Kamis, 08 Oktober 2015
Info Sebaran Hotspot provinsi Jambi 27 September - 5 Oktober 2015
Diposting oleh Maysatria Label: NewsAsap hitam pekat memenuhi setiap ruang kota Jambi (5/10/2015). Asap menggila karena ada ratusan hotspot bertebaran di Provinsi Jambi dan angka ISPU mencapai level 504 dengan status berbahaya.
Source : Warsi
Tak Wajibkan SVLK, Kebijakan Ekspor Ini Bikin Langkah Mundur Tata Kelola Hutan
Diposting oleh Maysatria Label: News
“Kalau saya dengar isu DE (deklarasi ekspor) mau paten, itu satu langkah kemunduran. Ibarat sudah ngerjakan soal SMA, lalu kembali lagi ke kerjaan SD.” Begitu
respon perajin Jepara, Febti Estiningsih, kala mendegar rencana
perubahan aturan ekspor produk mebel kayu dan kerajinan tak perlu
menggunakan dokumen V-Legal.
Dia memceritakan, masa awal mendapatkan dokumen itu. Pada 2012, kala
mendengar, produk kerajinan dan mebel wajib memiliki sertifikasi kayu,
Febti berusaha mencari tahu. Pada 2012, diapun mengurus proses
mendapatkan sertifikat verifikasi legalitas kayu (SVLK). “Ada yang
bilang, buat apa kok repot-repot. Saya ingin bisnis saya berkembang. Saya baru mau upgrade perusahaan dengan harapan sistem ini bisa angkat usaha,” katanya di Jakarta, Senin (5/10/15).
Pada 2013, dokumen SVLK pun dia pegang. Perajin Jepara pemilik CV
Tita International inipun lega sekaligus bangga. Percaya diri makin
besar. Diapun dengan penuh percaya diri memasang iklan perusahaan dengan
memberikan keterangan, pemilik V-Legal.
Pelahan para pembeli datang. “Saya temukan buyer-buyer. Padahal perusahaan saya kecil. Saya berani pasang papan iklan, dengan V-legal. Ada buyer Jepang nyasar gara-gara plang saya. Mereka bilang, pemerintah punya aturan itu bisa nilai positif buat mereka,” ucap Febti.
Kini, dia bisa merasakan hasil dari menggunakan dokumen V-Legal ini.
Tiap bulan, setidaknya dia ekspor dua kontainer produk. Dia khawatir
kala mendengar kabar pemerintah ingin menurunkan derajat dengan
menghapus kewajiban sertifikasi kayu untuk bisnis mebel kayu dan
kerajinan. “Pemerintah sudah lakukan satu langkah lebih maju buat atur
tata tertib aset negara yaitu hutan. Saya eksportir Jepara dari awal
2012, berani putuskan buat laksnakan SVLK karena itu mandatory.”
Dengan kewajiban ini, para pembeli yang sudah lari ke luar Jepara
kembali lagi percaya pada perusahaan-perusahaan yang patuhi aturan.
Memang, katanya, di Jepara, pebisnis menyikapi pro kontra terhadap
aturan ini. Namun, dia menilai, SVLK ini jauh lebih baik dibandingkan
harus menurunkan derajat.
Tak jauh beda diungkapkan Eva Krisdiana, pedagang kayu UD. TNS Berkah
Ilahi, Jepara. Dia merasakan banyak manfaat dari memiliki SVLK. “Kita
bisa tahu sumber kayu yang dipakai dan kayu ekspor dengan jelas. Asal
usul kayu saya jelas. Manajemen keluar masuk kayu juga jelas,” kata
perempuan yang juga Ketua Kelompok TPT, KUB Cipta Maju Jaya Wood ini.
Manajemen usahapun jadi teratur. Dengan SVLK, mereka mengelola usaha
menjadi lebih profesional walaupun perusahaan kecil, setahun di bawah
2.000 meter kubik. “Sebelumnya, misal gak kenal kayu dari mana, gak catet kayu. Ada orang utang pun dicatet di tembok. Bahkan nota itu dikilokan sama istrinya. Gak pernah tahu kayu berapa. Jadi, kita lihat SVLK bantu perusahaan kecil implementasikan manajemen baik.”
Selain itu, dengan SVLK, memberikan dampak positif dengan peningkatan
pembeli. “Walau perusahan kecil, kami jelas. Ada legalitas, perizinan
ada, pemjualan kayu jelas.”
Dulu, katanya, tempat penampungan kayu banyak tak berizin. Hanya
tempat penampungan terdaftar (TPT) dia yang berizin. “Pokoknya asal beli
kayu. Gak tau kayu dari mana.” Dengan ada SVLK, katanya,
sosialisasi ke pedagang berjalan. Awalnya tak tahu aturan, kini mengenal
SVLK. “Orang yang sebelumnya tertidurnya, dibangunkan.”
Menurut dia, aturan SVLK ini, soal urusan jangka panjang, masa depan
hutan-hutan negeri ini. “Ketika kita atur kayu-kayu kita, buat 20 sampai
30 tahun, buat anak cucu kita.”
Eva mengenang kala 1998, bisnis keluarga dia sempat bangkrut, karena
mereka tak mau menjual kayu ilegal. “Kalau kembali ke hati nurani, saya
dan mama sempet sedih. Ketika pulang kampung, setiap kali pulang hutan gede-gede. Setelah ada illegal logging, bersih. Cuma liat tahah gersang.”
Dia khawatir, kala verifikasi legalitas kayu ini diabaikan alias tak
perlu lagi di bisnis mebel kayu dan kerajinan maka tragedi masa lalu
bakal terulang. “Kalau ini sampai digagalkan, saya terus terang sedih.
Saya tiap hari ikut sosialisasi, hanya untuk yakinkan, beli kayu harus bener. Jangan karena motif uang, beli kayu tak jelas,” katanya.
Alasan instruksi Presiden
Ya, upaya memperbaiki tata kelola hutan lewat SVLK ini memang sedang
terancam kalau pemerintah lewat Kementerian Perdagangan mengesahkan
Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) soal ekspor produk industri
kehutanan, yang tak wajib SVLK bagi industri mebel kayu dan kerajinan
(15 HS Code).
“Sekarang terkait Instruksi Presiden, lakukan deregulasi dan
debirokratisasi, maka kita akan terbitkan Permendag baru dalam satu dua
hari ini, dengan mencabut Permendag No 97 tahun 2014 dan Permendag 66
tahun 2015,” kata Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan,
Kementerian Perdagangan, Nurlaila Nur Muhammad kepada Mongabay, Senin (5/10/15).
Pada 2014, katanya, ada kesepakatan tiga kementerian, yakni,
Kementerian Perdagangan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan
Kementerian Perindustrian soal batas waktu penggunaan DE sampai 31
Deember 2015.
Dengan semangat deregulasi itu, maka Permendag soal kebijakan ekspor
produk industri kehutanan yang baru akan menghilangkan verifikasi ganda.
SVLK pada industri mebel kayu dan kerajinan dinilai tak perlu hingga
dihapuskan dari kewajiban pebisnis, hanya bersifat sukarela. Bagi
Kemendag, verifikasi cukup dilakukan pada industri hulu.
“Kewajiban SVLK, ada 15 HS Code, itu terkait produk industri mebel
kayu dan kerajinan, itu tak lagi wajib SVLK, sifatnya voluntary atau
sukarela. Begitu juga rotan. Itu tak wajib SVLK,” katanya.
Pada prinsipnya, ucap Nurlaila, pemerintah ingin SVLK hanya hulu, tak
perlu pada industri hilir. Namun, katanya, untuk beberapa produk hilir
seperti kertas dan pulp juga kayu itu tetap wajib karena industri siap
ber-SVLK. “Yang bebas SVLK hanya HS Code 15, itu produk industri mebel
kayu dan kerajinan.”
Poin penting lain dari kebijakan ekspor industri perkayuan ini,
menghapus ketentuan surat persetejuan ekspor (SPE) kayu ulin. “Sekarang
tak perlu lagi. Hapus. Kayu ulin kalau mau ekspor, yang diverifikasi
hanya dengan SVLK.”
Langkah Kemendag ini menuai kekhawatiran banyak pihak. Organisasi
masyarakat sipil yang selama ini bekerja di lapangan dan melihat banyak
praktik buruk pada industri kehutanan pun berang. Mereka menilai,
kebijakan ini jelas-jelas langkah mundur perbaikan tata kelola hutan di
Indonesia.
“Kalau ada teriakan-teriakan keberatan, apakah mereka tak bisa
buktikan kalau kayu-kayu mereka dari sumber legal?” kata Ian Hilman,
dari Eyes On The Forest.
Dari hasil pantauan di lapangan, masih ada perusahaan legal tetapi
sumber kayu tak legal. Jadi, masih banyak ruang terbuka dari hulu kayu
tak legal, di hilir menjadi legal. Jadi, katanya, guna memastikan
kayu-kayu diperoleh legal, dari hulu sampai hilir harus terjamin.
“Karena banyak celah, kenapa harus SVLK melangkah mundur?”
Ian mengatakan, SVLK tak berbicara untuk kebutuhan ekspor kayu
Indonesia namun semangat negeri ini dalam memperbaiki tata kelola
kehutanan. Jadi, ekspor maupun tidak, dengan SVLK ini ada upaya
Indonesia agar industri beroperasi industri beroperasi legal.
Syahrul F dari Auriga angkat bicara. Menurut dia, SVLK itu bukan
melulu soal tata niaga, paling utama tata kelola hutan. Kemunculan
kebijakan tak sejalan dengan SVLK itu, katanya, menunjukkan
ketidakharmonisan pemerintah. “Itu jadi persoalan yang lemahkan
perlindungan hutan yang sudah lama diperjuangkan. SVLK ini tempuh jalan
panjang. Proses 10 tahun. Sampai saat ini, masih proses. Justru malah
ada aturan yang tak akomodir SVLK.”
Dia ingin membuka mata pemerintah dengan kebakaran hutan dan lahan
yang saat ini terjadi, itu memperlihatkan tata kelola hutan tak baik.
Baru saja ada upaya perbaikan tata kelola hutan, malah dipatahkan dengan
kebijakan ekspor. “SVK ini buat bikin kelola hutan tertib. Justru
ketika ada upaya perbaikan kok malah lahir kebijakan tak mendukung,” katanya.
Perkuat aturan SVLK
Demi memperbaiki tata kelolal hutan, seharusnya, SVLK malah
diperkuat. SVLK, katanya, tak cukup diatur peraturan menteri karena
kurang mengikat. “Pemerintah harus menguatkan dengan peraturan
pemerintah. Selain memperkuat juga diintegrasikan ke lini semua
pemerintahan. Bahkan di pemda, SVLK ini belum familiar. Ini harus
perhatian bersama.”
Zainuri Hasyim, dari Jaringan Pemantau Independen Kehutanan menilai,
ada kesalahan pandang atas instrumen SVLK ini. “Ini kesalahan cara
pandang kala SVLK jadi instrumen ekspor. Padahal, ini sistem jaminan
kelestarian legalitas kayu dan produk. Jika ada Kemendag lihat ini
sebagai intrumen ekspor, salah pandang. Kepatuhan komitmen ini yang
harus didukung Kemendag lewat aturan yang mereka terbitkan.”
Senada dengan Syahrul, Zainuripun meminta level aturan SVLK memang
harus ditingkatkan. Karena, dengan fakta ini terlihat koordinasi
antarkementerian tak harmonis.
Menurut dia, jika yang dikeluhkan soal kesulitan SVLK, banyak pihak,
termasuk pemerintah sudah membantu memberikan kemudahan sertifikasi
dengan berbagai program, sampai insentif biaya.
Citra Hartati, dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)
sangat khawatir dengan perkembangan revisi Permendag ini. “Jangan
sampai ini jadi langkah mundur. Untuk memperkuat itu kami minta ada
aturan lebih tinggi, jangan sampai cuma Permenhut,” katanya.
Pemerintah Indonesia, kata Citra, seharusnya bangga karena mempunyai
sistem ini. Negara lain saja, ingin belajar. “SVLK itu sebenarnya
kebanggaan. Itu sama dengan harga diri bangsa. Yang dulu dicap pelaku illegal logging. Sekarang sudah ada sistem.”
Serupa dikatakan Timer Manurung juga dari Jaringan Pemantau
Independen Kehutanan. Bagi dia, perlu ada perubahan cara melihat,
termasuk dari kalangan pengusaha yang mau menggagalkan SVLK. “Justru
SVLK ini pastikan kayu tetap ada. Karena kalau dibuka semua akan habis
sepetti 1998.”
Dalam penerapan SVLK ini, tak usah memandang karena ada kerja sama
dengan Eropa maupun negara lain, tetapi demi kepentingan dan kebaikan
Indonesia. “Bukan karena kita ditekan Eropa, bukan beratkan pengusaha.
Ini agar pengusaha berbisnis janga panjang. Kalau ada yang bilang SVLK
memberatkan, saya mau tanya, semangatnya apa? Kemudahan sudah dikasih.”
Bagi pemerintah, seharusnya, SVLK ini menjadi instrumen utuh buat
tata kelola, dari pendataan sampai perencanaan. “Di tambang hampir 30% gak ada NPWP. Industri kayu juga. Kalau gak ada SVLK, pemerintah itu gak akan tahu. SVLK itu bantu negara. Pemerintah jadi tambah data. Ubahlah cara pandang itu.”
Dari data, terlihat hanya sedikit nilai ekspor kayu dari bukan
pengguna SVLK. “Jangan karena orang liar, maka kita mau ikut-ikutan
liar. Kita lihat kepentingan negara kita. Negara hadir itu seperti itu,”
ucap Manurung.
Nilai ekspor dalam beberapa tahun belakangan setelah menggunakan
V-Legal malah mengalami peningkatan. Pada 2013, nilai ekspor industri
perkayuan US$6,067,388,152, 2014 naik menjadi US$6,602,595,732 dan 2015,
baru sampai September sudah US$8,034,792,378. Kala dilihat perbandingan
antara nilai ekspor menggunakan DE (15 HS Code) sampai September 2015
sebesar US$162,340,187.48 (2%), V-Legal (15 HS Code) US$1,421,809,541,99
(17,70%). Nilai ekspor yang menggunakan dokumen V-Legal
US$8,034,792,278,38.
Kalaupun mau berbicara SVLK buat kepentingan ekspor, seharusnya
Indonesia bangga karena menjadi pionir. Tiongkok, yang disebut-sebut
sebagai negara pasar kayu tak perlu bersertifikat itu sebentar lagi juga
berubah. “China mau negoisasi dengan Uni Eropa. Burma bentar lagi
bangun skema dengan Inggris.” Uni Eropa, termasuk Inggris adalah pasar
yang mengharuskan produk kayu dengan lacak balak jelas.
“Dunia itu kecil, kalau gak ada sistem kita gak akan compete. Ini juga kepentingan pengusaha kita.”
Seharusnya, kata Manurung, peerintah berpikir lebih maju, bahwa SVLK
bukan hanya soal ekspor juga pasar dalam negeri. “Misal proyek-proyek
pemda, bangunan pemerintah pakai produk ber-SVLK. Instrumen ini
dikuatkan.”
M Ichwan, dari PPLH Mangkubbumi juga pemantau kehutanan dari Jawa
Timur mengatakan, setelah cermati draf revisi Permendag, kalau
berlanjut akan menciderai sistem yang dibangun multipihak bersama 10
lalu. Kala ada SVLK saja, masih banyak kayu-kayu lalu lalang tanpa
dokumen V-Legal, apalagi ada peluang tak mengharuskan itu. “Kami di
Jatim, tolak keras, kalau memang draf Permendag ini dilanjutkan. Ini
dari dalam sistem yang merusak sistem.”
Dia mencontohkan di Jatim, sebagai jadi salah satu provinsi pintu
ekspor kayu ke Uni Eropa dan negara lain. Ada tiga pelabuhan di Gersik,
Tanjungperak dan Pasuruan dengan pasokan kayu dari Papua, Kalimantan dan
Sulawesi.
“Sekitar 90% suplai kayu di Jatim dari Papua. Dan 85% kayu merbau.
Pantauan kami, Januari sampai September ini, hampir 75% kayu bulat atau
olahan masuk ke pelabuhan tanpa ada V-Legal sesuai mandat permen.
Artinya, bisa dipastikan kayu-kayu itu tak bisa dijamin dari aspek
legalitas,” katanya.
Bahkan, pemantauan dua minggu lalu, mereka mendapatkan kayu-kayu log
besar di pelabuhan Gersik, tak bertanda V-legal. Bahkan, sudah ke
petugas di dinas kabupaten maupun kota menanyakan dokumen V-Legal juga
tak ada. Dia prihatin juga, kala provinsi ternyata masih tak paham
dokumen V-Legal.
Menurut dia, sejak ada larangan ekspor kayu bulat, modus ‘pencucian kayu’ yang masuk ke Jatim, berganti ke kayu olahan.
Berikut Korporasi-korporasi di Balik Kebakaran Hutan dan Lahan Itu
Diposting oleh Maysatria Label: News
Walhi merilis daftar perusahaan besar di balik kebakaran hutan dan
lahan. Daftar itu hasil analisis kebakaran hutan dan lahan di Riau,
Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.
“Hasil analisis menunjukkan mayoritas titik api di dalam konsesi
perusahaan. Di HTI 5.669 titik api, perkebunan sawit 9.168,” kata Edo
Rahkman, Manajer Kampanye Walhi Nasional di Jakarta, pekan lalu.
Dia merinci daftar berbagai grup besar terlibat membakar hutan dan
lahan, di Kalteng Sinar Mas tiga anak perusahaan, Wilmar 14. Di Riau,
anak usaha Asia Pulp and Paper (APP) enam, Sinar Mas (6), APRIL (6),
Simederby (1), First Resources (1) dan Provident (1).
Di Sumsel (8) Sinar Mas dan 11 Wilmar, (4) Sampoerna, (3) PTPN, (1)
Simederby, (1) Cargil dan (3) Marubeni. Kalbar Sinar Mas (6), RGM/ APRIL
(6). Di Jambi Sinar Mas (2) dan Wilmar (2).
Berdasarkan data LAPAN periode Januari-September 2015 ada 16.334
titik api, 2014 ada 36.781. Berdasarkan data NASA FIRM 2015 ada 24.086
titik api, dan 2014 ada 2.014.
Kebakaran hutan dan lahan menyebabkan warga terserang ISPA. Di Jambi
ada 20.471 orang, Kalteng 15.138, Sumsel 28.000, dan Kalbar 10.010
orang.
Arie Rompas Direktur Eksekutif Walhi Kalteng mengatakan, kebakaran
karena pola penguasaan lahan korporasi terlalu luas. Dari 15,3 juta
hektar luas Kalteng, 12,7 juta hektar (78%) dikuasai investasi. Baik
HPH, sawit maupun pertambangan.
“Kalteng memiliki lahan gambut paling luas 3,1 juta hektar. Sudah
habis untuk investasi perkebunan sawit. Kesalahan pemerintah yakni
pembangunan lahan gambut sejuta haktar zaman Soeharto dan membuka gambut
yang menjadi titik api. Gambut itu ekosistem basah yang ketika kering
mudah terbakar,” katanya.
Tahun 2015, ada 17.676 titik api di Kalteng. Kebanyakan di konsesi.
Namun upaya penegakan hukum masih kurang. Baru ada 30 perusahaan
disidik, 10 disegel, tetapi belum jelas tindak lanjut seperti apa.
“Yang ditetapkan tersangka Mabes Polri cuma tiga. Itupun perusahaan
kecil. Ini menunjukkan penegakkan hukum belum mengarah aktor besar yang
mengakumulasi praktik besar pembakaran hutan.”
Dia menyebutkan, grup besar yang seharusnya disasar dalam upaya
penegakan hukum antara lain Grup Wilmar, Best Agro International, Sinar
Mas, Musimas, Minamas, dan Julong Grup.
Grup-grup ini, katanya, mengakumulasi mulai pemilik lahan, membeli
CPO dari perusahaan menengah dan kecil, hingga mendapatkan keuntungan
dari pembakaran hutan dan lahan.
Senada diungkapkan Anton P Wijaya, Direktur Eksekutif Walhi Kalbar.
Dia mengatakan, Kalbar sebenarnya sudah habis dibagj untuk konsesi.
Dari luas 14.680.700 hektar, konsesi perkebunan sawit 5.387.610,41
hektar (550 perusahaan), pertambangan 6,4 juta hektar (817 IUP), dan HTI
2,4 juta hektar (52 perusahaan).
Gambut di Kalbar, 2.383.227,114 hektar, di dalamnya, perkebunan sawit
153 perusahaan seluas 860.011,81 hektar. HTI 27 perusahaan seluas
472.428,86 hektar. Total konsesi di lahan gambut 1.302.498,92 hektar.
“Sebaran Januari-September ada 7.104 titik api. Sebaran di HPH 329,
HTI 1.247, sawit 2.783, tambang 2.600 dan gambut 2.994 titik api. Sejak 8
Juli-22 September, setidaknya 40 perusahaan perkebunan ini konsesi
terbakar 24.529 hektar.
Hasil pemantauan 1-22 September ada 739 titik api. Berada di satu HPH, tiga HTI, 11 perkebunan dan sembilan pertambangan.
“Data tak kami berikan kepada kepolisian. Kami berikan kepada KLHK
dengan harapan segera ditindak serius. Kami kecewa progres penegakan
hukum kepolisian.”
Modus baru
Modus pembakaran hutan dan lahan oleh perusahaan, kata Anton, bukan hanya land clearing penyiapan lahan juga mengklaim asuransi. “Ini modus baru.”
Modus pembakaran hutan dan lahan oleh perusahaan, kata Anton, bukan hanya land clearing penyiapan lahan juga mengklaim asuransi. “Ini modus baru.”
Di beberapa perusahaan, katanya, kebakaran lahan ada kaitan dengan
kepentingan asuransi. “Ini sedang kita dalami. Kita melihat ada
kesengajaan. Ketika kebun dibuka dalam hitungan ekonomi tak produktif,
maka dihanguskan agar mendapatkan asuransi, uang membuka kebun baru di
wilayah lain.”
Anton belum bersedia menyebut nama-nama perusahaan tetapi dia memastikan ada grup-grup besar terlibat.
“Di Kalbar kita menyiapkan gugatan kepada penyelenggara negara melalui citizen law suit.
Kiita menuntut tanggung jawab negara yang belum memenuhi hak-hak
masyarakat. Ada tujuh posko pendaftaran gugatan di Pontianak. Harapannya
ini mendapatkan dukungan masyarakat.”
Hadi Jatmiko, Direktur Eksekutif Walhi Sumsel mengatakan, titik api
banyak di lahan gambut hingga muncul asap tebal dua bulan belakangan.
Di Sumsel, ada 3.679 titik api dengan sebaran perkebunan 830 dan HTI
2.509. “Hampir seluruhnya di konsesi. Negara harus memastikan
tanggungjawab penuh dari perusahaan dan berani menuntut,” katanya.
Bahkan, ada satu HTI terbakar minggu lalu, ketika masyarakat
berduyun-duyun mengambil air dan memadamkan dihadang kepolisian. Polisi
menanyakan SIM dan STNK. Padahal itu di tengah hutan. Masyarakat tidak
melihat kepolisan menghadang untuk memadamkan api.
“Masyarakat memadamkan karena takut kebun terbakar. Karena ada kebun karet masyarakat 30 hektar terbakar,” katanya.
Rudiansyah dari Walhi Jambi mengatakan, lima tahun terakhir kebakaran di konsesi sama. Sejak 2011, sebaran titik api naik 40%.
“Walaupun ada komitmen pemerintan pusat dan daerah tapi titik api
terus meningkat. Tahun 2015, ada 5.000 an titik api di konsesi, 80%
lahan gambut. HTI maupun sawit.”
Dalam Januari-Agustus 2015, ada 33.000 hektar terbakar dan ISPU sampai 406 hingga membayakan kesehatan.
Menurut dia, rata-rata perusahaan di Jambi pemasok Wilmar. Modus
pembakaran, katanya, pada lahan sisa yang akan ditanami. Yang membakar,
selain karyawan, juga masyarakat dengan upah Rp5 juta. Motif pakai tali
nilon dipasang jarak 200 meter. Pakai minyak tanah, dinyalakan dengan
obat nyamuk.
“Ini kesaksian masyarakat sebagai pelaku. Pembakaran itu disengaja. Akhirnya masyarakat jadi korban.”
Sebenarnya Polda Jambi maupun KLHK sudah merilis dengan mengindentifikasi 15 perusahaan pembakar lahan sengaja.
“Kami menunjukkan grup Sinar Mas, PT Tebo Multi Agro, PT Wira Karya
Sakti. Sudah masuk list kepolisian jambi dan KLHK. Dalam proses
penyelidikan kepolisian belum sampai.”
Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif Walhi Riau melalui sambungan Skype
mengatakan, kebakaran hutan dan lahan di Riau sepanjang Juli-Agustus
juga banyak di konsesi.
Walhi Riau juga ada posko pengaduan masyarakat agar bisa menggugat class action. Walhi Riau juga akan melaporkan ke PBB karena ada kelalaian negara melindungi masyarakat.
Gugatan perdata ada 20 perusahaan. Dua perusahaan sebagai tersangka. Satu izin HPH dicabut KLHK.
Muhnur Satyahaprabu, Manajer Kebijakan dan Pembelaan Hukum Walhi
Nasional juga menanggapi. Dia mengatakan, data ini bukan berdasar
asumsi dan halusinasi Walhi. Semua berdasarkan investigasi dan
terkonfirmasi dari sumber relevan.
“Kita bertanggungjawab atas rilis ini. Kejadian tahun ini seharusnya
membuka peluang negara bertindak. Jangan sampai sepeser uang masyarakat
terambil. Rilis korporasi besar bukan hanya mengungkap kejahatan, juga
meminta pertanggungjawaban.”
Muhnur meminta, pemerintah menggunakan hak representatif warga untuk
mengajukan gugatan. Hak representatif ini jarang dan tidak pernah
dilakukan pemerintah. Seharusnya pemerintah bisa mewakili rakyat
mengklaim semua kerugian dan biaya supaya diganti perusahaan.
Catatan Walhi, 2013 ada 117 perusahaan dilaporkan tetapi hanya satu
dipidana. Sekarang ada kekhawatiran akan terulang. Dari hampir 300
perusahaan, belum jelas proses hukumnya.
Asosiasi dan korporasi menanggapi. “Kalau yang sudah terpublikasi di
media, itu oleh anggota IPOP akan diverifikasi dulu. Apakah benar mereka
melakukan? Jadi kita tak hanya menerima nama dari media. Kami akan
mengecek langsung ke perusahaan,” kata Direktur Eksekutif Indonesian
Palm Oil Pledge (IPOP), Nurdiana Darus di Jakarta, Senin (5/10/15).
Dia mengatakan, kalau pemasok sawit terbukti membakar, setiap anggota IPOP akan mengikuti kebijakan masing-masing perusahaan.
Managing Director Sustainability and Strategic Stakeholders
Engagement Golden Agri Resources Agus Purnomo mengatakan, dalam upaya
verifikasi akan meminta bantuan tim legal independen.
“Soal kebakaran, itu dari 18-20 perusahaan yang diangkat oleh media
massa diduga membakar, hanya tiga atau empat perusahaan pemasok kami.
Dari tiga perusahaan itu, satu dicabut izin oleh KLHK. Otomatis kami
berhenti membeli sawit dari mereka.”
KLHK memang belum mencabut izin tiga perusahaan sawit, baru
membekukan izin sampai proses hukum selesai. Namun, Agus belum mendapat
informasi jelas.
“Bersama-sama teman IPOP dalam minggu ini meminta bantuan tim legal independen hingga kemudian keputusan kami akurat.”
Meski begitu, katanya, lima perusahaan anggota IPOP serius tidak
deforestasi, tidak mengkonversi gambut, juga membakar. ”Bahwa kebun kita
banyak titik api, itu iya. Tidak kita bantah. Kenyataan memang
terbakar. Di lapangan, api terbang karena angin kencang. pohon-pohon
kami meskipun sudah delapan tahun, daun-daun di atasnya kering. Mudah
terbakar.”
Namun, kalaupun terbakar, tim pemadam api perusahaan sudah siap.
Akhir September tak ada titik api terisisa. “Semua habis. Bahwa ada
kebakaran lagi, karena api masih banyak berterbangan. Di kebun kami api
mati bulan-bulan ini antara tiga sampai empat jam setelah diketahui.
Kalau Agustus, satu jam padam. Sekarang agak sulit, karena air sudah tak
ada. Sungai-sungai kecil kering. Jadi kami mau mematikan api pakai
apa?”
Kawasan konservasi perusahaanpun terbakar. Tidak ada jalan kecuali
membawa alat pemadam api ke tengah-tengah kawasan. Akhir bulan lalu, dia
meminta kesepakatan beberapa LSM terpaksa membuat jalan ke kawasan
koservasi agar bisa mematikan api.
“Kami janji pada Januari, begitu El-Nino berakhir, jalan memadamkan
api kami bongkar dan tanami pohon. Direstorasi semula. Ini menunjukkan
kesungguhan dan keterbukaan. Tidak betul di kebun kita tak ada
kebakaran. Banyak. Tapi mati semua dalam beberapa jam.”