Konsumen dan perusahaan di Amerika Serikat tanpa sadar terus ikut menyumbang kerusakan hutan dan habitat harimau Sumatra.
Hal ini terungkap dari laporan terbaru yang diterbitkan oleh World Widlife Fund (WWF) minggu lalu. Laporan berjudul Don’t Flush Tiger Forests ini menyebutkan, hutan Sumatra adalah aset bangsa yang sangat berharga.
Hutan di pulau terbesar ke-6 di dunia tersebut kaya dengan keanekaragaman hayati. Lebih dari 15.000 spesies tanaman baru ditemukan setiap tahun.
Hutan Sumatra juga menjadi habitat dari 200 spesies mamalia dan 580 spesies burung. Di dalamnya tercipta kombinasi unik, sebagai habitat harimau Sumatra, gajah, badak dan orangutan yang dilindungi dan terancam punah. Di pulau Sumatra juga terdapat macan tutul abu-abu, tapir dan kelelawar raksasa (flying fox bat).
Melestarikan hutan Sumatra sangat penting untuk melindungi keanekaragaman hayati dan mencegah dampak negatif perubahan iklim.
Hutan Sumatra tidak hanya berfungsi sebagai penyerap karbon namun juga tumbuh di atas lahan gambut sehingga mampu menyimpan 19 gigaton emisi karbon dunia.
Hutan Sumatra ditinggali oleh penduduk asli, termasuk komunitas Orang Rimba di wilayah Bukit Tigapuluh. Komunitas ini menggantungkan hutan sebagai sumber makanan, pekerjaan dan tempat berteduh. Mereka mengolah hutan menggunakan teknik tradisional dan memiliki sistem yang unik untuk melindungi hutan yang sudah mereka terapkan selama beratus tahun.
Keberadaan masyarakat asli di hutan Sumatra dan keanekaragaman hayatinya terus terancam oleh praktik pembukaan hutan untuk tanaman industri. Hijauku telah menulis mengenai hutan yang tergerus oleh tanaman industri di sini. Laporan WWF melengkapi laporan kerusakan hutan di tanah air khususnya hutan Sumatra.
Menurut WWF, banyak produk yang dihasilkan dari hutan Sumatra yang dalam proses produksinya tidak ramah lingkungan. Produk-produk ini diekspor hingga ke manca negara. Produk seperti tisu kotak dan tisu kamar mandi (toilet paper) yang dihasilkan oleh industri kayu dan serat kayu dari hutan Sumatra misalnya, diekspor hingga pasar Amerika Serikat.
Menurut laporan WWF, ada delapan peritel di Amerika Serikat yang telah berhenti menjual produk tisu yang tidak ramah alam dari hutan Sumatra yaitu BI-LO, Brookshire Grocery Company, Delhaize Group (pemilik jaringan Food Lion), Harris Teeter, Kmart, Kroger, SUPERVALU, dan Weis Markets.
Namun produk-produk tisu tersebut masih banyak beredar di Amerika Serikat, didistribusikan ke perusahaan seperti Solaris Paper, Mercury Paper, Paper Excellence, Global Paper Solutions, dan Eagle Ridge Paper.
Ada dua merek tisu dari hutan Sumatra yang tidak ramah lingkungan yang dijual di Amerika Serikat yaitu Paseo dan Livi. Menurut Oasis Brands, pemasar Paseo, pada 2011, Paseo menjadi tisu kamar mandi terlaris di Amerika Serikat. Paseo dan Livi tidak hanya digunakan di rumah, namun juga di restoran, gedung perkantoran, sekolah, bahkan hotel.
Menurut WWF lebih dari 50% konsumen Amerika memiliki kesadaran lingkungan saat berbelanja, namun banyak di antara mereka yang tidak sadar bahwa produk yang mereka gunakan diproduksi dari hutan yang letaknya sangat jauh di Indonesia, dengan cara yang tidak ramah lingkungan.
Ada dua faktor yang menjadikan produk-produk impor sebagai produk yang tidak ramah lingkungan. Yang pertama adalah dari proses produksinya termasuk dari bahan yang digunakan, dan yang kedua dari proses distribusinya.
Seringkali, produk impor harus menempuh jarak ribuan kilometer untuk sampai di tangan kosumen. Praktik ini memerparah emisi CO2 dan gas rumah kaca yang menimbulkan perubahan iklim dan pemanasan global.
0 komentar:
Posting Komentar