“Kalau saya dengar isu DE (deklarasi ekspor) mau paten, itu satu langkah kemunduran. Ibarat sudah ngerjakan soal SMA, lalu kembali lagi ke kerjaan SD.” Begitu
respon perajin Jepara, Febti Estiningsih, kala mendegar rencana
perubahan aturan ekspor produk mebel kayu dan kerajinan tak perlu
menggunakan dokumen V-Legal.
Dia memceritakan, masa awal mendapatkan dokumen itu. Pada 2012, kala
mendengar, produk kerajinan dan mebel wajib memiliki sertifikasi kayu,
Febti berusaha mencari tahu. Pada 2012, diapun mengurus proses
mendapatkan sertifikat verifikasi legalitas kayu (SVLK). “Ada yang
bilang, buat apa kok repot-repot. Saya ingin bisnis saya berkembang. Saya baru mau upgrade perusahaan dengan harapan sistem ini bisa angkat usaha,” katanya di Jakarta, Senin (5/10/15).
Pada 2013, dokumen SVLK pun dia pegang. Perajin Jepara pemilik CV
Tita International inipun lega sekaligus bangga. Percaya diri makin
besar. Diapun dengan penuh percaya diri memasang iklan perusahaan dengan
memberikan keterangan, pemilik V-Legal.
Pelahan para pembeli datang. “Saya temukan buyer-buyer. Padahal perusahaan saya kecil. Saya berani pasang papan iklan, dengan V-legal. Ada buyer Jepang nyasar gara-gara plang saya. Mereka bilang, pemerintah punya aturan itu bisa nilai positif buat mereka,” ucap Febti.
Kini, dia bisa merasakan hasil dari menggunakan dokumen V-Legal ini.
Tiap bulan, setidaknya dia ekspor dua kontainer produk. Dia khawatir
kala mendengar kabar pemerintah ingin menurunkan derajat dengan
menghapus kewajiban sertifikasi kayu untuk bisnis mebel kayu dan
kerajinan. “Pemerintah sudah lakukan satu langkah lebih maju buat atur
tata tertib aset negara yaitu hutan. Saya eksportir Jepara dari awal
2012, berani putuskan buat laksnakan SVLK karena itu mandatory.”
Dengan kewajiban ini, para pembeli yang sudah lari ke luar Jepara
kembali lagi percaya pada perusahaan-perusahaan yang patuhi aturan.
Memang, katanya, di Jepara, pebisnis menyikapi pro kontra terhadap
aturan ini. Namun, dia menilai, SVLK ini jauh lebih baik dibandingkan
harus menurunkan derajat.
Tak jauh beda diungkapkan Eva Krisdiana, pedagang kayu UD. TNS Berkah
Ilahi, Jepara. Dia merasakan banyak manfaat dari memiliki SVLK. “Kita
bisa tahu sumber kayu yang dipakai dan kayu ekspor dengan jelas. Asal
usul kayu saya jelas. Manajemen keluar masuk kayu juga jelas,” kata
perempuan yang juga Ketua Kelompok TPT, KUB Cipta Maju Jaya Wood ini.
Manajemen usahapun jadi teratur. Dengan SVLK, mereka mengelola usaha
menjadi lebih profesional walaupun perusahaan kecil, setahun di bawah
2.000 meter kubik. “Sebelumnya, misal gak kenal kayu dari mana, gak catet kayu. Ada orang utang pun dicatet di tembok. Bahkan nota itu dikilokan sama istrinya. Gak pernah tahu kayu berapa. Jadi, kita lihat SVLK bantu perusahaan kecil implementasikan manajemen baik.”
Selain itu, dengan SVLK, memberikan dampak positif dengan peningkatan
pembeli. “Walau perusahan kecil, kami jelas. Ada legalitas, perizinan
ada, pemjualan kayu jelas.”
Dulu, katanya, tempat penampungan kayu banyak tak berizin. Hanya
tempat penampungan terdaftar (TPT) dia yang berizin. “Pokoknya asal beli
kayu. Gak tau kayu dari mana.” Dengan ada SVLK, katanya,
sosialisasi ke pedagang berjalan. Awalnya tak tahu aturan, kini mengenal
SVLK. “Orang yang sebelumnya tertidurnya, dibangunkan.”
Menurut dia, aturan SVLK ini, soal urusan jangka panjang, masa depan
hutan-hutan negeri ini. “Ketika kita atur kayu-kayu kita, buat 20 sampai
30 tahun, buat anak cucu kita.”
Eva mengenang kala 1998, bisnis keluarga dia sempat bangkrut, karena
mereka tak mau menjual kayu ilegal. “Kalau kembali ke hati nurani, saya
dan mama sempet sedih. Ketika pulang kampung, setiap kali pulang hutan gede-gede. Setelah ada illegal logging, bersih. Cuma liat tahah gersang.”
Dia khawatir, kala verifikasi legalitas kayu ini diabaikan alias tak
perlu lagi di bisnis mebel kayu dan kerajinan maka tragedi masa lalu
bakal terulang. “Kalau ini sampai digagalkan, saya terus terang sedih.
Saya tiap hari ikut sosialisasi, hanya untuk yakinkan, beli kayu harus bener. Jangan karena motif uang, beli kayu tak jelas,” katanya.
Alasan instruksi Presiden
Ya, upaya memperbaiki tata kelola hutan lewat SVLK ini memang sedang
terancam kalau pemerintah lewat Kementerian Perdagangan mengesahkan
Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) soal ekspor produk industri
kehutanan, yang tak wajib SVLK bagi industri mebel kayu dan kerajinan
(15 HS Code).
“Sekarang terkait Instruksi Presiden, lakukan deregulasi dan
debirokratisasi, maka kita akan terbitkan Permendag baru dalam satu dua
hari ini, dengan mencabut Permendag No 97 tahun 2014 dan Permendag 66
tahun 2015,” kata Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan,
Kementerian Perdagangan, Nurlaila Nur Muhammad kepada Mongabay, Senin (5/10/15).
Pada 2014, katanya, ada kesepakatan tiga kementerian, yakni,
Kementerian Perdagangan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan
Kementerian Perindustrian soal batas waktu penggunaan DE sampai 31
Deember 2015.
Dengan semangat deregulasi itu, maka Permendag soal kebijakan ekspor
produk industri kehutanan yang baru akan menghilangkan verifikasi ganda.
SVLK pada industri mebel kayu dan kerajinan dinilai tak perlu hingga
dihapuskan dari kewajiban pebisnis, hanya bersifat sukarela. Bagi
Kemendag, verifikasi cukup dilakukan pada industri hulu.
“Kewajiban SVLK, ada 15 HS Code, itu terkait produk industri mebel
kayu dan kerajinan, itu tak lagi wajib SVLK, sifatnya voluntary atau
sukarela. Begitu juga rotan. Itu tak wajib SVLK,” katanya.
Pada prinsipnya, ucap Nurlaila, pemerintah ingin SVLK hanya hulu, tak
perlu pada industri hilir. Namun, katanya, untuk beberapa produk hilir
seperti kertas dan pulp juga kayu itu tetap wajib karena industri siap
ber-SVLK. “Yang bebas SVLK hanya HS Code 15, itu produk industri mebel
kayu dan kerajinan.”
Poin penting lain dari kebijakan ekspor industri perkayuan ini,
menghapus ketentuan surat persetejuan ekspor (SPE) kayu ulin. “Sekarang
tak perlu lagi. Hapus. Kayu ulin kalau mau ekspor, yang diverifikasi
hanya dengan SVLK.”
Langkah Kemendag ini menuai kekhawatiran banyak pihak. Organisasi
masyarakat sipil yang selama ini bekerja di lapangan dan melihat banyak
praktik buruk pada industri kehutanan pun berang. Mereka menilai,
kebijakan ini jelas-jelas langkah mundur perbaikan tata kelola hutan di
Indonesia.
“Kalau ada teriakan-teriakan keberatan, apakah mereka tak bisa
buktikan kalau kayu-kayu mereka dari sumber legal?” kata Ian Hilman,
dari Eyes On The Forest.
Dari hasil pantauan di lapangan, masih ada perusahaan legal tetapi
sumber kayu tak legal. Jadi, masih banyak ruang terbuka dari hulu kayu
tak legal, di hilir menjadi legal. Jadi, katanya, guna memastikan
kayu-kayu diperoleh legal, dari hulu sampai hilir harus terjamin.
“Karena banyak celah, kenapa harus SVLK melangkah mundur?”
Ian mengatakan, SVLK tak berbicara untuk kebutuhan ekspor kayu
Indonesia namun semangat negeri ini dalam memperbaiki tata kelola
kehutanan. Jadi, ekspor maupun tidak, dengan SVLK ini ada upaya
Indonesia agar industri beroperasi industri beroperasi legal.
Syahrul F dari Auriga angkat bicara. Menurut dia, SVLK itu bukan
melulu soal tata niaga, paling utama tata kelola hutan. Kemunculan
kebijakan tak sejalan dengan SVLK itu, katanya, menunjukkan
ketidakharmonisan pemerintah. “Itu jadi persoalan yang lemahkan
perlindungan hutan yang sudah lama diperjuangkan. SVLK ini tempuh jalan
panjang. Proses 10 tahun. Sampai saat ini, masih proses. Justru malah
ada aturan yang tak akomodir SVLK.”
Dia ingin membuka mata pemerintah dengan kebakaran hutan dan lahan
yang saat ini terjadi, itu memperlihatkan tata kelola hutan tak baik.
Baru saja ada upaya perbaikan tata kelola hutan, malah dipatahkan dengan
kebijakan ekspor. “SVK ini buat bikin kelola hutan tertib. Justru
ketika ada upaya perbaikan kok malah lahir kebijakan tak mendukung,” katanya.
Perkuat aturan SVLK
Demi memperbaiki tata kelolal hutan, seharusnya, SVLK malah
diperkuat. SVLK, katanya, tak cukup diatur peraturan menteri karena
kurang mengikat. “Pemerintah harus menguatkan dengan peraturan
pemerintah. Selain memperkuat juga diintegrasikan ke lini semua
pemerintahan. Bahkan di pemda, SVLK ini belum familiar. Ini harus
perhatian bersama.”
Zainuri Hasyim, dari Jaringan Pemantau Independen Kehutanan menilai,
ada kesalahan pandang atas instrumen SVLK ini. “Ini kesalahan cara
pandang kala SVLK jadi instrumen ekspor. Padahal, ini sistem jaminan
kelestarian legalitas kayu dan produk. Jika ada Kemendag lihat ini
sebagai intrumen ekspor, salah pandang. Kepatuhan komitmen ini yang
harus didukung Kemendag lewat aturan yang mereka terbitkan.”
Senada dengan Syahrul, Zainuripun meminta level aturan SVLK memang
harus ditingkatkan. Karena, dengan fakta ini terlihat koordinasi
antarkementerian tak harmonis.
Menurut dia, jika yang dikeluhkan soal kesulitan SVLK, banyak pihak,
termasuk pemerintah sudah membantu memberikan kemudahan sertifikasi
dengan berbagai program, sampai insentif biaya.
Citra Hartati, dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)
sangat khawatir dengan perkembangan revisi Permendag ini. “Jangan
sampai ini jadi langkah mundur. Untuk memperkuat itu kami minta ada
aturan lebih tinggi, jangan sampai cuma Permenhut,” katanya.
Pemerintah Indonesia, kata Citra, seharusnya bangga karena mempunyai
sistem ini. Negara lain saja, ingin belajar. “SVLK itu sebenarnya
kebanggaan. Itu sama dengan harga diri bangsa. Yang dulu dicap pelaku illegal logging. Sekarang sudah ada sistem.”
Serupa dikatakan Timer Manurung juga dari Jaringan Pemantau
Independen Kehutanan. Bagi dia, perlu ada perubahan cara melihat,
termasuk dari kalangan pengusaha yang mau menggagalkan SVLK. “Justru
SVLK ini pastikan kayu tetap ada. Karena kalau dibuka semua akan habis
sepetti 1998.”
Dalam penerapan SVLK ini, tak usah memandang karena ada kerja sama
dengan Eropa maupun negara lain, tetapi demi kepentingan dan kebaikan
Indonesia. “Bukan karena kita ditekan Eropa, bukan beratkan pengusaha.
Ini agar pengusaha berbisnis janga panjang. Kalau ada yang bilang SVLK
memberatkan, saya mau tanya, semangatnya apa? Kemudahan sudah dikasih.”
Bagi pemerintah, seharusnya, SVLK ini menjadi instrumen utuh buat
tata kelola, dari pendataan sampai perencanaan. “Di tambang hampir 30% gak ada NPWP. Industri kayu juga. Kalau gak ada SVLK, pemerintah itu gak akan tahu. SVLK itu bantu negara. Pemerintah jadi tambah data. Ubahlah cara pandang itu.”
Dari data, terlihat hanya sedikit nilai ekspor kayu dari bukan
pengguna SVLK. “Jangan karena orang liar, maka kita mau ikut-ikutan
liar. Kita lihat kepentingan negara kita. Negara hadir itu seperti itu,”
ucap Manurung.
Nilai ekspor dalam beberapa tahun belakangan setelah menggunakan
V-Legal malah mengalami peningkatan. Pada 2013, nilai ekspor industri
perkayuan US$6,067,388,152, 2014 naik menjadi US$6,602,595,732 dan 2015,
baru sampai September sudah US$8,034,792,378. Kala dilihat perbandingan
antara nilai ekspor menggunakan DE (15 HS Code) sampai September 2015
sebesar US$162,340,187.48 (2%), V-Legal (15 HS Code) US$1,421,809,541,99
(17,70%). Nilai ekspor yang menggunakan dokumen V-Legal
US$8,034,792,278,38.
Kalaupun mau berbicara SVLK buat kepentingan ekspor, seharusnya
Indonesia bangga karena menjadi pionir. Tiongkok, yang disebut-sebut
sebagai negara pasar kayu tak perlu bersertifikat itu sebentar lagi juga
berubah. “China mau negoisasi dengan Uni Eropa. Burma bentar lagi
bangun skema dengan Inggris.” Uni Eropa, termasuk Inggris adalah pasar
yang mengharuskan produk kayu dengan lacak balak jelas.
“Dunia itu kecil, kalau gak ada sistem kita gak akan compete. Ini juga kepentingan pengusaha kita.”
Seharusnya, kata Manurung, peerintah berpikir lebih maju, bahwa SVLK
bukan hanya soal ekspor juga pasar dalam negeri. “Misal proyek-proyek
pemda, bangunan pemerintah pakai produk ber-SVLK. Instrumen ini
dikuatkan.”
M Ichwan, dari PPLH Mangkubbumi juga pemantau kehutanan dari Jawa
Timur mengatakan, setelah cermati draf revisi Permendag, kalau
berlanjut akan menciderai sistem yang dibangun multipihak bersama 10
lalu. Kala ada SVLK saja, masih banyak kayu-kayu lalu lalang tanpa
dokumen V-Legal, apalagi ada peluang tak mengharuskan itu. “Kami di
Jatim, tolak keras, kalau memang draf Permendag ini dilanjutkan. Ini
dari dalam sistem yang merusak sistem.”
Dia mencontohkan di Jatim, sebagai jadi salah satu provinsi pintu
ekspor kayu ke Uni Eropa dan negara lain. Ada tiga pelabuhan di Gersik,
Tanjungperak dan Pasuruan dengan pasokan kayu dari Papua, Kalimantan dan
Sulawesi.
“Sekitar 90% suplai kayu di Jatim dari Papua. Dan 85% kayu merbau.
Pantauan kami, Januari sampai September ini, hampir 75% kayu bulat atau
olahan masuk ke pelabuhan tanpa ada V-Legal sesuai mandat permen.
Artinya, bisa dipastikan kayu-kayu itu tak bisa dijamin dari aspek
legalitas,” katanya.
Bahkan, pemantauan dua minggu lalu, mereka mendapatkan kayu-kayu log
besar di pelabuhan Gersik, tak bertanda V-legal. Bahkan, sudah ke
petugas di dinas kabupaten maupun kota menanyakan dokumen V-Legal juga
tak ada. Dia prihatin juga, kala provinsi ternyata masih tak paham
dokumen V-Legal.
Menurut dia, sejak ada larangan ekspor kayu bulat, modus ‘pencucian kayu’ yang masuk ke Jatim, berganti ke kayu olahan.
0 komentar:
Posting Komentar