihak rakyat. Juga membersihkan kabinet pemerintahan dari intervensi mafia tambang dan migas.
Senada dengan Hadi Prayitno dari Knowledge Management Manager Fitra.  Dia mengatakan, eksploitasi sumber SDA besar-besaran karena belanja negara dibebankan pada sumber lain, yaitu penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
“Padahal, 97 persen PNBP dari eksploitasi tambang dan migas. Di APBN 2014, mencapai Rp198 triliun. Tak heran eksploitasi SDA besar-besaran dengan dalih penyeimbang APBN.”
Dengan skema ini, bisa menyelamatkan APBN. Namun sisi lain mengorbankan alam, lingkungan dan keselamatan warga sekitar tambang. “Capres harus berpikir soal ini. Mereka harus berani menerapkan rasio pajak lebih tinggi. Beranikah yang maju sekarang berpikir ke arah sana? Sebab, mereka berhadapan dengan mafia,” kata Hadi.
Tak jauh beda dengan Syamdul Munir, divisi advokasi ekonomi dan sosial KontraS. Menurut dia, pertambangan seringkali merenggut hak masyarakat sekitar. Sebab, memakan lahan sangat luas. “Capres harus berani berkomitmen sejak awal menerapkan kebijakan reforma agraria. Kita kawal dari sekarang.”
Hingga 2013, KontraS mencatat ada 12 orang tewas, 211 luka dan 89 ditahan akibat konflik pengelolaan SDA, terutama tambang dan energi.
Emerson Yuntho aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan, isu mafia migas dan tambang harus menjadi konsen utama capres. Ada banyak temuan KPK membuktikan negara dirugikan karena keluar izin tambang dan migas.
“Mereka harus berkomitmen sejak awal tidak menempatkan menteri dari kalangan politisi. Sebab jika kementerian penting seperti ESDM dan Kehutanan ditempati politisi akan tersandera. Sama seperti sekarang di Kemenhut. Kepentingan partai kental.”
Aliza Yuliana, dari divisi perempuan dan konflik SDA Solidaritas Perempuan menyorori dampak buruk pertambangan bagi perempuan. Setiap kali perusahaan tambang beroperasi, tidak pernah mempertimbangkan aspirasi perempuan.
“Padahal, perempuan pihak paling dirugikan. Dampak berlapis. Terutama soal kesehatan reproduksi. Capres harus berkomitmen mengubah ini. Jangan lagi ada politik balas jasa menguntungkan mafia tambang dan migas.”

Hutan-hutan di pebukitan botak di Kabupaten Morowali, seperti di Kecamatan Bungku Timur, dan Bahodopi, bukan pemandangan asing lagi. Eksploitasi SDA yang menjadi andalan pendapatan negara mengancam alam dan warga. Foto: Sapariah Saturi
Evaluasi Tiga Tahun Moratorium

Source : link
0 komentar

Kala Elang, Beruang dan Orangutan Dianggap Hama bagi Petani Madu

Diposting oleh Maysatria Label: Flora dan Fauna
Jamaluddin sedang memerlihatkan tikung miliknya yang belum dipasang di Danau Miuban. Foto: Andi Fachrizal
Jamaluddin sedang memerlihatkan tikung miliknya yang belum dipasang di Danau Miuban. Foto: Andi Fachrizal
Satwa-satwa ini diduga kekurangan makanan di habitat mereka hingga turun gunung dan memakan madu petani.
Jembatan itu memanjang di bantaran Kapuas. Berkelok-kelok mengikuti daerah aliran sungai (DAS). Tak satu pun sepeda motor melintasi. Jembatan serba kayu ini akrab disebut geretak ini tak cukup perkasa menahan beban terlampau berat. Sepeda kayuhpun jadi primadona, selain berjalan kaki.
Di tengah keterbatasan infrastruktur, desa-desa di Kecamatan Bunut Hilir, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, ini memiliki keragaman hayati begitu besar. Salah satu madu hutan. Sayangnya, konflik antara petani dan satwa, sulit dibendung. Tiga satwa dilindungi, orangutan (Pongo pygmaeus-pygmaeus), beruang madu (Helarctos malayanus), dan elang bondol (Haliastur indus), dianggap hama bagi petani.
Minggu (11/5/14), di Dusun Ujung Pandang, Desa Kapuas Raya, Jamaluddin sedang memperbaiki bubu. Selain nelayan, ayah lima anak ini juga petani madu. Dia menyisakan satu tikung di rumah.
Tikung adalah kayu yang disenangi lebah bersarang antara lain cerinap, tembesuk, kawi, meddang, dan rengas. Sebelum dipasang, kayu pilihan itu diolah menyerupai papan agak melengkung selebar 18 centimeter. Panjang tikung rata-rata dua meter.
Meddang adalah jenis kayu diyakini paling bagus buat lebah bersarang. Kayu itu dipasang di pohon pakan lebah. Letak agak jauh dari permukiman. Perlu waktu satu jam menggunakan sampan bermesin 3,3 PK untuk ke lokasi.
Dua desa di Bunut Hilir, Ujung Pandang dan Kapuas Raya beruntung. Di sekitar desa, ada danau sebagai kawasan lebah bersarang. Danau Miuban, namanya. Namun, di danau itu tempat satwa dilindungi mencari pakan untuk bertahan hidup.
“Kalau mau jujur, dari dulu kasus orangutan, elang, dan beruang sudah makan madu. Tapi tidak semua tikung dirusak. Ibaratnya, kalau manusia cuma curi-curi. Jadi kerugian kurang lebih. Kalau kami dapat 40 sarang, biasa hilang belasan tikung,” katanya.
Namun, dia maklum jika hasil panen berkurang. Selain gangguan satwa, juga sudah banyak orang pasang tikung di danau. Kondisi berbeda ketika pemilik tikung masih sedikit. “Kalau banyak, ya terbagilah lebah bersarang. Hasil pasti berkurang.”
Menurut Jamaluddin, penyebab mayas–istilah lokal bagi orangutan–turun ke danau mencari makan karena pakan di hutan berkurang. Si Pongo nekat turun untuk bertahan hidup. Dulu, beberapa petani madu berencana membuka jalan lingkar danau agar orangutan tak masuk ke tikung petani. Rencana itu belum berwujud hingga sekarang lantaran tersandung anggaran.
Mas'ud memerlihatkan madu hasil panen 2014 di kediamannya di Desa Ujung Pandang. Foto: Andi Fachrizal
Mas’ud memerlihatkan madu hasil panen 2014 di kediamannya di Desa Ujung Pandang. Foto: Andi Fachrizal
Berdasarkan hitungan Jamaluddin, dalam satu musim panen, petani bisa menghasilkan 100–200 kilogram madu. Madu dijual ke penampung seharga Rp80.000-Rp100.000 per kilogram.
Bagi petani tradisional, masa panen biasa pada malam hari. Petani tidak berani panen siang hari. Alasannya, takut disengat lebah. Malampun, ditunggu hingga gelap. “Kalau bulan terang kami tak berani. Lebah amat ganas. Kalau satu lebah menyengat, kawanan akan ikut.”
Hal itu diamini Mas’ud, petani madu lain. “Kalau di Danau Miuban tetap ada ganguan. Hama biasa itu ada tiga. Elang, beruang, dan orangutan, ujar dia.
Cara makan tiga satwa ini berbeda. Kalau elang merusak sedikit hanya menggunakan cengkeraman kaki. Namun, kalau sarang dirusak, lebah tetap pergi.
Berbeda dengan beruang, kala merusak sarang meninggalkan jejak lewat kuku ketika memanjat pohon. Beruang makan madu cukup banyak. Sarang lebah pasti hancur berserakan ke tanah.
Lebih parah orangutan. Satwa ini tak meninggalkan jejak sama sekali. Dia seperti manusia, punya telapak tangan, telapak kaki, dan jari-jari. “Anak lebah akan dimakan. Sarang diambil dan memakan sambil duduk di atas tikung. Orangutan makan madu sampai habis.”
“Saya tahu orangutan ini dilindungi. Jadi kita harus menjaga. Kami juga petani harus diperhatikan. Paling tidak bangunkan kami jalan.”
Menurut dia, agar ada akses darat mengelilingi Danau Miuban sekitar tiga kilometer. Mereka perlu dana operasional, sekitar Rp20 juta. “Petani sukarela mau menebas. Dana itu akan buat konsumsi dan lain-lain.”
Dengan ada jalan lingkar danau, gangguan satwa bisa diminimalisasi. “Kalau ini tak dilakukan, saya kira petani madu terus merugi. Kita tidak tahu hati orang. Kalau sudah diam-diam ketika melihat orangutan, maksudnya apa? Masih mending saya, selalu ngomong kalau ada masalah.”
Di Danau Miuban, Mas’ud punya tiga tikung. Pada 2010-2013, lebah banyak datang, tapi orangutan juga ganas. Pada 2012, rata-rata petani di Desa Ujung Pandang dapat 10 sarang dalam satu tikung. Delapan tikung terpasang. Jika dihitung bulat, ada 80 sarang.
Tahun itu, katnya ada tiga tikung dirusak satwa dengan perkiraan tiga kilogram per sarang, berarti ada 30 kilogram hilang.
“Harga madu Rp100.000 per kilogram. Jadi kerugian satu orang Rp3 juta. Kalau madu tadi 8×30 berarti 240 kilogram dikali Rp100.000 berarti Rp24 juta kerugian petani semusim,” kata Mas’ud.
Namun, apa yang dialami petani belum seberapa. Dibandingkan jika perkebunan sawit skala besar masuk. “Saya yakin masalah ini lebih besar. Pakan satwa akan habis. Yang tersisa tinggal danau saja.”
Sebagian besar desa di Kecamatan Bunut Hilir hanya menggunakan jembatan kayu atau geretak sebagai jalan penghubung. Foto: Andi Fachrizal
Sebagian besar desa di Kecamatan Bunut Hilir hanya menggunakan jembatan kayu atau geretak sebagai jalan penghubung. Foto: Andi Fachrizal

Source : link
0 komentar

Sponsored

  • banners
  • banners
  • banners
  • banners

Kategori

  • Flora dan Fauna (128)
  • Forestry (312)
  • Mangrove (82)

Archive

  • ►  2015 (20)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (17)
  • ▼  2014 (43)
    • ►  Agustus (13)
    • ▼  Mei (9)
      • Indonesia, Populasi Terbanyak Peroleh Manfaat Kele...
      • Hari Burung Migran Dunia 2014: Ekowisata Berkelanj...
      • Minim Buruan, Harimau di Jambi Menjadi Korban Jera...
      • Laut Indonesia Berpotensi Serap Karbon Lima Kali L...
      • Sains: Tujuh Fakta Kesalahan Persepsi tentang Raff...
      • Pesan buat Pemimpin Baru: Selamatkan Hutan, Gambut...
      • Kala Elang, Beruang dan Orangutan Dianggap Hama ba...
      • Belasan Izin Tambang di Jambi Bercokol dalam Hutan...
      • Potensi Peluang Blue Carbon dari Ekosistem Pesisir...
    • ►  April (8)
    • ►  Februari (6)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2013 (309)
    • ►  Desember (14)
    • ►  November (97)
    • ►  Oktober (28)
    • ►  September (36)
    • ►  Agustus (11)
    • ►  Juli (20)
    • ►  Juni (19)
    • ►  April (20)
    • ►  Maret (20)
    • ►  Februari (19)
    • ►  Januari (25)
  • ►  2012 (97)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (25)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (15)
    • ►  April (9)
    • ►  Maret (9)
    • ►  Februari (19)
    • ►  Januari (16)
  • ►  2011 (323)
    • ►  Desember (52)
    • ►  November (27)
    • ►  Oktober (12)
    • ►  Agustus (12)
    • ►  Juli (5)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (16)
    • ►  Maret (24)
    • ►  Februari (122)
    • ►  Januari (44)
  • ►  2010 (105)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (22)
    • ►  Agustus (79)

_______________

_______________

 

© My Private Blog
designed by Website Templates | Bloggerized by Yamato Maysatria |