skip to main | skip to sidebar

Silva Dream

Konsep Bumi Kita

  • Home
  • Gallery
  • Contact me
  • About Me

Kamis, 22 Maret 2012

Pengembangan Dan Pelestarian Pohon Cendana Di Nusa Tenggara Timur

Diposting oleh Maysatria Label: Forestry
Suatu Tantangan dan PR Rimbawan
Oleh: Undang Darmatin*
Pengantar
Berawal dari kekhawatiran penulis akan punahnya cendana Indonesia, maka lahirlah tulisan ini. Artikel ini saya tulis pada tahun 1997 dan pernah dimuat di Majalah Kehutanan Indonesia Edisi 7/XI/1997-1998. Tulisan ini menggambarkan peranan kayu cendana sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah NTT selama kurun waktu 10 tahun (1986-1997). Selain itu, tulisan ini menggambarkan bagaimana upaya-upaya yang telah dilakukan oleh para rimbawan dalam melestarikan dan mengembangkan pohon cendana. Selamat menyimak dan terima kasih.

Cendana (Santalum album L.) adalah tanaman khas yang tumbuh di Pulau Timor dan Pulau Sumba Nusa Tenggara Timur. Cendana merupakan hasil hutan ikutan yang dapat menghasilkan minyak atsiri dengan aroma yang spesifik. Disamping itu cendana mempunyai nilai ekonomis yang tinggi dan memiliki cakupan pemanfaatan dalam skala nasional dan internasional.
Pohon cendana dapat mencapai tinggi antara 12 sampai 15 meter,daun selalu hijau dengan batang lurus, bulat, tanpa akar papan atau tidak berbanir. Umur masak tebang (daur) cendana adalah 50 -60 tahun.
Kayu cendana, terutama kayu terasnya dimanfaatkan sebagai bahan baku industri minyak cendana, patung/ukiran, kipas, bahan kosmetik dan sebagai bahan pelengkap pada upacara ritual keagamaan. Sejarah membuktikan, bahwa cendana telah diperjualbelikan sejak abad ke-3. Waktu itu banyak kapal dagang yang datang ke Pulau Timor dan Pulau Sumba, kemudian diangkut ke pelabuhan transito di wilayah Indonesia bagian barat (Sriwijaya) untuk selanjutnya diteruskan ke India. Hal tersebut menarik perhatian bangsa-bangsa lain, hingga pada abad ke-15 datanglah bangsa Eropa (Portugis, Belanda) ke Pulau Timor untuk melakukan transaksi cendana. Sejak itu perdagangan cendana semakin marak, di Pulau Timor terdapat 12 pelabuhan yang ramai dikunjungi kapal dagang mancanegara.
Kondisi Potensi
Menurut Ir. Ilianto Budiman (Kakanwil Departemen Kehutanan saat itu(1997-1998), populasi cendana saat itu dalam kondisi kritis, baik yang berada di dalam kawasan hutan maupun di lahan milik masyarakat. Akibat sering terjadinya pencurian, penebangan liar dan penyelundupan menyebabkan populasi tegakan cendana setiap tahun terus menyusut, bahkan di Pulau Sumba (jika dinilai dari segi ekonomi) dapat dikatakan punah.
Menurut data hasil inventarisasi di 6 kabupaten (Kupang, Belu, Timor Tengah Selatan (TTS), Timor Tengah Utara (TTU), Sumba Barat, dan Sumba Timur) yang diperoleh dari Kanwil Dep.Kehutanan NTT, populasi cendana di NTT adalah sebagai berikut:

Penyebab lain terjadinya penyusutan populasi cendana adalah menurunnya kandungan teras kayu cendana setiap pohon. Besaran kandungan teras kayu cendana dijadikan sebagai salah satu penentu jatah tebang. Pada akhir tahun 1970, dugaan besarnya kandungan teras cendana diasumsikan sebesar 100 kg/pohon, padahal menurut hasil penelitian Balai Penelitian Hutan Kupang, sejak tahun 1989 sampai dengan 1991 kandungan teras rata-rata perpohon hanya 45,37 kg. Dengan demikian, untuk memenuhi kuota tahunan, jumlah pohon yang ditebang menjadi lebih banyak.
Sumber PAD
Bagi Pemerintah Daerah NTT, kayu cendana merupakan hasil hutan yang memiliki andil besar dalam menunjang Pendapatan Asli Daerah (PAD), karena hampir 40 % PAD Provinsi NTT berasal dari kayu cendana.
Menurut data yang diperoleh dari Kanwil Departemen Kehutanan NTT, besarnya sumbangan cendana terhadap PAD Provinsi NTT dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, adalah:
Dengan melihat perolehan PAD yang berasal dari kayu cendana, tidaklah mengherankan jika penyusutan potensi cendana cukup membuat “dagdigdug” Pemerintah Daerah NTT, karena jika cendana sudah tidak “berkenan” lagi memberi andil, berarti Pemda NTT harus mencari alternatif lain untuk menutup 40 % PAD-nya.
Untuk itu, Pemda NTT telah mengambil sikap melalui instruksi Gubernur KDH Tk. I NTT No. 12 Tahun 1997 untuk menghentikan eksploitasi pohon cendana selama kurun waktu 5 tahun, terhitung mulai tahun 1996 sampai dengan tahun 2001. Konsekwensinya selama kurun waktu tersebut tidak ada penetapan kuota tahunan. Padahal, sebagian kuota tahunan tersebut merupakan sumber bahan baku bagi 2 buah pabrik pengolahan/industri kayu cendana yang berlokasi di Kota Kupang. Kuota produksi kayu cendana pada tahun 1993 ditetapkan 600 ton, kemudian tahun 1994 sampai dengan 1996 rata-rata 300 ton. Lantas dari mana akan diperoleh bahan baku untuk memasok kebutuhan 2 pabrik pengolah/industri kayu cendana jika selama 5 tahun kuota produksi ditutup?
Operasi “Sahabat”
Salah satu solusi sebagai antisipasi dampak sosialisasi instruksi Gubernur KDH Tk. I NTT No.12 Tahun 1997, rupanya telah dipikirkan oleh Pemerintah Daerah. Solusi tersebut berupa kegiatan operasi kayu cendana yang diberi sandi “Operasi Sahabat”. Tujuan Operasi tersebut adalah mengumpulkan sisa-sisa kayu cendana yang dimiliki atau disimpan masyarakat, baik yang diperoleh secara legal maupun ilegal dengan imbalan Rp. 300,-/kg. Imbalan harga tersebut memang cukup murah jika dibandingkan dengan standar harga normal yang berlaku waktu itu. Harga kayu cendana yang sesuai dengan penetapan Pemerintah Daerah adalah Rp. 18.000,- /kg untuk kualitas A, Rp. 15.300,- /kg untuk kualitas B, dan Rp. 9.000,-/kg untuk jenis campuran.
Pelaksanaan operasi tersebut dapat dinilai berhasil. Paling tidak ada dua keuntungan yang diperoleh Pemerintah daerah NTT, yaitu kondisi populasi cendana terkendali,dan Pemda memiliki stock kayu cendana sebagai hasil operasi. “Operasi Sahabat” dapat mengumpulkan kayu cendana sebanyak 2.458.594 kg, terdiri dari kualitas B, campuran dan gubal.
Jika hasil operasi sahabat (2.458.594 kg) dikorelasikan dengan kuota tahunan selama 5 tahun, diperoleh cadangan kayu cendana rata-rata pertahun 491.718,8 kg, setara dengan 491,72 ton/tahun. Jumlah tersebut diharapkan dapat memenuhi kebutuhan bahan baku bagi pabrik pengolah/industri kayu cendana.
Peraturan Cendana
Sebelum tahun 1966, penebangan dan perdagangan bebas kayu cendana sangat tidak terkendali, sehingga pemanfaatannya menguras potensi yang ada, laksana “ember bocor”. Upaya menutup kebocoran dilakukan oleh Pemda NTT dengan menerbitkan Perda Nomor: II Tahun 1966. Perda tersebut merupakan yang pertama mengatur pemanfaatan kayu cendana. Dalam sosialisasinya selama 20 tahun, pemerintah daerah menilai bahwa perda tersebut perlu disempurnakan dan disesuaikan dengan perkembangan. Untuk itu terbitlah Perda Nomor 16 tahun 1986 dengan tujuan mengatur pelestarian dan peningkatan produksi kayu cendana, disamping peningkatan pendapatan rakyat dan pemerintah daerah dari hasil kayu cendana. Dalam prakteknya, perda pengganti tersebut dipandang kurang mendorong minat masyarakat untuk menanam pohon cendana, padahal hampir 90 % pohon cendana tumbuh di tanah milik masyarakat.
Salah satu penyebab kurangnya minat masyarakat untuk menanam cendana adalah sistem bagi hasil yang tidak seimbang antara pemilik pohon cendana dan Pemda. Sistem bagi hasil yang berlaku sesuai perda tersebut adalah 15 % untuk masyarakat, 85 % masuk ke kas pemda NTT. Selain itu, daur (masa panen) pohon cendana yang cukup lama (50 tahun) juga menjadi sebab rendahnya minat masyarakat menanam cendana. Akibatnya, banyak masyarakat yang memiliki pohon cendana secara diam-diam menebang pohon cendana sebelum masak tebang dan langsung dijual ke pengusaha/pengrajin, atau hanya sekedar ditukar sembako.
Kondisi tersebut menggugah Pemda NTT meninjau dan menyempurnakan kembali Perda No. 16 Tahun 1986 dengan menerbitkan Perda No. 7 Tahun 1993. Menurut Perda No. 7 tahun 1993, hak perorangan atau badan hukum untuk memiliki pohon cendana diakui dengan perolehan hasil 85 % untuk Pemda NTT, 15 % untuk perorangan atau badan hukum setelah dikurangi biaya eksploitasi. Bagian untuk perorangan/badan hukum sebesar 15 % diberikan jika dapat menunjukkan bukti pemilikan tanah yang ditumbuhi cendana dengan sertifikat tanah atau hak ulayat yang disahkan Pengadilan Negeri serta bukti pelunasan PBB. Menurut Balai Penelitian Hutan Kupang, pembagian sebesar 15 % untuk rakyat tidak pernah terealisir, dan uangnya masih tersimpan di Pemda NTT dengan alasan bukti pemilikan tanah kurang lengkap. Kondisi tersebut jelas tidak menguntungkan masyarakat, karena harus bertanggungjawab terhadap penanaman, pemeliharaan dan keamanan pohon cendana. Sampai saat itu, penanaman cendana oleh masyarakat di lahan milik/adat dianggap tidak ada, karena sulit membuktikan atau membedakan hasil tanaman dengan permudaan alam, atau biji/terubusan akar. Disamping itu, lahan rakyat di NTT sebagian besar belum bersertifikat.
Dari perda pertama sampai perda berikutnya (Perda No. 7 Tahun 1993), ternyata belum dapat mengangkat hak masyarakat pemilik cendana ke posisi yang menguntungkan. Akhirnya Pemda NTT menyempurnakan Perda No.7/1993 dengan menerbitkan Perda No.2 Tahun 1996 yang mengatur antara lain tentang hak kepemilikan pohon cendana serta kewajiban yang ditanggung oleh perorangan atau badan hukum, juga tentang prosedur eksploitasi dan tata niaga, serta perubahan mengenai sistem bagi hasil menjadi 60 % untuk Pemda Tk. I dan 40 % untuk perorangan/badan hukum. Hasil yang diperoleh Pemda Tk.I sebesar 60 % diberikan kepada Pemda Tk. II penghasil cendana sebesar 50 %.
Pada saat kunjungan ke NTT 14 Oktober 1996 Presiden Soeharto minta kepada Pemda NTT dan DPRD Tk. I, agar sistem pembagian hasil kayu cendana dirubah menjadi 80 % untuk masyarakat dan 20 % untuk Pemda.
Upaya Pelestarian
Sejak awal abad ke-3, eksploitasi cendana berlangsung terus menerus. Meskipun jutaan pohon telah ditebang, nyatanya cendana masih tetap eksis meskipun populasinya semakin menipis. Hal ini membuktikan bahwa jenis ini memiliki kemampuan berkembang biak secara alami. Namun, jika tidak dilakukan permudaan buatan cendana dikhawatirkan akan menuju kepunahan.
Dalam rangka pengembangan dan pelestarian pohon cendana, Kanwil Dephut NTT dan UPTnya pada tahun 1995/1996 telah melaksanakan program percontohan tanaman cendana di 2 Kabupaten dengan luas masing-masing 25 ha. Selanjutnya mengusulkan 2 program kegiatan penanaman cendana melalui Pembangunan HTI Cendana (Santalum Timber Estate) seluas 9.000 ha dan Gerakan Cendananisasi pada lahan masyarakat dengan bibit dari kehutanan.
Sejak Pelita III sampai dengan tahun ke-4 Pelita IV (1996/1997) dinas kehutanan Provinsi NTT telah melakukan penanaman cendana seluas 2.274 ha yang tersebar di sekuruh kabupaten di NTT. Selain oleh Dinas Kehutanan, penanaman dilakukan pula oleh Perum Perhutani Unit II Jawa Timur Wilayah Kupang mencapai luas 547 ha.
Menurut I Komang Surata (BPK Kupang), prestasi luasan tersebut belum menjamin tercapainya potensi cendana yang lestari, karena ada beberapa indikasi, antara lain
- Keberhasilan tanaman sangat rendah (<20%)
- Tingkat keamanan areal tidak memadai
- Penanaman dilakukan pada luasan-luasan kecil yang tersebar di berbagai lokasi (tidak manageable).
Indikasi tersebut menunjukkan masih lemahnya kemampuan perencanaan dan manajemen pembuatan hutan tanaman cendana, serta rendahnya dukungan informasi/teknologi silvikultur. Kondisi demikian telah memacu para peneliti pada Balai Penelitian Hutan Kupang saat itu untuk melakukan sesuatu yang istimewa, yaitu melakukan serangkaian penelitian, pengkajian informasi dan teknologi silvikultur cendana melalui program khusus penelitian dan pengembangan cendana. Tujuan program tersebut adalah menyediakan informasi dan teknologi yang lebih layak bagi hutan tanaman cendana. Hasil dari program tersebut sudah dapat menyempurnakan dan melengkapi pengetahuan mengenai tuntutan silvikultur cendana.
Dalam menunjang keberhasilan pelaksanaan pengembangan tanaman cendana, potensi sumberdaya manusia sebagai instrumen pelaksana kegiatan mempunyai peranan yang sangat penting. Untuk memperoleh tenaga terampil dan berpengetahuan di bidang percendanaan, Balai Latihan Kehutanan Kupang melalui Diklat pegawai dan non pegawai (masyarakat) sejak tahun 1988/1989 sampai tahun 1997/1998 telah melaksanakan pelatihan teknik penanaman cendana terhadap 343 orang siswa (163 orang pegawai, 180 orang non pegawai).
Tantangan dan PR Rimbawan
Abad ke-3 merupakan abad kejayaan cendana. Cendana tumbuh subur laksana alang-alang di musim hujan. Saat itu cendana merupakan primadona dan kebanggaan raja-raja di Pulau Timor dan Pulau Sumba, mereka bisa panen setiap saat dan tak perlu bersusah payah memikirkan permudaan buatan, buat apa? Toh cendana terdapat dimana-mana.
Abad ke-3 telah berlalu, sekarang kita berada di abad ke-21. Sangat disayangkan, potensi cendana NTT mulai menipis, padahal Indonesia dikenal sebagai negara penghasil kayu cendana ketiga setelah India dan Australia. Perlu disadari, kondisi tersebut tidak hanya menjadi masalah regional saja, tetapi sudah menjadi masalah nasional. Tentunya kita tidak mengharapkan Indonesia dihapus dari memori sebagai penghasil kayu cendana, atau kita tidak mengharapkan dapat kiriman kawat bela sungkawa dari negara lain atas punahnya Cendana Indonesia.
Disadari, bahwa menanam cendana tidak semudah menanam sengon atau jati, lantas siapa yang akan menjadi dewa penyelamat Cendana Indonesia? jawabannya sudah pasti adalah RIMBAWAN. Ini merupakan suatu tantangan dan Pekerjaan Rumah (PR) bagi Rimbawan, untuk itu kinerja para Rimbawan dituntut untuk memberikan hasil plus, sebab keberhasilan pemulihan potensi cendana ada pada pundak kalian.*

Source : link
0 komentar

BURUNG MALEO

Diposting oleh Maysatria Label: Lain lain
Sehabis Bertelor, Maleo Betina Dewasa Pingsan


Maleo (Macrocephalon maleo), adalah satwa burung. Masuk dala
m kelas Aves subkelas Neonyrthes, ordo Gallyphormes, subordo Gally, famili Megapopidae, subfamili Crocoide, genus Macrocephalon, species Maleo. Ditemukan oleh Salmuller pada tahun 1846 di pegunungan Verbeek – Sulawesi Tengah. Dibelakang hari, ternyata burung ini endemic Pulau Sulawesi, tidak dijumpai di pulau lain se- Indonesia. Penyebarannya tidak hanya di dataran tinggi berpasir, tapi sampai ke pantai.
Endemic adalah satu pertimbangan apakah satwa perlu dilindungi atau tidak, selain populasi yang sudah langka. Berapa populasinya memang belum ada sensus. Secara kasar angkanya dapat diperoleh dari luas hutan berpasir se- Sulawesi dibagi luas kawasan TN Lore Lindu, dikali jumlah nesting ground yang terdapat dalam kawasan TN Lore Lindu, dikali lagi dengan populasi per nesting ground. Supardi dan Herman pernah mengamati populasi di nesting ground Saluki ada 180 ekor betina dewasa yang masak bertelur. Hidupnya yang monogami, maka populasi maleo dewasa ada 360 ekor. Ambil saja maleo kecil jumlahnya 240 ekor, maka populasinya ada 600 ekor. Dari angka ini kira – kira populasi maleo se- Sulawesi kurang lebih tinggal 50.000 ekor.
Behaviour juga menjadi pertimbangan apakah suatu jenis satwa patut dilindungi atau tidak. Contoh seperti badak yang memiliki pregnancy period 8 tahun sekali dengan jumlah anak hanya 1 ekor. Maleo termasuk species burrow nester, burung pembuat lubang terutama untuk memendam telurnya. Bertelur setiap 15 hari sekali tanpa dierami. Lubang pemendaman sedalam 30 - 40 cm pada suhu sekitar 330 Celcius. Telur menetas pada lama pemendaman 90 hari dengan prosentase keberhasilan 50 – 60 %. Hal ini terjadi karena induknya meninggalkan telur begitu saja. Maleo hidup monogami, berganti pasangan bila salah satunya mati. Dapat berganti pasangan, hanya dengan cara menunggu maleo kecil menjadi dewasa, tanpa merebut pasangan maleo dewasa lainnya. Behaviour seperti inilah yang menjadi pertimbangan maleo patut dilindungi.
Keberadaan predator juga menjadi pertimbangan satwa tersebut dilindungi atau tidak. Maleo dan telurnya acap menjadi buruan manusia pencari rotan. Selain itu telurnya menjadi buruan hewan predator ular atau biawak. Untuk menipu predator, maleo senantiasa membuat lubang tipuan di sekitar lubang pemendaman telurnya. Hidupnya bisa mencapai 30 tahun, namun masa produktifnya mulai 2,5 – 20 tahun.Burung ini seperti ayam, terbang meloncat hanya sekali – kali, terutama pada saat ada ancaman predator atau pada saat memadu cinta.
Maleo dewasa bobotnya bisa mencapai 2 kilogram, betinanya lebih besar dari jantan. Jantan dan betina dapat dicirikan pada ekornya. Maleo betina ekornya seperti kipas, sedangkan maleo jantan mengerucut ke bagian bawah. Telur maleo dapat mencapai panjang 11 cm dengan berat sebesar 280 gram atau 5 – 7 kali berat telur ayam ras. Telur pertama beratnya 150 – 180 gram dengan panjang sekitar 10 cm. Dengan angka seperti ini hiduplah sebuah mitos bahwa sehabis bertelur, maleo betina dewasa pingsan.

Source:MKI-2008
.
0 komentar

Menyelamatkan Ramin dengan Melakukan Penunjukan Kawasan Konservasi Hutan ramin

Diposting oleh Maysatria Label: Forestry

RAMIN ( Gonystilus bancanus (Miq) Kurz।)
Oleh : Wahyu Catur Adinugroho, S. hut

Hutan rawa merupakan salah satu sumber keanekaragaman hayati di Indonesia. Diperkirakan terdapat sekitar 4.000 jenis pohon yang berpotensi sebagai penghasil kayu gergajian dan pertukangan baik di hutan rawa maupun hutan lainnya. Dari jumlah tersebut baru sekitar 400 jenis diantaranya yang sudah dikenal secara ekonomi, termasuk sekitar 260 jenis yang sudah dikategorikan sebagai penghasil kayu-kayu perdagangan (Soerianegara & Lemmens, 1993). Akan tetapi banyak jenis pohon yang dahulu kondisinya melimpah dan bernilai ekonomis saat ini ulit untuk ditemukan, termasuk didalamnya adalah Gonystilus bancanus (Miq) Kurz.
Gonystilus bancanus (Miq) Kurz. merupakan salah satu jenis pohon penghasil kayu ramin yang paling diminati untuk diperdagangkan dari 10 jenis yang ada di Indonesia. Jenis ini termasuk famili Thymelaeaceae. Di Kalimantan disebut sebagai Gaharu buaya, Medang Keladi , Gaharu, Gerima, Merang, Menyan, Sriangun, Jungkang Adung sedangkan di Sumatera disebut sebagai Gaharu Buaya, Lapis Kulit , Manemeng, Geronggong, Panggatutup, Pinang Baek, Pulai Miyang, Setalam, Balun, Bacang Kulit, Garu Anteru, Kayu Bulu.
Kayu Ramin disebut “an attractive,high class utility hardwood” dengan tekstur yang halus dan rata serta berserat halus sehingga merupakan bahan yang bernilai tinggi untuk kontruksi ringan dan penggunaan lainnya, seperti furniture dan hiasan interior. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan eksploitasi kayu ramin di alam tanpa diikuti upaya budidaya maupun upaya menjamin kelestariaannya hingga berdampak terhadap terancamnya kepunahan jenis ini sehingga masuk dalam daftar merah IUCN dan menurut CITES pada tahun 2001 tergolong dalam appendix III dan meningkat menjadi appendix II pada tahun 2004.
“...jenis kayu Ramin kini hanya dapat dijumpai di beberapa kawasan hutan rawa Pulau Sumatera, kepulauan di Selat Karimata, dan Pulau Kalimantan dan sulit untuk menemukan tegakan yang berdiameter besar...”

KAWASAN KONSERVASI HUTAN RAMIN ( Gonystilus bancanus (Miq) Kurz.)

Kawasan konservasi hutan ramin secara administrasi terletak di Desa Lahei, Kecamatan Mentangai, Kabupaten Kuala Kapuas, Propinsi Kalimantan Tengah dan secara geografis terletak pada 01o37’35,16” Lintang Selatan dan 114o05’11,15” Bujur Timur. Untuk menuju lokasi tersebut dapat dicapai melalui jalur darat Jl. Palangka Raya – Buntok tepatnya di Km 41, yang dapat ditempuh selama ± 1,5 jam dari Palangka Raya kemudian dilanjutkan dengan jalan kaki ± 4 Km.
Mungkin sebagian besar orang baru mendengar keberadaan Kawasan Konservasi Hutan Ramin ( Gonystilus bancanus (Miq) Kurz.) di Indonesia karena menurut UU No. 5 tahun 1990 yang dimaksud kawasan konservasi adalah Taman Nasional, Suaka Margasatwa, Cagar Alam, Taman Hutan Rakyat dan Taman Wisata Alam. Terlepas keberadaan Kawasan Konservasi Hutan Ramin ( Gonystilus bancanus (Miq) Kurz.) sesuai atau tidak dengan UU No.5 Tahun 1990, keberadaan kawasan ini di wilayah Desa Lahei Kecamatan Mentangai Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah merupakan salah satu upaya untuk menyelamatkan pohon ramin ( Gonystilus bancanus (Miq) Kurz.) dari kepunahan.
Penunjukkan Kawasan Konservasi Hutan Ramin di wilayah Desa Lahei Kecamatan Mentangai seluas 200 Ha didasarkan pada Surat Keputusan Bupati Kapuas Nomor : 705 Tahun 2003. Penunjukkan kawasan ini diawali dari pengajuan proposal kebun Ramin atas nama Sdr. M. Dimbe Tanggal 6 Juni 2002 yang kemudian ditindaklanjuti dengan orientasi tata batas dan inventarisasi tegakan ramin. Kawasan ini terletak di kawasan hutan milik Negara cq. Pemerintah Kabupaten Kapuas bekas HPH PT. Gempita Kalimantan Tengah.
Berdasarkan data proposal Kebun Ramin di lokasi tersebut, dalam jalur pengamatan sepanjang 6 km yang dibuat mengelilingi batas kawasan dengan lebar jalur 25 m dan luas plot contoh 15 Ha ditemukan 374 pohon dengan diameter ≥ 30 cm sehingga kerapatan pohon ramin pada lokasi tersebut adalah 24,93 indiv/ha. Secara detail data hasil pengukuran pohon ramin tersebut dapat dilihat pada Tabel 1

Melihat kondisi hutan dan tegakan ramin yang ada dimana penulis berkesempatan melaksanakan survey pada areal tersebut dalam rangka kegiatan ITTO, kawasan ini sangat potensial untuk dikembangkan menjadi sumber benih dalam rangka menyediakan benih ramin guna budidaya maupun kegiatan pelestarian. Kawasan ini juga telah mendapat sertifikasi sebagai sumber benih tanaman hutan ramin dengan klasifikasi Tegakan Benih Teridentifikasi dari BPTH Kalimantan Selatan Nomor : 021/V-BPTH.KAL-2/STFK/2004 dimana wewenang pengelolaanya oleh Dinas Kehutanan Kab. Kapuas. Meskipun telah mendapatkan sertifikasi tetapi pengelolaannya belum optimal, kegiatan untuk memproduksi benihpun belum ada. Kondisi ini sangat disayangkan, mengingat kawasan tersebut kemungkinan merupakan tegakan ramin yang tersisa dengan kondisi tegakan masih baik. Apabila tidak ada upaya tindak lanjut maka penulis perkirakan tegakan yang tersisa inipun akan ditebang oleh pihak yang tidak bertanggungjawab karena tidak memberikan manfaat ekonomis secara langsung dan punahlah ramin karena tidak tersedianya permudaan alam untuk melakukan regenerasi dan sumber benih untuk pengembangan in-situ maupun ek-situ. Sebuah kondisi yang sangat tidak kita harapkan terjadi, beberapa contoh kasus sudah ada, Sebuah kawasan konservasi yang ditetapkan pada tahun 1987 hasil perjuangan dari Bapak Djalal Abidin sejak tahun 70-an dengan nama ‘Hutan Lindung Ramin’ berada di desa Kempas Jaya, Kecamatan Tempuiling Kabupaten Indragiri Hilir, dengan memiliki luas sekitar 1.600 hektar. Kini Kondisi hutan lindung tersebut sangat memprihatinkan dan bisa dikatakan telah ‘hilang’ (Sumber : Wawancara Tim Studi FWI, 2002).
PENUTUP
Kawasan konservasi hutan ramin di Desa Lahei Kec. Mentangai Kab. Kapuas merupakan tegakan ramin yang tersisa dengan kondisi tegakan yang baik sehingga sangat potensial untuk dikembangkan menjadi sumber benih ramin dalam rangka pengembangan in-situ maupun ek-situ guna melestarikan ramin. Upaya ini harus didukung dengan teknologi dari hasil kegiatan-kegiatan penelitian yang dilakukan mengingat sifat spesifik jenis ini, seperti musim berbunga dan berbuah yang tidak tetap dan tidak berbuah sepanjang tahun, akan berbuah pada diameter diatas 35 cm, rendahnya persentase hidup kegiatan penanaman, pertumbuhan anakan ramin yang lambat, viabilitas benih dan penurunan daya kecambah sampai 50% jika benih disimpan 2-3 minggu.
Upaya penyelamatan tegakan ramin yang tersisa harus segera dilakukan, sebelum terlambat dan terjadi kepunahan ramin, hal ini perlu diikuti dengan pengelolaan yang intensif dan mengembangkannya menjadi tegakan-tegakan sumber benih.
Penunjukan kawasan konservasi hutan ramin di Desa Lahei Kec. Mentangai Kab. Kapuas layak dijadikan contoh sebagai upaya penyelamatan ramin tetapi perlu diikuti pengelolaan yang optimal sehingga tidak terjadi lagi kasus seperti hilangnya Hutan Lindung Ramin di Desa Kempas Jaya, Kec. Tempuiling, Kab. Indragiri Hilir.
* Calon Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Samboja
Jl. Soekarno-Hatta Km 38 Samboja, Kaltim
e-mail : wahyuk@dephut.go.id

Source : link
0 komentar

SPORC, PPNS Kehutanan dan Polisi

Diposting oleh Maysatria Label: News
Tangkap Pemilik Galeri Pedagang Tumbuhan dan Satwa Liar
Operasi gabungan SPORC Brigade Elang, PPNS Kehutanan, dan Polri yang dilakukan pada Rabu, 9 Pebruari 2011 di wilayah DKI Jakarta berhasil mengamankan AKM, pemilik IGF galeri, serta barang bukti tumbuhan dan satwa liar. Di lokasi pertama terdiri dari 28 item dan lokasi kedua 3 item.
Pelaksanaan operasi di IGF Galeri yang beralamat di Hotel Chitra Jl. Toko Tiga No. 23 Jakarta Barat berhasil mengamankan AKM, pemilik atau pengelola galeri dan menyita barang bukti berupa:

a. 1 (satu) lembar kulit kak
i harimau (kulit kaki sampai paha)
b. 4 (empat) lembar kulit kaki harimau (kulit kaki sampai mata kaki)

c. 1 (satu) buah tengkorak beruang
d. 3 (tiga) buah gigi taring harimau
e. 26 (dua puluh enam) buah gigi beruang

f. 3 (tiga) buah taring macan
g. 41 (empat puluh satu) helai kumis harimau

h. 3 (tiga) buah dompet kulit macan
i. 1 (satu) buah tanduk kambing hutan
j. 1 (satu) buah tanduk kijang
k. 1 (satu) tanduk rusa tanpa kepala

l. 1 (satu) tanduk rusa dengan kepala
m. 1 (satu) buah tengkorak harimau
n. 10 (sepuluh) buah empedu ular sanca

o. 3 (tiga) buah kuku beruang
p. 1 (satu) buah gigi taring beruang
q. 2 (dua) buah kuku macan
r. 10 (sepuluh) buah pipa gading
s. 19 (sembilan belas) buah liontin gading
t. 1 (satu) buah gelang gading

u. 2 (dua) pasang sumpit gading
v. 1 (satu) buah tengkorak buaya
w. 4 (empat) buah kaki harimau
x. 4 (empat) buah tulang punggung harimau
y. 1 (satu) lembar kulit kancil
z. 2 (dua) buah kima kepala kambing dan 1 (satu) buah kerang
Sedangkan pelaksanaan operasi penertiban di lokasi domisili pemilik atau pengelola yaitu di Perumahan Palem Lestari Blok A39 Nomor 58 Cengkareng Jakarta Barat berhasil mengamankan dan menyita barang bukti berupa : 1 (satu) buah offset penyu, 2 (dua) buah lembar kulit kucing hutan, salah satunya dalam kondisi lengkap beserta kepala, kaki dan bagian tubuh lainnya, dan 2 (dua) buah tanduk rusa.

Selanjutnya tersangka dan barang bukti tersebut akan diproses sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Proses penyidikan selanjutnya akan dilakukan oleh PPNS Kementerian Kehutanan berkoordinasi dengan Direktorat V Tipiter dan Biro Korwas PPNS Bareskrim Polri.
Operasi gabungan dilakukan berdasarkan informasi intelijen kepada Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, diduga telah terjadi tindak pidana bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di daerah Jakarta Barat. Informasi intelijen menyebutkan telah ditemukan galeri yang memperjualbelikan offsetan satwa dilindungi dan/atau bagian-bagiannya atas.
Perdagangan Tumbuhan dan Satwa Liar Illegal merupakan tindak pidana Konservasi Sumber Daya Alami Hayati dan Ekosistemnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAHE Pasal 40 ayat (2) Jo Pasal 21 ayat (2) huruf b dan d dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).Perdagangan Tumbuhan dan Satwa Liar illegal merupakan salah satu bentuk pemanfaatan yang tidak memperhatikan prinsip kelestarian dan menyebabkan jenis-jenis Tumbuhan dan Satwa Liar tersebut terancam punah. Oleh karena itu penegakan hukum terhadap perdagangan Tumbuhan dan Satwa Liar illegal menjadi salah satu prioritas Kementerian Kehutanan.

Source:Siaran Pers:PusHubMasKemenhut-10/2/2011.
0 komentar

Penangkaran Rusa Timor

Diposting oleh Maysatria Label: Konservasi

Rusa timor (Cervus timorensis) merupakan salah satu rusa asli Indonesia dan termasuk satwa yang dilindungi (PP No. 7 Tahun 1999). Rusa timor memiliki keunikan tersendiri dibanding rusa lainnya. Rusa ini diketahui memiliki banyak anak jenis dengan pemberian nama lokal disesuaikan dngan nama daerahnya, misalnya di Jawa dikenal dengan nama rusa Jawa, di Timor bernama rusa Timor, di Sulawesi dengan nama Jonga dan di Maluku dengan nama rusa Maluku. Nama rusa Timor merupakan nama yang umun dipakai dan disepakati sebagai nama nasional. Rusa timor memiliki wilayah penyebaran di Pulau Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku. Rusa Timor merupakan rusa tropis terbesar kedua dengan berat antara 40 - 120 kg.
Rusa dapat dimanfaatkan antara lain daging, tanduk dan kulitnya. Daging rusa (venison) banyak disukai karena dagingnya berserat halus dan mengandung lemak hanya 0,33% (sapi 18,9%) dan kolesterol rendah hanya 74 mg/kg (sapi 95 mg/kg) serta memiliki rasa yang spesifik. Di Korea, China, dan Barat ranggah muda (velvet antler) dimanfaatkan sebagai racikan obat tradisional untuk penambah mineral dan vitalitas bagi tubuh, selain itu juga dipercaya dapat membantu mempercepat penyembuhan luka, menurunkan keluhan rematik, dan memperlambat proses osteoporosis. Menurut hasil analisa ranggah muda mengandung gugus polyamines yang dapat meningkatkan sintesa protein seperti yang terdapat dalam hati dan beberapa gugus phosphor dan glycolipid yang dapat mempengaruhi tekanan darah (Semiadi dan Nugraha, 2004). Kulit rusa banyak dimanfaatkan untuk bahan kerajinan tangan misalnya untuk dompet, tas, jaket, dan lain-lain. Kulit rusa hasil ternak diketahui mempunyai kualitas ketebalan dan kelenturan yang lebih bagus dari hewan ternak lainnya.
Model Penangkaran
Hal tehnis paling utama yang perlu diperhatikan dalam membangun penangkaran rusa timor adalah pemilihan lokasi. Lingkungan penangkaran sebaiknya tenang, aman dari serangan predator, dan mudah dijangkau. Lokasi penangkaran sebaiknya tersedia air sepanjang tahun, untuk mencegah rusa timor mengalami stress terutama apabila rusa tersebut masih tergolong liar. Lokasi sebaiknya juga mempunyai kondisi permukaan tanah yang tidak berbatu dengan topografi rata sampai bergelombang ringan, serta tersedia pohon/semak peneduh atau tempat berteduh buatan. Lebih baik lagi jika di sekitarnya terdapat lapangan rumput atau terdapat areal sumber pakannya.
Model penangkaran yang digunakan antara lain dapat berupa:
  1. Kandang biasa : Kandang biasa yang dimaksud misalnya kandang panggung atau seperti kandang kambing. Ukuran kandang untuk satu individu adalah 1,5 x 2 m. Dinding dan lantai kandang dapat menggunakan bahan dari bambu atau papan dan atap dari alang-alang. Biasanya model kandang biasa digunakan untuk penangkaran skala kecil yaitu untuk 2 pasang.
  2. Kandang permanen : Dinding menggunakan batako atau bata dengan tinggi 1,5 m yang diatasnya dipasang kawat harmoni dan kawat duri setinggi 1,5 m serta lantai dibiarkan berupa tanah urug. Luasan total kandang disesuaikan dengan luas lahan, biasanya di bawah 1 ha, dan dapat digunakan untuk rusa dengan jumlah maksimal dibawah 10 ekor.
  3. Padang umbaran (Ranch) : Pada model ini, rusa dilepaskan dalam areal terbuka yang sekelilingnya dipagari kawat harmoni atau pagar bambu. Luas lahan disesuaikan, namun idealnya 10 ekor rusa membutuhkan luas 1 ha (Garsetiasih dan Takandjandji, 2007). Dalam ranch sebaiknya ditanami rumput unggulan sebagai sumber pakan.
Model penangkaran dengan ranch membutuhkan prasarana lain:
  1. Bangunan peneduh/shelter : Digunakan sebagai tempat berteduh dari hujan karena mempunyai dinding atau atap saja. Atap dapat berupa alang-alang, rumbia, asbes atau seng. Bangunan ini dibuat apabila dalam ranch tidak terdapat atau kurang pohon dan semak-semak untuk berteduh.
  2. Tempat minum dan pakan : Tempat minum dapat berupa bak yang terbuat dari bata/batako yang dilapisi semen berukuran 100 x 50 x 30 cm yang dibenamkan dalam tanah atau juga dapat berupa kolam yang dilengkapi dengan saluran pembuangan air. Rusa memerlukan air selain untuk minum juga untuk berkubang. Tempat pakan dibuat apabila pakan dalam kandang/ranch kurang mencukupi sehingga perlu tambahan dari luar. Tempat pakan dapat berupa kotak yang terbuat dari papan atau bambu, disusun rapat dengan ukuran 200 x 50 x 30 cm atau berbentuk segi 6 ukuran 50 x 75 dan tinggi 30 cm dari permukaan tanah.
  3. Areal pengembangan pakan :Areal pengembangan pakan merupakan sarana dan prasarana yang sangat penting karena pakan diperlukan rusa untuk berproduksi dan berkembangbiak. Dalam areal ini dapat ditanam beberapa jenis hijauan yang diperlukan rusa misalnya berbagai jenis rumput. Luas lahan yang diperlukan untuk 11 ekor rusa adalah seluas ± 0,3 Ha. Hal ini dilihat dari jumlah pakan yang dikonsumsi seekor rusa dewasa yaitu 4 - 5,7 kg/individu/hari (P3HKA,2004) dengan jumlah rata-rata produksi pakan dalam 1 ha. Rata-rata produksi pakan pada setiap daerah berbeda, hal ini tergantung kondisi tanah, iklim, jenis tanaman pakan serta pemeliharaannya. Untuk pakan jenis rumput unggul misalnya rumput gajah dapat menghasilkan 100 - 200 ton/ha/tahun (Rukmana, 2005). Sedangkan menurut Takandjandji dan Sutrisno (2006) di wilayah NTT yang kondisi iklim relatif kering, produksi pakan pada areal 1 ha menghasilkan rata-rata 135 kg/ha/ tahun. Areal pengembangan pakan ini perlu dilakukan pemeliharaan yang intensif agar kualitas dan kuantitas tetap terjaga. Pemeliharaannya yaitu dengan melakukan penyiangan dan pendangiran setiap 3 - 4 kali dan pemupukan 1-2 kali dalam setahun.
  4. Kandang perawatan : Kandang perawatan adalah kandang kecil berbentuk lonjong atau berbentuk persegi dengan ukuran 10 m x 10 m yang tertutup rapat berdinding papan, beratap seng atau rumbia serta berlantai semen atau biasa disebut yard kemudian di dalamnya dipasang kandang jepit. Kandang perawatan dapat digunakan untuk merawat rusa bunting, anak rusa, rusa sakit, rusa melahirkan, atau untuk memeriksa kesehatan rusa.
Teknik Pemeliharaan
Beberapa hal utama yang perlu diperhatikan dalam memelihara rusa Timor yaitu teknik pemberian pakan, cara pengelompokkan, pemeriksaan kesehatan rusa dan pengelolaan perkembangbiakan rusa.
  1. Teknik pemberian pakan : Pemberian pakan dapat dilakukan dengan membiarkan rusa merumput (grazing). Biasanya dilakukan pada penangkaran dengan model kandang berupa umbaran/ranch atau diberikan dari luar yaitu dengan pengaritan (cut and carry). Jenis pakan yang diberikan dapat berupa hijauan (beberapa jenis rumput dan beberapa jenis legum misalnya turi, lamtoro, kacang gude, daun pilang, sayuran dan lain-lain) dan pakan tambahan dapat berupa konsentrat (dedak padi, jagung giling, ampas tahu, bungkil kelapa) serta pakan yang murah misalnya limbah pertanian berupa daun dan tangkai kacang kedelai, kacang tanah, kulit jagung, dan lain-lain.
  2. Cara pengelompokan rusa : Rusa perlu dikelompokkan berdasarkan status fisiologinya, misalnya kelompok rusa yang disapih, rusa bunting, melahirkan dan menyusui, rusa jantan siap kawin, rusa betina siap kawin dan sebagainya. Pengelompokkan rusa dimaksudkan untuk pengaturan pemberian pakan dan perkawinan, menjaga rusa jantan agar tidak mengganggu rusa lain, menjaga ketenangan induk melahirkan dan merawat anak dan memudahkan dalam merawat dan mengobati rusa sakit.
  3. Pemeriksaan kesehatan rusa : Pemeriksaan kesehatan dilakukan rutin minimal setahun sekali terutama saat musim hujan. Menurut beberapa pengalaman, penyakit yang sering menyerang adalah pneumonia (radang paru-paru) akibat dari kandang yang becek dan basah, infeksi cacing, dan stres. Pemeriksaan kesehatan sebaiknya dilakukan oleh ahli medis.
  4. Pengelolaan perkembangbiakan : Diketahui rusa Timor atau rusa tropis lainnya melakukan perkawinan secara alami hampir sepanjang tahun. Waktu yang pasti masih perlu dilakukan penelitian, akan tetapi ada yang menyebutkan biasa terjadi pada bulan Januari-Februari. Untuk mengetahui rusa siap kawin dapat dilihat dari ciri-ciri fisiologinya. Rusa jantan diperlihatkan saat ranggah (tanduk) mulai tumbuh dimana kualitas dan kuantitas sperma yang paling baik yaitu pada saat ranggah keras, selain itu adalah kebiasaan rusa berkubang, meraung-raung dan suka menanduk. Sedangkan rusa betina dilihat dari nafsu makan yang berkurang, tidak tenang, sering kencing, mencium dan menjilati kelamin jantan, vulva terlihat bengkak berwarna merah dan hangat bila dipegang serta berdiri tenang apabila dinaiki pejantan. Ketika meiihat ciri-ciri tersebut sebaiknya rusa dipisah dan dikelompokkan di tempat tersendiri. Selain secara alami, perkawinan dapat dilakukan dengan bantuan teknologi reproduksi antara lain dengan inseminasi buatan, invitro/ pembuahan di luar kelamin betina, sikronisasi dan transfer embrio.Yang perlu menjadi catatan, rusa timor juga boleh dikawin silang pada keturunan F2.
Penutup
Hal penting yang harus diperhatikan dalam menangkar rusa adalah tetap berkoordinasi dengan petugas dari BKSDA propinsi setempat, karena rusa merupakan satwa yang dilindungi. Bila penangkaran rusa telah mencapai 300 ekor dengan campuran jenis, dapat mengajukan ijin peternakan dan berkoordinasi dengan Dinas Peternakan propinsi setempat.
Source :Duabanga,Warta Balai Penelitian Kehutanan Mataram Vol.3 No.1 Juni 2009.Penangkaran Rusa Timor (Dewi Maharani).
0 komentar

Proses Pembentukan Lahan gambut

Diposting oleh Maysatria Label: Forestry
Lahan gambut merupakan salah satu tipe lahan basah yang unik. Sayangnya, walaupun memiliki potensi besar dalam mendukung kehidupan manusia dan kestabilan iklim global, lahan gambut seringkali dianggap dan diposisikan sebagai lahan yang marjinal dan kurang berguna. Hal tersebut terutama karena lahan gambut miskin akan unsur hara, sehingga dianggap tidak bermanfaat untuk kegiatan pertanian.
Penilaian tersebut tentu saja tidak sepenuhnya benar, karena para ahli dapat menunjukan bahwa gambut juga ternyata memiliki fungsi dan manfaat lain yang nilainya dalam jangka panjang melebihi keuntungan yang diperoleh dari kegiatan pertanian. Bahkan, gambut juga sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian jika saja dilaksanakan dengan prinsip-prinsip ekologi yang benar serta sejalan dengan karakteristik gambut itu sendiri.
Gambut terbentuk dari sisa berbagai bagian tanaman yang kemudian terkubur dalam jangka waktu yang sangat panjang, biasanya di wilayah yang kerap tergenang dan dalam kondisi yang kurang oksigen. Secara umum, tanah gambut biasanya terbentuk diantara dua sungai dan memiliki bagian yang lebih cembung atau tinggi (meskipun tidak selalu bisa dilihat di lapangan), yang biasa disebut sebagai kubah gambut (peat dome). Luas dan kedalaman kubah bervariasl tergantung kepada kondisi dan proses pembentukannya.*

Source: Wetland International-Indonesia Programme).
0 komentar

Kebakaran di Lahan Gambut

Diposting oleh Maysatria Label: Forestry
Kebakaran hutan dan lahan gambut menjadi fokus utama kejadian kebakaran saat ini, mengingat dampak asap dan emisi karbon yang dihasilkan. Hutan Rawa gambut seluas 2.124.000 hektar telah terbakar pada kejadian kebakaran 1997/1998 (Tacconi,2003), mengemisikan sekitar 156,3 juta ton karbon ke atmosfer (Bappenas-ADB, 1999)
Kebakaran hutan dan lahan gambut merupakan kebakaran permukaan dimana api membakar bahan bakar yang ada di atas permukaan (misalnya: serasah, pepohonan, semak, dll), kemudian api menyebar tidak menentu secara perlahan di bawah permukaan (ground fire), membakar bahan organik melalui pori-pori gambut dan melalui akar semak belukar/pohon yang bagian atasnya terbakar.
Dalam perkembangannya, api menjalar secara vertikal dan horisontal berbentuk seperti kantong asap dengan pembakaran yang tidak menyala (smoldering) sehingga hanya asap yang berwarna putih saja yang tampak di atas permukaan. Mengingat peristiwa kebakaran terjadinya di dalam tanah dan hanya asapnya saja yang muncul ke permukaan, maka kegiatan pemadaman akan mengalami banyak kesulitan.
Dampak kebakaran hutan dan lahan gambut
Kebakaran hutan/lahan gambut secara nyata berpengaruh terhadap terdegradasinya kondisi lingkungan, kesehatan manusia dan aspek sosial ekonomi bagi masyarakat.
Terdegradasinya kondisi lingkungan
- Perubahan kualitas fisik gambut (penurunan porositas total, penurunan kadar air tersedia, penurunan permeabilitas dan meningkatnya kerapatan lindak);
Perubahan kualitas kimia gambut (peningkatan pH, kandungan N-total, kandungan fosfor dan kandungan basa total yaitu Kalsium, Magnesium, Kalium, dan Natrium, tetapi terjadi penurunan kandungan C-organik);
Terganggunya proses dekomposisi tanah gambut karena mikroorganisme yang mati akibat kebakaran;
Suksesi atau perkembangan populasi dan komposisi vegetasi hutan juga akan terganggu (benih-benih vegetasi di dalam tanah gambut rusaklterbakar) sehingga akan menurunkan keanekaragaman hayati;
Rusaknya siklus hidrologi (menurunkan kemampuan intersepsi air hujan ke dalam tanah, mengurangi transpirasi vegetasi, menurunkan kelembaban tanah, dan meningkatkan jumlah air yang mengalir di permukaan (surface run off). Kondisi demikian menyebabkan gambut menjadi kering dan mudah terbakar, terjadinya sedimentasi dan perubahan kualitas air serta turunnya populasi dan keanekaragaman ikan di perairan. Selain itu kerusakan hidrologi di lahan gambut akan menyebabkan jangkauan intrusi air laut semakin jauh ke darat;
Gambut menyimpan cadangan karbon, apabila terjadi kebakaran maka akan terjadi emisi gas karbondioksida dalam jumlah besar. Sebagai gas rumah kaca, karbondioksida berdampak pada pemanasan global. Berdasarkan studi ADB, kebakaran gambut 1997 menghasilkan emisi karbon sebesar 156,3 juta ton (75% dari total emisi karbon) dan 5 juta ton partikel debu.
Kesehatan manusia
Ribuan penduduk dilaporkan menderita penyakit infeksi saluran pernapasan, sakit mata dan batuk sebagai akibat dari asap kebakaran. Kebakaran gambut juga menyebabkan rusaknya kualitas air, sehingga air menjadi kurang layak untuk diminum.
Aspek sosial ekonomi
Hilangnya sumber mata pencaharian masyarakat yang masih menggantungkan hidupnya pada hutan (berladang, beternak, berburu/ menangkap ikan);
Penurunan produksi kayu;
Terganggunya kegiatan transportasi; Terjadinya protes dan tuntutan dari negara tetangga akibat dampak asap kebakaran; Meningkatnya pengeluaran akibat biaya untuk pemadaman.
Penyebab kebakaran hutan dan lahan gambut
Lebih dari 99% penyebab kebakaran hutan dan lahan gambut adalah akibat ulah manusia, baik yang sengaja melakukan pembakaran ataupun akibat kelalaian dalam menggunakan api. Hal ini didukung oleh kondisi -kondisi tertentu yang membuat rawan terjadinya kebakaran, seperti gejala EI Nino, kondisi fisik gambut yang terdegradasi dan rendahnya kondisi sosial ekonomi masyarakat. Penyebab kebakaran oleh manusia dapat dirinci sebagai berikut:
Pembakaran vegetasi
Kebakaran yang disebabkan oleh api yang berasal dari pembakaran vegetasi yang disengaja tetapi tidak dikendalikan pada saat kegiatan, misalnya dalam pembukaan areal HTI dan perkebunan serta penyiapan lahan pertanian oleh masyarakat.
Aktivitas dalam pemanfaatan sumber daya alam
Kebakaran yang disebabkan oleh api yang berasal dari aktivitas manusia selama pemanfaatan sumber daya alam, misalnya pembakaran semak belukar yang menghalangi akses mereka dalam pemanfaatan sumber daya alam serta pembuatan api untuk memasak oleh para penebang liar dan pencari ikan di dalam hutan. Keteledoran mereka dalam memadamkan api dapat menimbulkan kebakaran.
Penguasaan lahan
Api sering digunakan masyarakat lokal untuk memperoleh kembali hak-hak mereka atas lahan.
Faktor pendukung kerawanan terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut
Kerawanan terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut tertinggi terjadi pada musim kemarau dimana curah hujan sangat rendah dan intensitas panas matahari tinggi. Kondisi ini pad a umumnya terjadi an tara bulan Juni hingga Oktober dan kadang pula terjadi pada bulan Mei sampai November. Kerawanan kebakaran semakin tinggi jika ditemukan adanya gejala EI Nino;
Pembuatan kanal-kanal dan parit di lahan gambut telah menyebabkan gambut mengalami pengeringan yang berlebihan di musim kemarau dan mudah terbakar;
Areal rawa gambut merupakan lahan yang miskin hara dan tergenang air setiap tahunnya, sehingga kurang layak untuk pertanian.
Untuk mempertahankan hidupnya, masyarakat melakukan perburuan satwa liar, menangkap ikan dan menebang kayu yang sering menggunakan api sebagai pendukung kegiatannya. *

Source: Wetland International-Indonesia Programme).

1 komentar

Strategi Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Terdegredasi

Diposting oleh Maysatria Label: Forestry
Oleh: Dony Rachmanadi dan Dian Lazuardi

Pemanfaatan hutan rawa gambut yang dilakukan secara tidak bijaksana akan membentuk tipe-tipe hutan rawa gambut yang berbeda. Tipe-tipe tersebut secara umum terdiri dari areal bekas tebangan (areal perusahaan), areal belukar rawa gambut, areal pakis-pakisan. Pengelompokkan tersebut menjadi lebih spesifik dengan terjadinya kebakaran hutan dan lahan dimana terdapat areal yang tidak terbakar, terbakar sekali, dan terbakar beberapa kali. Tipe-tipe lahan tersebut tentunya memerlukan manajemen yang berbeda dalam usaha rehabilitasinya. Rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan dengan berbagai cara antara lain : penanaman pada lahan kosong, penanaman perkayaan, pemeliharaan permudaan alam, dan perlindungan areal dari bahaya kebakaran.
Darmawijaya (1997) dalam bukunya mengenai klasifikasi tanah menyebutkan bahwa tanah gambut diklasifikasikan berdasarkan tingkat dekomposisi/bahan organik, susunan kimia, cuaca pembentukannya, susunan bahan analisa, dan faktor pembentukan. Berdasarkan tingkat dekomposisi/bahan organik gambut dibedakan atas fibrik, hemik dan saprik. Berdasarkan susunan kimia dibedakan atas eutrol mesotrof dan oligo/ro! Berdasarkan cuaca pembentukannya, gambut dibedakan atas supra aquatic dan intra aquatic. Berdasarkan susunan bahan analisa, gambut dibedakan atas sedimentary peat, .fibrous peat dan woody peat. Sedangkan berdasarkan faktor pembentukan, gambut dibedakan atas gambut ombrogen, gambut topogen dan gambut pegunungan. Istilah tanah gambut hanya digunakan pada lahan dengan luas endapan paling kecil 1 ha dan memiliki ketebalan lebih dari 50 cm.
Hutan rawa gambut mempunyai fungsi penting yaitu penyimpanan air untuk mencegah terjadinya banjir dan sebagai daerah tangkapan air, penyangga dari intrusi air laut, menyaring polutan yang dapat menyebabkan degradasi pada danau, sungai dan air bawah tanah, menyediakan produk kayu dan non kayu, dan menyediakan habitat bagi satwa.
Peranan penting dari rawa gambut yang lain adalah sebagai penyimpanan karbon. Vegetasi semi lapuk menyimpan karbon dalam jumlah yang banyak dan mencegahnya lepas ke atmosfer sebagai karbondioksida, penyebab pemanasan global. Sekitar 15% total karbon yang disimpan di lahan gambut dapat ditemukan di rawa gambut tropis. (Tan Cheng Li, 1997).
Fungsi penting hutan rawa gambut mudah hilang karena sifat ekosistem rawa gambut yang rapuh, untuk itu semua usaha memanfaatkan ekosistem tersebut harus dilakukan dengan hati-hati. Sifat tersebut terbentuk karena karakteristik gambut yang khas, dimana gambut merupakan tanah yang tersusun sebagian besar dari bahan organik yang melapuk tidak sempurna karena kondisi yang anaerobik.
Areal bergambut di dunia diperkirakan mencapai 420 juta ha s/d 500 juta ha. Di Indonesia diperkirakan mempunyai cadangan gambut seluas 17 juta ha. Jumlah tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara yang mempunyai cadangan gambut terbesar ke-empat di dunia setelah Kanada, Rusia, dan Amerika Serikat (Rismunandar, 2001).
Menurut Soepraptohardjo dan Driessen (1976), penyebaran lahan gambut di Indonesia adalah sebagai berikut, Pantai Timur Sumatera (9,7 juta ha); Kalimantan (6,3 juta ha); lain-lain (1,3 juta ha).Melihat potensi dan arti penting hutan rawa gambut maka sudah semestinya potensi tersebut dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Untuk menjamin pemanfaatan hutan rawa gambut baik yang sudah terlanjur rusak atau masih baik dapat berlangsung secara lestari maka perlu ditunjang dengan hasil-hasil penelitian.
Diharapkan juga kondisi hutan rawa gambut yang telah rusak dapat direhabilitasi sehingga memiliki produktivitas yang baik.
Tipe Lahan Hutan Rawa Gambut Terdegradasi
Beberapa tipe lahan yang akan membedakan jenis pengelolaan pada setiap tipe, yaitu :
1.Areal bekas tebangan (logged-over area) yaitu areal bekas tebangan baik perusahaan maupun masyarakat, pada areal ini masih ditemukan vegetasi pada berbagai tingkat pertumbuhan (semai, sapling, tiang dan pohon). Areal ini dibatasi merupakan areal yang tidak pernah terbakar. Secara lebih rinci areal ini dibagi lagi ke dalam :
  • Areal tak terganggu: merupakan areal yang tidak terganggu tebangan. Areal ini terletak diantara ruang-ruang terbuka sekitar tunggak. Vegetasi dalam stratifikasi masih utuh.
  • Areal sekitar tunggak tebangan: merupakan areal terbuka akibat penebangan pobon. Baik pohon yang dipanen maupun pohon-pohon lain yang tumbang akibat kegiatan pemanenan. Semakin banyak pohon ditebang semakin luas areal ini. Pada areal ini, pennudaan alami jenis-jenis kanopi utama, baik dari segi jumlah maupun tingkat perkembangannya, umumnya memadai untuk mengganti pohonpohon yang tumbang.
  • Areal bekas jalan sarad merupakan areal terbuka sepanjang jalan sarad. Keterbukaan kanopi pada jalan sarad ini sangat kecil (lebar < 2 m), karena penyaradan di hutan rawa gambut umumnya menggunakan sistem manual.
  • Areal kiri-kanan rel merupakan areal terbuka yang secara bertahap bertambah sesuai dengan umur pakai reI. Kayu-kayu yang digunakan sebagai bantalan rel harus diganti secara periodik. Pengganti kayu bantalan tersebut berasal dari sepanjang jalan rel. Sebagai contoh : dalam 2 tahun penggunaan jalan, di sepanjang jalan terjadi pembukaan 100 m kiri-kanan rel.
Pada tipe lahan ini kegiatan rehabilitasi yang dilakukan adalah : Tabel. 1


2.Areal belukar r
awa gambut, yaitu areal yang didominasi belukar. Umumnya areal ini tidak memiliki tingkat pertumbuhan vegetasi yang lengkap. Areal ini dibedakan atas areal yang terbakar dan tidak terbakar tetapi pada umumnya kejadian kebakaran tidak terjadi secara
berulang-ulang.Tabel 2

3. Areal pakis-pakisan,
yaitu areal yang didominasi pakis-pakisan dan sudah tidak terdapat lagi vegetasi berkayu. Pada areal ini umumnya terjadi kebakaran secara berulang. Pada areal ini sangat sulit untuk dilakukan penanaman. Usaha penanaman harus diikuti dengan usaha penataan areal secara fisik seperti pembuatan saluran drainase, bioremediasi dan aplikasi bioteknologi.
Uji Coba Penanaman
Penanaman sebagai salah satu usaha rehabilitasi hutan rawa gambut harus didahului dengan penelitian uji jenis untuk mengetahui jenis-jenis tanaman yang dapat bertahan hidup pada lahan yang telah terdegradasi tersebut. Penelitian tersebut juga diikuti dengan perbaikan tindakan silvikultur agar dihasilkan produktivitas yang optimal.
Adapun jenisjenis tanaman yang dapat digunakan dalam rehabilitasi hutan rawa gambut berdasarkan hasil uji jenis dapat dilihat pada Tabel.3.

Faktor kritis lain dalam usaha penanaman pada hutan rawa gambut adalah genangan air dan sifat tanah gambut yang sangat porous. Untuk mengatasi permasalahan genanga air dilakukan kegiatan uji coba penanaman pada waktu yang berbeda yaitu awal musim hujan dan akhir musim hujan dimana diketahui penanaman jenis blangeran rnenunjukkan hasil yang memuaskan pada waktu tanam di akhir musim hujan.
Teknis penanaman dengan membuat guludan dan menggunakan bumbung bambu juga bisa dilakukan akan tetapi akan sulit di aplikasikan pada skala luas. Sedangkan permasalahan tanah gambut yang sangat porous sehingga perakaran tanaman tidak menyatu dengan baik rnaka teknis penanaman dilakukan dengan pemadatan gambut dengan cara mencacah dan memadatkan gambut pada lubang tanam. Cara ini ternyata juga sangat berpengaruh terhadap persentase hidup tanaman di lapangan.
Rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi harus dilakukan secara komprehensif dan terarah. Pada lahan rawa gambut yang sangat spesifik dimana variasi kondisi lahan sangat besar maka harus dilakukan pengelompokan-pengelompokan lahan yang nantinya akan berbeda dalam pengelolaannya. Salah satu manfaat pengelompokan tersebut adalah dipastikannya jenis yang tepat ditanam pada lahan yang tepat pula. Usaha yang tidak kalah penting dalam rehabilitasi adalah perlindungan areal baik dari aktivitas manusia yang merugikan rnaupun bahaya kebakaran dimana usaha ini akan lebih maksimal bila masyarakat setempat dapat berperan aktif dalam usaha rehabilitasi. *Peneliti Pertama pada Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru.

Source : link
0 komentar

Sponsored

  • banners
  • banners
  • banners
  • banners

Kategori

  • Flora dan Fauna (128)
  • Forestry (312)
  • Mangrove (82)

Archive

  • ►  2015 (20)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (17)
  • ►  2014 (43)
    • ►  Agustus (13)
    • ►  Mei (9)
    • ►  April (8)
    • ►  Februari (6)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2013 (309)
    • ►  Desember (14)
    • ►  November (97)
    • ►  Oktober (28)
    • ►  September (36)
    • ►  Agustus (11)
    • ►  Juli (20)
    • ►  Juni (19)
    • ►  April (20)
    • ►  Maret (20)
    • ►  Februari (19)
    • ►  Januari (25)
  • ▼  2012 (97)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (25)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (15)
    • ►  April (9)
    • ▼  Maret (9)
      • Pengembangan Dan Pelestarian Pohon Cendana Di Nusa...
      • BURUNG MALEO
      • Menyelamatkan Ramin dengan Melakukan Penunjukan Ka...
      • SPORC, PPNS Kehutanan dan Polisi
      • Penangkaran Rusa Timor
      • Proses Pembentukan Lahan gambut
      • Kebakaran di Lahan Gambut
      • Strategi Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Terdegredasi
      • RUU Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar (...
    • ►  Februari (19)
    • ►  Januari (16)
  • ►  2011 (323)
    • ►  Desember (52)
    • ►  November (27)
    • ►  Oktober (12)
    • ►  Agustus (12)
    • ►  Juli (5)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (5)
    • ►  April (16)
    • ►  Maret (24)
    • ►  Februari (122)
    • ►  Januari (44)
  • ►  2010 (105)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (22)
    • ►  Agustus (79)

_______________

_______________

 

© My Private Blog
designed by Website Templates | Bloggerized by Yamato Maysatria |