Suatu Tantangan dan PR Rimbawan
Oleh: Undang Darmatin*
Pengantar
Pengantar
Berawal dari kekhawatiran penulis akan punahnya cendana Indonesia, maka lahirlah tulisan ini. Artikel ini saya tulis pada tahun 1997 dan pernah dimuat di Majalah Kehutanan Indonesia Edisi 7/XI/1997-1998. Tulisan ini menggambarkan peranan kayu cendana sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah NTT selama kurun waktu 10 tahun (1986-1997). Selain itu, tulisan ini menggambarkan bagaimana upaya-upaya yang telah dilakukan oleh para rimbawan dalam melestarikan dan mengembangkan pohon cendana. Selamat menyimak dan terima kasih.
Cendana (Santalum album L.) adalah tanaman khas yang tumbuh di Pulau Timor dan Pulau Sumba Nusa Tenggara Timur. Cendana merupakan hasil hutan ikutan yang dapat menghasilkan minyak atsiri dengan aroma yang spesifik. Disamping itu cendana mempunyai nilai ekonomis yang tinggi dan memiliki cakupan pemanfaatan dalam skala nasional dan internasional.
Pohon cendana dapat mencapai tinggi antara 12 sampai 15 meter,daun selalu hijau dengan batang lurus, bulat, tanpa akar papan atau tidak berbanir. Umur masak tebang (daur) cendana adalah 50 -60 tahun.
Kayu cendana, terutama kayu terasnya dimanfaatkan sebagai bahan baku industri minyak cendana, patung/ukiran, kipas, bahan kosmetik dan sebagai bahan pelengkap pada upacara ritual keagamaan. Sejarah membuktikan, bahwa cendana telah diperjualbelikan sejak abad ke-3. Waktu itu banyak kapal dagang yang datang ke Pulau Timor dan Pulau Sumba, kemudian diangkut ke pelabuhan transito di wilayah Indonesia bagian barat (Sriwijaya) untuk selanjutnya diteruskan ke India. Hal tersebut menarik perhatian bangsa-bangsa lain, hingga pada abad ke-15 datanglah bangsa Eropa (Portugis, Belanda) ke Pulau Timor untuk melakukan transaksi cendana. Sejak itu perdagangan cendana semakin marak, di Pulau Timor terdapat 12 pelabuhan yang ramai dikunjungi kapal dagang mancanegara.
Kondisi Potensi
Menurut Ir. Ilianto Budiman (Kakanwil Departemen Kehutanan saat itu(1997-1998), populasi cendana saat itu dalam kondisi kritis, baik yang berada di dalam kawasan hutan maupun di lahan milik masyarakat. Akibat sering terjadinya pencurian, penebangan liar dan penyelundupan menyebabkan populasi tegakan cendana setiap tahun terus menyusut, bahkan di Pulau Sumba (jika dinilai dari segi ekonomi) dapat dikatakan punah.
Menurut data hasil inventarisasi di 6 kabupaten (Kupang, Belu, Timor Tengah Selatan (TTS), Timor Tengah Utara (TTU), Sumba Barat, dan Sumba Timur) yang diperoleh dari Kanwil Dep.Kehutanan NTT, populasi cendana di NTT adalah sebagai berikut:
Penyebab lain terjadinya penyusutan populasi cendana adalah menurunnya kandungan teras kayu cendana setiap pohon. Besaran kandungan teras kayu cendana dijadikan sebagai salah satu penentu jatah tebang. Pada akhir tahun 1970, dugaan besarnya kandungan teras cendana diasumsikan sebesar 100 kg/pohon, padahal menurut hasil penelitian Balai Penelitian Hutan Kupang, sejak tahun 1989 sampai dengan 1991 kandungan teras rata-rata perpohon hanya 45,37 kg. Dengan demikian, untuk memenuhi kuota tahunan, jumlah pohon yang ditebang menjadi lebih banyak.
Sumber PAD
Bagi Pemerintah Daerah NTT, kayu cendana merupakan hasil hutan yang memiliki andil besar dalam menunjang Pendapatan Asli Daerah (PAD), karena hampir 40 % PAD Provinsi NTT berasal dari kayu cendana.
Menurut data yang diperoleh dari Kanwil Departemen Kehutanan NTT, besarnya sumbangan cendana terhadap PAD Provinsi NTT dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, adalah:
Dengan melihat perolehan PAD yang berasal dari kayu cendana, tidaklah mengherankan jika penyusutan potensi cendana cukup membuat “dagdigdug” Pemerintah Daerah NTT, karena jika cendana sudah tidak “berkenan” lagi memberi andil, berarti Pemda NTT harus mencari alternatif lain untuk menutup 40 % PAD-nya.
Untuk itu, Pemda NTT telah mengambil sikap melalui instruksi Gubernur KDH Tk. I NTT No. 12 Tahun 1997 untuk menghentikan eksploitasi pohon cendana selama kurun waktu 5 tahun, terhitung mulai tahun 1996 sampai dengan tahun 2001. Konsekwensinya selama kurun waktu tersebut tidak ada penetapan kuota tahunan. Padahal, sebagian kuota tahunan tersebut merupakan sumber bahan baku bagi 2 buah pabrik pengolahan/industri kayu cendana yang berlokasi di Kota Kupang. Kuota produksi kayu cendana pada tahun 1993 ditetapkan 600 ton, kemudian tahun 1994 sampai dengan 1996 rata-rata 300 ton. Lantas dari mana akan diperoleh bahan baku untuk memasok kebutuhan 2 pabrik pengolah/industri kayu cendana jika selama 5 tahun kuota produksi ditutup?
Operasi “Sahabat”
Salah satu solusi sebagai antisipasi dampak sosialisasi instruksi Gubernur KDH Tk. I NTT No.12 Tahun 1997, rupanya telah dipikirkan oleh Pemerintah Daerah. Solusi tersebut berupa kegiatan operasi kayu cendana yang diberi sandi “Operasi Sahabat”. Tujuan Operasi tersebut adalah mengumpulkan sisa-sisa kayu cendana yang dimiliki atau disimpan masyarakat, baik yang diperoleh secara legal maupun ilegal dengan imbalan Rp. 300,-/kg. Imbalan harga tersebut memang cukup murah jika dibandingkan dengan standar harga normal yang berlaku waktu itu. Harga kayu cendana yang sesuai dengan penetapan Pemerintah Daerah adalah Rp. 18.000,- /kg untuk kualitas A, Rp. 15.300,- /kg untuk kualitas B, dan Rp. 9.000,-/kg untuk jenis campuran.
Pelaksanaan operasi tersebut dapat dinilai berhasil. Paling tidak ada dua keuntungan yang diperoleh Pemerintah daerah NTT, yaitu kondisi populasi cendana terkendali,dan Pemda memiliki stock kayu cendana sebagai hasil operasi. “Operasi Sahabat” dapat mengumpulkan kayu cendana sebanyak 2.458.594 kg, terdiri dari kualitas B, campuran dan gubal.
Jika hasil operasi sahabat (2.458.594 kg) dikorelasikan dengan kuota tahunan selama 5 tahun, diperoleh cadangan kayu cendana rata-rata pertahun 491.718,8 kg, setara dengan 491,72 ton/tahun. Jumlah tersebut diharapkan dapat memenuhi kebutuhan bahan baku bagi pabrik pengolah/industri kayu cendana.
Peraturan Cendana
Sebelum tahun 1966, penebangan dan perdagangan bebas kayu cendana sangat tidak terkendali, sehingga pemanfaatannya menguras potensi yang ada, laksana “ember bocor”. Upaya menutup kebocoran dilakukan oleh Pemda NTT dengan menerbitkan Perda Nomor: II Tahun 1966. Perda tersebut merupakan yang pertama mengatur pemanfaatan kayu cendana. Dalam sosialisasinya selama 20 tahun, pemerintah daerah menilai bahwa perda tersebut perlu disempurnakan dan disesuaikan dengan perkembangan. Untuk itu terbitlah Perda Nomor 16 tahun 1986 dengan tujuan mengatur pelestarian dan peningkatan produksi kayu cendana, disamping peningkatan pendapatan rakyat dan pemerintah daerah dari hasil kayu cendana. Dalam prakteknya, perda pengganti tersebut dipandang kurang mendorong minat masyarakat untuk menanam pohon cendana, padahal hampir 90 % pohon cendana tumbuh di tanah milik masyarakat.
Salah satu penyebab kurangnya minat masyarakat untuk menanam cendana adalah sistem bagi hasil yang tidak seimbang antara pemilik pohon cendana dan Pemda. Sistem bagi hasil yang berlaku sesuai perda tersebut adalah 15 % untuk masyarakat, 85 % masuk ke kas pemda NTT. Selain itu, daur (masa panen) pohon cendana yang cukup lama (50 tahun) juga menjadi sebab rendahnya minat masyarakat menanam cendana. Akibatnya, banyak masyarakat yang memiliki pohon cendana secara diam-diam menebang pohon cendana sebelum masak tebang dan langsung dijual ke pengusaha/pengrajin, atau hanya sekedar ditukar sembako.
Kondisi tersebut menggugah Pemda NTT meninjau dan menyempurnakan kembali Perda No. 16 Tahun 1986 dengan menerbitkan Perda No. 7 Tahun 1993. Menurut Perda No. 7 tahun 1993, hak perorangan atau badan hukum untuk memiliki pohon cendana diakui dengan perolehan hasil 85 % untuk Pemda NTT, 15 % untuk perorangan atau badan hukum setelah dikurangi biaya eksploitasi. Bagian untuk perorangan/badan hukum sebesar 15 % diberikan jika dapat menunjukkan bukti pemilikan tanah yang ditumbuhi cendana dengan sertifikat tanah atau hak ulayat yang disahkan Pengadilan Negeri serta bukti pelunasan PBB. Menurut Balai Penelitian Hutan Kupang, pembagian sebesar 15 % untuk rakyat tidak pernah terealisir, dan uangnya masih tersimpan di Pemda NTT dengan alasan bukti pemilikan tanah kurang lengkap. Kondisi tersebut jelas tidak menguntungkan masyarakat, karena harus bertanggungjawab terhadap penanaman, pemeliharaan dan keamanan pohon cendana. Sampai saat itu, penanaman cendana oleh masyarakat di lahan milik/adat dianggap tidak ada, karena sulit membuktikan atau membedakan hasil tanaman dengan permudaan alam, atau biji/terubusan akar. Disamping itu, lahan rakyat di NTT sebagian besar belum bersertifikat.
Dari perda pertama sampai perda berikutnya (Perda No. 7 Tahun 1993), ternyata belum dapat mengangkat hak masyarakat pemilik cendana ke posisi yang menguntungkan. Akhirnya Pemda NTT menyempurnakan Perda No.7/1993 dengan menerbitkan Perda No.2 Tahun 1996 yang mengatur antara lain tentang hak kepemilikan pohon cendana serta kewajiban yang ditanggung oleh perorangan atau badan hukum, juga tentang prosedur eksploitasi dan tata niaga, serta perubahan mengenai sistem bagi hasil menjadi 60 % untuk Pemda Tk. I dan 40 % untuk perorangan/badan hukum. Hasil yang diperoleh Pemda Tk.I sebesar 60 % diberikan kepada Pemda Tk. II penghasil cendana sebesar 50 %.
Pada saat kunjungan ke NTT 14 Oktober 1996 Presiden Soeharto minta kepada Pemda NTT dan DPRD Tk. I, agar sistem pembagian hasil kayu cendana dirubah menjadi 80 % untuk masyarakat dan 20 % untuk Pemda.
Upaya Pelestarian
Sejak awal abad ke-3, eksploitasi cendana berlangsung terus menerus. Meskipun jutaan pohon telah ditebang, nyatanya cendana masih tetap eksis meskipun populasinya semakin menipis. Hal ini membuktikan bahwa jenis ini memiliki kemampuan berkembang biak secara alami. Namun, jika tidak dilakukan permudaan buatan cendana dikhawatirkan akan menuju kepunahan.
Dalam rangka pengembangan dan pelestarian pohon cendana, Kanwil Dephut NTT dan UPTnya pada tahun 1995/1996 telah melaksanakan program percontohan tanaman cendana di 2 Kabupaten dengan luas masing-masing 25 ha. Selanjutnya mengusulkan 2 program kegiatan penanaman cendana melalui Pembangunan HTI Cendana (Santalum Timber Estate) seluas 9.000 ha dan Gerakan Cendananisasi pada lahan masyarakat dengan bibit dari kehutanan.
Sejak Pelita III sampai dengan tahun ke-4 Pelita IV (1996/1997) dinas kehutanan Provinsi NTT telah melakukan penanaman cendana seluas 2.274 ha yang tersebar di sekuruh kabupaten di NTT. Selain oleh Dinas Kehutanan, penanaman dilakukan pula oleh Perum Perhutani Unit II Jawa Timur Wilayah Kupang mencapai luas 547 ha.
Menurut I Komang Surata (BPK Kupang), prestasi luasan tersebut belum menjamin tercapainya potensi cendana yang lestari, karena ada beberapa indikasi, antara lain
- Keberhasilan tanaman sangat rendah (<20%)
- Tingkat keamanan areal tidak memadai
- Penanaman dilakukan pada luasan-luasan kecil yang tersebar di berbagai lokasi (tidak manageable).
Indikasi tersebut menunjukkan masih lemahnya kemampuan perencanaan dan manajemen pembuatan hutan tanaman cendana, serta rendahnya dukungan informasi/teknologi silvikultur. Kondisi demikian telah memacu para peneliti pada Balai Penelitian Hutan Kupang saat itu untuk melakukan sesuatu yang istimewa, yaitu melakukan serangkaian penelitian, pengkajian informasi dan teknologi silvikultur cendana melalui program khusus penelitian dan pengembangan cendana. Tujuan program tersebut adalah menyediakan informasi dan teknologi yang lebih layak bagi hutan tanaman cendana. Hasil dari program tersebut sudah dapat menyempurnakan dan melengkapi pengetahuan mengenai tuntutan silvikultur cendana.
Dalam menunjang keberhasilan pelaksanaan pengembangan tanaman cendana, potensi sumberdaya manusia sebagai instrumen pelaksana kegiatan mempunyai peranan yang sangat penting. Untuk memperoleh tenaga terampil dan berpengetahuan di bidang percendanaan, Balai Latihan Kehutanan Kupang melalui Diklat pegawai dan non pegawai (masyarakat) sejak tahun 1988/1989 sampai tahun 1997/1998 telah melaksanakan pelatihan teknik penanaman cendana terhadap 343 orang siswa (163 orang pegawai, 180 orang non pegawai).
Tantangan dan PR Rimbawan
Abad ke-3 merupakan abad kejayaan cendana. Cendana tumbuh subur laksana alang-alang di musim hujan. Saat itu cendana merupakan primadona dan kebanggaan raja-raja di Pulau Timor dan Pulau Sumba, mereka bisa panen setiap saat dan tak perlu bersusah payah memikirkan permudaan buatan, buat apa? Toh cendana terdapat dimana-mana.
Abad ke-3 telah berlalu, sekarang kita berada di abad ke-21. Sangat disayangkan, potensi cendana NTT mulai menipis, padahal Indonesia dikenal sebagai negara penghasil kayu cendana ketiga setelah India dan Australia. Perlu disadari, kondisi tersebut tidak hanya menjadi masalah regional saja, tetapi sudah menjadi masalah nasional. Tentunya kita tidak mengharapkan Indonesia dihapus dari memori sebagai penghasil kayu cendana, atau kita tidak mengharapkan dapat kiriman kawat bela sungkawa dari negara lain atas punahnya Cendana Indonesia.
Disadari, bahwa menanam cendana tidak semudah menanam sengon atau jati, lantas siapa yang akan menjadi dewa penyelamat Cendana Indonesia? jawabannya sudah pasti adalah RIMBAWAN. Ini merupakan suatu tantangan dan Pekerjaan Rumah (PR) bagi Rimbawan, untuk itu kinerja para Rimbawan dituntut untuk memberikan hasil plus, sebab keberhasilan pemulihan potensi cendana ada pada pundak kalian.*
Source : link
Source : link